Penyebaran Salafi dan Wahabi internasional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Menyusul embargo oleh pengekspor minyak Arab selama Perang Arab-Israel pada Oktober 1973 dan peningkatan besar dalam pendapatan ekspor minyak bumi setelahnya,[1][2][3] dimulai pada pertengahan tahun 1970-an dan 1980-an (dan tampaknya berkurang setelah tahun 2017),[4], penyebaran Salafi dan Wahabi internasional dalam kalangan Islam Suni[5] didukung oleh kerajaan pengekspor minyak konservatif Arab Saudi[1][6][7] dan monarki Teluk yang lain mencapai "kedudukan kekuatan yang unggul dalam ekspresi global Islam."[8] Penafsiran Islam Saudi bukan hanya mencakup "Salafiah" (sering dirujuk oleh orang luar sebagai "Wahabiah")[1], melainkan juga Islam islamis atau revivalis (kebangkitan kembali),[9] dan "campuran"[10][11] dari dua penafsiran tersebut (hingga tahun 1990-an).

Dorongan bagi penyebaran internasional penafsiran Islam ini ke seluruh dunia Islam, menurut ilmuwan politik Alex Alexiev adalah "kampanye propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah dilakukan",[Catatan 1][12] David A. Kaplan menggambarkannya sebagai "mengerdilkan upaya propaganda Soviet di puncak Perang Dingin"[Catatan 2][12] yang didanai oleh ekspor minyak bumi.[1][2][3] Di sisi lain, pakar seperti Peter Mandaville telah memberi peringatan terhadap pernyataan hiperbolis semacam itu dengan menunjukkan ketidakandalan perkiraan data yang tidak konsisten berdasarkan "desas-desus yang tidak spesifik".[13]

Dari tahun 1982 hingga 2005 (masa pemerintahan Raja Fahd dari Arab Saudi), lebih dari $75 miliar diperkirakan telah dihabiskan dalam upaya menyebarkan Islam Salafiah. Uang tersebut digunakan untuk mendirikan 200 perguruan tinggi Islam, 210 pusat Islam, 1500 masjid, dan 2000 sekolah untuk anak-anak Islam di negara mayoritas Islam dan bukan Islam.[14][15] Sekolah-sekolah tersebut berpandangan "fundamentalis" dan membentuk jaringan "dari Sudan hingga Pakistan Utara".[16][17] Menjelang tahun 2000, Arab Saudi juga telah menyalurkan 138 juta naskah Al-Quran ke seluruh dunia. [18]

Pada tahun 1980-an, atase agama di kira-kira 70 kedutaan besar Kerajaan di seluruh dunia berupaya untuk "membangun masjid-masjid baru di negara mereka dan membujuk masjid-masjid yang ada untuk menyebarkan dakwah Salafiah".[1][19]

Pemerintah Arab Saudi mendanai sejumlah organisasi internasional untuk menyebarkan Islam fundamentalis, termasuk Liga Dunia Islam, Majelis Pemuda Islam Dunia, Organisasi Bantuan Islam Internasional, dan berbagai badan amal kerajaan.[Catatan 3] Mendukung tabsyir atau dakwah Islam telah disebut sebagai "persyaratan agama" bagi penguasa Saudi yang tidak dapat ditinggalkan "tanpa kehilangan legitimasi dalam negeri mereka" sebagai pelindung dan penyebar Islam.[20]

Menurut wartawan Scott Shane, "ketika para imam Saudi tiba di negara-negara Islam di Asia atau Afrika atau dalam perguyuban Islam di Benua Eropa atau Amerika, mengenakan jubah tradisional Arab, bertutur bahasa Al-Quran — dan membawa buku cek yang banyak — mereka mempunyai ketepercayaan dengan sendirinya."[21]

Selain penafsiran Islam Salafi, penafsiran Islam Suni lain yang ketat dan konservatif yang secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh dana dari Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk Persia termasuk yang dilakukan oleh organisasi-organisasi islamis seperti Ikhwanulmuslimin dan Jamaat-e-Islami. Salafi dan bentuk-bentuk islamisme dikatakan telah membentuk "usaha patungan",[9] sama-sama mempunyai "kebencian" yang kuat terhadap pengaruh Barat,[22] keyakinan akan penerapan ketat perintah dan larangan hukum syariat,[2] perlawanan terhadap Syiah dan amalan agama Islam yang populer (kultus para wali),[9] dan keyakinan akan pentingnya jihad bersenjata.[11]

Belakangan kedua gerakan tersebut dikatakan telah "melebur"[10] atau membentuk "campuran", khususnya sebagai akibat dari jihad Afganistan pada tahun 1980-an melawan Uni Soviet,[11]  dan mengakibatkan pelatihan dan pembekalan beribu-ribu umat Islam untuk berperang melawan Soviet dan sekutu Afganistan mereka di Afganistan pada tahun 1980-an.[11] (Persekutuan ini tidak bersifat permanen dan Ikhwanulmuslimin dan Usamah bin Ladin memutuskan hubungan dengan Arab Saudi selama Perang Teluk. Kelompok-kelompok revivalis (kebangkitan kembali) juga berselisih paham di antara mereka sendiri -- contohnya, kelompok Salafi Jihadi yang berbeda pendapat dengan Ikhwanulmuslimin yang tidak terlalu ekstrem.[23])

Pendanaan tersebut dikritik karena mendorong bentuk Islam yang tidak toleran dan fanatik yang diduga membantu melahirkan radikalisme, terorisme Islam,[20][24] dan takfir. Para pengkritik berpendapat bahwa para sukarelawan yang dikerahkan untuk berperang di Afganistan (seperti Usamah bin Ladin) yang "bersukacita" atas keberhasilan mereka melawan negara adidaya Soviet, terus melakukan jihad melawan pemerintah Islam dan warga sipil di negara lain[25] dan kelompok Suni konservatif seperti Taliban di Afganistan dan Pakistan menyerang dan membunuh bukan hanya kelompok bukan Islam (kafir), melainkan juga sesama muslim yang mereka anggap murtad, seperti kaum Syiah dan Sufi.[26] Per tahun 2017, perubahan kebijakan agama di Saudi telah menyebabkan beberapa pihak berpendapat bahwa "kaum islamis di seluruh dunia harus mengikuti langkah tersebut atau berisiko untuk terjerumus ke sisi ortodoksi yang salah".[4]

Asia Tenggara[sunting | sunting sumber]

Brunei[sunting | sunting sumber]

Arab Saudi memperkuat pertautannya dengan Brunei khususnya berkaitan dengan status Islam dan pengaruh minyaknya di wilayah tersebut.[27]

Indonesia[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1980, pemerintah Saudi, warga Saudi, dan yayasan keagamaan serta badan amal Saudi[28] telah mencurahkan berjuta-juta dolar untuk mengekspor Salafi ke Indonesia, negara mayoritas Islam terbesar di dunia, yang toleran dan beragam dari segi sejarah dan agama. Mereka telah membangun lebih dari 150 masjid[29] (walaupun di negara yang berpenduduk sekitar 800.000 jiwa), sebuah universitas gratis yang besar di Jakarta, dan beberapa lembaga bahasa Arab. Mereka juga memasok lebih dari 100 sekolah berasrama dengan buku dan guru, mendatangkan para khatib dan guru, dan menyalurkan beribu-ribu beasiswa untuk studi pascasarjana di Arab Saudi.[30][31] Kuwait dan Qatar juga telah "berinvestasi besar-besaran" dalam membangun sekolah agama dan masjid di seluruh Indonesia.[32] Stasiun radio, saluran TV, dan situs web Salafi di Indonesia (dan Asia Tenggara) telah "meningkat pesat".[32] Sumber pendanaan konservatif berkeinginan untuk menanggalkan adat istiadat Islam tradisional Indonesia yang mengandung unsur ritual Hindu dan mistisme Sufi.[32]

Pengaruh Saudi dimulai sekitar tahun 1988 ketika Presiden Soeharto mendorong kehadiran Saudi di Indonesia.[33] "Saluran utama" pendanaan Islam Saudi di Indonesia[34] adalah Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII yang didirikan pada tahun 1967) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA, cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi).[34] Kantor Atase Agama Kedutaan Saudi memberikan beasiswa bagi para pelajar untuk berangkat ke Arab Saudi dan membiayai "atase para khatib" untuk menyampaikan khotbah Jumat "di seluruh Indonesia" serta para guru bahasa Arab.[32] LIPIA, sebuah universitas Salafi di Jakarta yang menanggung semua biayanya, telah menghasilkan berpuluh-puluh ribu lulusan sejak didirikan pada tahun 1980.[32]

Sekolah-sekolah yang kaya dan miskin, baik di Jawa maupun di pulau-pulau terpencil, sama-sama menerima manfaat dari bantuan yang diberikan oleh Arab Saudi. Per tahun 2016, jumlah pesantren yang menganut manhaj Salafi telah bertambah menjadi sekitar 100.[32] Perpustakaan pesantren lain — termasuk pesantren Gontor yang bergengsi di Jawa Timur — dipenuhi dengan buku-buku dari Arab Saudi.[33] Kantor Urusan Agama Saudi di Jakarta menyediakan sekitar satu juta buku agama berbahasa Arab yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia setiap tahunnya. Judul-judulnya termasuk "Tanya Jawab tentang Rukun Islam," oleh bin Baz, salah seorang penafsir Islam yang paling dihormati di Arab Saudi.[33] Per tahun 2003, jajak pendapat menunjukkan bahwa Putra Mahkota Abdullah dinilai sebagai salah satu dari tiga pemimpin yang paling dipercaya masyarakat Indonesia.[33]

Ketika Salafi berkembang, sebagian masyarakat Indonesia menjadi khawatir dengan "pengaraban" negara mereka dan menyerukan Islam dengan kebebasan berpendapat dan toleransi, yang tidak menolak pluralisme dan demokrasi.[32] Lulusan LIPIA (Farid Okbah) membantu mendirikan Aliansi Nasional Anti Syiah Indonesia (ANNAS). Meskipun Syiah hanya berjumlah sekitar 1% dari jumlah penduduk negara tersebut, Okbah menyebut Syiah sebagai ancaman yang lebih besar bagi Indonesia dibandingkan komunisme pada tahun 1960-an dan mendesak agar mazhab tersebut dibubarkan.[32]

Menurut Sidney Jones, direktur Lembaga Analisis Kebijakan Konflik di Jakarta, pengaruh Saudi "telah bersumbangsih terhadap suasana yang lebih konservatif, lebih tidak toleran,” dan mungkin berada di balik kampanye melawan Syiah dan Ahmadiah, tetapi sangat sedikit warga Indonesia yang ditangkap atas tuduhan terorisme di Indonesia sejak tahun 2002, yang mempunyai sebarang pertalian dengan lembaga Salafi.[21]

Namun, menurut artikel tahun 2003 dalam The New York Times, Saudi juga secara diam-diam memberikan dana untuk "kelompok Islam militan".[33] Yayasan Saudi Al-Haramain mendanai lembaga pendidikan dengan kelulusan Kementerian Agama Indonesia, dan "berfungsi sebagai saluran" uang untuk Jemaah Islamiyah, sebuah organisasi islamis Asia Tenggara yang bertujuan membangun negara Islam di wilayah tersebut dan telah mengebom banyak sasaran sipil.[33] (Pembimbing rohaniah Jemaah Islamiyah (Abu Bakar Ba'asyir) kini telah berjanji setia atau berbaiat kepada ISIS.)[32]

Pada 4 November 2016, sekitar 500.000 pengunjuk rasa berkumpul di Jakarta pusat, ibu kota Indonesia, menutup semua arteri utama kota tersebut dalam unjuk rasa Islam terbesar dalam sejarah Indonesia dan merupakan "titik balik" politik dalam sejarah bangsanya.[35] Dipimpin oleh Muhammad Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam (FPI), yang mempunyai hubungan dengan Arab Saudi "sejak tiga dasawarsa lalu", para pengunjuk rasa menyerukan penolakan terhadap "para pemimpin kafir,” mengacu kepada Basuki Tjahaja Purnama ("Ahok"), Gubernur Tionghoa-Kristen Jakarta. Ketika Shihab bertanya kepada massa, “Jika tuntutan kami tidak didengar, apakah Anda siap mengubah ini menjadi revolusi?” mereka meneriakkan penegasan mereka. Ahok kemudian dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena penodaan agama dan pada pemilhan presiden berikutnya, para calon "menunjukkan identitas Islam mereka" untuk menarik tren politik baru.[35]

Malaysia[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1980, Pangeran Muhammad al-Faisal dari Arab Saudi menawari Malaysia $100 juta untuk sebuah perusahaan keuangan tanpa bunga, dan dua tahun kemudian Saudi membantu membiayai Bank Islam Malaysia yang ditaja pemerintah.[36] Pada tahun 2017, dilaporkan bahwa doktrin Salafi menyebar dalam kalangan elite Malaysia dan teologi Islam tradisional yang saat ini diajarkan di sekolah-sekolah negeri beralih kepada pandangan Salafi yang teologinya berasal dari Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.[37][38]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ menurut ilmuwan politik Alex Alexiev
  2. ^ menurut wartawan David A. Kaplan
  3. ^ dipimpin oleh Pangeran Salman bin Abdul Aziz, menteri pertahanan saat itu yang menjadi raja pada Januari 2015

Kutipan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Wagemakers, Joas (2021). "Part 3: Fundamentalisms and Extremists – The Citadel of Salafism". Dalam Cusack, Carole M.; Upal, M. Afzal. Handbook of Islamic Sects and Movements. Brill Handbooks on Contemporary Religion. 21. Leiden and Boston: Brill Publishers. hlm. 333–347. doi:10.1163/9789004435544_019alt=Dapat diakses gratis. ISBN 978-90-04-43554-4. ISSN 1874-6691. 
  2. ^ a b c Kepel, Gilles (2006). Jihad: The Trail of Political Islam. I.B. Tauris. hlm. 51. ISBN 9781845112578. Well before the full emergence of Islamism in the 1970s, a growing constituency nicknamed `petro-Islam` included Wahhabi ulemas and Islamist intellectuals and promoted strict implementation of the sharia in the political, moral and cultural spheres; this proto-movement had few social concerns and even fewer revolutionary ones.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Kepel51" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ a b JASSER, ZUHDI. "STATEMENT OF ZUHDI JASSER, M.D., PRESIDENT, AMERICAN ISLAMIC FORUM FOR DEMOCRACY. 2013 ANTI–SEMITISM: A GROWING THREAT TO ALL FAITHS. HEARING BEFORE THE SUBCOMMITTEE ON AFRICA, GLOBAL HEALTH, GLOBAL HUMAN RIGHTS, AND INTERNATIONAL ORGANIZATIONS OF THE COMMITTEE ON FOREIGN AFFAIRS HOUSE OF REPRESENTATIVES" (PDF). 27 Februari 2013. U.S. GOVERNMENT PRINTING OFFICE. hlm. 27. Diakses tanggal 31 Maret 2014. Lastly, the Saudis spent tens of billions of dollars throughout the world to pump Wahhabism or petro-Islam, a particularly virulent and militant version of supremacist Islamism.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "JASSER" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b DAOUD, KAMEL (16 November 2017). "If Saudi Arabia Reforms, What Happens to Islamists Elsewhere?". The New York Times. New York Times. Diakses tanggal 16 November 2017. 
  5. ^ Musa, Mohd Faizal (2018). "The Riyal and Ringgit of Petro-Islam: Investing Salafism in Education". Dalam Saat, Norshahril. Islam in Southeast Asia: Negotiating Modernity. Singapore: ISEAS Publishing. hlm. 63–88. doi:10.1355/9789814818001-006. ISBN 9789814818001. 
  6. ^ Hasan, Noorhaidi (2010). "The Failure of the Wahhabi Campaign: Transnational Islam and the Salafi madrasa in post-9/11 Indonesia". South East Asia Research. Taylor & Francis on behalf of the SOAS University of London. 18 (4): 675–705. doi:10.5367/sear.2010.0015. ISSN 2043-6874. JSTOR 23750964. 
  7. ^ "6 common misconceptions about Salafi Muslims in the West". OUPblog (dalam bahasa Inggris). 2016-10-05. Diakses tanggal 2021-08-20. 
  8. ^ Kepel, Gilles (2003). Jihad: The Trail of Political Islam. I.B. Tauris. hlm. 61–2. ISBN 9781845112578. 
  9. ^ a b c Roy, Olivier (1994). The Failure of Political IslamPerlu mendaftar (gratis). Harvard University Press. hlm. 117. ISBN 9780674291416. Diakses tanggal 2 April 2015. The Muslim Brothers agreed not to operate in Saudi Arabia itself, but served as a relay for contacts with foreign Islamist movements. The MBs also used as a relay in South Asia movements long established on an indigenous basis (Jamaat-i Islami). Thus the MB played an essential role in the choice of organisations and individuals likely to receive Saudi subsidies. On a doctrinal level, the differences are certainly significant between the MBs and the Wahhabis, but their common references to Hanbalism ... their rejection of the division into juridical schools, and their virulent opposition to Shiism and popular religious practices (the cult of 'saints') furnished them with the common themes of a reformist and puritanical preaching. This alliance carried in its wake older fundamentalist movements, non-Wahhabi but with strong local roots, such as the Pakistani Ahl-i Hadith or the Ikhwan of continental China 
  10. ^ a b Gold, Dore (2003). Hatred's Kingdom : How Saudi Arabia Supports the New Global Terrorism. Regnery. hlm. 237. ISBN 9781596988194. 
  11. ^ a b c d Kepel, Gilles (2004). The War for Muslim Minds: Islam and the WestPerlu mendaftar (gratis). Harvard University Press. hlm. 156. ISBN 9780674015753. Diakses tanggal 4 April 2015. In the melting pot of Arabia during the 1960s, local clerics trained in the Wahhabite tradition joined with activists and militants affiliated with the Muslims Brothers who had been exiled from the neighboring countries of Egypt, Syria and Iraq .... The phenomenon of Osama bin Laden and his associates cannot be understood outside this hybrid tradition. 
  12. ^ a b Gaffney, Jr., Frank (8 Desember 2003). "Waging the 'War of Ideas'". Center for Security Policy. Diakses tanggal 8 Juli 2017. 
  13. ^ Mandaville, Peter; Hammond, Andrew (2022). "1: Wahhabism and the World: The Historical Evolution, Structure, and Future of Saudi Religious Transnationalism". Wahhabism and the World: Understanding Saudi Arabia's Global Influence on Islam. New York: Oxford University Press. hlm. 6–10. ISBN 978-0197532577. 
  14. ^ Ibrahim, Youssef Michel (11 Agustus 2002). "The Mideast Threat That's Hard to Define". cfr.org. The Washington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 September 2014. Diakses tanggal 21 Agustus 2014. ... money that brought Wahabis power throughout the Arab world and financed networks of fundamentalist schools from Sudan to northern Pakistan. 
  15. ^ According to author Dore Gold this funding was for non-Muslim countries alone. Gold, Dore (2003). Hatred's Kingdom : How Saudi Arabia Supports the New Global Terrorism. Regnery. hlm. 126. 
  16. ^ Ibrahim, Youssef Michel (11 Agustus 2002). "The Mideast Threat That's Hard to Define". Council on foreign relations. Washington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 September 2014. Diakses tanggal 25 Oktober 2014. 
  17. ^ Kepel, Gilles (2006). Jihad: The Trail of Political Islam. I.B. Tauris. hlm. 72. ISBN 9781845112578. founded in 1962 as a counterweight to Nasser's propaganda, opened new offices in every area of the world where Muslims lived. The league played a pioneering role in supporting Islamic associations, mosques, and investment plans for the future. In addition, the Saudi ministry for religious affairs printed and distributed millions of Korans free of charge, along with Wahhabite doctrinal texts, among the world's mosques, from the African plains to the rice paddies of Indonesia and the Muslim immigrant high-rise housing projects of European cities. For the first time in fourteen centuries, the same books ... could be found from one end of the Umma to the other... hewed to the same doctrinal line and excluded other currents of thought that had formerly been part of a more pluralistic Islam. 
  18. ^ House, Karen Elliott (2012). On Saudi Arabia : Its People, Past, Religion, Fault Lines and Future. Knopf. hlm. 234. A former US Treasury Department official is quoted by Washington Post reporter David Ottaway in a 2004 article [Ottaway, David The King's Messenger New York: Walker, 2008, p.185] as estimating that the late king [Fadh] spent `north of $75 billion` in his efforts to spread Wahhabi Islam. According to Ottaway, the king boasted on his personal Web site that he established 200 Islamic colleges, 210 Islamic centers, 1500 mosques, and 2000 schools for Muslim children in non-Islamic nations. The late king also launched a publishing center in Medina that by 2000 had distributed 138 million copies of the Koran worldwide. 
  19. ^ Lacey, Robert (2009). Inside the Kingdom : Kings, Clerics, Modernists, Terrorists, and the Struggle for Saudi ArabiaPerlu mendaftar (gratis). Viking. hlm. 95. The Kingdom's 70 or so embassies around the world already featured cultural, educational, and military attaches, along with consular officers who organized visas for the hajj. Now they were joined by religious attaches, whose job was to get new mosques built in their countries and to persuade existing mosques to propagate the dawah wahhabiya. 
  20. ^ a b House, Karen Elliott (2012). On Saudi Arabia : Its People, Past, Religion, Fault Lines and Future. Knopf. hlm. 234. To this day, the regime funds numerous international organizations to spread fundamentalist Islam, including the Muslim World League, the World Assembly of Muslim Youth, the International Islamic Relief Organization, and various royal charities such as the Popular Committee for Assisting the Palestinian Muhahedeen, led by Prince Salman bin Abdul Aziz, now minister of defense, who often is touted as a potential future king. Supporting da'wah, which literally means `making an invitation` to Islam, is a religious requirement that Saudi rulers feel they cannot abandon without losing their domestic legitimacy as protectors and propagators of Islam. Yet in the wake of 9/11, American anger at the kingdom led the U.S. government to demand controls on Saudi largesse to Islamic groups that funded terrorism. 
  21. ^ a b Shane, Scott (25-8-2016). "Saudis and Extremism: 'Both the Arsonists and the Firefighters'". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 22-6-2017. 
  22. ^ Commins, David (2009). The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (PDF). I.B.Tauris. hlm. 141. 
  23. ^ Kepel, Gilles (2002). Jihad: On the Trail of Political Islam. Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 220. ISBN 9781845112578. Diakses tanggal 6 Juli 2015. Hostile as they were to the `sheikists`, the jihadist-salafists were even angrier with the Muslim Brothers, whose excessive moderation they denounced ... 
  24. ^ Armstrong, Karen (27 November 2014). "Wahhabism to ISIS: how Saudi Arabia exported the main source of global terrorism". New Statesman. London. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 November 2014. Diakses tanggal 8 September 2020. A whole generation of Muslims, therefore, has grown up with a maverick form of Islam [i.e. Wahhabism] that has given them a negative view of other faiths and an intolerantly sectarian understanding of their own. While not extremist per se, this is an outlook in which radicalism can develop. 
  25. ^ Pabst, Adrian. "Pakistan must confront Wahhabism". Guardian. in the 1980s ... during the Afghan resistance against the Soviet invasion, elements in Saudi Arabia poured in money, arms and extremist ideology. Through a network of madrasas, Saudi-sponsored Wahhabi Islam indoctrinated young Muslims with fundamentalist Puritanism, denouncing Sufi music and poetry as decadent and immoral. 
  26. ^ Pabst, Adrian. "Pakistan must confront Wahhabism". Guardian. Unlike many Sunnis in Iraq, most Taliban in Afghanistan and Pakistan have embraced the puritanical and fundamentalist Islam of the Wahhabi mullahs from Saudi Arabia who wage a ruthless war not just against western "infidels" but also against fellow Muslims they consider to be apostates, in particular the Sufis. ... in the 1980s ... during the Afghan resistance against the Soviet invasion, elements in Saudi Arabia poured in money, arms and extremist ideology. Through a network of madrasas, Saudi-sponsored Wahhabi Islam indoctrinated young Muslims with fundamentalist Puritanism, denouncing Sufi music and poetry as decadent and immoral. 
  27. ^ "King Salman's Return to Brunei Two Decades Later". 20 Maret 2017. 
  28. ^ von der Mehden, Fred R. (1 Desember 2014). "Saudi Religious Influence in Indonesia". Middle East Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24-7-2017. 
  29. ^ "Nurturing Sala manhaj: A study of Sala pesantren in contemporary Indonesia". 27 Januari 2014. 
  30. ^ "Saudi Arabia Is Redefining Islam for the World's Largest Muslim Nation". 2 Maret 2017. 
  31. ^ "In Indonesia, Madrassas of Moderation". 10 Februari 2015. 
  32. ^ a b c d e f g h i Scott, Margaret (27 Oktober 2016). "Indonesia: The Saudis Are Coming [complete article behind paywall]". New York Review of Books. Diakses tanggal 17 Oktober 2016. 
  33. ^ a b c d e f PERLEZ, JANE (5 Juli 2003). "Saudis Quietly Promote Strict Islam in Indonesia". New York Times. Diakses tanggal 21 Agustus 2014. 
  34. ^ a b von der Mehden, Fred R. (1 Desember 2014). "Saudi Religious Influence in Indonesia". Middle East Institute. Diakses tanggal 17 Oktober 2016. 
  35. ^ a b Varagur, Krithika (16 April 2020). "How Saudi Arabia's religious project transformed Indonesia". The Guardian. Diakses tanggal 16 April 2020. 
  36. ^ Pipes, Daniel (2009) [1980]. In the Path of God: Islam and Political Power (edisi ke-5th). Transaction Publishers. hlm. 314. ISBN 9781412826167. Diakses tanggal 30 Maret 2015. When Prince Muhammad al-Faysal of Saudi Arabia visited Malaysia in December 1980, he offered $100 million for an interest-free finance corporation. Not surprisingly, the Malaysian finance minister responded by announcing that the government would study the possibility of establishing an `Islamic economic system.` Two years later, the Saudis helped finance the government-sponsored Bank Islam Malaysia. These actions led some cynics to argue `that the expanded interest in Islam among Malaysian politicians reflects a desire to obtain economic aid from the Arabs or to guarantee continued oil during future embargoes.` 
  37. ^ "Wahabism spreading among Malaysia's elite". 14 Januari 2017. 
  38. ^ "The radicalisation of Islam in Malaysia". 28 Agustus 2016. 

Buku, artikel, dan dokumen[sunting | sunting sumber]