Hukum Alam (Niyāma)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Buddha sebagai Penemu Dhamma, bukan Pencipta Dhamma.

Hukum Alam (Niyāma), juga sering disebut sebagai Lima Hukum Alam atau Lima Hukum Tertib Kosmis (Pāli: pañca-niyāma-dhamma atau pañcavidha-niyāma), adalah salah satu konsep dalam Buddhisme mengenai hukum keteraturan yang bekerja di seluruh alam semesta.[1][2] Lima Niyāma dalam set ini adalah:

  1. utu-niyāma "keteraturan musim", yaitu berbunga dan berbuahnya pohon-pohon sekaligus (ekappahāreneva) di daerah-daerah tertentu di bumi pada periode-periode tertentu, bertiup atau berhentinya angin, derajat panas matahari, banyaknya curah hujan, beberapa bunga seperti bunga teratai mekar pada siang hari dan menutup pada malam hari, dan seterusnya;
  2. bīja-niyāma "keteraturan benih atau bibit", yaitu benih yang menghasilkan jenisnya sendiri seperti benih jelai yang menghasilkan jelai;
  3. kamma-niyāma "keteraturan kamma", yaitu perbuatan yang baik akan menghasilkan akibat yang baik dan perbuatan yang buruk akan menghasilkan akibat yang buruk. Keteraturan ini dicontohkan oleh syair Dhammapada ayat 127 yang menjelaskan bahwa akibat dari suatu perbuatan tidak dapat dihindari;
  4. citta-niyāma "keteraturan kesadaran/pikiran", yaitu urutan proses aktivitas-aktivitas pikiran sebagai momen-pikiran sebelumnya yang menyebabkan dan mengkondisikan momen-pikiran berikutnya dalam suatu hubungan sebab-akibat;
  5. dhamma-niyāma "keteraturan dhamma (fenomena)", yaitu peristiwa-peristiwa seperti guncangan sepuluh ribu sistem dunia pada saat Bodhisatta dikandung dalam rahim ibu-Nya dan pada saat kelahiran-Nya. Di akhir pembahasan syair kitab komentar Sumaṅgalavilāsinī, dijelaskan bahwa dhammaniyāma merupakan definisi untuk istilah dhammatā dalam teks Mahāpadāna Sutta (D ii.12) (Bdk. S 12.20 untuk pembahasan penggunaan kata dhammaniyamatā dalam sutta)

Buddhisme tidak membenarkan bahwa alam semesta diatur oleh sesosok dewa tertinggi atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Niyāma merupakan hukum abadi yang bekerja dengan sendirinya. Hukum ini bekerja sebagai hukum sebab akibat dan membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya. Timbul tenggelamnya bulan, turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, hingga berubahnya musim disebabkan oleh hukum ini.[3]

Diperkenalkannya istilah "pañca-niyāma" dalam kitab komentar bukan untuk menggambarkan bahwa alam semesta etis secara intrinsik, namun sebagai daftar yang menunjukkan cakupan universal paticca-samuppāda. Tujuan awalnya, menurut Ledi Sayadaw, bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai alternatif terhadap klaim teisme.[4]

C.A.F. Rhys Davids adalah sarjana barat pertama yang tertarik pada daftar pañcavidha niyāma dalam bukunya tahun 1912, "Buddhism". Alasan Davids menjelaskan istilah "Niyāma" adalah untuk menekankan bahwa menurut ajaran Buddha, kita berada dalam sebuah "alam semesta moral", artinya suatu perbuatan membawa akibat yang adil sesuai dengan tatanan moral alami, sebuah situasi yang ia sebut sebagai "kosmodik" yang berbeda dengan teodisi Kristen.[5][6]

Dalam skema Rhys Davids, Niyāma dijabarkan menjadi:

  • kamma-niyāma: ("perbuatan") konsekuensi atas perbuatan seseorang
  • utu-niyāma: ("waktu, musim") perubahan musim dan iklim, hukum yang berurusan dengan benda mati
  • bīja-niyāma: ("benih") hukum keturunan
  • citta-niyāma: ("pikiran") kehendak pikiran
  • dhamma-niyāma: ("hukum") kecenderungan alam untuk menyempurnakan

Skema ini serupa dengan skema yang diajukan oleh Ledi Sayadaw.[7] Sangharakshita, seorang sarjana Buddhis Barat, menggunakan skema Niyāma dari Rhys David dan menjadikannya sebagai aspek penting dalam pengajarannya.[8]

Ashin Kheminda, seorang bhikkhu misionaris asal Indonesia, menjelaskan Niyāma dengan skema berikut:[9]

  1. utu-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan musim yang mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur di alam semesta.
  2. bija-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan biji yang mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain.
  3. kamma-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (kamma) yang memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan, sedangkan kamma buruk akan menghasilkan penderitaan.
  4. citta-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan kesadaran yang mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta).
  5. dhamma-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dhamma) yang mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat hukum di atas, seperti kejadian bumi bergetar saat Bodhisatta Gotama lahir, pencapaian penerangan sempurna, munculnya gempa bumi saat kejadian parinibbāna Buddha.

Sumber tekstual[sunting | sunting sumber]

Kitab komentar Buddhisme dari abad ke-5 hingga ke-13 M memuat pañcavidha niyāma, lima Niyāma, dalam teks-teks berikut:

  • Dalam kitab Aṭṭhasālinī (272-274), komentar yang dikaitkan dengan Buddhaghosa pada Dhammasangaṅi, kitab pertama Abhidhamma Piṭaka aliran Theravāda;[10]
  • Dalam Sumaṅgala-Vilāsinī (DA 2.431), komentar Buddhaghosa mengenai Dīgha Nikāya;[11]
  • Dalam Abhidhammāvatāra (PTS hal. 54), ringkasan syair Abhidhamma karya kontemporer Buddhaghosa, Buddhadatta.[12]
  • Komentar Internal Abhidhammamātika. (hal. 58) Abhidhamma-mātika adalah sebuah matriks abstrak untuk Abhidhamma, dengan daftar pasangan dan rangkap tiga istilah yang darinya keseluruhan teks secara teoritis dapat direkonstruksi. Penggalan tentang Niyāma berasal dari komentar internal pada mātika yang terkait dengan Dhammasaṅgaṇī (niyāma tampaknya tidak disebutkan dalam matriks itu sendiri, tetapi hanya dalam lampiran ini); dan disusun di India Selatan oleh Coḷaraṭṭha Kassapa (abad ke-12-13).
  • Abhidhammāvatāra-purāṇatīkā (hal. 1.68). Disusun di Sri Lanka oleh Vācissara Mahāsāmi sekitar abad ke-13 atau Sāriputta c. abad ke-12. Teks ini merupakan komentar kata demi kata yang tidak lengkap pada teks Abhidhammāvatāra Nāmarūpa-parichedo (ṭīka).

Penafsiran lanjutan[sunting | sunting sumber]

Kamma sebagai asal mula makhluk[sunting | sunting sumber]

Pada Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta, Aṅguttara Nikāya 5.57, Buddha menyampaikan bahwa di antara kelima hukum alam tersebut, perbuatan (kamma) sebagiamana diatur oleh hukum kepastian perbuatan (kammaniyāma) bertindak sebagai properti, warisan, asal mula, keluarga, dan perlindungan suatu makhluk.[13]

... Sabbe sattā
kammassakā,
kammadāyādā,
kammayoni,
kammabandhu,
kammapaṭisaraṇā,
yaṁ kammaṁ karissanti—
kalyāṇaṁ vā pāpakaṁ vā—
tassa dāyādā bhavissantī’ti ...

... Semua makhluk
memiliki kamma sebagai properti mereka,
ahli waris dari kammanya sendiri,
memiliki kamma sebagai asal-mulanya,
memiliki kamma sebagai keluarganya,
memiliki kamma sebagai perlindungannya.
Apapun kamma yang mereka lakukan—
baik atau buruk—
mereka akan menjadi ahli waris dari kamma tersebut ...

Keterhubungan hukum-hukum[sunting | sunting sumber]

Setiap hukum tidak berjalan sendiri, artinya satu hukum dapat bekerja bersamaan dengan hukum-hukum lainnya. Oleh karena kamma didefinisikan sebagai kesadaran baik (kusalacitta) atau kesadaran buruk (akusalacitta) dengan eksistensi faktor-mental (cetasika) kehendak (cetanā), maka kamma-niyāma yang mengatur kepastian perbuatan juga melibatkan citta-niyāma yang mengatur kesadaran terciptanya perbuatan.

Manopubbaṅgamā
dhammā
manoseṭṭhā
manomayā;

Manasā ce paduṭṭhena bhāsati vā karoti vā;
Tato naṃ dukkhamanveti cakkaṃ'va vahato padaṃ.

Tiga agregat nonmateri (cetasika)
memiliki kesadaran (citta) sebagai pelopor,
memiliki kesadaran sebagai yang terkemuka (pemimpin),
dibuat oleh kesadaran.

Apabila dengan kesadaran yang kotor, seseorang berbicara atau berbuat;
Dari sana penderitaan mengikuti dia, seperti roda mengikuti kaki lembu.

Dengan begitu, Buddhisme tidak setuju bahwa suatu kejadian disebabkan hanya karena satu hal. Misalnya, ketika manusia sudah semakin jahat dan tidak menyayangi alam (diatur oleh kamma-niyāma), maka akan terjadi perubahan pada alam seperti perubahan suhu (diatur oleh utu-niyāma), tumbuhan mati (diatur oleh bija-niyāma), dan ketidaktenangan batin (diatur oleh citta-niyāma).

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production. 
  2. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 175. ISBN 978-602-427-074-2. 
  3. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 176. ISBN 978-602-427-074-2. 
  4. ^ Manuals of Buddhism. Bangkok: Mahamakut Press 1978. Niyama-Dipani was trans. (from Pāli) by Beni M. Barua, rev. and ed. C.A.F. Rhys Davids, n.d.
  5. ^ Buddhism: a study of the Buddhist norm London: Williams and Norgate 1912, pp.118–9.. Reprint by Read Books, 2007, Books.Google.com
  6. ^ Padmasiri De Silva, Environmental philosophy and ethics in Buddhism. Macmillan, 1998, page 41. Books.Google.com
  7. ^ Niyama-Dipani (online see below)
  8. ^ The Three Jewels Windhorse 1977 (originally published 1967) Windhorse pp.69–70; and in the lecture ‘Karma and Rebirth’, in edited form in Who is the Buddha? Windhorse 1994, pp.105–8.
  9. ^ Kheminda, Ashin (2020). Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies. hlm. 46. 
  10. ^ Aṭṭhasālinī: Buddhaghosa’s Commentary on the Dhammasaṅgani. ed. E. Muller, PTS 1979 (orig. 1897) p.272, para. 562; trans. Pe Maung Tin as The Expositor PTS London 1921 vol.II p.360.
  11. ^ Sumaṅgala-Vilāsinī, Buddhaghosa’s Commentary on the Dīgha Nikāya. ed. W. Stede PTS 1931 p.432.
  12. ^ Abhidhammāvatāra in Buddhadatta’s Manuals. ed. AP Buddhadatta PTS 1980 (orig. 1915) p.54.
  13. ^ Anggara, Indra. "AN 5.57: Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-06-26.