Penceluran

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langkah pertama dalam penceluran kacang buncis
Merendam brokoli yang sedang dalam air dingin sebagai langkah akhir penceluran

Penceluran atau blansir (Inggris: blanching) adalah sebuah teknik memasak makanan. Dalam proses penceluran, makanan direndam dalam air yang mendidih dan dicelupkan ke dalam air es atau dialiri air dingin (juga dikenal sebagai pengejutan atau refreshing[1]). Makanan yang telah melalui proses penceluran mengalami penurunan kualitas yang lebih sedikit.[2] Penceluran sering dilakukan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan penceluran adalah untuk menonaktifkan enzim, mengubah tekstur makanan, dan menghilangkan kulit dan jaringan layu pada makanan.[3] Penceluran juga dilakukan untuk mempertahankan warna, rasa, dan nilai gizi.makanan.[3] Proses ini memiliki tiga tahap: pemanasan awal, penceluran dan pendinginan.[2] Metode penceluran yang paling sering digunakan adalah penceluran menggunakan air atau uap panas, sedangkan untuk pendinginan dilakukan dengan air atau udara dingin.[4][5] Manfaat lain dari penceluran adalah menghilangkan sisa pestisida pada makanan dan mengurangi jumlah mikroba.[5] Kekurangan penceluran antara lain adalah hilangnya nutrisi yang larut dalam air atau peka panas dan produksi limbah (effluent).[3]

Penerapan[sunting | sunting sumber]

1. Penceluran digunakan di dapur rumah dan sebagai tahap pra-perawatan dalam industri makanan. Dalam kasus tersebut, tujuan utama penceluran adalah untuk menonaktifkan enzim penyebab perubahan warna, tekstur, dan pemicu rasa tidak enak.[3] Enzim yang membuat buah-buahan dan sayuran busuk antara lain adalah lipoksigenase, polifenoloksidase, poligalakturonase, dan klorofilase.[6] Indikator keberhasilan blanching yang umum digunakan adalah ketidakberadaan enzim katalase dan peroksidase, karena enzim tersebut merupakan enzim yang paling tahan panas.[3][4] Enzim tersebut menyebabkan hilangnya rasa, warna, tekstur, dan nutrisi selama penyimpanan produk.[5][7]

2. Blanching mempertahankan rasa dalam buah-buahan dan sayuran dengan menonaktifkan enzim yang mengubah rasa.[3] Enzim yang paling umum menyebabkan perubahan rasa adalah enzim lipoksigenase (LOX), yang telah ditemui di beberapa sayuran.[3]

3. Proses blanching mengeluarkan udara di dalam jaringan tanaman, yang merupakan langkah penting sebelum pengalengan.[5] Blanching mencegah pemuaian/ekspansi udara selama pemrosesan dan mengurangi stres pada wadah dan risiko kaleng memiliki celah.[5] Selain itu, penghilangan gas di makanan, seperti pir, akan menghasilkan tekstur yang lebih baik dan mengurangi oksidasi makanan.[5] Gas antar sel juga dikeluarkan, yang menyebabkan warna lebih tahan lama.[8]

4. Pengupasan buah-buahan, sayuran, dan kacang penting dalam pengolahan makanan.[5] Ketika kacang almond atau pistachio melalui proses blanching, kulit kacang (kulit biji yang mengelilingi embrio) menjadi lunak dan lebih mudah dikupas. Pengelupasan dengan uap lebih ramah lingkungan dan memiliki lebih sedikit kerugian pengelupasan dibandingkan dengan pengelupasan manual atau pengelupasan dengan kimia.[5]

Kacang almond yang sudah melalui proses blanching

5. Blanching juga dapat digunakan untuk mempercepat pengeringan, meningkatkan kualitas makanan, mengurangi jumlah mikroba, menghilangkan sisa pestisida dan racun pada makanan, meningkatkan ekstraksi senyawa bioaktif, membersihkan permukaan makanan, menghilangkan biji yang rusak atau bahan asing, membunuh parasit dan telurnya, dan mengurangi penyerapan minyak.[5]

Teknologi[sunting | sunting sumber]

Blanching biasanya dilakukan menggunakan air atau uap jenuh.[6] Dalam kedua metode tersebut, makanan dipanaskan untuk waktu yang singkat, kemudian makanan direndam ke dalam air dingin atau dialiri udara dingin untuk mendinginkan makanan dengan cepat. Untuk blanching di industri, makanan bergerak di conveyor belt, dengan tahap pemanasan awal, penahanan, dan pendinginan. Untuk blanching dengan air panas, sayuran direndam di bawah air yang sudah dipanaskan (70–100 °C) untuk waktu yang tergantung pada jenis dan jumlah makanan.[5] Ketika makanan dipanaskan dengan air, pemanasan yang terjadi lebih merata, terutama jika dibandingkan dengan blanching dengan udara panas. Ini memungkinkan blanching dengan suhu yang lebih rendah, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama.[3] Air dipanaskan dan didinginkan dengan penukar panas dan disirkulasi ulang untuk penggunaan terus menerus untuk mengurangi biaya.[4]

Sistem blanching dengan uap panas mengalirkan udara panas (~100 °C) ke makanan saat makanan masuk di dalam sistemnya pada conveyor belt.[3] Metode ini sangat efektif untuk mengurangi pencucian senyawa yang larut dalam air dari produk dan merupakan teknik yang direkomendasikan untuk makanan kecil dan makanan dengan permukaan yang telah dipotong.[3][4] Blanching dengan uap lebih hemat energi, dan karena pemanasannya lebih cepat, waktu pemrosesan makanan lebih singkat. Paparan panas yang lebih sedikit ini mempertahankan warna, rasa, dan kualitas makanan; namun penguapan dapat terjadi, yang menurunkan berat dan hasil produk (product yield).[4]

Setelah makanan dipanaskan, makanan didinginkan dengan air dingin[3] atau dengan udara dingin. Pendinginan dengan udara dingin mencegah pelarutan nutrisi larut air; namun dapat menyebabkan penguapan dan menurunkan berat sayuran, yang bisa menjadi kerugian moneter bagi industri.[4]

Teknologi yang bisa digunakan untuk blanching di masa depan adalah blanching dengan ohmik, inframerah, gelombang microwave, dan gelombang radio.[5]

Waktu dan suhu[sunting | sunting sumber]

Ketika blanching, waktu dan suhu harus diperhatikan. Waktu dan suhu yang benar untuk blanching bergantung pada jenis makanan, ukuran, bentuk, dan faktor lainnya.[4] Blanching yang berlebihan dapat melunakkan makanan dan memicu hilangnya nutrisi dan aroma.[4] Blanching dengan suhu atau waktu yang lebih rendah mungkin tidak dapat menonaktifkan semua enzim. Selain itu, blanching yang kurang juga dapat menyebabkan pelepasan enzim dari jaringan tanaman, yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik dan percepatan pembusukan makanan.[4]

Kekurangan[sunting | sunting sumber]

Meskipun blanching melibatkan pemanasan makanan, waktu dan suhu dalam blanching tidak cukup untuk mematikan semua mikroba.[4] Blanching sering digunakan sebagai tahap pra-proses untuk langkah pengawetan selanjutnya. Contohnya, blanching di rumah sering dilakukan bersama dengan pembekuan. Dalam industri makanan, blanching dilakukan sebelum pengalengan, dehidrasi, atau sterilisasi dengan panas.[4][9]

Kekurangan blanching dengan air panas adalah pelarutan nutrisi larut air dan rusaknya senyawa yang sensitif terhadap panas.[5] Vitamin, mineral, dan senyawa larut air lainnya, seperti protein, gula, dan senyawa rasa, keluar melalui difusi dari makanan dan masuk ke dalam air, menurunkan kualitas dan kandungan gizi makanan.[5] Komposisi dan karakteristik makanan, rasio air dengan makanan, suhu berlangsungnya blanching, dan faktor lainnya memengaruhi banyaknya senyawa yang keluar dari makanan.[4] Senyawa yang peka terhadap panas antara lain adalah asam askorbat, thiamin, dan banyak senyawa aromatik.[butuh rujukan]

Dalam industri makanan, blanching dengan air panas menghasilkan limbah.[3] Blanching dengan air yang telah digunakan menyebabkan penumpukan polutan larut air. Oleh karena itu, limbah air dari blanching harus dibersihkan dengan benar sebelum dibuang.[5] Dalam industri makanan, ini dapat meningkatkan biaya modal dan merupakan alasan utama pengembangan teknologi blanching lain.[4][5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Michael Ruhlman (January 20, 2009). "Blanching, shocking, refreshing". ruhlman.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-12. Diakses tanggal 2018-05-19. 
  2. ^ a b "Why blanch?". Clemson Cooperative Extension (dalam bahasa Inggris). South Carolina: Clemson University. Diakses tanggal 2018-05-19. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Reyes De Corcuera, Jose (May 29, 2015). "Blanching of Foods". ResearchGate. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m Fellows, P. (2009). Food processing technology : principles and practice (edisi ke-3rd). Boca Raton, FL: CRC Press. ISBN 9781615830411. OCLC 435534650. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Xiao, Hong-Wei; Pan, Zhongli; Deng, Li-Zhen; El-Mashad, Hamed M.; Yang, Xu-Hai; Mujumdar, Arun S.; Gao, Zhen-Jiang; Zhang, Qian (2017-06-01). "Recent developments and trends in thermal blanching – A comprehensive review". Information Processing in Agriculture (dalam bahasa Inggris). 4 (2): 101–127. doi:10.1016/j.inpa.2017.02.001. ISSN 2214-3173. 
  6. ^ a b Ramaswamy, Hosahalli S.; Marcotte, Michelle (2006). Food processing : principles and applications. Boca Raton: CRC Press. ISBN 978-1587160080. OCLC 57311777. 
  7. ^ Elia N. Aquino-Bolaños; E. Mercado-Silva (2004). "Effects of polyphenol oxidase and peroxidase activity, phenolics and lignin content on the browning of cut jicama". Postharvest Biology and Technology (dalam bahasa Inggris). 33 (3): 275–283. doi:10.1016/j.postharvbio.2004.03.009. ISSN 0925-5214. 
  8. ^ Krokida, M.K. (May 10, 2007). "EFFECT OF PRETREATMENT ON COLOR OF DEHYDRATED PRODUCTS". Drying Technology. 18 (6): 1239–1250. doi:10.1080/07373930008917774. 
  9. ^ "How Do I? Freeze". National Center for Home Food Preservation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-05-19. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Desrossier, NW, The technology of food preservation (Teknologi pengawetan makanan), The AVI Publishing Company, 1965, hlm. 150–151