Istihadhah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Darah istihadah (Arab: استحاضة, translit: istihaadhoh) adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan bulannya (haid) atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan karena melahirkan.[1] Pada umumnya, wanita mengalami haid selama 6 - 8 hari dan paling lama 15 hari.[2]

Seorang wanita yang mengalami istihadhah dilarang meninggalkan ibadahnya, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.[1]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Secara istilah, ada beberapa definisi di kalangan ulama.[3] Namun, mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut: Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah/putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas.[3] Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.[3] Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.[3]

Ciri-ciri Darah Istihadhah[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Warnanya merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental.[3] Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:[3]

  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.[3]
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.[3]
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.[3]
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.[4]

Masa berlangsung[sunting | sunting sumber]

Masa awal[sunting | sunting sumber]

Imam empat mazhab berbeda pendapat mengenai perempuan yang mengeluarkan darah istihadhah. Menurut Mazhab Hanafi, perempuan dengan masa haid yang teratur harus mengikuti kebiasaan haidnya untuk menentukan masa awal istihadhah. Pada perempuan yang tidak memiliki kebiasaan haid yang teratur, maka perbedaan darah tidak dijadikan sebagai acuan. Pedoman yang digunakan adalah masa haid tersingkat.[5]

Mazhab Maliki menetapkan bahwa masa awal istihadhah harus berdasarkan kepada perbedaan darah dan bukan berdasarkan kebiasaan haid. Ini berlaku bagi perempuan yang mampu membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Bagi yang tidak bisa, maka hukum haid dianggap tidak terjadi dan ia dapat mengerjakan salat pada bulan kedua dan bulan ketiga sejak munculnya darah. Pada bulan pertama, lebih banyak pendapat dari pengikut Mazhab Maliki yang memilih masa haid terlama sebagai acuannya.[5]

Mazhab Syafi'i menetapkan pembedaan darah istihadhah dan darah haid sebagai acuan jika perempuan memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan darah haid dengan darah istihadhah. Jika tidak mampu membedakan, maka kebiasaan haid dijadikan sebagai pedoman. Jika perempuan tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka hukumnya sama seperti dengan perempuan yang mengalami masa awal haid.[5]

Mazhab Hambali berpendapat bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka perbedaan darah yang dijadikan sebagai pedoman. Pada kondisi tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan jenis darah, Mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Pendapat pertama ialah menjadikan masa haid tersingkat sebagai pedoman. Sedangkan pendapat kedua adalah menjadikan kebiasaan haid dari perempuan lain sebagai pedoman. Kebiasaan ini umumnya antara enam sampai tujuh hari.[5]

Hukum Darah Istihadhah[sunting | sunting sumber]

Istihadhah merupakan peristiwa yang tidak menentu kesudahannya.[1] Hal ini bukan sebuah penghalang untuk wanita muslim menjalankan ibadahnya setiap hari.[1] Wanita yang mengalami istihadhah harus tetap menjalankan salat, puasa dan ibadah lainnya. Dalil hadits berikut:

Dari Aisyah ra. dia berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan salat dan puasa”. Dia berkata: “Aku akan tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena di akan menutup aliran darahmu” dia berkata: darah tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda: “sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan dia menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”.[6] Selain itu, ada penjelasan tentang hukum wanita yang istihadhah:[7]

a. Tetap Wajib Salat 5 Waktu

Seorang wanita yang keluar darah istihadhah dari kemaluannya tetap diwajibkan untuk mengerjakan salat 5 waktu.[7] Karena darah istihadhah bukan darah haid ataupun darah nifas, sehingga tidak ada larangan baginya untuk mengerjakan salat.[7]

b. Tetap Wajib Puasa Ramadhan

Demikian juga dengan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, tetap wajib dikerjakan, bila yang keluar hanya merupakan darah istihadhah.[7] Puasa Qadha’ atas hari-hari yang ditinggalkan di bulan Ramadhan, kalau memang ada hutang, juga wajib dikerjakan, kalau yang keluar hanya darah istihadhah.[7]

c. Boleh Tawaf dan Sa'i

Tawaf dan Sa’i mensyaratkan suci dari hadats kecil dan juga hadats besar, tetapi karena darah istihadhah tidak menyebabkan hadats besar.[7] Maka cukup bagi wanita yang sedang mendapat darah istihadhah untuk mencuci kemaluannya (istinja) untuk membersihkan darah yang keluar, lalu menyumpalnya dengan pembalut, kemudian berwudhu’ dan dipersilahkan mengerjakan tawaf dan sa’i.[7]

d. Boleh Menyentuh Mushaf

Seorang wanita yang mengalami keluar darah istihadhah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf Al Quran, sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.[7] Tentunya setelah berwudhu terlebih dahulu.[7]

e. Boleh Melafadzkan Al Quran

Dan melafazkan ayat-ayat Al Quran pun tidak menjadi larangan bagi wanita yang mendapat darah istihadhah.[7] Asalkan dia telah membersihkan dirinya dari noda darah yang sekiranya mengotori tubuhnya.[7]

f. Boleh Masuk Masjid

Wanita yang sedang istihadhah juga tetap diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Tentu setelah membersihkan diri dan pakaiannya dari noda darah.[7] Sebab meski boleh masuk masjid, tetapi mengotori masjid dengan darah yang keluar dari tubuh tentu tetap merupakan larangan.[7] Sebab hukum dasarnya adalah bahwa masjid itu tempat suci, yang terlarang buat kita untuk membaca benda-benda najis ke dalamnya.[7]

g. Boleh Melakukan Hubungan Seksual

Suaminya boleh menyetubuhinya meski darah mengalir keluar.[7] Ini adalah pendapat ulama sebab tidak ada satu pun dalil yang mengharamkannya. Abdullah bin Abbas berkata:

“Kalau salat saja boleh apa lagi bersetubuh.” Selain itu ada riwayat bahwa Ikrimah binti Himnah disetubuhi oleh suaminya dalam kondisi istihadhah.[7]

h. Boleh Diceraikan

Berbeda dengan wanita yang sedang haid, wanita yang mendapat darah istihadhah tidak terlarang dan tidak berdosa bagai suaminya untuk menceraikannya.[7]

Golongan Wanita yang Mengalami Istihadhah[sunting | sunting sumber]

Wanita yang menderita istihadhah dapat digolongkan dalam empat keadaan:[8]

1. Mubtadi’ah Mumayyizah: Baru pertama kali keluar darah dari rahimnya, tetapi sudah pandai membedakan antara darah haid dan istihadhah.[9]

2. Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah: baru pertama kali keluar darah daripada rahimnya, tetapi tidak pandai membedakan antara darah haid dan istihadhah.[9]

3. Mu’tadah Mumayyizah: sudah pernah mengalami haid sebelumnya, lalu suci, dan tahu kadar haid yang keluar dan jumlah hari suci.[9]

4. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah: sudah pernah mengalami haid tetapi tidak mampu membedakan antara darah haid dan istihadhah. Oleh itu, hendaklah dia berpegang kepada kebiasaannya yang telah lalu.[9]

Beribadah saat Istihadhah[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang wanita ketika akan beribadah saat istihadah, yaitu:[10]

1. Hendaklah berwudhu setiap akan melaksanakan salat.[10]

2. Sebelum berwudhu, ia harus membersihkan hal-hal yang menyangkut dengan kotoran darah (sisa-sisa darah) dan menahan keluarnya darah dengan cara menyumbatnya menggunakan pembalut atau kain.[10]

3. Boleh berhubungan seksual dengan suaminya.[1]

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Atiqah Hamid (2013). Buku Lengkap Fiqh Wanita. DIVA Press. hlm. 176. 
  2. ^ https://www.muslimina.id/belajar-tentang-haid/
  3. ^ a b c d e f g h i "Mengenal Darah Istihadhah". Al-Atsyariah. 2009-06-08. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-24. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  4. ^ "Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah". Muslimah.or.id. 2008-03-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-21. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  5. ^ a b c d ad-Dimasyqi 2017, hlm. 41.
  6. ^ "Istihadhah dan Hukum-hukumnya". Salafy. 2012-10-24. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q "Istihadhah". Hasan Al Banna. 2013-06-17. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  8. ^ Anshori Umar Sitanggal (1986). Fiqih Wanita. CV. Asy-Syifa'. hlm. 71. 
  9. ^ a b c d "Untuk kita-kita: Istihadhah". drhasanah.com. 2009-03-07. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-04. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  10. ^ a b c d "Al Qur'an Online". Al Qur'an Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-24. Diakses tanggal 2014-04-23. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6.