Upacara Wetonan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Upacara Wetonan adalah upacara adat suku Jawa yang memiliki nama lain wedalan. Upacara ini masih lestari hingga saat ini terutama bagi masyarakat suku Jawa dan populer pada daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Wetonan mempunyai arti keluar, dalam upacara ini merupakan peringatan bagi lahirnya seseorang. Peringatan ini bermaksud untuk mendoakan bagi sang bayi agar terhindar dari berbagai bahaya, mendoakan agar panjang umur dan juga supaya mendapatkan berkah. “Slametan iki kanggo dongakne wong sing di ton; i ben slamet, waras, pinter lan opo wae sing dilakoni iso lancar” hal ini memiliki arti dalam bahasa indonesia yaitu slametan wetonan memiliki makna atau tujuan dalam mendoakan orang yang diwetoni atau diperingati dalam hari lahir tersebut supaya Tuhan Yang Maha Esa memberikan limpahan keselamatan, kesehatan diri, kepintaran dan harapan pada hal-hal atau apapun yang dilakukan dapat lancar tanpa suatu kendala.[1] Makna secara umum bahwa slametan tersebut memiliki arti doa untuk suatu kondisi maupun keadaan bagi seseorang yang diwetoni atau diperingati hari lahirnya tersebut memiliki situasi dan kondisi yang sejahtera, tenteram dan bebas dari halangan atau gangguan makhluk yang tidak tampak maupun makhluk yang tampak, hal ini yang akan memunculkan suatu kondisi yang dapat disebut dengan aman atau dalam bahasa jawa yaitu slamet.[2]

Slametan Wetonan dalam kegiatan ini dilakukan pada saat hari lahir ketika 35 hari sekali. Bagi masyarakat Jawa tradisi ini sangatlah perlu untuk mengenal weton seseorang yang lahir, hal ini dilihat dari Kalender Jawa. Masyarakat Jawa perlu mengetahui tanggal, bulan, dan tahun lahir, entah dilihat dalam kalender Masehi atau Kalender Jawa dikarenakan hal ini untuk melihat tanggal sebagai tanda Weton seseorang tersebut. Hari dan tanggal seseorang yang lahir dalam kalender Jawa atau disebut dengan weton ini terjadi ketika selapan hari. Masyarakat Jawa biasanya melakukan upacara wetonan ini ketika setelah pukul enam sore, hal ini berkaitan tentang kepercayaan masyarakat Jawa jika sistem penanggalan dilihat dari kalender sistem rembulan.[3]

Hari ulang tahun sama halnya dalam masyarakat Jawa disebut juga dengan istilah Wetonan, namun berbeda dengan hari ulang tahun yang diselenggarakan satu tahun sekali. Upacara Wetonan atau Slametan ini bisa terjadi dari 9 kali hingga 10 kali dalam setahun. Sesuai dengan paragraf sebelumnya jika tanggal wetonan terhitung dalam kalender sistem rembulan atau penanggalan jawa. Siklus dalam penanggalan Jawa ini berlangsung setiap 35 hari. Dalam kalender Jawa tersebut memiliki 5 hari yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Maka dalam kalender Masehi terdapat hari yaitu dari hari Senin Wage, Selasa Wage, Selasa Legi, dan seterusnya. Ketika lahir pada hari Sabtu Kliwon, maka akan ada hari weton pada hari tersebut pada setiap 35 hari pada penanggalan Jawa.

Setiap hari dalam kalender Jawa, masyarakat Jawa sendiri memiliki kepercayaan tersendiri dari masing-masing karakter dalam hari tersebut. Hal ini terkadang mirip seperti karakteristik dalam suatu zodiak. Slametan Wetonan ini tidak diketahui bermula dari kapan, hal ini dikarenakan tradisi ini emang tumbuh dari masyarakat Jawa kuno atau dari nenek moyang Suku Jawa, keyakinan ini tumbuh dalam suatu kepercayaan yang biasa disebut dengan kepercayaan Kejawen. pelaksanaan wetonan ini memiliki suatu adat istiadat yang memiliki karakteristik berbeda dari masing-masing daerah walaupun sebenarnya nilai dan tujuan dari upacara wetonan ini sama yaitu memohon keselamatan. Peringatan wetonan dalam beberapa daerah ada yang melakukan perayaan wetonan ini dengan bermeditasi, dengan cara berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui cara meditasi mengheningkan cipta. Ada juga perayaan kecil-kecilan dengan mengundang tetangga ataupun teman-teman dekat saja dengan suguhan makanan seperti layaknya peringatan hari ulang tahun yaitu adanya kegiatan makan bersama. Dalam beberapa daerah atau beberapa keluarga ada juga merayakan wetonan dengan perayaan yang besar seperti mengundang sanak saudara, teman-teman, dan tetangga yang dikenal satu desa layaknya seperti tamu pesta pernikahan bagi masyrakat Jawa. Terdapat juga acara sosial yaitu berbagi suatu cerita, saling mendengarkan, memberikan suatu masukan atau saran, dan saling berbagi tawa antara satu dengan yang lain. Acara wetonan tidak luput dari suatu doa yang bertujuan untuk mengheningkan cipta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan suatu kelancaran hidup, kesehatan, rejeki, dan bahagia bagi seseorang yang memperingati acara Wetonan tersebut.

Dalam sebagain masyarakat Jawa kuno atau masyarakat Jawa tradisional meyakini bahwa wetonan ini merujuk pada upacara atau slametan bagi menemui saudaranya yang berjumlah 9 yang terlahir dari rahim seorang ibu. Kesembilan itu yakni kesatu sampai empat menghadap kiblat, kelima dan keenam sedulur tuwo dan kawah putih (bayi lahir kedunia), ketujuh ari-ari, kedelapan raga, kesembilan Jiwa. Pada daerah-daerah tertentu upacara ini juga disebut dengan istilah rasulan yang memiliki arti Upacara Wetonan atau Slametan Wetonan. Upacara wetonan tidak hanya berdoa dalam permohonan keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan kedepan, namun juga rasa syukur atas hari kelahiran yang diberikan dari Tuhan Yang Maha Esa dan memperingati kenangan akan hari kelahiran.

Dalam upacara wetonan terdapat beberapa sajian makanan yang umumnya di suguhkan bagi para tamu yang diundang dalam acara wetonan tersebut diantaranya terdapat tumpeng, pisang, ayam ingkung, gudangan yang terbuat dari sayuran dan pelas serta jenang abang, putih juga untuk sing momong jiwa, raga. Masyarakat suku Jawa memperingatin acara wetonan ini secara faktor internal sebagai sarana dalam melestraikan adat istiadat suku Jawa, walaupun beberapa masyarakat suku Jawa ada yang telah melupakan acara wetonan ini. Acara wetonan ini juga diartikan sebagai sarana untuk bersedekah. Terdapat juga suatu kepercayaan jika masyarakat suku Jawa tidak memperingati upacara wetonan maka akan terjadi suatu hal-hal yang tidak diinginkan seperti suatu hal yang buruk, dalam menjauhkan dari suatu kejadian buruk dan sebagai benteng atau tolak bala, maka masyarakat suku Jawa mengadakan acara wetonan. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan agama seperti dalam kalimat pada tujuan sebelumnya jika wetonan sebagai sarana untuk sedekah. Wetonan bagi masyarakat suku Jawa sebagai suatu faktor yang memiliki arti terhadap pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dikarenakan terdapat keyakinan dalam berdoa untuk memohon suatu kemudahan ataupun keselamatan dan keberkahan.

Wetonan memiliki suatu kaitan dengan kosmologi Jawa. Dalam hal ini mengartikan Endraswara yang memiliki gambaran terhadap weton dalam hubungan dengan perhitungan hari (numerologi) Jawa berjumlah tujuh, lalu disebut dengan dina pitu, dan pasaran berjumlah lima disebut pasaran lima. Atau sering disebut dengan dina lima dina pitu. Keduanya akan menentukan weton dina (hidupnya hari dan pasaran).

Dalam suatu perayaan masyarakat suku Jawa juga identik dengan nomor angka tujuh. Hal ini terhubung atau terkait dengan sinergi terhadap pitulungan (bantuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa dikarenakan pitulungan memiliki rangkaian depan kata pitu yang berarti tujuh. Angka tujuh ini memiliki penerapan seperti terdapat tujuh jenis bubur dalam suatu perayaan seperti bubur merah (Jawa: abang), bubur putih, bubur merah silang putih, bubur putih silang merah, bubur putih tumpang merah, bubur merah tumpang putih, dan baro-baro yaitu bubur putih ditaruh sisiran (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya.[4][5]

Selain itu ada juga sayuran 7 rupa yaitu, kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah/toge yang panjang, wortel, daun kenikir, dan bayam. Selanjutnya, menyiapkan Jajan pasar seperti, wajik yang memiliki arti berani dalam kebenaran (wani tumindak becik), gedhang ijo, sukun artinya supaya saling rukun (supaya rukun), nanas yang berarti orang hidup jangan sembarangan dalam memakan sesuatu atau bertindak sewenang-wenang (wong urip aja nggragas), dhondong yaitu jangan kebesaran atau kebanyakan berbicara (aja kegedhen omong), jambu yaitu jangan membicarakan suatu keburukan (ojo ngudal barang sing wis mambu), jeruk yaitu artinya luar dalam harus baik atau sesuai (jaba jero kudu mathuk).

Dalam upacara wetonan dan perayaan dalam suku Jawa adanya kembang setaman yang tidak hanya satu macam bunga saja namun bermacam-macam kembang seperti, bunga mawar (awar-awar selalu tawar dari nafsu yang negatif), bunga melati (melat-melat ning ati selalu eling lan waspada), bunga kanthil supaya tansah kumanthil, artinya hati selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang menurunkannya, kepada orang tua dengan harapan agar anaknya selalu berbakti kepadanya, dan bunga kenanga.

Masyarakat Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol yang melingkarinya. Secara umum, terdapat bunga tiga warna atau lima warna, dan simbol-simbol lain yaitu bubur merah, bubur putih, tumpeng, nasi gulung pisang, minyak wangi, kemenyan dan dupa. Simbol tersebut sangat lazim dalam setiap ritual di Jawa (Budiharso, 2014: 171).

Saat ini wetonan tidaklah menjadi suatu budaya yang dilestarikan kembali oleh masyarakat Jawa. Bahkan tradisi yang sudah ada lama ini seakan-akan hilang, dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mulai mengalami pergeseran bahkan pendangkalan sehingga unsur pendidikan moralitas dalam peristiwa tradisi wetonan tidak lagi diketahui oleh masyarakat masa kini.

Mungkin kerumitan dalam menyiapkan sarana yang dibutuhkan ini penyebabnya. Sehingga masyarakat sekarang khususnya Jawa sendiri lebih memilih perayaan yang secara praktis dan lebih menarik seperti pesta ulang tahun daripada wetonan. Perhitungan kelahiran Jawa pun tergantikan oleh perhitungan kelahiran berdasarkan Masehi.

Padahal, kalau kita ketahui, simbol-simbol yang ada di dalamnya slametan weton sudah mewujud dalam inti masyarakat Jawa. Ia memantapkan ritual ini untuk mengetahuinya sendiri melalui kelahirannya, sebelum bertemu Tuhan Sang Pencipta.

Doa dalam Wetonan[sunting | sunting sumber]

Pada masyarakat Jawa doa ini dibacakan dalam bahasa Jawa atau hampir sama dengan niat dan keinginan yang ingin mereka peroleh ketika melakukan Slametan Weton. “Niki sampeyan sekseni nggeh, asale pasang jenang pethak jenang abrit niki ngleresi tone erna diweruhi mbok’e ibu bumi bapa’e kuasa, asale pasang jenang pethak jenang abrit lan sedoyo buceng niki dongakne sageto angen-angen asale sekolah anak erna niki pinter nggeh, mugi-mugi sedoyo buceng niki saget jejeg mantep bakale angen-angen si erna lan diparingi seger kewarasan anak kulo erna sing sekolah niki saget disekseni nggeh, dongane kabul slamet”. Semua orang yang ada atau mengikuti Slametan Weton sebagai saksinya, bahwa pembuatan jenang putih dan jenang merah ini karena untuk memperingati hari lahirnya Erna (orang yang diperingati hari lahirnya) yang diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, semua yang ada seperti tumpeng, bothok pelas dan jenang ini semoga sebagai simbol untuk mendoakan Erna agar pintar dalam bersekolah, mempunyai pendirian yang kuat, selalu diberi kesehatan, semoga doa yang dipanjatkan bisa terkabulkan. Ketika doa ini dibacakan oleh salah satu anggota keluarga yang tertua, maka anggota keluarga lainnya menjawab setiap do’a yang dibacakan tersebut dengan jawaban nggeh atau secara sederhana adalah mengucapkan amin.

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Jawa sangat kental dengan tradisi yang tetap terjaga. Mereka menganggap tradisi nenek moyang adalah warisan yang sangat bernilai dan harus tetap dipertahankan. Menurut Budiono Heru sutoto (dalam Siti Fatimah, 2013) mengatakan bahwa suku bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia sendiri.

Menurut Koentjaraningrat (1984:355) Orang Jawa masih mengadakan suatu upacara yang penting, yaitu yang diadakan pada waktu seorang bayi berumur 35 hari. Upacara nyelapani (dari kata selapan = tigapuluh lima) jatuh pada hari weton yang pertama, yaitu kombinasi dari suatu hari tertentu dalam pekan lima hari dan suatu hari tertentu dalam pekan tujuh hari, yang berulang setiap 35 hari. bagi orang Jawa weton itu kelak akan sangat penting untuk mengadakan perhitungan, antara lain untuk menentukan tanggal pernikahan dari hari-hari penting lainnya, tetapi juga dalam hal aktivitas ilmu ghaib.

Menurut orang Jawa, seseorang yang sering dibuatkan slametan weton secara rutin sesuai waktunya, biasanya hidupnya lebih terkendali, lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan ceroboh, dan jarang sekali mengalami sial. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015): “Kabeh wong iku duweni wetone dhewe-dhewe lan kudu di ton’i, nak ora di ton’i wong iku bakal loro”. Setiap orang itu mempunyai weton sendiri-sendiri dan mereka harus memperingatinya dengan melaksanakan slametan weton, karena jika tidak orang tersebut pasti akan sakit. Biasanya ini terjadi ketika seseorang lupa melakukan slametan weton untuk dirinya sendiri. Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) juga mengatakan bahwa: “Yen wong iku loro amergo wes kelalen ora di ton’i, sekaren kembang kerah macan ono ning gone lah mendem ari-arine”. Apabila seseorang itu sakit akibat lupa tidak melaksanakan slametan weton, maka salah satu anggota keluarga harus nyekar dengan kembang kerah macan di tempat ari-ari orang yang sakit itu dikubur. Kembang kerah macan ini terdiri dari bunga mawar, bunga kantil, daun pandan dan bunga kenanga.

Filosofi[sunting | sunting sumber]

Tradisi Jawa yang banyak berkembang saat ini sebenarnya merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang dengan segala kepercayaannya yang begitu kental. Mungkin bagi orang yang kurang terbiasa mengenal, masyarakat Jawa dianggap sebagai masyarakat yang kalem atau lemah lembut, dan dianggap terlalu mengutamakan tata krama dibandingkan dengan hal lainnya. Akan tetapi tata krama merupakan hal dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) mengatakan bahwa:

“Wong jowo kwi mesti slametan, pasang sajen wes awit biyen. Kabeh di slameti, brokohan, sepasaran, selapanan, neloni, slametan wong mati. kanggo donga jaluk slamet marang sing Kuasa, uripe ben ayem lan tentrem”

Orang Jawa melakukan tradisi slametan, pasang sesaji sudah dari zaman dahulu. Semuanya di slameti mulai dari brokohan, sepasaran, selapanan, neloni, slametan untuk orang yang meninggal dan lain sebagainya. Semua itu untuk mendoakan dan meminta keselamatan kepada Yang Maha Kuasa agar hidupnya aman dan damai.

Menurut Suseno (dalam Sony Sukmawan) Dalam Slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Pencapaian nilai-nilai ini menjadi gambaran pencapaian kehidupan yang ideal bagi masyarakat Jawa.

“Sampun nggih derek-derek kula Sedaya, ingkang sepuh miwah ingkang enem, ingkang ageng miwah ingkang alit, ingkang samar miwah ingkang gaib: Baiklah saudara-saudaraku semua, tua maupun yang muda, besar maupun yang kecil, yang tersamar maupun yang gaib.

Menurut Yudi Setiyadi (2014) Weton memperkirakan kepribadian, sifat dan nasib seseorang. Meski tidak bersifat mutlak, weton digunakan sebagai pengingat bagi orang Jawa untuk berhati-hati dalam menjalani hidup. Filosofi hidup eling lan waspada (ingat dan selalu waspada) menjadi unsur penting dalam pemahaman tentang weton dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa.

Menyiapkan Bahan dalam Upacara Wetonan[sunting | sunting sumber]

Memasak nasi untuk dibuat tumpeng, banyaknya beras yang dimasak dikira-kira saja mencukupi untuk minimal 1 keluarga. Menurut Sumarni (Wawancara, 2 Desember 2015):

Setelah nasi matang lalu dicetak menggunakan kukusan agar berbentuk kerucut seperti tumpeng, tapi sebelumnya dilapisi dulu dengan daun pisang agar nasi tidak menempel pada kukusan dan mengeluarkannya dari cetakanpun mudah.

Bahan lainnya yang dibutuhkan adalah sayuran. Sayuran yang dibutuhkan pada umumnya terdiri dari kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah/tauge yang panjang, bayam, dll. Sayuran ini akan di buat keleman atau kulupan yang dimasak dengan cara direbus sampai matang hanya dengan air saja tetapi jangan sampai terlalu matang. Agar tidak terlalu matang atau teksturnya menjadi terlalu lembek, maka setelah diangkat langsung disiram dengan air dingin biasa, sehingga sayuran masih tampak hijau segar tetapi sudah matang. Kemudian membuat sambal kambil atau kelapa sebagai pasangannya.

Selanjutnya adalah membuat bothok dan pelas. Bothok ini dibuat dari tempe yang di potong-potong membentuk balok kecil-kecil lalu dicampur dengan daun brambang yang telah di iris-iris terlebih dahulu. Tidak lupa juga ditambahkan garam yang telah dihaluskan sebelumnya. Setelah selesai semuanya dibungkus dengan daun pisang lalu di masak. Untuk pelas dibuat dari kedelai yang ditumbuk halus, ditambahi garam lalu di bungkus seperti bothok dan di masak. Bahan terakhir adalah Jenang, menurut Sumarni (Wawancara, 2 Desember 2015):

Jenang yang dimaksud adalah dua buah nasi putih yang dibuat membentuk sebuah gundukan dan di taruh dalam sebuah piring di mana yang satu dibiarkan nasi putih polos dan yang satunya diberi tambahan gula merah diatasnya.

Orang Jawa biasa menyebutnya sebagai jenang merah dan jenang putih. Setelah selesai tumpeng diletakkan dalam sebuah wadah, bisa berupa tampah atau leseran kemudian dikelilingi oleh sayuran dan bothok pelas.

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Tahapan pertama dari proses pelaksanaan Slametan Weton ini adalah orang yang paling tua di dalam keluarga biasanya kakek atau nenek akan membacakan niat atau doa dalam bahasa jawa atau orang Jawa biasa menyebutnya ngujupne. Pembacaan niat ini berisi permintaan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa, agar orang yang diperingati weton atau hari lahirnya diberi kesehatan lahir dan batin.

Tahap kedua adalah makan secara bersama-sama dengan anggota keluarga, menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015): “wong sing di ton’i kudu mangan jenang pethak supaya diparingi akas kewarasan saking Gusti sing kuasa”

Sebelum makan bersama orang yang dibuatkan slametan weton harus memakan jenang putih agar diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Baru kemudian setelah itu semua anggota keluarga makan secara bersama-sama.

Makanan Wajib[sunting | sunting sumber]

Setiap tradisi slametan khususnya bagi masyarakat Jawa akan menggunakan makanan-makanan maupun sesaji yang dibuat sebagai salah satu unsur dalam melakukan slametan. Begitu pula dengan slametan weton terdapat dua jenis makanan yang harus ada yaitu:

Tumpeng[sunting | sunting sumber]

Bagi orang Jawa tumpeng merupakan suatu hal yang sakral. Hampir semua slametan pada masyarakat Jawa menggunakan tumpeng. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015):

“tumpeng kwi dadi puser’e, keleman karo bothok pelase ditata muteri tumpeng kanggo njaluk pitulungane sing kuasa sing gae urip”

Nasi tumpeng putih yang melambangkan sebagai pusat dari semua energi dan di sekeliling tumpeng ini terdapat sayuran dan bothok pelas yang memenuhi atau melingkari tumpeng. Sayuran ini melambangkan harapan untuk mendapat pitulungan (pertolongan) Tuhan, selain itu agar do’a yang dipanjatkan tidak terputus, seperti do’a panjang rejeki, panjang umur, dan panjang akal atau pintar.

Jenang[sunting | sunting sumber]

Bahan kedua yang digunakan adalah dua buah jenang merah dan putih. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) bahwa:

“jenange iku ono loro, siji diarani jenang pethak utowo lanang, lan sijine jenang abrit utowo wedok”

Jenang terdiri dari dua, pertama jenang pethak atau putih yang melambangkan seorang laki-laki, sementara jenang abrit atau merah yang melambangkan seorang perempuan. Hal ini juga mengingatkan akan proses kelahiran kita yaitu menyatunya bapak dan ibu yang dilambangkan dalam bentuk jenang putih (bapak) dan merah (ibu).

Begitu pula menurut Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat (1980:37) bahwa:

“jenang abang, yaiku beras kajenang digulani jawa, (gula klapa).

Jenang putih, yaiku beras kajenang disanteni”

Jenang merah adalah beras yang dibuat bubur lalu diberi gula merah atau gula Jawa sedangkan jenang putih adalah beras yang dibuat bubur dan diberi santan.

11. Apa yang dimaksud dengan Jenang ?

Jenang yang dimaksud adalah dua buah nasi putih yang dibuat membentuk sebuah gundukan dan di taruh dalam sebuah piring di mana yang satu dibiarkan nasi putih polos dan yang satunya diberi tambahan gula merah diatasnya.

12. Apa makna dari Jenang merah dan putih ?

Pertama jenang pethak atau putih yang melambangkan seorang laki-laki, sementara jenang abrit atau merah yang melambangkan seorang perempuan. di mana kedua jenang ini akan mengingatkan bahwa kita ada di dunia ini karena kedua orang tua kita.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Setiawan, Hari. (2015). [Interview with Sainem, author of Hari Setiawan]. Retrieved from https://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_4237151221091702.pdf
  2. ^ "Upacara Adat Wetonan (Wedalan) » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-27. 
  3. ^ "Slametan Wetonan dan Simbolnya yang Hilang | Institute for Javanese Islam Research" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-27. Diakses tanggal 2019-04-27. 
  4. ^ Busro, Busro (2018). "Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di Cirebon, Indonesia". Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat. 14 (2): 127–147. doi:10.23971/jsam.v14i2.699. 
  5. ^ Busro, Busro (2014). Perubahan Budaya dalam Ritual Kelahiran di Cirebon. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung.