Aji Dipa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Adi Dipa adalah organisasi di Jawa Barat yang mengajarkan pelestarian nilai-nilai ajaran warisan leluhur dengan melakukan kegiatan seperti sarasehan, anjangsana, dan anjangasih kepada anggotanya. Aji Dipa berasal dari kata aji yang berarti ilmu dan dipa yang artinya rata (papak). Makna Aji Dipa yaitu ilmu papak atau ilmu yang sama, yang mengacu pada ilmu kejiwaan tentang asal-usul manusia dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.[1]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Ajaran Aji Dipa pertama kali diterima oleh Mei Kartawinata di kawasan hutan di daerah Subang. Ia menerima petunjuk mengenai ilmu tentang kebatinan atau kejiwaan, ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, dan keadilan. Ilmu ini dilanjutkan oleh Aji Suja'i yang kemudian mendirikan organisasi Aji Dipa di Bandung pada 11 April 1979. Anggotanya tersebar hingga Subang, Pamanukan, Sumedang, Majalengka, Indramayu, serta Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ajaran[sunting | sunting sumber]

Organisasi Aji Dipa mengajarkan hubungan dengan Tuhan, sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Dengan Tuhan, warga Aji Dipa wajib menghayati dan mensyukuri nikmat yang diberikan dan memelihara rasa ingat (eling) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sesama, mampu menumbuhkembangkan sikap toleransi bagi yang berbeda keyakinan, atas dasar pengertian bahwa memandang orang lain bagaikan memandang diri sendiri. Terhadap diri sendiri, setiap warga senantiasa harus memelihara kesehatan badan dan menyayangi diri sendiri (nyaah ka diri). Berkaitan dengan alam semesta, setiap warga harus menjaga, memelihara, dan melestarikan alam karena pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Dalam pengertian yang lebih medalam, antar Tuhan, alam, dan manusia merupakan tri tunggal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan dunia ini.

Ritual[sunting | sunting sumber]

Setiap warga Aji Dipa yang melakukan semadi (mujasemedi) harus dilakukan di tempat yang bersih dan rapi, serta lebih utama dilakukan sesudah dan sebelum tidur. Mujasemedi dilakukan dengan menghadap ke timur dengan posisi duduk bersila sambil bersedekap sehingga tetap utuh dalam kesadaran tentang wiwitan atau asal-usul kita lahir di dunia.

Pengakuan pemerintah Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mencatat 187 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia, salah satunya adalah Aji Dipa dari Jawa Barat.[2] Pencatatan ini berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi soal uji materi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-undang Administrasi Kependudukan yang memberi hak bagi penghayat kepercayaan mengisi kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai kepercayaan masing-masing.[2]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Indonesia. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (2006). Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. [Jakarta]: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. hlm. 76–77. ISBN 9789791607117. OCLC 424338489. 
  2. ^ a b Jawa Pos (2017). "Ada 187 Penghayat Kepercayaan, Sunda Wiwitan Justru Tak Terdaftar". Jawa Pos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 September 2019. Diakses tanggal 21 September 2019.