Hidangan abad pertengahan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ign christian (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Ign christian (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 28: Baris 28:
Masyarakat abad pertengahan sangat berjenjang. Pada saat [[bencana kelaparan]] umum terjadi dan [[stratifikasi sosial|hirarki sosial]] dipaksakan secara keras, makanan menjadi satu tanda penting status sosial dengan cara yang tiada bandingnya saat ini di sebagian besar [[negara maju]]. Menurut norma ideologis, masyarakat terdiri dari tiga kelas: rakyat biasa, yakni kelas pekerja —sebagai kelompok terbesar, [[rohaniwan]], dan [[bangsawan]]. Hubungan antar kelas sangatlah hirarkis, dengan kaum bangsawan dan rohaniwan mengklaim penguasaan duniawi dan rohani atas rakyat biasa. Dalam kelas bangsawan dan rohaniwan juga ada sejumlah tingkatan mulai dari para [[raja]] dan [[paus (Katolik Roma)|paus]] sampai [[adipati]], [[uskup]] dan para pembantu mereka, seperti para [[imam]]. Seseorang diharapkan untuk tetap dalam kelas sosialnya dan menghormati otoritas dari kelas-kelas yang berkuasa. Kekuatan [[politik]] ditunjukkan bukan hanya dengan peraturan, tetapi juga dengan menunjukkan kekayaan. Kelas bangsawan menikmati makanan mereka setelah permainan berburu dengan dibumbui rempah-rempah eksotis, dan menunjukkan kesopanan tata krama di meja makan; para pekerja kasar dapat mencukupkan diri dengan roti gandum kasar, daging babi yang digarami dan [[polong-polongan]], serta tidak diharapkan untuk menunjukkan etiket makan. Bahkan rekomendasi pola makannya berbeda: pola makan kalangan atas dianggap sebesar kebutuhan persyaratan fisik mereka yang baik sebagai suatu tanda realitas ekonomi. Sistem pencernaan seorang penguasa ditetapkan secara lebih diskriminatif dibanding dengan bawahannya di pedesaan dan menuntut makanan yang lebih baik.<ref>Scully (1995), p. 190–92.</ref>
Masyarakat abad pertengahan sangat berjenjang. Pada saat [[bencana kelaparan]] umum terjadi dan [[stratifikasi sosial|hirarki sosial]] dipaksakan secara keras, makanan menjadi satu tanda penting status sosial dengan cara yang tiada bandingnya saat ini di sebagian besar [[negara maju]]. Menurut norma ideologis, masyarakat terdiri dari tiga kelas: rakyat biasa, yakni kelas pekerja —sebagai kelompok terbesar, [[rohaniwan]], dan [[bangsawan]]. Hubungan antar kelas sangatlah hirarkis, dengan kaum bangsawan dan rohaniwan mengklaim penguasaan duniawi dan rohani atas rakyat biasa. Dalam kelas bangsawan dan rohaniwan juga ada sejumlah tingkatan mulai dari para [[raja]] dan [[paus (Katolik Roma)|paus]] sampai [[adipati]], [[uskup]] dan para pembantu mereka, seperti para [[imam]]. Seseorang diharapkan untuk tetap dalam kelas sosialnya dan menghormati otoritas dari kelas-kelas yang berkuasa. Kekuatan [[politik]] ditunjukkan bukan hanya dengan peraturan, tetapi juga dengan menunjukkan kekayaan. Kelas bangsawan menikmati makanan mereka setelah permainan berburu dengan dibumbui rempah-rempah eksotis, dan menunjukkan kesopanan tata krama di meja makan; para pekerja kasar dapat mencukupkan diri dengan roti gandum kasar, daging babi yang digarami dan [[polong-polongan]], serta tidak diharapkan untuk menunjukkan etiket makan. Bahkan rekomendasi pola makannya berbeda: pola makan kalangan atas dianggap sebesar kebutuhan persyaratan fisik mereka yang baik sebagai suatu tanda realitas ekonomi. Sistem pencernaan seorang penguasa ditetapkan secara lebih diskriminatif dibanding dengan bawahannya di pedesaan dan menuntut makanan yang lebih baik.<ref>Scully (1995), p. 190–92.</ref>


Pada akhir Abad Pertengahan, meningkatnya kemakmuran para [[saudagar]] dan pedagang kelas menengah berarti bahwa rakyat jelata mulai menyamai para [[aristokrat]], dan mengancam untuk mendobrak beberapa pembatas simbolis antara kaum bangsawan dan kelas yang lebih rendah. Tanggapan atasnya timbul dalam dua bentuk: peringatan berupa karya [[sastra]] [[Metode didaktik|didaktik]] tentang bahaya atas pola makan yang tidak pantas untuk kelas seseorang,<ref> Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" in ''Regional Cuisines of Medieval Europe'', pp. 155–59.</ref> dan hukum-hukum yang membatasi kemewahan jamuan makan dari rakyat jelata.<ref>Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" in ''Regional Cuisines of Medieval Europe'', pp. 160–59; Scully (1995), p. 117.</ref>
Pada akhir Abad Pertengahan, meningkatnya kemakmuran para [[saudagar]] dan pedagang kelas menengah berarti bahwa rakyat jelata mulai menyamai para [[aristokrat]], dan mengancam untuk mendobrak beberapa pembatas simbolis antara kaum bangsawan dan kelas yang lebih rendah. Tanggapan atasnya timbul dalam dua bentuk: peringatan berupa karya [[sastra]] [[Metode didaktik|didaktik]] tentang bahaya atas pola makan yang tidak pantas untuk kelas seseorang,<ref> Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam ''Regional Cuisines of Medieval Europe'', pp. 155–59.</ref> dan hukum-hukum yang membatasi kemewahan jamuan makan dari rakyat jelata.<ref>Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam ''Regional Cuisines of Medieval Europe'', pp. 160–59; Scully (1995), p. 117.</ref>


===Komposisi makanan===
===Komposisi makanan===
Baris 38: Baris 38:
Sebelum menyantap makanan, perut lebih baik "dibuka" dengan sebuah [[aperitif]] (dari [[bahasa Latin]] ''aperire'', "membuka") yang sebaiknya bersifat panas dan kering: [[makanan manis]] yang terbuat dari rempah-rempah berlapis [[gula]] - atau [[madu]] - seperti misalnya [[jahe]], [[jintan]] dan biji [[adas manis]], [[adas]] atau [[jintan putih]], [[anggur (minuman)]] dan minuman susu dengan pemanis. Setelah perut dibuka, maka seharusnya "ditutup" pada akhir santapan dengan bantuan sebuah pencerna, biasanya [[dragée]], yang mana selama Abad Pertengahan terdiri atas gumpalan gula yang dibumbui, atau [[hippocras]], beraroma anggur, bersama dengan keju tua. Sebuah hidangan makanan yang ideal dimulai dengan buah yang mudah dicerna, seperti [[apel]]. Kemudian diikuti dengan sayuran seperti [[selada]], [[kubis]], [[gelang biasa]], herbal, buah-buahan lembab, daging yang mudah dicerna seperti [[daging ayam|ayam]] atau [[daging kambing|kambing muda]], dengan [[potage]] dan [[kaldu]]. Setelah itu dilanjutkan dengan daging "berat", seperti [[daging babi|babi]] dan [[daging sapi|sapi]], disertai dengan sayuran dan kacang-kacangan, termasuk [[pir]] dan [[kastanye]], yang mana keduanya dianggap sulit dicerna. Merupakan hal yang populer, dan direkomendasikan oleh ahli medis, untuk mengakhiri hidangan makan dengan keju tua dan berbagai pencerna.<ref>Scully (1995), pp. 126–135.</ref>
Sebelum menyantap makanan, perut lebih baik "dibuka" dengan sebuah [[aperitif]] (dari [[bahasa Latin]] ''aperire'', "membuka") yang sebaiknya bersifat panas dan kering: [[makanan manis]] yang terbuat dari rempah-rempah berlapis [[gula]] - atau [[madu]] - seperti misalnya [[jahe]], [[jintan]] dan biji [[adas manis]], [[adas]] atau [[jintan putih]], [[anggur (minuman)]] dan minuman susu dengan pemanis. Setelah perut dibuka, maka seharusnya "ditutup" pada akhir santapan dengan bantuan sebuah pencerna, biasanya [[dragée]], yang mana selama Abad Pertengahan terdiri atas gumpalan gula yang dibumbui, atau [[hippocras]], beraroma anggur, bersama dengan keju tua. Sebuah hidangan makanan yang ideal dimulai dengan buah yang mudah dicerna, seperti [[apel]]. Kemudian diikuti dengan sayuran seperti [[selada]], [[kubis]], [[gelang biasa]], herbal, buah-buahan lembab, daging yang mudah dicerna seperti [[daging ayam|ayam]] atau [[daging kambing|kambing muda]], dengan [[potage]] dan [[kaldu]]. Setelah itu dilanjutkan dengan daging "berat", seperti [[daging babi|babi]] dan [[daging sapi|sapi]], disertai dengan sayuran dan kacang-kacangan, termasuk [[pir]] dan [[kastanye]], yang mana keduanya dianggap sulit dicerna. Merupakan hal yang populer, dan direkomendasikan oleh ahli medis, untuk mengakhiri hidangan makan dengan keju tua dan berbagai pencerna.<ref>Scully (1995), pp. 126–135.</ref>


Makanan yang paling ideal adalah yang paling mendekati keadaan cairan ([[humoralisme|humor]]) tubuh manusia, yakni cukup hangat dan lembab. Makanan sebaiknya juga dicincang dengan halus, ditumbuk dan disaring untuk mendapatkan sebuah campuran yang benar dari semua bahan. [[Anggur (minuman)|Anggur]] putih diyakini lebih bersifat dingin dibanding dengan yang merah dan pembedaan yang sama diterapkan untuk cuka putih dan merah. Susu bersifat cukup hangat dan lembab, tetapi susu dari hewan yang berbeda seringkali diyakini berbeda. [[Kuning telur]] dianggap hangat dan lembab, sementara [[putih telur]] dianggap dingin dan lembab. Juru masak yang terampil diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan aturan pengobatan humoral tersebut. Bahkan seandainya hal ini membatasi kombinasi makanan yang dapat mereka siapkan, masih ada banyak ruang untuk variasi artistik oleh sang [[koki]].<ref>Terence Scully, "Tempering Medieval Food" in ''Food in the Middle Ages'', pp. 7–12</ref>
Makanan yang paling ideal adalah yang paling mendekati keadaan cairan ([[humoralisme|humor]]) tubuh manusia, yakni cukup hangat dan lembab. Makanan sebaiknya juga dicincang dengan halus, ditumbuk dan disaring untuk mendapatkan sebuah campuran yang benar dari semua bahan. [[Anggur (minuman)|Anggur]] putih diyakini lebih bersifat dingin dibanding dengan yang merah dan pembedaan yang sama diterapkan untuk cuka putih dan merah. Susu bersifat cukup hangat dan lembab, tetapi susu dari hewan yang berbeda seringkali diyakini berbeda. [[Kuning telur]] dianggap hangat dan lembab, sementara [[putih telur]] dianggap dingin dan lembab. Juru masak yang terampil diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan aturan pengobatan humoral tersebut. Bahkan seandainya hal ini membatasi kombinasi makanan yang dapat mereka siapkan, masih ada banyak ruang untuk variasi artistik oleh sang [[koki]].<ref>Terence Scully, "Tempering Medieval Food" dalam ''Food in the Middle Ages'', pp. 7–12</ref>

===Susunan kalori===
Struktur dan kandungan kalori atas [[diet|pola makan]] pada jaman abad pertengahan bervariasi dari waktu ke waktu, di setiap daerah, dan setiap kelas. Namun, bagi kebanyakan orang, pola makannya cenderung ber[[karbohidrat]] tinggi, dengan sebagian besar anggaran dibelanjakan untuk [[sereal]] dan [[minuman beralkohol]] (seperti [[bir]]) —yang mana juga memasok mayoritas kalori. Walau daging sangat bernilai bagi semua kalangan, masyarakat kelas bawah sering tidak sanggup membelinya, atau tidak diperbolehkan oleh gereja untuk dikonsumsi setiap hari. Di [[Inggris]] pada abad ke-13, daging hanya memberi sangat sedikit kontribusi kalori dalam pola makan para pekerja panen umumnya; namun porsinya meningkat setelah [[Wabah Hitam]] dan pada abad ke-15 menyumbangkan sekitar 20% dari keseluruhan.<ref>Dyer (2000), p. 85</ref> Bahkan di kalangan bangsawan awam di Inggris, gandum menyumbang 65-70% kebutuhan kalori pada awal abad ke-14,<ref name="Woolgar 2006, p. 11">Woolgar (2006), p. 11</ref> meski ada suatu ketentuan yang lunak atas konsumsi daging dan ikan; konsumsi daging di kalangan mereka meningkat paska musibah Wabah Hitam. Dalam suatu rumah tangga aristokrat Inggris pada awal abad ke-15 yang mana catatan rincinya tersedia (dari seorang [[:en:Richard de Beauchamp, 13th Earl of Warwick|Earl of Warwick]]), anggota ber-"darah biru" dari keluarga tersebut mendapat 1,7 [[kilogram]] (kg) dari berbagai macam daging dalam satu hidangan daging biasa di [[musim gugur]] dan 1,1 kg di [[musim dingin]], di samping 0,41 kg roti dan 1,1 [[liter]] (L) bir atau mungkin anggur (dan ada 2 hidangan daging setiap hari, 5 hari setiap minggu, kecuali selama [[Prapaskah]]). Dalam rumah tangga [[:en:Henry Stafford, 2nd Duke of Buckingham|Henry Stafford]] pada tahun 1469, anggota keluarga bangsawan menerima 0,95 kg daging setiap kali makan, dan yang lainnya menerima 0,47 kg, serta setiap orang menerima 0,18 kg roti dan 1,1 L minuman alkohol.<ref>Hicks (2001), pp. 15–17</ref> Selain dari yang telah disebutkan, beberapa anggota rumah tangga ini (biasanya seorang minoritas) [[makan pagi]] tanpa termasuk daging, tetapi sangat mungkin termasuk tambahan 1,1 L bir; roti dan [[ale]] dalam kuantitas yang tidak tentu bisa saja dikonsumsi di antara waktu makan.<ref>Hicks (2001), pp.10–11</ref> Pola makan dari sang kepala rumah tangga agak berbeda dari susunan ini, mencakup lebih sedikit [[daging merah]], lebih banyak ikan segar, buah, anggur, dan daging hasil buruan berkualitas tinggi.<ref>Hicks (2001), p. 18</ref>

Di [[biara]]-biara, struktur dasar dari pola makan tersebut diatur oleh [[Peraturan Santo Benediktus]] di abad ke-7 dan diperketat oleh Paus [[Benediktus XII]] pada tahun 1336, tetapi (sebagaimana telah disebutkan di atas) para [[rahib]] ahli dalam "menyiasati" aturan-aturan ini. [[Anggur (minuman)|Anggur]] dibatasi sekitar 280 mL setiap hari, namun tidak ada batasan terkait untuk [[bir]], dan, di [[Westminster Abbey]], setiap rahib diberikan kelonggaran hingga 4,5 L bir setiap hari.<ref name="Woolgar 2006, p. 11"/> Daging "binatang berkaki empat" sama sekali dilarang, sepanjang tahun, untuk semua orang kecuali bagi mereka yang sangat lemah dan orang sakit. Hal ini disiasati pertama-tama dengan menyatakan bahwa [[jeroan]], dan berbagai makanan olahan seperti [[bacon]], bukanlah daging. Kedua, biara-biara memiliki sebuah ruangan yang disebut ''[[:en:misericord|misericord]]'', di mana Peraturan Santo Benediktus tidak berlaku di sana, tempat di mana sejumlah besar rahib menyantap makanan mereka. Setiap rahib akan dikirim secara berkala baik ke ''misericord'' tersebut atau ke [[refektorium]] (ruang makan biasa). Ketika Paus Benediktus XII menetapkan bahwa minimal separuh dari seluruh rahib harus diwajibkan untuk makan di refektorium pada hari tertentu, para rahib menanggapinya dengan mengecualikan orang sakit dan mereka yang diundang makan di meja sang [[abbas]].<ref>Harvey (1993), pp. 38–41</ref> Secara keseluruhan, seorang rahib di Westminster Abbey pada akhir abad ke-15 diijinkan untuk menikmati 1,02 kg roti per hari; 5 butir telur per hari, kecuali pada hari Jumat dan saat Prapaskah; 0,91 kg daging per hari, 4 hari/minggu (selain Rabu, Jumat, Sabtu), kecuali dalam masa [[Adven]] dan Prapaskah; dan 0,91 kg ikan per hari, 3 hari/minggu dan setiap hari selama masa Adven dan Prapaskah.<ref>Harvey (1993), pp. 64–65</ref> Stuktur kalori ini mencerminkan status kelas yang tinggi pada biara-biara masa abad pertengahan akhir di Inggris, dan sebagian tercermin pada Westminster Abbey, yang merupakan salah satu biara terkaya di negara tersebut; pola makan para rahib di biara-biara lainnya mungkin lebih sederhana.

Ada beberapa perdebatan perihal asupan [[kalori]] keseluruhan. Salah satu perkiraan umum adalah seorang [[petani]] [[laki-laki]] [[dewasa]] membutuhkan 2.900 kalori setiap hari, dan seorang [[wanita]] dewasa membutuhkan 2.150 kalori.<ref>Dyer (1989), p. 134</ref> Perkiraan yang lebih rendah dan lebih tinggi telah diusulkan. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan fisik yang sangat berat, seperti [[pelaut]] dan [[tentara]], mungkin mengkonsumsi 3.500 kalori atau lebih setiap hari. Konsumsi para aristokrat mungkin mencapai 4.000 sampai 5.000 kalori setiap hari.<ref>Hicks (2001), p. 8</ref> Rahib mengkonsumsi 6.000 kalori setiap hari pada hari-hari "normal", dan 4.500 kalori setiap hari saat berpuasa. Sebagai konsekuensi dari kelebihan ini, [[obesitas]] adalah hal yang umum di kalangan kelas atas.<ref>{{Cite news |url=http://www.guardian.co.uk/uk/2004/jul/15/highereducation.artsandhumanities |title=Bones reveal chubby monks aplenty |newspaper=The Guardian |date=15 July 2004}}</ref> Para rahib terutama seringkali menderita kondisi yang berhubungan dengan obesitas (dalam beberapa kasus) seperti [[artritis]].<ref>{{Cite journal|title=Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis in ancient clergymen|journal=Eur Spine J|author=J. J. Verlaan|date=August 2007|pmc=2200769|pmid=17390155|doi=10.1007/s00586-007-0342-x|volume=16|issue=8|pages=1129–35}}</ref>

==Variasi regional==
{{utama|Masakan regional Eropa abad pertengahan}}
Spesialisasi masing-masing daerah yang merupakan suatu ciri dari masakan kontemporer dan modern awal tidaklah terbukti dalam dokumentasi yang sangat jarang dan masih ada hingga saat ini. Sebaliknya, masakan abad pertengahan dapat dibeda-bedakan melalui sereal dan minyak yang membentuk norma diet dan melintasi batas [[etnis]] serta, kemudian, batas-batas [[negara]]. Variasi [[geografis]] dalam hal makan terutama merupakan akibat dari perbedaan [[iklim]], administrasi politik, dan [[adat istiadat]] setempat yang beragam di seluruh benua tersebut. Meskipun [[generalisasi]] seharusnya dihindari, sedikit banyak wilayah yang berbeda di mana bahan makanan tertentu mendominasi dapat dilihat. Di [[Kepulauan Britania]], [[Perancis]] utara, [[:en:Low Countries|Low Countries]], wilayah berbahasa [[Jerman]] di bagian utara, [[Skandinavia]] dan [[kawasan Baltik|Baltik]] iklimnya secara umum terlalu berat untuk [[budidaya]] [[anggur]] dan [[zaitun]]. Di bagian selatan, [[anggur (minuman)|minuman]] merupakan minuman yang umum bagi orang kaya maupun miskin (meski rakyat jelata harus puas dengan anggur perasan kedua yang murah); sementara [[bir]] merupakan minuman rakyat biasa di bagian utara dan anggur adalah barang impor yang mahal. Buah [[jeruk]] (walau bukan jenis yang paling umum pada saat ini) dan [[delima]] umum dijumpai di sekitar Mediterania. [[Kurma (pohon)|Kurma]] dan [[Ficus|ara]] kering tersedia di utara, tetapi hanya digunakan secukupnya untuk masakan.<ref>Scully (1995), p. 218.</ref>

[[Minyak zaitun]] adalah sebuah bahan yang dapat dijumpai di mana-mana di sekitar Mediterania, tetapi tetap merupakan bahan impor yang mahal di bagian utara di mana minyak dari [[bunga poppy]], [[kenari]], dan [[kacang hazel]] merupakan alternatif-alternatif yang paling terjangkau. [[Mentega]] dan [[lemak babi]], terutama setelah kematian mengerikan selama [[Wabah Hitam]] menjadikannya sedikit langka, digunakan dalam jumlah yang cukup besar di bagian utara dan barat laut, khususnya di [[:en:Low Countries|Low Countries]]. Hampir umum pada masakan kelas menengah dan atas di seluruh Eropa mengandung [[almond]], yang terkandung dalam [[sari kacang almond|susu almond]] yang dijumpai di mana-mana dan sangat serbaguna; almond juga digunakan sebagai pengganti telur atau susu dalam hidangan, meski pelbagai jenis almond yang getir juga digunakan jauh di kemudian hari.<ref>Scully (1995), p. 83.</ref>


<!--
<!--

Revisi per 27 Juli 2015 08.59

Sekelompok penjelajah berbagi makanan sederhana yang berupa roti dan minuman; Livre du roi Modus et de la reine Ratio, pada abad ke-14.

Masakan Abad Pertengahan mencakup makanan, kebiasaan makan, dan cara memasak berbagai kebudayaan Eropa selama Abad Pertengahan, suatu masa dalam kurun waktu sekitar abad ke-5 sampai abad ke-16. Selama periode ini, pola makan dan memasak lebih sedikit mengalami perubahan di Eropa dibanding pada awal periode modern (sebelum Revolusi Industri) yang lebih singkat, di mana perubahan-perubahan itu berperan meletakkan fondasi untuk masakan Eropa modern. Sereal masih merupakan bahan pokok terpenting sepanjang awal Abad Pertengahan di mana beras diperkenalkan belakangan ke Eropa dan kentang baru diperkenalkan pada tahun 1536, yang mana baru di kemudian hari dikenal secara luas. Jelai, oat dan gandum hitam untuk kaum miskin, dan gandum untuk kaum penguasa, dimakan sebagai roti, bubur, bubur sumsum dan pasta oleh semua lapisan masyarakat. Kara oncet dan sayuran merupakan suplemen penting untuk pola makan yang berbasis sereal untuk kelas yang lebih rendah. (polong-polongan Phaseolus, sekarang Phaseolus vulgaris, berasal dari Dunia Baru dan diperkenalkan setelah Columbian Exchange di abad ke-16)

Daging lebih mahal, lebih bergengsi, dan dalam bentuk permainan berburu biasanya hanya sebagai konsumsi kaum bangsawan. Yang paling umum dijual oleh tukang daging adalah daging babi, ayam, dan unggas domestik lainnya; sapi, yang mana membutuhkan investasi lahan lebih besar, lebih jarang dijumpai. Ikan kod dan haring menjadi andalan di daerah bagian utara; bahan makanan tersebut dikeringkan, diasap atau diasinkan oleh mereka yang tinggal di pedalaman, tetapi berbagai ikan air tawar dan ikan air asin lainnya juga dikonsumsi oleh mereka.

Teknik pengawetan makanan (terutama pengeringan, pengasinan, pengasapan, dan pengasaman) dan waktu pengangkutan yang lama menjadikan perdagangan jarak jauh atas banyak jenis makanan sangatlah mahal. Karena itu, makanan kaum bangsawan lebih cenderung terpengaruh bangsa asing dibanding dengan masakan kaum miskin; ini bergantung pada rempah-rempah eksotis dan biaya impor yang mahal. Sebagaimana setiap lapisan masyarakat mengikuti salah satu hal di atas, inovasi-inovasi dari perdagangan internasional dan peperangan dengan bangsa asing sejak abad ke-12 dan seterusnya secara bertahap tersebar luas melalui kelas menengah atas di kota-kota masa abad pertengahan. Selain tidak tersedianya barang mewah — seperti rempah-rempah — secara ekonomis, ada berbagai ketetapan yang melarang konsumsi makanan tertentu di kelas-kelas sosial tertentu dan hukum yang membatasi konsumsi berlebihan (demi publisitas) pada golongan orang kaya baru. Norma sosial juga menetapkan bahwa makanan kelas pekerja harus lebih sederhana, karena diyakini ada kemiripan alamiah antara pekerjaan dan makanan seseorang; pekerja kasar perlu makanan yang lebih kesat, yang lebih murah.

Satu jenis masakan olahan dikembangkan pada akhir Abad Pertengahan yang menjadi norma kalangan bangsawan di seluruh Eropa. Bumbu-bumbu penyedap yang umum dalam perbendaharaan asam-manis yang sangat berbumbu khas makanan abad pertengahan kelas atas meliputi jus masam (verjuice), anggur dan cuka dikombinasikan dengan rempah seperti lada hitam, kuma-kuma dan jahe. Semua itu, seiring dengan meluasnya penggunaan gula atau madu, memberi rasa asam-manis pada banyak hidangan. Almond sangat populer sebagai pengental dalam sup, rebusan, dan saus, terutama sebagai susu almond.

Norma diet

Masakan dari kebudayaan Mediterania (daerah di sekitar Laut Tengah) sejak jaman dahulu telah menjadikan sereal, terutama berbagai jenis gandum, sebagai bahan pokok. Bubur, dan kemudian roti, menjadi makanan pokok dasar yang menghasilkan asupan kalori utama bagi sebagian besar penduduk. Dari abad ke-8 hingga 11, proporsi berbagai sereal dalam pola makan (diet) meningkat dari sekitar menjadi ¾.[1] Ketergantungan pada gandum tetap signifikan sepanjang abad pertengahan, dan menyebar ke bagian utara seiring dengan maraknya Kekristenan. Namun pada daerah yang beriklim lebih dingin biasanya tidak terjangkau bagi mayoritas penduduk, dan dikaitkan dengan kelas-kelas yang lebih tinggi. Peran sentral roti dalam ritus keagamaan seperti Ekaristi menjadikan pamornya sangat tinggi di antara bahan pangan. Hanya minyak (zaitun) dan anggur (minuman) yang nilainya dapat dibandingkan, tetapi keduanya tetaplah cukup eksklusif di luar daerah-daerah beriklim panas tempat tumbuhnya pohon zaitun dan anggur. Peranan simbolis roti sebagai kelangsungan hidup dan esensi digambarkan dalam sebuah khotbah yang dibawakan oleh Santo Agustinus:[1]

Roti ini menceritakan kembali sejarahmu ... Kamu dibawa ke tempat perontokan Tuhan dan kamu dirontokkan ... Saat katekumenat, kamu bagaikan gandum yang disimpan dalam lumbung ... Pada bejana baptis kamu diremas ke dalam satu adonan. Dalam tempat pemanggangan Roh Kudus kamu dipanggang menjadi roti sejati Allah.

Gereja

Selama Abad Pertengahan ada kepercayaan bahwa ekor berang-berang sifatnya seperti ikan sehingga dapat dimakan pada hari-hari puasa; Livre des simples médecines, c.1480.

Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur dan kalender liturgi mereka memberi pengaruh yang besar terhadap kebiasaan makan; konsumsi daging tidak diperbolehkan selama sepertiga tahun penuh bagi kebanyakan umat Kristiani, dan semua produk hewani (selain ikan), termasuk telur dan produk susu, umumnya dilarang selama masa puasa dan Prapaskah. Selain itu, menjadi kebiasaan bagi semua masyarakat untuk berpuasa sebelum menerima Ekaristi, dan puasa ini terkadang dilakukan selama satu hari penuh sambil berpantang total.

Semua Gereja Timur dan Barat menetapkan bahwa hari raya dan puasa harus bergantian. Di sebagian besar Eropa, hari Jumat adalah hari puasa, dan berpuasa dilakukan pada berbagai hari lain dan masa tertentu, termasuk Prapaskah dan Adven. Daging dan produk hewani seperti susu, keju, mentega dan telur, tidaklah diperbolehkan, kecuali ikan. Puasa tersebut dimaksudkan untuk mematikan keinginan tubuh dan menghidupkan jiwa, dan juga untuk mengenang pengosongan diri Kristus melalui pengorbanan-Nya bagi umat manusia. Tujuannya bukan untuk mendeskripsikan bahwa makanan tertentu adalah najis, melainkan lebih kepada pembelajaran rohani dalam pengekangan diri melalui abstinensi. Selama hari-hari puasa tertentu yang berat, waktu makan dalam sehari hanyalah satu kali. Sekalipun kebanyakan orang menghormati berbagai pembatasan ini dan biasanya melakukan silih ketika melanggarnya, namun juga ada berbagai cara untuk menghindarinya; suatu konflik antara hal yang ideal dan prakteknya diringkas oleh penulis Bridget Ann Henisch:[2]

Adalah sifat manusia untuk membangun sangkar peraturan yang paling rumit yang mana untuk menjerat dirinya sendiri, dan kemudian, dengan semangat dan kecerdikan yang sama, memutar otaknya pada permasalahan bagaimana untuk keluar kembali dengan penuh kemenangan. Prapaskah adalah sebuah tantangan; permainan ini adalah menemukan celah-celahnya.

Para suster bersantap dalam keheningan sambil mendengarkan pembacaan Alkitab. Perhatikan bahwa isyarat tangan digunakan untuk berkomunikasi; The Life of Blessed Saint Humility karya Pietro Lorenzetti, 1341.

Selagi produk-produk hewani dihindari selama masa silih, kompromi pragmatis seringkali menang. Definisi "ikan" sering diperluas pada hewan-hewan laut dan semi-akuatik ikan paus, angsa teritip, burung puffin, dan bahkan berang-berang. Pilihan bahan ramuan mungkin terbatas, tapi tidak berarti bahwa porsi makanan menjadi lebih sedikit. Tidak ada pembatasan untuk makan yang manis-manis atau minum (secukupnya). Jamuan makan yang diadakan pada 'hari-hari ikan' bisa saja megah, dan ada kesempatan-kesempatan umum untuk menghidangkan makanan khayalan yang meniru daging, keju dan telur dalam berbagai cara yang cerdas; ikan dapat dibentuk agar terlihat seperti daging rusa, telur tiruan bisa dibuat dengan mengisi kulit telur kosong dengan telur ikan dan susu almond serta memasaknya di atas bara api. Sementara otoritas gereja Bizantium menggunakan pendekatan garis keras, dan menyurutkan setiap perbaikan kuliner bagi para klerus, rekan-rekan Barat mereka jauh lebih lunak.[3] Gerutu di kaum awam perihal kerasnya puasa juga tidak berkurang. Selama masa Prapaskah, para raja dan anak sekolah, rakyat jelata dan bangsawan, semuanya mengeluh tentang kurangnya daging selama minggu-minggu yang keras dan lama untuk perenungan khusyuk atas dosa-dosa mereka. Saat Prapaskah, para pemilik peternakan bahkan diperingatkan untuk mengawasi akan adanya anjing-anjing lapar yang frustasi karena suatu "blokade keras oleh Prapaskah dan tulang-tulang ikan".[4]

Kecenderungan dari abad ke-13 dan seterusnya adalah ke arah penafsiran puasa yang lebih legalistik. Kaum bangsawan berhati-hati untuk tidak makan daging pada hari-hari puasa, tetapi tetap menyantap makanan dalam gaya mereka; ikan menggantikan daging, seringkali berupa tiruan ham dan bacon; susu almond menggantikan susu hewani sebagai suatu alternatif produk bukan susu yang mahal; telur tiruan yang dibuat dari susu almond dimasak dalam kulit telur kosong, dibumbui dan diwarnai dengan rempah-rempah istimewa. Dalam beberapa kasus kemewahan meja bangsawan tersebut kalah dengan biara-biara Benediktin, yang menghidangkan sebanyak 16 menu selama hari-hari raya tertentu. Pengecualian untuk berpuasa sering dibuat bagi kelompok-kelompok yang telah didefinisikan secara luas. St Thomas Aquinas (c. 1225-1274) meyakini bahwa dispensasi harus diberikan bagi anak-anak, orang lanjut usia, peziarah, pekerja dan pengemis, tetapi bukan kaum miskin selama mereka masih memiliki tempat tinggal.[5] Ada banyak kisah dari anggota-anggota ordo monastik yang mencemooh peraturan puasa melalui penafsiran cerdas dari Alkitab. Karena orang sakit dibebaskan dari kewajiban berpuasa, sering berkembang gagasan bahwa aturan berpuasa hanya diterapkan pada ruang makan utama, dan banyak biarawan mendikan (friar) yang menyantap makanan saat hari puasa di tempat yang kemudian berkembang menjadi misericord ketimbang di ruang makan biasa (refektorium).[6] Para pimpinan biara Katolik yang baru menjabat berusaha untuk mengubah masalah penghindaran puasa tersebut tidak hanya dengan kecaman moral, tetapi dengan memastikan bahwa hidangan bukan daging yang telah disiapkan dengan baik tersedia pada hari-hari berpuasa.[3]

Pembatas kelas

Masyarakat abad pertengahan sangat berjenjang. Pada saat bencana kelaparan umum terjadi dan hirarki sosial dipaksakan secara keras, makanan menjadi satu tanda penting status sosial dengan cara yang tiada bandingnya saat ini di sebagian besar negara maju. Menurut norma ideologis, masyarakat terdiri dari tiga kelas: rakyat biasa, yakni kelas pekerja —sebagai kelompok terbesar, rohaniwan, dan bangsawan. Hubungan antar kelas sangatlah hirarkis, dengan kaum bangsawan dan rohaniwan mengklaim penguasaan duniawi dan rohani atas rakyat biasa. Dalam kelas bangsawan dan rohaniwan juga ada sejumlah tingkatan mulai dari para raja dan paus sampai adipati, uskup dan para pembantu mereka, seperti para imam. Seseorang diharapkan untuk tetap dalam kelas sosialnya dan menghormati otoritas dari kelas-kelas yang berkuasa. Kekuatan politik ditunjukkan bukan hanya dengan peraturan, tetapi juga dengan menunjukkan kekayaan. Kelas bangsawan menikmati makanan mereka setelah permainan berburu dengan dibumbui rempah-rempah eksotis, dan menunjukkan kesopanan tata krama di meja makan; para pekerja kasar dapat mencukupkan diri dengan roti gandum kasar, daging babi yang digarami dan polong-polongan, serta tidak diharapkan untuk menunjukkan etiket makan. Bahkan rekomendasi pola makannya berbeda: pola makan kalangan atas dianggap sebesar kebutuhan persyaratan fisik mereka yang baik sebagai suatu tanda realitas ekonomi. Sistem pencernaan seorang penguasa ditetapkan secara lebih diskriminatif dibanding dengan bawahannya di pedesaan dan menuntut makanan yang lebih baik.[7]

Pada akhir Abad Pertengahan, meningkatnya kemakmuran para saudagar dan pedagang kelas menengah berarti bahwa rakyat jelata mulai menyamai para aristokrat, dan mengancam untuk mendobrak beberapa pembatas simbolis antara kaum bangsawan dan kelas yang lebih rendah. Tanggapan atasnya timbul dalam dua bentuk: peringatan berupa karya sastra didaktik tentang bahaya atas pola makan yang tidak pantas untuk kelas seseorang,[8] dan hukum-hukum yang membatasi kemewahan jamuan makan dari rakyat jelata.[9]

Komposisi makanan

Ilmu kedokteran pada jaman Abad Pertengahan berpengaruh besar terhadap apa yang dianggap sehat dan bergizi di kalangan masyarakat kelas atas. Gaya hidup seseorang — termasuk pola makan, olahraga, perilaku sosial yang sesuai, dan obat-obatan medis yang telah disetujui — merupakan cara untuk meraih kesehatan yang prima, dan semua jenis makanan memiliki sifat-sifat tertentu yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Semua bahan makanan juga diklasifikasikan dalam skala, yang berkisar dari yang sifatnya panas sampai dingin dan lembab sampai kering, menurut teori humoralisme yang diajukan Galen dan mendominasi ilmu kedokteran Barat sejak jaman dahulu sampai dengan abad ke-17.

Para cendekiawan abad pertengahan menganggap pencernaan manusia seperti sebuah proses yang serupa dengan memasak. Pengolahan makanan pada lambung dilihat sebagai suatu kelanjutan dari persiapan yang dilakukan oleh sang juru masak. Agar makanan benar-benar "matang" dan nutrisi terserap dengan baik, adalah hal penting bahwa perut (lambung) diisi dengan cara yang tepat. Makanan yang mudah dicerna dikonsumsi pertama kali, diikuti secara bertahap dengan hidangan yang lebih berat. Apabila pola ini tidak dituruti, diyakini bahwa makanan-makanan berat akan tenggelam di dasar lambung sehingga menghalangi saluran pencernaan; dengan demikian makanan akan lambat sekali dicerna, menyebabkan pembusukan, dan menarik cairan-cairan buruk ke dalam lambung. Juga sangat penting bahwa makanan dari sifat-sifat yang berbeda tidak digabungkan.[10]

Sebelum menyantap makanan, perut lebih baik "dibuka" dengan sebuah aperitif (dari bahasa Latin aperire, "membuka") yang sebaiknya bersifat panas dan kering: makanan manis yang terbuat dari rempah-rempah berlapis gula - atau madu - seperti misalnya jahe, jintan dan biji adas manis, adas atau jintan putih, anggur (minuman) dan minuman susu dengan pemanis. Setelah perut dibuka, maka seharusnya "ditutup" pada akhir santapan dengan bantuan sebuah pencerna, biasanya dragée, yang mana selama Abad Pertengahan terdiri atas gumpalan gula yang dibumbui, atau hippocras, beraroma anggur, bersama dengan keju tua. Sebuah hidangan makanan yang ideal dimulai dengan buah yang mudah dicerna, seperti apel. Kemudian diikuti dengan sayuran seperti selada, kubis, gelang biasa, herbal, buah-buahan lembab, daging yang mudah dicerna seperti ayam atau kambing muda, dengan potage dan kaldu. Setelah itu dilanjutkan dengan daging "berat", seperti babi dan sapi, disertai dengan sayuran dan kacang-kacangan, termasuk pir dan kastanye, yang mana keduanya dianggap sulit dicerna. Merupakan hal yang populer, dan direkomendasikan oleh ahli medis, untuk mengakhiri hidangan makan dengan keju tua dan berbagai pencerna.[11]

Makanan yang paling ideal adalah yang paling mendekati keadaan cairan (humor) tubuh manusia, yakni cukup hangat dan lembab. Makanan sebaiknya juga dicincang dengan halus, ditumbuk dan disaring untuk mendapatkan sebuah campuran yang benar dari semua bahan. Anggur putih diyakini lebih bersifat dingin dibanding dengan yang merah dan pembedaan yang sama diterapkan untuk cuka putih dan merah. Susu bersifat cukup hangat dan lembab, tetapi susu dari hewan yang berbeda seringkali diyakini berbeda. Kuning telur dianggap hangat dan lembab, sementara putih telur dianggap dingin dan lembab. Juru masak yang terampil diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan aturan pengobatan humoral tersebut. Bahkan seandainya hal ini membatasi kombinasi makanan yang dapat mereka siapkan, masih ada banyak ruang untuk variasi artistik oleh sang koki.[12]

Susunan kalori

Struktur dan kandungan kalori atas pola makan pada jaman abad pertengahan bervariasi dari waktu ke waktu, di setiap daerah, dan setiap kelas. Namun, bagi kebanyakan orang, pola makannya cenderung berkarbohidrat tinggi, dengan sebagian besar anggaran dibelanjakan untuk sereal dan minuman beralkohol (seperti bir) —yang mana juga memasok mayoritas kalori. Walau daging sangat bernilai bagi semua kalangan, masyarakat kelas bawah sering tidak sanggup membelinya, atau tidak diperbolehkan oleh gereja untuk dikonsumsi setiap hari. Di Inggris pada abad ke-13, daging hanya memberi sangat sedikit kontribusi kalori dalam pola makan para pekerja panen umumnya; namun porsinya meningkat setelah Wabah Hitam dan pada abad ke-15 menyumbangkan sekitar 20% dari keseluruhan.[13] Bahkan di kalangan bangsawan awam di Inggris, gandum menyumbang 65-70% kebutuhan kalori pada awal abad ke-14,[14] meski ada suatu ketentuan yang lunak atas konsumsi daging dan ikan; konsumsi daging di kalangan mereka meningkat paska musibah Wabah Hitam. Dalam suatu rumah tangga aristokrat Inggris pada awal abad ke-15 yang mana catatan rincinya tersedia (dari seorang Earl of Warwick), anggota ber-"darah biru" dari keluarga tersebut mendapat 1,7 kilogram (kg) dari berbagai macam daging dalam satu hidangan daging biasa di musim gugur dan 1,1 kg di musim dingin, di samping 0,41 kg roti dan 1,1 liter (L) bir atau mungkin anggur (dan ada 2 hidangan daging setiap hari, 5 hari setiap minggu, kecuali selama Prapaskah). Dalam rumah tangga Henry Stafford pada tahun 1469, anggota keluarga bangsawan menerima 0,95 kg daging setiap kali makan, dan yang lainnya menerima 0,47 kg, serta setiap orang menerima 0,18 kg roti dan 1,1 L minuman alkohol.[15] Selain dari yang telah disebutkan, beberapa anggota rumah tangga ini (biasanya seorang minoritas) makan pagi tanpa termasuk daging, tetapi sangat mungkin termasuk tambahan 1,1 L bir; roti dan ale dalam kuantitas yang tidak tentu bisa saja dikonsumsi di antara waktu makan.[16] Pola makan dari sang kepala rumah tangga agak berbeda dari susunan ini, mencakup lebih sedikit daging merah, lebih banyak ikan segar, buah, anggur, dan daging hasil buruan berkualitas tinggi.[17]

Di biara-biara, struktur dasar dari pola makan tersebut diatur oleh Peraturan Santo Benediktus di abad ke-7 dan diperketat oleh Paus Benediktus XII pada tahun 1336, tetapi (sebagaimana telah disebutkan di atas) para rahib ahli dalam "menyiasati" aturan-aturan ini. Anggur dibatasi sekitar 280 mL setiap hari, namun tidak ada batasan terkait untuk bir, dan, di Westminster Abbey, setiap rahib diberikan kelonggaran hingga 4,5 L bir setiap hari.[14] Daging "binatang berkaki empat" sama sekali dilarang, sepanjang tahun, untuk semua orang kecuali bagi mereka yang sangat lemah dan orang sakit. Hal ini disiasati pertama-tama dengan menyatakan bahwa jeroan, dan berbagai makanan olahan seperti bacon, bukanlah daging. Kedua, biara-biara memiliki sebuah ruangan yang disebut misericord, di mana Peraturan Santo Benediktus tidak berlaku di sana, tempat di mana sejumlah besar rahib menyantap makanan mereka. Setiap rahib akan dikirim secara berkala baik ke misericord tersebut atau ke refektorium (ruang makan biasa). Ketika Paus Benediktus XII menetapkan bahwa minimal separuh dari seluruh rahib harus diwajibkan untuk makan di refektorium pada hari tertentu, para rahib menanggapinya dengan mengecualikan orang sakit dan mereka yang diundang makan di meja sang abbas.[18] Secara keseluruhan, seorang rahib di Westminster Abbey pada akhir abad ke-15 diijinkan untuk menikmati 1,02 kg roti per hari; 5 butir telur per hari, kecuali pada hari Jumat dan saat Prapaskah; 0,91 kg daging per hari, 4 hari/minggu (selain Rabu, Jumat, Sabtu), kecuali dalam masa Adven dan Prapaskah; dan 0,91 kg ikan per hari, 3 hari/minggu dan setiap hari selama masa Adven dan Prapaskah.[19] Stuktur kalori ini mencerminkan status kelas yang tinggi pada biara-biara masa abad pertengahan akhir di Inggris, dan sebagian tercermin pada Westminster Abbey, yang merupakan salah satu biara terkaya di negara tersebut; pola makan para rahib di biara-biara lainnya mungkin lebih sederhana.

Ada beberapa perdebatan perihal asupan kalori keseluruhan. Salah satu perkiraan umum adalah seorang petani laki-laki dewasa membutuhkan 2.900 kalori setiap hari, dan seorang wanita dewasa membutuhkan 2.150 kalori.[20] Perkiraan yang lebih rendah dan lebih tinggi telah diusulkan. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan fisik yang sangat berat, seperti pelaut dan tentara, mungkin mengkonsumsi 3.500 kalori atau lebih setiap hari. Konsumsi para aristokrat mungkin mencapai 4.000 sampai 5.000 kalori setiap hari.[21] Rahib mengkonsumsi 6.000 kalori setiap hari pada hari-hari "normal", dan 4.500 kalori setiap hari saat berpuasa. Sebagai konsekuensi dari kelebihan ini, obesitas adalah hal yang umum di kalangan kelas atas.[22] Para rahib terutama seringkali menderita kondisi yang berhubungan dengan obesitas (dalam beberapa kasus) seperti artritis.[23]

Variasi regional

Spesialisasi masing-masing daerah yang merupakan suatu ciri dari masakan kontemporer dan modern awal tidaklah terbukti dalam dokumentasi yang sangat jarang dan masih ada hingga saat ini. Sebaliknya, masakan abad pertengahan dapat dibeda-bedakan melalui sereal dan minyak yang membentuk norma diet dan melintasi batas etnis serta, kemudian, batas-batas negara. Variasi geografis dalam hal makan terutama merupakan akibat dari perbedaan iklim, administrasi politik, dan adat istiadat setempat yang beragam di seluruh benua tersebut. Meskipun generalisasi seharusnya dihindari, sedikit banyak wilayah yang berbeda di mana bahan makanan tertentu mendominasi dapat dilihat. Di Kepulauan Britania, Perancis utara, Low Countries, wilayah berbahasa Jerman di bagian utara, Skandinavia dan Baltik iklimnya secara umum terlalu berat untuk budidaya anggur dan zaitun. Di bagian selatan, minuman merupakan minuman yang umum bagi orang kaya maupun miskin (meski rakyat jelata harus puas dengan anggur perasan kedua yang murah); sementara bir merupakan minuman rakyat biasa di bagian utara dan anggur adalah barang impor yang mahal. Buah jeruk (walau bukan jenis yang paling umum pada saat ini) dan delima umum dijumpai di sekitar Mediterania. Kurma dan ara kering tersedia di utara, tetapi hanya digunakan secukupnya untuk masakan.[24]

Minyak zaitun adalah sebuah bahan yang dapat dijumpai di mana-mana di sekitar Mediterania, tetapi tetap merupakan bahan impor yang mahal di bagian utara di mana minyak dari bunga poppy, kenari, dan kacang hazel merupakan alternatif-alternatif yang paling terjangkau. Mentega dan lemak babi, terutama setelah kematian mengerikan selama Wabah Hitam menjadikannya sedikit langka, digunakan dalam jumlah yang cukup besar di bagian utara dan barat laut, khususnya di Low Countries. Hampir umum pada masakan kelas menengah dan atas di seluruh Eropa mengandung almond, yang terkandung dalam susu almond yang dijumpai di mana-mana dan sangat serbaguna; almond juga digunakan sebagai pengganti telur atau susu dalam hidangan, meski pelbagai jenis almond yang getir juga digunakan jauh di kemudian hari.[25]

Catatan

  1. ^ a b Hunt & Murray (1999), p. 16.
  2. ^ Henisch (1976), p. 41.
  3. ^ a b Henisch (1976), p. 43.
  4. ^ Henisch (1976), p. 40.
  5. ^ Bynum (1987), p. 41; lihat pula Scully (1995), pp. 58–64 dan Adamson (2004), pp. 72, 191–92.
  6. ^ Henisch (1976), p. 46.
  7. ^ Scully (1995), p. 190–92.
  8. ^ Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam Regional Cuisines of Medieval Europe, pp. 155–59.
  9. ^ Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam Regional Cuisines of Medieval Europe, pp. 160–59; Scully (1995), p. 117.
  10. ^ Scully (1995), pp. 135–136.
  11. ^ Scully (1995), pp. 126–135.
  12. ^ Terence Scully, "Tempering Medieval Food" dalam Food in the Middle Ages, pp. 7–12
  13. ^ Dyer (2000), p. 85
  14. ^ a b Woolgar (2006), p. 11
  15. ^ Hicks (2001), pp. 15–17
  16. ^ Hicks (2001), pp.10–11
  17. ^ Hicks (2001), p. 18
  18. ^ Harvey (1993), pp. 38–41
  19. ^ Harvey (1993), pp. 64–65
  20. ^ Dyer (1989), p. 134
  21. ^ Hicks (2001), p. 8
  22. ^ "Bones reveal chubby monks aplenty". The Guardian. 15 July 2004. 
  23. ^ J. J. Verlaan (August 2007). "Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis in ancient clergymen". Eur Spine J. 16 (8): 1129–35. doi:10.1007/s00586-007-0342-x. PMC 2200769alt=Dapat diakses gratis. PMID 17390155. 
  24. ^ Scully (1995), p. 218.
  25. ^ Scully (1995), p. 83.

Referensi

  • Adamson, Melitta Weiss (editor), Food in the Middle Ages: A Book of Essays. Garland, New York. 1995. ISBN 0-85976-145-2
  • Adamson, Melitta Weiss (editor), Regional Cuisines of Medieval Europe: A Book of Essays. Routledge, New York. 2002. ISBN 0-415-92994-6
  • Adamson, Melitta Weiss, Food in Medieval Times. Greenwood Press, Westport, CT. 2004. ISBN 0-313-32147-7
  • Bynum, Caroline, Holy Feast and Holy Fast: The Religious Significance of Food to Medieval Women. University of California Press, Berkeley. 1987. ISBN 0-520-05722-8
  • Carlin, Martha & Rosenthal, Joel T. (editors), Food and Eating in Medieval Europe. The Hambledon Press, London. 1998. ISBN 1-85285-148-1
  • Carnevale Schianca, Enrico, La cucina medievale. Lessico, storia, preparazioni. Olschki, Firenze. 2011. ISBN 978-88-222-6073-4
  • Dembinska, Maria, Food and Drink in Medieval Poland: Rediscovering a Cuisine of the Past. translated by Magdalena Thomas, revised and adapted by William Woys Weaver. University of Pennsylvania Press, Philadelphia. 1999. ISBN 0-8122-3224-0
  • Dickie, John, Delizia! The epic history of the Italians and their food. 2008.
  • Dyer, Christopher, Everyday life in medieval England, Continuum International Publishing Group, 2000
  • Eßlinger, Hans Michael (editor), Handbook of Brewing: Processes, Technology, Markets. Wiley-VCH, Weinheim. 2009. ISBN 978-3-527-31674-8
  • Fenton, Alexander & Kisbán, Eszter (editors), Food in Change: Eating Habits from the Middle Ages to the Present Day. John Donald Publishers, Edinburgh. 1986. ISBN 0-85976-145-2
  • The Fontana Economic History of Europe: The Middle Ages. Fontana, London. 1972. ISBN 0-00-632841-5
  • Freedman, Paul Out of the East: Spices and the Medieval Imagination. Yale University Press, New Haven. 2008. ISBN 978-0-300-11199-6
  • Hanson, Davd J. Preventing alcohol abuse: alcohol, culture, and control. Greenwood Publishing Group, Westport. 1995. ISBN 0-275-94926-5
  • Harvey, Barbara F., Living and dying in England, 1100-1540: the monastic experience, Oxford University Press, 1993
  • Henisch, Bridget Ann, Fast and Feast: Food in Medieval Society. The Pennsylvania State Press, University Park. 1976. ISBN 0-271-01230-7
  • Hicks, Michael A., Revolution and consumption in late medieval England, Boydell & Brewer, 2001
  • Hunt, Edwin S. & Murray, James H., A history of business in Medieval Europe, 1200-1550. Cambridge University Press, Cambridge. 1999. ISBN 0-521-49923-2
  • Glick, Thomas, Livesey, Steven J. & Wallis, Faith (editors), Medieval Science, Technology, and Medicine: an Encyclopedia. Routledge, New York. 2005. ISBN 0-415-96930-1
  • (Prancis) Mulon, "Deux traités d'art culinaire médié", Bulletin philologique et historique. Comité des travaux historiques et scientifiques, Paris. 1958.
  • Scully, Terence, The Art of Cookery in the Middle Ages. The Boydell Press, Woodbridge. 1995. ISBN 0-85115-611-8
  • Toussant-Samat, Maguelonne, The History of Food. 2nd edition (translation: Anthea Bell) Wiley-Blackwell, Chichester. 2009. ISBN 978-1-4051-8119-8
  • Unger, Richard W., Beer in the Middle Ages and the Renaissance. University of Pennsylvania Press, Philadelphia. 2007. ISBN 978-0-8122-1999-9
  • Woolgar, C.M., Food in medieval England: diet and nutrition, Oxford University Press, 2006
  • Rambourg, Patrick, Histoire de la cuisine et de la gastronomie françaises, Paris, Ed. Perrin (coll. tempus n° 359), 2010, 381 pages. ISBN 978-2-262-03318-7

Pranala luar