Surat kepada Orang Ibrani

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 April 2013 00.45 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 57 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q128608)

Surat kepada Orang Ibrani adalah sebuah tulisan teologi dari periode awal kekristenan yang disusun dengan kaidah bahasa Yunani yang baik.[1] Kristologi yang dipaparkan di dalamnya termasuk kristologi yang rumit.[1] Sebagai surat, kitab ini tidak memiliki salam pembuka selayaknya surat-surat kiriman pada masa itu.[2] Kitab ini lebih mirip khotbah yang memuat uraian teologi yang rumit dan penuh dengan teka-teki.[2] Di dalamnya tidak hanya dipaparkan tentang keistimewaan Yesus di hadapan tradisi Yahudi, tetapi juga dalam konteks filsafat platonis.[3]

Konteks Surat

Penulis

Penulis surat ini tidak mencantumkan namanya, sehingga tidak diketahui pasti. Pada abad-abad pertama kekristenan hingga Abad Pertengahan, surat Ibrani diyakini ditulis oleh Rasul Paulus, meskipun tidak dimulai dengan nama Paulus, seperti surat-surat Paulus lainnya.[4] Pandangan ini akhirnya tidak lagi diterima, karena beberapa hal. Pertama, gaya penulisan surat ini berbeda dengan gaya penulisan Rasul Paulus.[5][2] Kedua, ada keterangan di dalam surat ini yang menyebutkan bahwa si penulis adalah orang yang mendengarkan Kristus dari orang lain (Ibrani 2:3), sementara Paulus sendiri mengaku sebagai saksi mata yang telah melihat Yesus dan dengan demikian memiliki status yang sama dengan rasul-rasul yang lain.[1] Barnabas dan Apolos juga disebut-sebut sebagai penulis surat ini, namun pandangan ini tidak didukung cukup bukti.[1] Akhirnya, para pakar modern sepakat bahwa tidak ada kepastian mengenai penulis surat ini.[1] Yang jelas, penulisnya adalah orang berpendidikan yang terlatih dalam hukum Taurat, retorika Yunani yang juga mengenal dengan baik filsafat Plato.[5]

Tujuan Surat

Frasa "kepada Orang Ibrani" pada perikop surat sama sekali tidak menjadi bukti bahwa surat Ibrani memang ditujukan untuk orang-orang Ibrani.[5] Frasa ini dicantumkan oleh gereja mula-mula untuk menggambarkan isi surat yang berbicara banyak mengenai Kristus dan tradisi Yahudi.[1] Pandangan yang diterima secara umum adalah Surat kepada Orang-orang Ibrani ditujukan untuk orang-orang Kristen di Italia (Ibrani 13:24) yang membutuhkan nasihat, bimbingan, dan penghiburan.[1][5]

Waktu Penulisan

Tidak ada rujukan pasti mengenai waktu penulisan surat ini, kesepakatan yang umum diterima adalah surat Ibrani ditulis sebelum tahun 60 Masehi.[1][2][5]

Ayat-ayat terkenal

  • Ibrani 2:18: Sebab oleh karena Ia (Yesus) sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.
  • Ibrani 4:15: Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia (Yesus) telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.
  • Ibrani 9:27–28: Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,

(9:28) demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.

  • Ibrani 11:1: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Isi dan Struktur

  • Ibrani 1:1–4:13: Bagian ini berbicara mengenai Kristus sebagai penyataan Allah yang paling sempurna. Di sini disebuytkan bahwa mengenai Firman Allah yang disampaikan melalui Yesus Kristus lebih baik jika dibandingkan dengan Firman Allah yang disampaikan melalui melalui Malaekat dan Musa.[2]
  • Ibrani 4:14–10:31: Pada bagian ini, kematian Kristus dimaknai pengorbanan paling sempurna yang menghapus dosa manusia untuk selama-lamanya. Untuk sampai kepada kesimpulan ini, penulis mengajak pembacanya untuk membandingkan pengorbanan yang dilakukan Yesus dan peran imam dalam taradisi Yahudi yang identik dengan kekudusan dan persembahan kurban. Penulis tampaknya mau menegaskan keistimewaan pengorbanan Kristus, karena sebagai imam Kristus sendiri mengorbankan dirinya sehingga tidak ada lagi medium "kurban" untuk menghubungkan Allah dan manusia. [2]
  • Ibrani 10:32–12:29: menyatakan bahwa pengharapan atas korban penghapusan dosa yang dilakukan oleh Yesus menjadikan manusia layak memasuki dunia surgawi.[2]
  • Ibrani 13:1–25: berisi nasihat dan penutup

Muatan teologi

Penulis surat ini berusaha mendorong pembacanya supaya tetap percaya. Untuk itu ia menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah pernyataan Tuhan yang sempurna. Tiga perkara dikemukakan oleh penulis surat ini.

Pertama, Yesus adalah Anak Tuhan -- Anak yang kekal. Anak Tuhan itu menunjukkan ketaatan-Nya kepada Bapa melalui ketabahan-Nya untuk menderita. Sebagai Anak Tuhan, Yesus lebih tinggi dari nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Ia pun lebih tinggi dari malaikat atau Musa sendiri.

Kedua, Tuhan telah menyatakan Yesus sebagai imam abadi yang lebih tinggi daripada imam-imam dalam Perjanjian Lama.

Ketiga, dengan perantaraan Yesus, orang yang percaya kepada-Nya dibebaskan dari dosa dan dari ketakutan dan kematian. Sebagai Imam Agung, Yesus memberikan kepada manusia keselamatan sejati yang tidak dapat diberikan oleh upacara-upacara persembahan kurban dan upacara-upacara lainnya di dalam agama Yahudi. Upacara-upacara itu hanya dapat memberikan gambaran dari keselamatan sejati itu saja, lain tidak.

Dengan mengemukakan contoh-contoh iman dari tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah Israel (pasal 11), penulis surat ini menganjurkan para pembacanya supaya tetap setia. Di dalam pasal 12 ia mendorong mereka supaya terus setia sampai akhir, dengan hanya melihat pada Yesus. Ia mendorong mereka juga supaya tabah menderita dan tabah menanggung tekanan-tekanan dan penganiayaan terhadap diri mereka. Surat ini diakhiri dengan nasihat dan peringatan.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h Bambang Subandrijo. 2010. Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru 2. Bandung: Bina Media Informasi. 15.
  2. ^ a b c d e f g Dianne Bergant & Robert J. Karris (eds). 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 413.
  3. ^ S. Wismoady Wahono. 2004. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 470.
  4. ^ Willi Marxsen. 2005. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis terhadap Masalah-masalahnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 266.>
  5. ^ a b c d e <John Drane. 2001. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis - Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 476-477.>