Lompat ke isi

Komisi Yudisial Republik Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Komisi Yudisial)
Komisi Yudisial
Republik Indonesia
Gambaran umum
Didirikan2 Agustus 2005
Dasar hukumUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
Jenis perkaraPelanggaran kode etik hakim
Jumlah perkara masuk2.337 laporan pengaduan (tahun 2020)
LokasiJakarta
Pimpinan
KetuaProf. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D.
Wakil KetuaDr. Hj. Siti Nurdjanah, S.H., M.H.
AnggotaDrs. M. Taufiq HZ, M.HI
(Ketua Bidang Rekrutmen Hakim)
AnggotaSukma Violetta, S.H., LL.M.
(Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim)
AnggotaBinziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D.
(Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan)
AnggotaDr. Joko Sasmito, S.H., M.H.
(Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi)
AnggotaProf. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum
(Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi)
Anggota
Jumlah jabatan7 orang
Sistem seleksiTerdiri dari mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat yang disahkan oleh presiden, mereka merupakan pejabat negara.
Sekretaris Jenderal
Arie Sudihar, S.H., M.Hum.
Situs Web
http://www.komisiyudisial.go.id/

Komisi Yudisial Republik Indonesia atau cukup disebut Komisi Yudisial (disingkat KY RI atau KY) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.[1] Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial sebagai hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Indonesia yang diratifikasi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia MPR pada tanggal 09 November tahun 2001. Tugas Komisi ialah membantu kinerja hakim, memberi nasihat Dewan Perwakilan Rakyat tentang penunjukan hakim dan meninjau keluhan masyarakat tentang perilaku dan keadilan hakim ketua dalam pelaksanaan persidangan.[2]

Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir tahun 1998. Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut merupakan wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya yang dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.

Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD 1945.

Kondisi peradilan menjadi salah satu fokus pembahasaan MPR RI, sehingga perlu diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Mengutip TAP tersebut digambarkan kondisi hukum sebagai berikut:

Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah

Beberapa agenda kebijakan mulai digagas, seperti pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dan pemisahan secara tegas antara fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum. Untuk merealisasikan hal tersebut, terdapat perubahan penting dalam tubuh kekuasaan kehakiman melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Salah satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan aspek organisasi, administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Sebelumnya, secara administratif, ketiganya ada di bawah kendali Departemen Kehakiman. Sementara itu, ketiganya, secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan penyatuatapan kekuasaan kehakiman (one roof of justice system).

Kehadiran sistem tersebut bukan tanpa kekhawatiran. Menyadur naskah akademis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, penyatuatapan–tanpa perubahan sistem lainnya misalnya rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim–berpotensi melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman.

Selain itu, ada pula kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung belum mampu menjalankan tugas barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi yang sampai saat ini masih dalam upaya perbaikan. Alasan lain ialah gagalnya sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik, sehingga penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Pertimbangan itu membuat ahli dan pengamat hukum mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi tugas menjalankan fungsi checks and balances. Kehadiran lembaga pengawas peradilan diharapkan agar kinerja pengadilan transparan, dipertanggungjawabkan, imparsial, dan mengedepankan aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Gagasan Pembentukan Penegak Etik Hakim

[sunting | sunting sumber]

Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH).

MPPH yang telah diwacanakan sejak tahun 1968, berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.

Barulah ide pembentukan Komisi Yudisial mulai terealisasi pada tahun 1999, setelah Presiden B.J. Habibie membentuk panel diskusi mengkaji pembaharuan UUD 1945. Istilah Komisi Yudisial sendiri dikemukakan oleh Hakim Agung Iskandar Kamil. Ia ingin agar kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim terjaga. Kemudiannama Komisi Yudisial secara eksplisit mulai disebut saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Maka, secara resmi nama Komisi Yudisial tercantum dalam Pasal 24B UUD 1945 yang merupakan hasil amendemen ketiga.

Berdasarkan Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara bersifatmandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kemudian pada 13 Agustus 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan. Implementasi dari undang-undang tersebut, pemerintah membentuk panitia seleksi untuk mengisi organ Komisi Yudisial dengan memilih tujuh orang yang ditetapkan sebagai Anggota Komisi Yudisial.

Periode 2005 - 2010

[sunting | sunting sumber]

Meski pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 telah dilakukan pada 13 Agustus 2004, kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak terbentuknya organisasi pada 2 Agustus 2005, ditandai dengan pengucapan sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Periode tersebut dipimpin Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M. Hum, dan Wakil Ketua M. Thahir Saimima, S.H., M.Hum. Anggota yang lain adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung), Zaenal Arifin, S.H.(Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto, S.H., L.LM. (Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais,S.H., M.H. (Alm; Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia), dan Irawady Jonoes,S.H. (Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskan jabatan hingga masa jabatan berakhir.

Kemudian secara bertahap, Komisi Yudisial melengkapi kebutuhan organisasi dengan membentuk Sekretariat Jenderal untuk memberikan dukungan teknis administratif yang dipimpin Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si. sebagai Sekretaris Jenderal.

Sebagai organisasi baru, pada awal masa menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Yudisial masih dengan kondisi yang memprihatinkan. Pada saat Komisi Yudisial terbentuk, lembaga negara ini belum memiliki kantor untuk menjalankan aktivitasnya. Awalnya, Komisi Yudisial menumpang sebuah ruangan milik Departemen Hukum dan HAM dengan sarana dan prasarana seadanya. Setelah itu Komisi Yudisial pindah kantor dengan menyewa dua lantai sebuah gedung di jalan Abdul Muis. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Komisi Yudisial baru menempati gedung sendiri di Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat sejak Agustus 2009.

Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi amanat untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang menyesakan dada.

Sebanyak 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (atau Mahkamah Keluarga) Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.

Sejak Mahkamah Konstitusi mempreteli wewenang Komisi Yudisial melalui putusannya yang keluar pada tahun 2006, Komisi Yudisial dan sejumlah elemen bangsa yang mendukung peradilan yang bersih, transparan, dan dapat dipercaya melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan peran Komisi Yudisial. Salah satu upayanya adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Sayangnya, hingga akhir periode pertama kepemimpinan Anggota Komisi Yudisial tahun 2005-2010, upaya merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tersebut belum berhasil.

Periode 2010 - 2015

[sunting | sunting sumber]

Setelah Anggota Komisi Yudisial periode 2005–2010 menyelesaikan masa jabatannya, terpilihlah Anggota Komisi Yudisial periode 2010–2015 yang terdiri dari Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., Dr. H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum., Dr.Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.,Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si., Dr. H.Abbas Said, S.H., M.H., Dr. Jaja Ahmad Jayus, S,H., M.H., dan Dr. Ibrahim, S.H.,L.LM. dengan mengucap sumpah di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.

Melalui tahap pemilihan secara terbuka dan demokratis, kepengurusan Komisi Yudisial jilid II ini dipimpin oleh Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan Dr. H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial. Sementara Dr.Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. dipercaya sebagai Ketua Bidang Rekrutmen Hakim,Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si. sebagai Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi, Dr. H.Abbas Said, S.H., M.H. sebagai Ketua Bidang Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat, Dr. Jaja Ahmad Jayus, S,H., M.H. sebagai Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, dan Dr. Ibrahim, S.H., L.LM. sebagai Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan Komisi Yudisial, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial dijalankan selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6 bulan berikutnya. Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum. mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Desember 2010 – Juni 2013 pada 30 Juni 2013. Keduanya telah memimpin Komisi Yudisial selama 2,5 tahun sejak terpilih pada 30 Desember 2010 lalu. Setelah diadakan pemilihan kembali secara terbuka dan demokratis untuk menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Juli 2013 – Desember 2015, terpilihlah Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si. sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Dr. H.Abbas Said, S.H., M.H. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial.

Sementara Dr.Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. dipercaya sebagai Ketua Bidang Rekrutmen Hakim; Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. sebagai Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi;Dr. H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum sebagai Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi; Dr. Jaja Ahmad Jayus, S,H., M.H. sebagai Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, dan Penelitian dan Pengembangan; dan Dr. Ibrahim, S.H.,L.LM sebagai Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim.

Pada 1 April 2013, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si memutuskan pensiun dini. Selama masa kekosongan posisi itu, Komisioner Komisi Yudisial menunjuk Ir. Andi Djalal Latief, M.S. sebagai (Plt) Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial. Setelah melewati proses seleksi sekretaris jenderal, akhirnya Danang Wijayanto, Ak., M.Si dilantik sebagai Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial oleh Ketua Komisi Yudisial Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. pada 29 Agustus 2013 di Auditorium Komisi Yudisial, Jakarta. Penunjukan akhirnya Danang Wijayanto, Ak., M.Si dalam jabatan Eselon IA dengan pangkat Pembina Utama Muda IV-C berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 96/M/2013 tertanggal 23 Agustus 2013.

Periode 2015 - 2020

[sunting | sunting sumber]

Pimpinan dan Anggota Komisi Yudisial Periode 2010-2015 ini mengakhiri masa tugasnya pada 18 Desember 2015 dan diteruskan oleh Anggota Komisi Yudisial Periode 2015-2020. Lima Anggota Komisi Yudisial Periode 2015 – 2020, yaitu Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H., Dr. Sumartoyo, S.H., M.Hum., Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H., Sukma Violetta, S.H., LL.M., dan Dr. Farid Wajdi, S.H., M.Hum. mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat, 18 Desember 2015. Kemudian menyusul dua Anggota Komisi Yudisial lainnya, yaitu Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum dan Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat, 12 Februari 2016.

Pada paruh waktu pertama ini, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum terpilih sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Sukma Violetta, S.H., LL.M. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial. Kemudian Pimpinan Komisi Yudisial Paruh Kedua Periode 2015-2020 adalah Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial.

Periode 2020 - 2025

[sunting | sunting sumber]

Estafet kepemimpinan Komisi Yudisial diteruskan saat Anggota Komisi Yudisial masa jabatan tahun 2020-2025 melakukan pembacaan sumpah disaksikan Presiden Joko Widodo pada Senin (21/12) di Istana Negara, Jakarta. Pengangkatan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131/P tahun 2020 tentang Pemberhentian dengan Hormat Anggota Komisi Yudisial Masa Jabatan Tahun 2015-2020 dan Pengangkatan Anggota Komisi Yudisial Masa Jabatan Tahun 2020-2025.

Anggota Komisi Yudisial Periode 2020-2025, yaitu: Drs. H. M. Taufiq HZ M.H.I., Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H., Sukma Violetta, S.H. LL.M., Binziad Kadafi, S.H., LL.M, Ph.D, Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M, Ph.D, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. dan Dr. Siti Nurdjanah, S.H., M.H.

Penguatan Kewenangan

[sunting | sunting sumber]

Usaha untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang dirintis sejak masa kepemimpinan Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum mulai membuahkan hasil di bawah kepemimpinan Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. Komisi Yudisial memiliki amunisi baru dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9 November 2011. Kelahiran Undang – Undang ini menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial.

Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagiKomisi Yudisial, antara lain: melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.

Disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, kembali terjadi permohonan uji materiil terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Kemudian pada 9 Februari 2012, majelis hakim di Mahkamah Agung, yang diketuai oleh Paulus Effendie Lotulung, memutuskan perkara Nomor: 36 P/HUM/2011 bahwa mengabulkan permohonan dan poin-poin penerapan dalam pasal 8 dan 10 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Artinya butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan di tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kemudian untuk lebih menjalin komunikasi yang lebih intens dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung mulai membentuk Tim Penghubung yang berfungsi sebagai jembatan untuk mencapai titik temu dan mencairkan hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. Gagasan adanya Tim Penghubung ini berawal dari pertemuan pimpinan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Agung pada awal Desember 2011. Tim Penghubung dilandasi semangat kerja untuk mendekatkan dan menyamakan pandangan dan penafsiran tugas kedua lembaga.

Setelah melewati proses dan koordinasi panjang, lahirlah empat Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Yudisial Periode Desember 2010 – Juni 2013, Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan Ketua Mahkamah Agung Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. pada 27 September 2012. Keempat Peraturan Bersama tersebut berisi tentang Seleksi Pengangkatan Hakim, Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Batal Membentuk Panel Ahli dan MKHK

[sunting | sunting sumber]

Di tengah upaya melakukan reformasi penegakan hukum di Indonesia, terjadi peristiwa kelam yang menjadi preseden buruk bagi lembaga peradilan, yaitu Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak pada Rabu, 2 Oktober 2013 silam.

Peristiwa ini seakan menguatkan agar hakim konstitusi diawasi oleh sebuah lembaga permanen yang berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku Hakim Konstitusi. Sayangnya, sejak Mahkamah Konstitusi berdiri, belum ada satu lembaga atau komisi pun yang berwenang mengawasi hakim konstitusi. Awalnya, Komisi Yudisial memiliki kewenangan mengawasi hakim konstitusi. Namun, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam rangka penyelamatan wibawa MK. Perpu Nomor 01 Tahun 2013 tersebut mengamanatkan dua kewenangan baru Komisi Yudisial (KY), yaitu membentuk panel ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK. Kemudian DPR mengesahkan Perppu MK itu menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang Undang tertanggal 19 Desember 2013.

Namun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 diuji materi oleh gabungan advokat dan konsultan hukum yang menamakan Forum Pengacara Konstitusi serta sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang melakukan uji materi UU Nomor 4 Tahun 2014 dengan perkara nomor 1-2/PUU-XII/2014. Dalam sidang pembacaan putusan yang dilakukan delapan hakim konstitusi di ruang sidang MK yang diketuai oleh Hamdan Zoelva pada 13 Februari 2014 sore terungkap, majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan pemohon yang dicantumkan dalam pengajuan uji materi undang-undang tersebut.

Berdasarkan uji materi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang tersebut juga diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 berlaku kembali sebagai landasan hukum. Sehingga, terhadap pembentukan MKHK dan Panel Ahli Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Konstitusi menjadi tidak berlaku.

Dasar Hukum

[sunting | sunting sumber]
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    • Pasal 24A ayat (3): Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
    • Pasal 24B:
      1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
      2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
      3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
      4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
  4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.
  5. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
  6. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  7. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

Tujuan Pembentukan

[sunting | sunting sumber]

Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah:

  • Mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan.
  • Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
  • Peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
  • Terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim.
  • Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas KKN.

Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:[3]

  1. Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
  2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
  3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
  4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
  5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah:[3]

  1. Melakukan pengawasan yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya pengawasan secara internal saja. Pengwasan secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
  2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis nonhukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
  3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekrutmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
  4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
  5. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

Wewenang dan Tugas

[sunting | sunting sumber]

Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang sebagai berikut:

  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
  2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
  3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
  4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:

  1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
  2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
  3. Menetapkan calon hakim agung; dan
  4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:

  1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
    • Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
    • Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
    • Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
    • Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
    • Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
  2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
  3. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
  4. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota). Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Susunan keanggotaan saat ini

Berikut susunan keanggotaan Komisi Yudisial saat ini (periode 2023–2025 paruh kedua) [4]

Jabatan Nama
Ketua Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M, Ph.D
Wakil Ketua Dr. Siti Nurdjanah, S.H., M.H.
Ketua Bidang Bidang Rekrutmen Hakim Drs. H. M. Taufiq HZ M.H.I.
Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H.
Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Binziad Kadafi, S.H., LL.M, Ph.D
Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim Sukma Violetta, S.H. LL.M.
Bidang Hubungan Antarlembaga dan Layanan Informasi Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

Sekretariat Jenderal

[sunting | sunting sumber]

Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan Komisi Yudisial. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan teknis operasional kepada Komisi Yudisial.[5]

  1. ^ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. ^ "Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-05-24. Diakses tanggal 2014-12-04. 
  3. ^ a b A. Ahsin Thohari (2004), Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta ISBN 979-8981-35-9
  4. ^ "KY | Profil Anggota Komisi Yudisial Paruh II Periode Juli 2023-Desember 2025". www.komisiyudisial.go.id. Diakses tanggal 2023-11-06. 
  5. ^ "Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-15. Diakses tanggal 2014-12-04. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]