Anggayuh Panglereming Nafsu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anggayuh Panglereming Nafsu adalah organisasi yang mempunyai tujuan untuk menolong sesama dan penjagaan diri. Organisasi ini berdiri pada tanggal 15 Agustus 1972 di desa Kedung Dowo Kecamatan wates Kabupaten Kulon Progo Daerah istimewa Yogyakarta. Organisasi ini tidak bisa lepas dari keberadaan Moh. Sujangkar dan Moh. Subur Zein, karena dua orang inilah yang memberi nama organisasi ini. Nama organisasi ini berasal dari wangsit yang pertama kali diterima mereka. Wangsit itu berupa pernyataan, bahwa manusia tanpa nafsu adalah bukan manusia.

Organisasi ini memiliki lambang yang berbentuk bulatan 3 yang di dalamnya terdapat gambar trisula dan pohon beringin. Antara bulatan kedua dan ketiga terdapat tulisan Anggayuh Panglereming Nafsu. Lambang organisasi ini mempunyai makna kesadaran berketuhanan Yang Maha Esa dalam kesucian batin. Trisula bermata tajam 2 mengandung makna wujud dari tajamnya cipta dan karsa sedangkan tengah bermata tumpul mengandung makna sebagai rasa untuk penengah atau pengendali. Pada lambang juga terdapat pegangan yang bertingkat 5 sebagai wujud keutuhan dan pohon beringin sebagai lambang pengayoman atau perlindungan. Gambar samudra yang berwarna biru adalah melambangkan kebesaran jiwa dan bumi melambangkan semangat semangat atau kemauan, udara/hawa melambangkan kehidupan, garis-garis hiatam adalah lambang dari wujud kesadaran manusia untuk mencapai penerangan jiwa.[1]

Organisasi ini pada awalnya merupakan sebuah paguyuban yang bersifat persaudaraan karena anggotanya terdiri dari para kerabat dekat saja. Tetapi dalam berjalannya waktu, banyak masyarakat di lingkungan tersebut yang tertarik untuk mempelajari ilmunya, sehingga berubah menjadi sebuah organisasi. sampai saat ini anggotanya mencapai 4.674 orang dan memiliki cabang di DKI Jakarta, Lampung dan Yogyakarta. Organisasi ini dipimpin oleh Moh. Rusli Zein dibantu Supriyanto sebagai sekretaris dan Nurkrispariyanti sebagai bendahara dan Moh. Rusli sebagai penasehat.

Bapak Subardjo Zein sebagai penerima ajaran Anggayuh Panglereming Nafsu adalah seorang yatim piatu dari tiga bersaudara. Sebagai anak sulung dia harus banyak prihatin mengurangi makan dan tidur selama lebih kurang 2 tahun. Ketika sedang menjalani laku prihatin, Bapak Subardjo Zein menerima wangsit yang tidak diketahui dari mana asalnya. Wangsit itu dinamakan empat sekawan, yang dikenal dengan empat kiblat lima pancer, yaitu Kiblat Lor bernama macan putih, Kiblat Kidul (selatan) bernama Gajah Kelana Putih, Kiblat Timur bernama kera putih dan Kiblat Barat bernama Mawas Putih.

Ajaran ini diambil dari Tritunggal yang tidak ada putusannya. Cipta tengah disebut Panca raga, Raga Jiwa atas disebut Kumayan sajatining urip. . Dari yang paling bawah sampai yang paling atas memerlukan penjabaran lebih kurang ada 50 macam ajaran. Biasanya Kumayan Sajatining urip diajarkan kepada orang yang sudah dewasa. Dari Tri tunggal ke Panca Raga ada tiga kebatinan, dan dari Panca raga ke Kumayan Sajatining Urip ada ilmu kejiwaan.

Organisasi Anggayuh Panglereming Nafsu antara lain mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, diri sendiri dan alam semesta. Pada ajaran ini terdapat pemahaman bahwa semua manusia adalah milik Tuhan, semua potensi yang ada pada diri manusia berupa akal pikiran, budi daya, budi pekerti, semuanya adalah hasil anugerah dan ciptaan tuhan yang maha esa. Oleh karena itu, manusia tidak boleh bersikap sombong, congkak, takabur dan mengaku bahwa setiap keberhasilan adalah hasil usahanya. Setiap warga wajib mensyukuri akan anugerah Tuhan yang lebih besar yang tiada bandingannya.

Pada organisasi ini diajarkan rasa eling dan taat menjalani kaidah-kaidah-Nya, yang baik dijalankan dan yang buruk ditinggalkan, harus mawas diri dan berbudi luhur. Terhadap sesama manusia organisasi ini mengajarkan agar mempunyai rasa acinta kasih, saling tolong menolong dengan sesama manusia tanpa mengharapkan imbalan. Diajarkan pula untuk menciptakan keserasian, keselarasan, dan keseimabngan hubungan manusia dengan sesama, dengan Tuhan dan dengan alam.

Dalam hubungannya dengan alam, diajarkan bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. alam semesta ikut membentuk dan membangun adanya hidup yang sempurna. untuk itu, manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk menjaga, merawat dan melestarikan demi kelangsungan hidupnya agar dapat diperoleh hidup dan kehidupan yang serasi dengan alam.

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. [Jakarta]: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2006. ISBN 9789791607117. OCLC 424338489.