Lompat ke isi

Sutrah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seorang muslim yang sedang salat dibatasi dengan sutrah di depannya.

Sutrah atau pembatas salat adalah sebuah pembatas tempat salat yang digunakan oleh muslim yang salat dalam kondisi sendirian. Pemakaian sutrah berada di hadapan orang yang mengerjakan salat. Ketentuan hukumnya dalam syariat Islam adalah sunnah, tetapi dianjurkan jika salat di tanah yang lapang. Benda yang dijadikan sebagai sutrah adalah benda berukuran agak tinggi ada garis pembatas yang dibentuk setengah lingkaran. Sutrah tidak digunakan di dalam masjid jika ada pengganti berupa sajadah, dinding atau garis memanjang yang membatasi shaf.[1]

Kewajiban

[sunting | sunting sumber]

Dalam mazhab Hanbali, pemakaian sutrah sebagai pembatas salat adalah suatu kewajiban. Pendapat ini dinayatakan antara lain oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah, Badruddin Al-'Aini dan Asy-Syaukani. Pernyataan ini didasari oleh beberapa hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad membuat pembatas ketika salat di permukiman atau di perjalanan.[2] Kewajiban membuat pembatas ketika salat berlaku bagi imam atau seseorang yang salat sendirian. Pembatas juga berlaku bagi makmum yang ketinggalan rakaat salat bila memungkinkan. Kewajiban menggunakan pembatas berlaku meskipun di sekitar tempat salat diyakini tidak ada seorang pun yang melintas. Hal ini dikarenakan yang melintas di depan orang yang salat bukan hanya manusia, melainkan pula dari golongan setan. Ketentuan ini diberlakukan baik kepada laki-laki maupun perempuan.[3]

Hadis yang meriwayatkan perintah Nabi Muhammad untuk mengadakan pembatas salat salah satunya diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri oleh Asy-Syaukani. Dalam hadis ini, diperintahkan untuk mendekatkan diri dengan pembatas dan mendorong secara kuat seseorang yang melintasinya. Dalam hadis ini, seseorang yang melintas ini dianggap sebagai setan. Asy-Syaukani mengartikan hadis ini sebagai kewajiban penggunaan pembatas dalam salat. Kemudian, terdapat hadis yang diriwayatkan dari Sahal bin Abu Hatsmah yang menjelaskan bahwa mendekatkan diri ke pambatas salat merupakan usaha untuk mencegah setan dalam membatalkan salat.[4]

Anak panah

[sunting | sunting sumber]

Sutrah yang berbentuk anak panah diketahui dari hadis yamng diriwayatkan oleh Sabrah bin Ma'bad Al-Juhani. Dalam hadis ini, Nabi Muhammad memerintahkan menggunakan pembatas salat meskipun hanya anak panah saja. Anak panah di dalam hadis ini disebut sebagai "sahm". Bahan pembuatannya ialah bilah kayu yang diberik mata panah pada bagian ujungnya. Panjang anak panah ini sekitar 16 sentimeter atau setara dengan panjang jari tengah dan jari telunjuk ketika dijumlahkan.[4]

Sutrah yang berbentuk tombak diriwayatkan di dalam hadis oleh Abdullah bin Umar. Dala hadis ini, Nabi Muhammad memerintahkan Abdullah bin Umar untuk menancapkan tombak di depannya. Nabi Muhammad dan pengikutnya kemudian melaksanakan salat menghadap ke tombak tersebut. Penancapan tombak sebagai pembatas salat juga dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika dalam perjalanan. Jenis tombak yang digunakan disebut hirbah. Bahan pembuatannya dari besi berukuran pendek dengan bagian ujung yang lancip. Hirbah biasa digunakan dalam perang.[5] Jenis tombak lain digunakan oleh Nabi Muhammad ketika salat Zuhur dan salat Asar di tanah yang luas. Hadis tentang kejadian ini diriwayatkan oleh Aun bin Abu Juhaifah. Tombak yan digunakan disebut 'unzah. Ukurannya lebih pendek dari tombak dan lebih panjang dari tongkat. Jenis tombak ini umumnya digunakan oleh orang yang telah lanjut usia sebagai pegangan. Bagian ujung bawah dari 'unzah memiliki besi seperti pada tombak.[5]

Kayu pelana

[sunting | sunting sumber]

Sutrah yang berbentuk kayu pada bagian pelana diketahui dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar. Nabi Muhammad menyebutkan bahwa kayu yang ada di bagian belakang pelana dapat dijadikan sebagai pembatas salat. Jika seseorang salat tanpa ada pembatas kayu di bagian belakang pelana, maka salatnya dapat dibatalkan oleh keledai, wanita dan anjing hitam yang melintasinya dari bagian depan.[5] Jenis pelana yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah pelana yang digunakan sebagai tempat duduk bagi penunggang unta. Kayu yang ada pada bagian belakangnya merupakan sandaran bagi penunggang unta.[6]

Sutra yang berbentuk sajadah dibolehkan oleh sebagian ulama. Pembatas ini ditetapkan pada bagianujung-ujung sajadah. Analogi yang diberikan ialah bahwa ujung sajadah sama seperti garis pembatas karena dapat memberitahukan bahwa seseorang sedang salat. Penggunaan sajadah sebagai sutrah merupakan salah satu bentuk qiyas.[7]

Sutrah tidak memiliki ukuran yang berkaitan dengan lebar. Ini disebabkan adanya kebolehan menggunakan sutrah dari seukuran tombak maupun anak panah. Sedangkan untuk ukuran tinggi, batasan yang diberikan ialah sekurangnya setinggi kayu bagian belakang pada pelana. Kayu ini tingginya sama dengan satu hasta berdasarkan riwayat dari Atha oleh Ats-Tausri dan Ibnu Juraij. Sedangkan menurut An-Nawawi, ukuran minimal dari pembatas salat adalah dua per tiga hasta.[8]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Adil 2018, hlm. 727.
  2. ^ Adil 2018, hlm. 178-179.
  3. ^ Adil 2018, hlm. 178.
  4. ^ a b Adil 2018, hlm. 180.
  5. ^ a b c Adil 2018, hlm. 181.
  6. ^ Adil 2018, hlm. 182.
  7. ^ Adil 2018, hlm. 183.
  8. ^ Adil 2018, hlm. 184.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid, Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta: Ummul Qura. ISBN 978-602-7637-03-0.