Leukosis sapi enzootik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Leukosis sapi enzootik
Informasi umum
SpesialisasiKedokteran hewan
PenderitaSapi
PenyebabBovine leukemia virus
DiagnosisPCR, ELISA, AGID
Tata laksana
PencegahanDisinsektisasi vektor

Leukosis sapi enzootik (Inggris: enzootic bovine leukosis; disingkat EBL) adalah penyakit menular pada sapi yang disebabkan oleh infeksi Bovine leukemia virus (BLV). Leukosis merupakan perbanyakan jaringan pembentuk leukosit yang dapat berujung pada limfosarkoma (tumor maligna yang melibatkan jaringan limfoid),[1] sementara enzootik merupakan padanan endemik untuk penyakit hewan.[2] Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menggolongkan EBL sebagai penyakit yang wajib dilaporkan kasusnya oleh negara-negara anggotanya.[3]

Penyebab dan definisi[sunting | sunting sumber]

Leukosis sapi enzootik disebabkan oleh infeksi salah satu spesies Retrovirus, yakni Bovine leukemia virus (BLV). Pada sapi, limfosarkoma dapat terjadi akibat infeksi BLV atau secara sporadis yang tidak diasosiasikan dengan BLV. Leukosis sapi sporadik (SLV) memiliki tiga bentuk penyakit, yaitu limfosarkoma pada anak sapi (biasanya berusia di bawah enam bulan), pada kutaneus, dan pada timus.[4] Sementara itu, meskipun leukosis sapi enzootik dapat terjadi pada semua tingkatan umur, biasanya limfosarkoma ditemukan pada sapi yang berusia di atas tiga tahun.[5][6]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]

Hewan rentan[sunting | sunting sumber]

Semua sapi, baik sapi eropa maupun sapi india, rentan terhadap infeksi BLV.[7] Kerbau dan kapibara juga dapat terinfeksi secara alami. Infeksi secara eksperimental menunjukkan bahwa domba sangat rentan terhadap BLV, sementara kambing, domba, babi, rusa, antelop, anjing, kucing, kelinci, tikus, tikus belanda, simpanse, dan monyet rhesus menunjukkan respons antibodi yang persisten.[8]

Penyebaran penyakit[sunting | sunting sumber]

Leukosis sapi enzootik tersebar di seluruh dunia dengan tingkat kejadian yang bervariasi. Pada tahun 2020, EBL telah diberantas di lebih dari 20 negara, sementara Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Argentina, Jepang, dan Tiongkok memiliki prevalensi yang cukup tinggi.[9] Prevalensi EBL cenderung meningkat pada peternakan sapi perah dan berbanding lurus dengan semakin banyaknya populasi mereka; hal sebaliknya terjadi pada sapi potong. Secara umum, prevalensi infeksi virus meningkat seiring dengan bertambahnya usia sapi.[5]

Indonesia[sunting | sunting sumber]

Leukosis sapi enzootik mulai mendapatkan perhatian di Indonesia pada 1986, saat negara ini akan mengimpor sapi perah dari Amerika Serikat. Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk mengendalikan penyakit ini pada tahun 1988. Hasil pemeriksaan imunodifusi gel agar (AGID) antara dari 1987 hingga 1989 menunjukkan spesimen dari Cilacap, Salatiga, dan Surabaya memiliki angka seropositif yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya,[6] sementara studi pada tahun 1990 menunjukkan hasil seropositif untuk spesimen dari Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur.[10] Penelitian pada 2015 menunjukkan hasil positif PCR dan AGID pada spesimen darah sapi yang berasal dari Lembang dan Palembang.[11] Pada 2021, spesimen darah sapi bali di Konawe Selatan menunjukkan hasil seropositif dengan ELISA antibodi yang berkorelasi dengan temuan tanda klinis berupa limfosarkoma.[12]

Penularan[sunting | sunting sumber]

Sel mononuklir darah tepi yang terinfeksi dan sel tumor merupakan sumber penularan virus sehingga transfer darah atau produk darah merupakan cara penularan penyakit ini. Sebagian besar penularan berlangsung secara horizontal. Kontak erat antara sapi terinfeksi dan sapi rentan diduga merupakan faktor risiko penularan. Lalat penggigit seperti Tabanidae dapat berperan sebagai vektor. Transmisi virus secara alami berlangsung saat sapi melahirkan, sedangkan transmisi nonalami terjadi ketika darah yang mengandung virus menempel pada jarum, peralatan bedah, dan sarung tangan yang digunakan saat inseminasi buatan. Selain itu, keberadaan virus juga ditemukan di cairan tubuh lainnya, seperti leleran hidung dan mulut, air liur, dan air susu. Namun, mereka tidak cukup terbukti berperan dalam menularkan penyakit dan dianggap noninfeksius.[5][8]

Patogenesis[sunting | sunting sumber]


Tanda klinis[sunting | sunting sumber]


Diagnosis[sunting | sunting sumber]


Pencegahan, pengendalian, dan pengobatan[sunting | sunting sumber]


Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Boden 2005, hlm. 413.
  2. ^ Boden 2005, hlm. 221.
  3. ^ "Animal Diseases". Organisasi Kesehatan Hewan Dunia. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  4. ^ OIE Manual 2018, hlm. 1113.
  5. ^ a b c Nagy, D.W. (Juli 2014). "Overview of Bovine Leukosis". MSD Veterinary Manual. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  6. ^ a b Prodjohardjono, Subronto (1989). "Penyakit Enzootic Bovin Leukosis di Indonesia" (PDF). Bulletin FKH-UGM. 9: 32–35. 
  7. ^ OIE Code 2021, hlm. 1.
  8. ^ a b OIE Manual 2018, hlm. 1114.
  9. ^ Bartlett, Paul C.; Ruggiero, Vickie J.; Hutchinson, Holden C.; Droscha, Casey J.; Norby, Bo; Sporer, Kelly R. B.; Taxis, Tasia M. (2020). "Current Developments in the Epidemiology and Control of Enzootic Bovine Leukosis as Caused by Bovine Leukemia Virus". Pathogens. 9 (12): 1058. doi:10.3390/pathogens9121058. ISSN 2076-0817. PMC 7766781alt=Dapat diakses gratis. 
  10. ^ Sarosa, A.; Ronohardjo, P.; Daniels, P.W. (1990). "Preliminary studies of bovine leukemia virus in Indonesia". 7th Congress of the Federation of Asian Veterinary Associations (FAVA). Chonburi (Thailand). 
  11. ^ M., Saepulloh; I., Sendow (2015). "Effectivity of PCR and AGID methods to detect of enzootic bovine leukosis in Indonesia". Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 20 (1). doi:10.14334/jitv.v20i1.1120. ISSN 2252-696X. 
  12. ^ Siswani; Rosmiaty; Utami, W. (2021). "Efektivitas Metode Uji Enzymed Linked Immunosorbant Assay (ELISA) dalam Mendeteksi Antibodi Penyakit Enzootic Bovine Leucosis di UPTD Perbibitan Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara". Buletin Diagnosa Veteriner. 20 (1): 61–69. ISSN 0216-1486. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]