Kesempurnaan Kristus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesempurnaan Kristus adalah asas di dalam ilmu Kristologi yang menyatakan bahwa atribut-atribut insani Kristus adalah suri teladan sempurna dalam segala hal. Menurut pandangan lain, Kristus hanya sempurna dari segi rohani dan moral, sementara segi-segi kemanusiaannya tidak lepas dari kelemahan, potensi, dan peningkatan kualitas diri sebagai bagian dari kondisi manusia yang terus berubah.

Pandangan Rasul Paulus tentang Kristus sebagai "insan kamil" menyifatkannya sebagai "Adam kedua" yang mendatangkan kehidupan, sesudah Adam pertama mendatangkan dosa. Pandangan ini dikemukakannya di dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 15:22) dan surat kepada jemaat di Roma (Roma 5:12).[1] Di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Efesus 4:13), Paulus mengimbau umat Kristen untuk berusaha mencapai "kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," yakni menjadi sempurna sesempurna Kristus sendiri.

Pada abad ke-2, Santo Ireneus dari Lyons mengemukakan gagasannya tentang kesempurnaan Kristus yang didasarkan atas Injil Yohanes (maupun injil-injil sinoptik) alih-alih atas surat-surat Paulus. Bagi Ireneus, kesempurnaan Kristus bersumber dari jati dirinya selaku "Sang Firman", yakni Logos, prawujud Kristus yang mahasempurna lagi tak tersentuh dosa. Karena Kristus adalah yang pertama, ia mampu mencapai kesempurnaan.[2]

Pada abad ke-3, Tertulianus mengetengahkan kesempurnaan Kristus sebagai konsekuensi penting dari inkarnasi Logos di dalam diri Kristus. Menurut pandangan Tertulianus, anggapan bahwa sesuatu dapat ditambahkan demi meningkatkan kualitas diri Kristus adalah penyangkalan terhadap injil-injil.[3]

Pada Abad Pertengahan, salah satu sorotan utama di dalam kajian-kajian kristologis mengenai Pengetahuan Kristus adalah kesempurnaan Kristus, sebagaimana yang diungkapkan di dalam Injil Yohanes (Yohanes 1:14) dengan frasa "penuh kasih karunia dan kebenaran".[4] Pada abad ke-13, kesempurnaan Kristus dijabarkan Santo Tomas Aquinas secara terperinci di dalam karya tulisnya, Summa Theologiae (Rangkuman Teologi).[5][6][7]

Yohanes Kalvin menganggap kesempurnaan Kristus sebagai sumber kasih karunia yang menutupi cacat cela dosa yang ada pada manusia lain.[8]

Di dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa:

Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang,[9] yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam pewahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan di atas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya.[10]

Konsili Vatikan II selanjutnya menjelaskan konsep kesempurnaan insani Kristus, yang didasarkan atas kemanunggalan kodrat insani dan kodrat ilahinya:

Dialah "gambar Allah yang tidak kelihatan" (Kolose 1:15, Bdk. 2 Korintus 4:4). Dia pulalah manusia sempurna, yang mengembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan,[11] maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akal budi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi,[12] Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa (Bdk. Ibrani 4:15).[10]

Konsili Vatikan II merangkum gagasan ini pada pasal selanjutnya, dengan menitikberatkan kulminasi sejarah di dalam cinta kasih Allah, yang di dalamnya terasas kesempurnaan insani:

Sebab Sabda Allah sendiri, Pengantara dalam penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di bumi manusia;[13] sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya menampung dan merangkumnya dalam Dirinya.[14] Sang Sabda mewahyukan kepada kita, “bahwa Allah itu cinta kasih” (1 Yohanes 4:8), sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih.[10]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ The nature and destiny of man: a Christian interpretation, Reinhold Niebuhr, Robin W. Lovin, 1996 ISBN 0-664-25709-7 Hlmn. 76-77
  2. ^ Irenaeus of Lyons, Eric Francis Osborn, 2001 ISBN 0-521-80006-4 Hlmn. 104-106
  3. ^ Tertullian, First Theologian of the West, Eric Osborn, 2003 ISBN 0-521-52495-4 Hlmn. 44-45
  4. ^ The knowledge of Christ, Raymond Moloney S.J., 2000 ISBN 0-8264-5130-6 Hlm. 53
  5. ^ Summa Theologiae, Jilid 4 (Bab III, Bagian Pertama), St. Tomas Aquinas, 2007 ISBN 1-60206-560-8 Hlmn. 2060-2062
  6. ^ Thomas Aquinas: theologian of the Christian life, Nicholas M. Healy, 2003 ISBN 0-7546-1472-7 Hlmn. 98-101
  7. ^ Christology: Biblical And Historical, Mini S. Johnson, 2005 ISBN 81-8324-007-0 Hlmn. 76-79
  8. ^ Institutes of the Christian religion, Volume 2, Jean Calvin, 1816, Diterbitkan Philip Nicklin, Hlm. 296
  9. ^ Bdk. Roma 5:14. Bdk. Tertulianus, De carnis resurrectione 6: "Bentuk diberikan kepada bumi yang belum berbentuk dengan maksud yang dilatari pandangan jauh ke masa depan, yakni kepada Kristus, sang insan masa depan.": Hlm. 2, 282; CSEL 47, Hlm. 33, 1. 12-13.
  10. ^ a b c "Gaudium et Spes". Diakses tanggal 22 Juli 2021. 
  11. ^ Bdk. Konsili Konstantinopel II, Kanon 7: "Firman ilahi tidak berubah menjadi kodrat insani, tidak pula kodrat insani dilamun Sang Firman." Denzinger 219 (428); Bdk. pula dengan Konsili Konstantinopel III: "sama seperti kodrat insaninya yang mahakudus dan tidak bercela, sekalipun diilahikan, tidak dibinasakan (teoteisa ouk anerete), tetapi tetap seperti keadaan dan keberadaannya sediakala": Denzinger 291 (556); Bdk. Konsili Kalsedon:" dikenal dalam dua kodrat, tidak berbaur, tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisah." Denzinger 148 (302).
  12. ^ Bdk. Konsili Konstantinopel III: "dan oleh karena itu kehendak insani-Nya, sekalipun diilahikan, tidak dibinasakan": Denzinger 291 (556).
  13. ^ Bdk. Yohanes XXIII, ensiklis Pacem in Terris: AAS 55 (1963), Hlmn. 299 & 300.
  14. ^ Bdk. Lukas 6:37–38; Matius 7:1–2; Roma 2:1–11; Roma 14:10, Roma 14:10–12.

Bahan bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]