Rabies: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
RianHS (bicara | kontrib)
Mengembangkan bagian "Manifestasi klinis"
Baris 224: Baris 224:
=== Cara penularan ===
=== Cara penularan ===
Dalam tubuh individu terinfeksi, virus ditemukan di air liur serta jaringan [[otak]] dan [[jaringan saraf]].<ref name="CDCtransmit">{{cite web|title=How is rabies transmitted?|url=https://www.cdc.gov/rabies/transmission/index.html|publisher=[[Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit]] (CDC)|access-date=25 Desember 2019}}</ref> Individu lain yang sehat dapat terinfeksi saat virus rabies masuk ke dalam tubuhnya melalui kulit yang terluka atau [[membran mukosa]] di mata, hidung, dan mulut.<ref name="CDCtransmit"/> Cara penularan yang paling sering terjadi adalah gigitan hewan terinfeksi. Di Indonesia, sebagian besar penularan rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing (98%) dan sisanya oleh kera dan kucing.{{sfnp|Kemenkes|2014|p=1}} Selain gigitan, virus rabies juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui luka cakaran hewan apabila pada [[cakar]] hewan terdapat air liur yang mengandung virus. Partikel virus dapat ditemukan pada air liur sejak beberapa hari sebelum hewan menunjukkan tanda klinis rabies.{{sfnp|OIE|2014|p=2}}
Dalam tubuh individu terinfeksi, virus ditemukan di air liur serta jaringan [[otak]] dan [[jaringan saraf]].<ref name="CDCtransmit">{{cite web|title=How is rabies transmitted?|url=https://www.cdc.gov/rabies/transmission/index.html|publisher=[[Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit]] (CDC)|access-date=25 Desember 2019}}</ref> Individu lain yang sehat dapat terinfeksi saat virus rabies masuk ke dalam tubuhnya melalui kulit yang terluka atau [[membran mukosa]] di mata, hidung, dan mulut.<ref name="CDCtransmit"/> Cara penularan yang paling sering terjadi adalah gigitan hewan terinfeksi. Di Indonesia, sebagian besar penularan rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing (98%) dan sisanya oleh kera dan kucing.{{sfnp|Kemenkes|2014|p=1}} Selain gigitan, virus rabies juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui luka cakaran hewan apabila pada [[cakar]] hewan terdapat air liur yang mengandung virus. Partikel virus dapat ditemukan pada air liur sejak beberapa hari sebelum hewan menunjukkan tanda klinis rabies.{{sfnp|OIE|2014|p=2}}

Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan berpindah melalui saraf untuk menuju [[sumsum tulang belakang]] dan otak dan bereplikasi di sana. Selanjutnya, virus akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan lain, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Lamanya [[masa inkubasi]] (periode sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga timbulnya manifestasi klinis) cukup bervariasi, tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka, jumlah dan kedalaman luka, jarak luka dengan susunan saraf pusat, dan perlakuan luka setelah gigitan.{{sfnp|Dirkeswan|2014|p=85}} Penelitian di [[Bali]] pada 122 kasus gigitan HPR menunjukkan bahwa lokasi gigitan anjing rabies terbanyak ditemukan di kaki (52%), tangan (32%), badan (6%), dan kepala (4%).{{sfnp|Suatha dkk.|2015}} Rerata kematian timbul setelah 19 hari pada gigitan wajah, 83 hari pada badan, 122 hari pada tangan, dan 166 hari pada kaki.{{sfnp|Suatha dkk.|2015}} Semakin dekat lokasi gigitan dengan kepala, maka semakin cepat waktu kematian setelah gigitan.{{sfnp|Suatha dkk.|2015}}


Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan secara [[aerosol]] dengan cara menghirup udara yang tercemar virus rabies. Pada tahun 1962 dilaporkan kasus rabies pada dua orang penjelajah gua setelah mereka memasuki Gua Frio di [[Texas]], [[Amerika Serikat]] yang ditempati kelelawar terinfeksi.{{sfnp|Constantine|1962}} Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.{{sfnp|Constantine|1962}}
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan secara [[aerosol]] dengan cara menghirup udara yang tercemar virus rabies. Pada tahun 1962 dilaporkan kasus rabies pada dua orang penjelajah gua setelah mereka memasuki Gua Frio di [[Texas]], [[Amerika Serikat]] yang ditempati kelelawar terinfeksi.{{sfnp|Constantine|1962}} Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.{{sfnp|Constantine|1962}}
Baris 233: Baris 231:
== Manifestasi klinis ==
== Manifestasi klinis ==
[[Berkas:Rabies patient.jpg|jmpl|250px|Seorang penderita rabies pada tahun 1959]]
[[Berkas:Rabies patient.jpg|jmpl|250px|Seorang penderita rabies pada tahun 1959]]
Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh, penyakit rabies berjalan melalui lima fase atau stadium: (1) masa inkubasi (2) fase prodomal; (3) fase neurologis; (4) koma; dan (5) kematian.<ref name="Statpearls">{{Cite book|url=http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448076/|title=Rabies|last=Koury|first=Ron|last2=Warrington|first2=Steven J.|date=2019|publisher=StatPearls Publishing|year=|isbn=|location=Treasure Island, [[Florida]]|pages=|pmid=28846292|url-status=live}}</ref> Pendapat lain membagi fase penyakit rabies menjadi tiga, yaitu prodomal, eksitasi, dan paralisis.{{sfnp|Yousaf dkk.|2012}}
Pada manusia, masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari hingga beberapa tahun (biasanya 2-3 bulan; jarang lebih dari 1 tahun).{{sfnp|WHO|2018|p=18}} Sebagian besar hewan terinfeksi akan menunjukkan tanda rabies dalam 6 bulan setelah terpapar virus sehingga [[Organisasi Kesehatan Hewan Dunia]] (OIE) menetapkan 6 bulan sebagai masa inkubasi penyakit rabies pada hewan.{{sfnp|OIE Code|2019|p=1}} Gejala pertama yang timbul adalah [[nyeri]] neuropatik di lokasi gigitan.{{sfnp|WHO|2018|p=18}} Hal ini disebabkan oleh replikasi virus dan reaksi [[radang]]. Penyakit rabies—baik pada manusia maupun hewan—dapat termanifestasi dalam bentuk ganas (''furious'') maupun bentuk paralitik. Gejala sakit yang akan dialami meliputi 4 stadium:


;Masa inkubasi
=== Stadium prodromal ===
:Lamanya [[masa inkubasi]] (periode sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga timbulnya manifestasi klinis) cukup bervariasi, tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka, jumlah dan kedalaman luka, jarak luka dengan susunan saraf pusat, dan perlakuan luka setelah gigitan.{{sfnp|Dirkeswan|2014|p=85}} Pada manusia, masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari hingga beberapa tahun (biasanya 2-3 bulan; jarang lebih dari 1 tahun).{{sfnp|WHO|2018|p=18}} Sebagian besar hewan terinfeksi akan menunjukkan tanda rabies dalam 6 bulan setelah terpapar virus sehingga [[Organisasi Kesehatan Hewan Dunia]] (OIE) menetapkan 6 bulan sebagai masa inkubasi penyakit rabies pada hewan.{{sfnp|OIE Code|2019|p=1}}
Dalam stadium prodomal sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya yang meliputi [[demam]], sulit makan yang menuju taraf [[anoreksia]], [[pusing]] dan pening (''nausea''), dan lain sebagainya.


;Fase prodromal
=== Stadium sensoris ===
:Pada fase prodomal (awal), gejala yang timbul tidak khas dan menyerupai infeksi pada umumnya seperti [[demam]], gangguan pencernaan, dan [[mialgia]].<ref name="Statpearls"/>
Dalam stadium sensoris penderita umumnya akan mengalami rasa [[nyeri]] pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur ([[hipersalivasi]]), [[dilatasi]] [[pupil]], [[hiperhidrosis]], [[hiperlakrimasi]].


;Fase neurologis
=== Stadium eksitasi ===
:Pada fase ini, tanda-tanda gangguan saraf mulai terlihat. Penyakit rabies—baik pada manusia maupun hewan—dapat termanifestasi dalam bentuk ganas (''furious rabies''), bentuk paralitik (''dumb rabies''), maupun bentuk nonklasik sebagaimana berikut:<ref name="Statpearls"/>
Pada stadium eksitasi penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara ([[aerofobia]]), ketakutan pada [[cahaya]] ([[fotofobia]]), dan ketakutan air ([[hidrofobia]]). Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah [[otak]] yang mengatur proses menelan dan pernapasan. Hidrofobia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa [[sakit]] yang luar biasa di kala berusaha menelan air.
:* Bentuk ganas terjadi pada sekitar 85% kasus yang ditandai dengan [[ensefalitis]]. Penderita mungkin [[kejang]] dan menunjukkan ketakutan pada air ([[hidrofobia]]) dan pada udara ([[aerofobia]]). Hidrofobia terutama timbul akibat rasa sakit dan kejang saat hendak menelan air. Selain gejala saraf, penderita bisa menjadi agresif, [[hiperaktif]], dan [[hipersalivasi]].
:* Bentuk paralisis terjadi pada kurang dari 20% kasus. Penderita mengalami kelumpuhan, kelemahan umum, dan gangguan mental.
:* Bentuk yang dianggap nonklasik jarang terjadi. Umumnya terkait dengan kejang dan gejala motorik dan sensorik yang lebih dalam.


;Koma dan kematian
=== Stadium paralitik ===
: [[Koma]] biasanya dimulai 10 hari setelah fase sebelumnya.<ref name="Statpearls"/> Penderita mungkin mengalami hidrofobia berkelanjutan, periode [[apnea]] berkepanjangan, dan kelumpuhan yang lembek. Setelah koma, sebagian besar pasien akan mati dalam 2-3 hari tanpa perawatan suportif akibat gagal jantung. Dengan perawatan suportif, hampir nol pasien yang mampu selamat dari rabies.<ref name="Statpearls"/>
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif. Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat maka umumnya keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. Gejala-gejala yang tampak jelas pada penderita di antaranya adanya nyeri pada [[luka]] bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta [[suara]] yang keras.Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gelaja yang tampak adalah dari jinak menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta [[ekor]] dilengkungkan di bawah [[perut]].
Penelitian di [[Bali]] pada 122 kasus gigitan HPR menunjukkan bahwa lokasi gigitan anjing rabies terbanyak ditemukan di kaki (52%), tangan (32%), badan (6%), dan kepala (4%).{{sfnp|Suatha dkk.|2015}} Rerata kematian timbul setelah 19 hari pada gigitan wajah, 83 hari pada badan, 122 hari pada tangan, dan 166 hari pada kaki.{{sfnp|Suatha dkk.|2015}} Semakin dekat lokasi gigitan dengan kepala, maka semakin cepat waktu kematian setelah gigitan.{{sfnp|Suatha dkk.|2015}}


== Diagnosis ==
== Diagnosis ==
Baris 313: Baris 315:
* {{citation|last1=Wirata|first1=I.K.|last2=Berata|first2=I.K.|last3=Puja|first3=I.K.|title=Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik Imunohistokimia Rabies|year=2014|url=https://ojs.unud.ac.id/index.php/jikh/article/view/13537|journal=Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan|volume=2|issue=1|pp=49-59|ref=harv}}
* {{citation|last1=Wirata|first1=I.K.|last2=Berata|first2=I.K.|last3=Puja|first3=I.K.|title=Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik Imunohistokimia Rabies|year=2014|url=https://ojs.unud.ac.id/index.php/jikh/article/view/13537|journal=Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan|volume=2|issue=1|pp=49-59|ref=harv}}
* {{cite journal|last1=Wirblich|first1=C.|last2=Tan|first2=G.S.|last3=Papaneri|first3=A.|last4=Godlewski|first4=P.J.|last5=Orenstein|first5=J.M.|last6=Harty|first6=R.N.|last7=Schnelle|first7=M.J.|year=2008|title=PPEY Motif within the Rabies Virus (RV) Matrix Protein is Essential for Efficient Virion Release and RV Pathogenicity|journal=J. Virol.|volume=82|issue=19|pages=9730|url=http://jvi.asm.org/cgi/reprint/82/19/9730?maxtoshow=&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=rabies+rhabdoviridae&searchid=1&FIRSTINDEX=0&resourcetype=HWCIT|format=PDF|ref={{sfnRef|Wirblich dkk.|2008}}}}
* {{cite journal|last1=Wirblich|first1=C.|last2=Tan|first2=G.S.|last3=Papaneri|first3=A.|last4=Godlewski|first4=P.J.|last5=Orenstein|first5=J.M.|last6=Harty|first6=R.N.|last7=Schnelle|first7=M.J.|year=2008|title=PPEY Motif within the Rabies Virus (RV) Matrix Protein is Essential for Efficient Virion Release and RV Pathogenicity|journal=J. Virol.|volume=82|issue=19|pages=9730|url=http://jvi.asm.org/cgi/reprint/82/19/9730?maxtoshow=&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=rabies+rhabdoviridae&searchid=1&FIRSTINDEX=0&resourcetype=HWCIT|format=PDF|ref={{sfnRef|Wirblich dkk.|2008}}}}
* {{Cite journal|last=Yousaf|first=Muhammad Zubair|last2=Qasim|first2=Muhammad|last3=Zia|first3=Sadia|last4=Rehman Khan|first4=Muti ur|last5=Ashfaq|first5=Usman Ali|last6=Khan|first6=Sanaullah|date=21 Februari 2012|year=|title=Rabies molecular virology, diagnosis, prevention and treatment|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3307483/|journal=Virology Journal|volume=9|issue=|pages=50|doi=10.1186/1743-422X-9-50|issn=1743-422X|pmc=3307483|pmid=22348291|ref={{sfnRef|Yousaf dkk.|2012}}}}
{{refend}}
{{refend}}



Revisi per 26 Desember 2019 08.08

Salah satu ciri anjing yang terkena rabies adalah terus-menerus mengeluarkan air liur.

Rabies atau penyakit anjing gila[1] adalah penyakit infeksi akut pada sistem saraf mamalia (termasuk manusia) yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini sangat mematikan dan bersifat zoonotik atau menular dari hewan ke manusia. Penularan terjadi akibat partikel virus yang berada dalam air liur hewan terinfeksi berhasil masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan peka, misalnya melalui gigitan. Hewan yang menularkan rabies di antaranya anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Lebih dari 99% kematian manusia akibat rabies disebabkan oleh gigitan anjing.[2]

Sejarah

Etimologi

Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno "rabhas" yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan.[3] Dalam bahasa Yunani, rabies disebut "lyssa" atau "lytaa" yang artinya kegilaan.[3] Dalam bahasa Jerman, rabies disebut "tollwut" yang berasal dari bahasa Indo-Jermanik "dhvar" yang artinya merusak dan "wut" yang artinya marah.[3] Dalam bahasa Prancis, rabies disebut "rage" berasal dari kata benda "robere" yang artinya menjadi gila.[3]

Catatan sejarah

Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis sekitar tahun 2300 SM.[4] Sekitar 500 SM, Demokritos juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.[3]

Pada abad ke-4 SM, Aristoteles menulis pada Natural History of Animals edisi 8, bab 22:[3]

Hippokrates, Plutarkhos, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horatius, dan Ovidius adalah orang-orang yang pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya.[3] Celsius, seorang dokter pada zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing pada tahun 100 Masehi.[4] Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan infektivitas air liur anjing yang terkena rabies.[3] Para penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan materi infeksius tersebut sebagai racun, di mana "virus" adalah kata Latin bagi racun.[3]

Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yaitu cacing lidah anjing (dog tongue worm).[3] Untuk mencegah rabies pada masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung cacing dipotong.[3] Anggapan tersebut bertahan sampai abad ke-19, ketika akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi pada tahun 1885.[3][4] Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens langsung (direct immunofluorescent antibody) untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.[4]

Penyebab

Ilustrasi tiga dimensi bentuk virus rabies.
Tampilan Australian bat lyssavirus pada mikroskop transmisi elektron (TEM).

Rabies disebabkan oleh virus rabies yang digolongkan dalam filum Negarnaviricota, kelas Monjiviricetes, ordo Mononegavirales, keluarga Rhabdoviridae, dan genus Lyssavirus.[5] Virus ini dikelompokkan dalam grup V dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai tunggal dengan sense negatif. Karakter Rhabdoviridae yaitu beramplop, berbentuk seperti peluru, dan memiliki panjang 180 nm dan diameter 75 nm.[6]

Selain virus rabies (RABV), anggota Lyssavirus lainnya juga dapat mengakibatkan penyakit pada kelelawar yang serupa dengan rabies. Spesies virus yang ada dalam genus Lyssavirus dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Genus Lyssavirus: spesies dan nama virusnya[7][8]
Genus Spesies Nama virus (singkatan)
Lyssavirus Aravan lyssavirus Aravan virus (ARAV)
Australian bat lyssavirus Australian bat lyssavirus (ABLV)
Bokeloh bat lyssavirus Bokeloh bat lyssavirus (BBLV)
Duvenhage lyssavirus Duvenhage virus (DUVV)
European bat 1 lyssavirus European bat lyssavirus 1 (EBLV-1)
European bat 2 lyssavirus European bat lyssavirus 2 (EBLV-2)
Gannoruwa bat lyssavirus Gannoruwa bat lyssavirus (GBLV)
Ikoma lyssavirus Ikoma lyssavirus (IKOV)
Irkut lyssavirus Irkut virus (IRKV)
Khujand lyssavirus Khujand virus (KHUV)
Lagos bat lyssavirus Lagos bat virus (LBV)
Lleida bat lyssavirus Lleida bat lyssavirus (LLEBV)
Mokola lyssavirus Mokola virus (MOKV)
Rabies lyssavirus* Rabies virus (RABV)
Shimoni bat lyssavirus Shimoni bat virus (SHIBV)
West Caucasian bat lyssavirus West Caucasian bat virus (WCBV)

Keterangan: "*" menunjukkan spesies tipe.

Epidemiologi

Rabies ditemukan di seluruh dunia, kecuali Antarktika, dengan 95% kematian pada manusia terjadi di Asia dan Afrika.[9] Setiap tahun, hampir 59.000 orang meninggal dunia akibat rabies.[10] Gigitan anjing berkontribusi terhadap 99% kasus rabies pada manusia dan sekitar 40% orang yang digigit anjing terduga rabies merupakan anak berusia di bawah 15 tahun.[9]

Bentuk penyakit

Berdasarkan siklus epidemiologisnya, rantai penularan rabies digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu urban dan silvatik. Rabies bentuk urban bersirkulasi di tengah masyarakat dengan anjing sebagai hewan reservoir utama.[11] Siklus ini ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.[11] Sementara itu, rabies bentuk silvatik merupakan rabies yang bersirkulasi di alam liar, dengan hewan seperti kelelawar, rakun, dan rubah sebagai reservoir utama.[12] Rabies silvatik ditemukan di Amerika Utara dan Australia. Kombinasi keduanya juga bisa terjadi di beberapa wilayah di dunia.[11]

Status rabies di Indonesia

Di Indonesia, rabies pertama kali ditemukan pada seekor kuda pada tahun 1884, disusul temuan pada kerbau di tahun 1889, anjing di tahun 1890, dan manusia pada 1894.[13] Saat ini, terdapat beberapa wilayah yang secara resmi dinyatakan bebas dari rabies melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan).

No. Wilayah Bebas Rabies Tahun Penetapan Keterangan
1. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta[14] 1997 -
2. Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat[15] 2004 Pada tahun 2009 terjadi wabah di Provinsi Banten dan Jawa Barat[16] sehingga tinggal Provinsi DKI Jakarta yang tetap berstatus bebas rabies
3. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung[17] 2013 -
4. Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat[18] 2015 -
5. Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau[19] 2015 -
6. Provinsi Kepulauan Riau[20] 2015 -
7. Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu[21] 2015 -
8. Pulau Weh, Kota Sabang, Provinsi Aceh[22] 2016 -
9. Pulau Pisang, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung[23] 2016 -
10. Provinsi Nusa Tenggara Barat[24] 2017 Pada tahun 2019 terjadi wabah di Pulau Sumbawa[25] sehingga tinggal Pulau Lombok yang tetap berstatus bebas rabies
11. Pulau Tarakan, Nunukan, dan Sebatik, Provinsi Kalimantan Utara[26] 2018 -
12. Pulau Tabuan, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung[27] 2018 -
13. Provinsi Papua[28] 2019 -

Selain status bebas rabies, pemerintah juga menetapkan kawasan karantina dan pernyataan wabah di beberapa wilayah.

No. Wilayah Wabah dan Kawasan Karantina Tahun Penetapan Keterangan
1. Pulau Flores dan Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur[29] 2002 Penetapan kawasan karantina
2. Pulau Ambon dan Pulau Seram, Provinsi Maluku[30] 2004 Pernyataan berjangkitnya wabah
3. Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat[31] 2005 Pernyataan berjangkitnya wabah
4. Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara[32] 2005 Pernyataan berjangkitnya wabah
5. Kabupaten Badung, Provinsi Bali[33] 2008 Pernyataan berjangkitnya wabah
6. Provinsi Bali[34] 2008 Penetapan kawasan karantina
7. Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten[16] 2009 Pernyataan berjangkitnya wabah
8. Kota Gunungsitoli, Provinsi Sumatra Utara[35] 2010 Pernyataan berjangkitnya wabah
9. Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat[25] 2019 Pernyataan status situasi wabah

Penularan

Rubah merah (Vulpes vulpes), salah satu hewan penular rabies.

Hewan penular rabies

Walaupun semua mamalia rentan terhadap rabies, tetapi hanya sejumlah hewan yang dapat menularkan virus rabies. Kelompok ini disebut hewan penular rabies (HPR). Jenis HPR bervariasi pada berbagai letak geografis, misalnya HPR di Amerika Utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga; di Amerika Selatan yaitu anjing dan kelelawar vampir; di Eropa yaitu rubah dan kelelawar; di Afrika yaitu anjing, garangan, dan antelop; di Timur Tengah yaitu serigala dan anjing, dan di Asia yaitu anjing.[36] Secara garis besar, hewan pemakan daging (ordo karnivora) dan kampret (subordo microchiroptera) merupakan reservoir virus rabies yang umum di seluruh dunia.[37] Sementara jenis hewan yang dikategorikan sebagai HPR di Indonesia yaitu anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya (anggota ordo karnivora dan primata).

Cara penularan

Dalam tubuh individu terinfeksi, virus ditemukan di air liur serta jaringan otak dan jaringan saraf.[38] Individu lain yang sehat dapat terinfeksi saat virus rabies masuk ke dalam tubuhnya melalui kulit yang terluka atau membran mukosa di mata, hidung, dan mulut.[38] Cara penularan yang paling sering terjadi adalah gigitan hewan terinfeksi. Di Indonesia, sebagian besar penularan rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing (98%) dan sisanya oleh kera dan kucing.[1] Selain gigitan, virus rabies juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui luka cakaran hewan apabila pada cakar hewan terdapat air liur yang mengandung virus. Partikel virus dapat ditemukan pada air liur sejak beberapa hari sebelum hewan menunjukkan tanda klinis rabies.[39]

Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan secara aerosol dengan cara menghirup udara yang tercemar virus rabies. Pada tahun 1962 dilaporkan kasus rabies pada dua orang penjelajah gua setelah mereka memasuki Gua Frio di Texas, Amerika Serikat yang ditempati kelelawar terinfeksi.[40] Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.[40]

Hingga saat ini belum ada bukti bahwa konsumsi hewan terinfeksi dapat menyebabkan penyakit rabies. Namun, orang yang menyembelih dan mengolah anjing dan kucing untuk dimakan dapat terinfeksi rabies. Secara terpisah, dua orang di Vietnam tertular rabies setelah masing-masing mengolah anjing yang telah mati karena kecelakaan lalu lintas dan kucing yang sedang sakit.[41] Beberapa pekan setelahnya, kedua orang ini meninggal dunia dengan hasil uji molekuler (PCR) positif rabies.[41] Orang lain yang mengonsumsi daging anjing dan daging kucing yang telah dimasak tetap sehat.[41]

Manifestasi klinis

Seorang penderita rabies pada tahun 1959

Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh, penyakit rabies berjalan melalui lima fase atau stadium: (1) masa inkubasi (2) fase prodomal; (3) fase neurologis; (4) koma; dan (5) kematian.[42] Pendapat lain membagi fase penyakit rabies menjadi tiga, yaitu prodomal, eksitasi, dan paralisis.[43]

Masa inkubasi
Lamanya masa inkubasi (periode sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga timbulnya manifestasi klinis) cukup bervariasi, tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka, jumlah dan kedalaman luka, jarak luka dengan susunan saraf pusat, dan perlakuan luka setelah gigitan.[44] Pada manusia, masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari hingga beberapa tahun (biasanya 2-3 bulan; jarang lebih dari 1 tahun).[45] Sebagian besar hewan terinfeksi akan menunjukkan tanda rabies dalam 6 bulan setelah terpapar virus sehingga Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menetapkan 6 bulan sebagai masa inkubasi penyakit rabies pada hewan.[46]
Fase prodromal
Pada fase prodomal (awal), gejala yang timbul tidak khas dan menyerupai infeksi pada umumnya seperti demam, gangguan pencernaan, dan mialgia.[42]
Fase neurologis
Pada fase ini, tanda-tanda gangguan saraf mulai terlihat. Penyakit rabies—baik pada manusia maupun hewan—dapat termanifestasi dalam bentuk ganas (furious rabies), bentuk paralitik (dumb rabies), maupun bentuk nonklasik sebagaimana berikut:[42]
  • Bentuk ganas terjadi pada sekitar 85% kasus yang ditandai dengan ensefalitis. Penderita mungkin kejang dan menunjukkan ketakutan pada air (hidrofobia) dan pada udara (aerofobia). Hidrofobia terutama timbul akibat rasa sakit dan kejang saat hendak menelan air. Selain gejala saraf, penderita bisa menjadi agresif, hiperaktif, dan hipersalivasi.
  • Bentuk paralisis terjadi pada kurang dari 20% kasus. Penderita mengalami kelumpuhan, kelemahan umum, dan gangguan mental.
  • Bentuk yang dianggap nonklasik jarang terjadi. Umumnya terkait dengan kejang dan gejala motorik dan sensorik yang lebih dalam.
Koma dan kematian
Koma biasanya dimulai 10 hari setelah fase sebelumnya.[42] Penderita mungkin mengalami hidrofobia berkelanjutan, periode apnea berkepanjangan, dan kelumpuhan yang lembek. Setelah koma, sebagian besar pasien akan mati dalam 2-3 hari tanpa perawatan suportif akibat gagal jantung. Dengan perawatan suportif, hampir nol pasien yang mampu selamat dari rabies.[42]

Penelitian di Bali pada 122 kasus gigitan HPR menunjukkan bahwa lokasi gigitan anjing rabies terbanyak ditemukan di kaki (52%), tangan (32%), badan (6%), dan kepala (4%).[47] Rerata kematian timbul setelah 19 hari pada gigitan wajah, 83 hari pada badan, 122 hari pada tangan, dan 166 hari pada kaki.[47] Semakin dekat lokasi gigitan dengan kepala, maka semakin cepat waktu kematian setelah gigitan.[47]

Diagnosis

Spesimen kepala HPR untuk pengujian laboratorium

Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies.[48] Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi. Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik mati terlebih dahulu (eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia. Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis post mortem setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.[48]

Penanganan

Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati, namun harus dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala. Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini. Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala pertama.
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies (anjing, sigung, rakun, rubah, kelelawar) segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah air mengalir selama 10-15 menit lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. Orang-orang yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus.[49] Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan vaksin.[49] Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya disuntikan ke otot, biasanya di daerah pinggang. Dalam periode 28 hari diberikan 5 kali suntikan. Suntikan pertama untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan. Sisa suntikan diberikan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan vaksin.[49]

Pencegahan

Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan (letal)[50]

Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terkena gigitan.[51] Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu:

  • Dokter hewan.
  • Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
  • Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan[51]
  • Para penjelajah gua kelelawar.

Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup.[52] Tetapi seiring berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun.[50] Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus diperhatikan.

Hari Rabies Sedunia

Logo Hari Rabies Sedunia.

Hari Rabies Sedunia (bahasa Inggris: World Rabies Day atau WRD) merupakan hari penting internasional yang diselenggarakan pada tanggal 28 September setiap tahun. Peringatan Hari Rabies Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit rabies dan pentingnya memberantas penyakit ini.

Hari Rabies Sedunia mulai diselenggarakan pada tahun 2007.[53] Secara umum, pelaksanaan WRD dilakukan dengan sosialiasi kepada masyarakat dan vaksinasi rabies terhadap hewan, terutama anjing. Tujuan yang ingin dicapai oleh kampanye ini adalah memastikan anjing divaksin, membantu masyarakat yang membutuhkan profilaksis pascapajanan, dan menjadikan dunia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030.[54]

Catatan kaki

  1. ^ a b Kemenkes (2014), hlm. 1.
  2. ^ "What is Rabies?". Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Mei 2019. Diakses tanggal 15 September 2019. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Steele & Fernandez (1991), hlm. 1.
  4. ^ a b c d Mrak & Young (1994), hlm. 1.
  5. ^ "ICTV Code: The International Code of Virus Classification and Nomenclature October 2018". International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV). Diakses tanggal 26 Agustus 2019. 
  6. ^ "Lyssavirus". Viral Zone. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2019. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  7. ^ Alfonso dkk. (2016).
  8. ^ "Genus: Lyssavirus". International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV). Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Agustus 2019. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  9. ^ a b "Rabies Key Facts". Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2019. 
  10. ^ "Rabies Portal: What is rabies?". Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2019. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  11. ^ a b c OIE (2014), hlm. 1.
  12. ^ "Animal rabies". Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2018. Diakses tanggal 17 September 2019. 
  13. ^ Kemenkes (2017), hlm. 3.
  14. ^ Kementan (1997).
  15. ^ Kementan (2004a).
  16. ^ a b Kementan (2009).
  17. ^ Kementan (2013).
  18. ^ Kementan (2015a).
  19. ^ Kementan (2015b).
  20. ^ Kementan (2015c).
  21. ^ Kementan (2015d).
  22. ^ Kementan (2016a).
  23. ^ Kementan (2016b).
  24. ^ Kementan (2017).
  25. ^ a b Kementan (2019a).
  26. ^ Kementan (2018a).
  27. ^ Kementan (2018b).
  28. ^ Kementan (2019b).
  29. ^ Kementan (2002).
  30. ^ Kementan (2004b).
  31. ^ Kementan (2005a).
  32. ^ Kementan (2005b).
  33. ^ Kementan (2008a).
  34. ^ Kementan (2008b).
  35. ^ Kementan (2010).
  36. ^ Kemenkes (2016), hlm. 2.
  37. ^ Smith (1996), hlm. 168.
  38. ^ a b "How is rabies transmitted?". Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  39. ^ OIE (2014), hlm. 2.
  40. ^ a b Constantine (1962).
  41. ^ a b c Wertheim dkk. (2009).
  42. ^ a b c d e Koury, Ron; Warrington, Steven J. (2019). Rabies. Treasure Island, Florida: StatPearls Publishing. PMID 28846292. 
  43. ^ Yousaf dkk. (2012).
  44. ^ Dirkeswan (2014), hlm. 85.
  45. ^ WHO (2018), hlm. 18.
  46. ^ OIE Code (2019), hlm. 1.
  47. ^ a b c Suatha dkk. (2015).
  48. ^ a b "Diagnosis of rabies in animals". Rabies Information System of the WHO Collaboration Centre for Rabies Surveillance and Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2010. Diakses tanggal 16 Mei 2010. 
  49. ^ a b c "Rabies: Medical Care". Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2010. Diakses tanggal 16 Mei 2010. 
  50. ^ a b Madigan dkk. (2009), hlm. 1003-1005.
  51. ^ a b Sacramento dkk. (1992).
  52. ^ Dowdle & Orenstein (1994).
  53. ^ GARC (2019), hlm. 4.
  54. ^ "Get ready for World Rabies Day 2019". Rabies alliance. Global Alliance for Rabies Control (GARC). 2019. Diakses tanggal 21 September 2019. 

Daftar pustaka

Buku dan dokumen

Jurnal

Peraturan perundang-undangan