Dakwah melalui tulisan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dakwah melalui tulisan atau dakwah bil qalam adalah salah satu metode dakwah yang memanfaatkan tulisan sebagai media penyampaian pesan dakwah. Media yang digunakan pada saat dakwah melalui tulisan dapat berbentuk buku, majalah, koran dan media cetak lainnya.[1] Keterampilan menulis diperlukan dalam mengadakan dakwah melalui tulisan.[2] Dakwah melalui tulisan mengutamakan kualitas dan kuantitas dari tulisan yang menjadi media dakwah. Tujuan dari dakwah melalui tulisan adalah mengajak manusia untuk mengenal Allah. Dakwah melalui tulisan kini mulai berkembang dengan media berupa media sosial. Konten dalam dakwah melalui tulisan ditulis dengan berdasarkan kepada kaidah Islam.[3]

Terminologi[sunting | sunting sumber]

Dakwah melalui tulisan diidentikkan dengan dua istilah berbahasa Arab yaitu dakwah bil qalam atau dakwah bil kitabah. Kedua istilah ini berkaitan dengan kegiatan dakwah. Perbedaannya adalah qalam mengacu kepada alat tulis, sedangkan kitabah lebih cenderung kepada tulisan. Penggunaan istilah dakwah bil qalam memberikan makna yang lebih luas dibandingkan dengan istilah dakwah bil kitabah. Landasan pemikirannya ialah bahwa tulisan (kitabah) merupakan produk yang dihasilkan oleh alat tulis (qalam).[2]

Landasan[sunting | sunting sumber]

Perintah Allah[sunting | sunting sumber]

Dakwah dengan tulisan merupakan salah satu bentuk perintah Allah. Lima ayat pertama dalam Surah Al-'Alaq berkaitan dengan membaca dan menulis. Kelima ayat ini mengandung pesan agar manusia mengetahui, memahami dan mengajarkan Islam kepada seluruh umat manusia.[4] Allah juga menjadikan kegiatan menulis sebagai sebuah kegiatan yang mulia. Dalam Surah Al-Qalam ayat pertama, Allah memberikan sumpah dengan menyertakan pena, hasil tulisan manusia dan malaikat.[5] Perintah menulis juga disampaikan dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 walaupun lebih dikhususkan pada kegiatan muamalah.[6]

Isyarat Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]

Dalam Al-Qur'an, perintah menulis lebih banyak disebutkan dibandingkan dengan perintah membaca. Kata kerja "kataba" (menulis) beserta kata turunannya disebutkan sebanyak 303 kali. Sedangkan kata "qaraa" (membaca) disebutkan sebanyak 89 kali. Perbandingan kata "qaraa" dengan "kataba" sekitar 1:4. Sementara itu, kata "qalam" (pena/alat tulis) hanya disebutkan lima kali.[7] Urutan pewahyuan ayat-ayat Al-Qur'an juga memberikan isyarat mengenai pentingnya menulis dan membaca. Bagian awal dari Surah Al-'Alaq dan Surah Al-Qalam merupakan yang paling awal diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Kata "qaraa" (membaca) dan "qalam" yang berarti kegiatan membaca dan menulis disebutkan pada bagian awal dari kedua surah tersebut.[8]

Isyarat lain yang ada di dalam Al-Qur'an mengenai dakwah melalui tulisan adalah kegiatan pencatatan amal oleh para malaikat. Informasi mengenai pekerjaan malaikat ini diperoleh dalam Surah Al-Infitar Ayat 10 hingga Ayat 12. Dalam ketiga ayat ini diketahui bahwa Allah memerintahkan pemeliharaan catatan amal manusia, sehingga para malaikat mengetahui seluruh hal yang telah dikerjakan oleh manusia.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Masa Nabi Sulaiman[sunting | sunting sumber]

Salah satu nabi paling awal yang diketahui telah mengadakan kegiatan dakwah melalui tulisan ialah Nabi Sulaiman. Bentuk media dakwah yang digunakan olehnya adalah surat. Tujuan dakwah melalui tulisan yang dilakukannya adalah ajakan kepada Ratu Balqis untuk mengikuti ajaran agama Allah. Sarana yang digunakan untuk menyampaikan dakwahnya adalah perantaraan burung hud-hud.[10] Dakwah melalui tulisan yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman disampaikan dalam Al-Qur'an Surah Al-Jasiyah Ayat 29. Ayat ini merupakan ayat yang memberitahukan bahwa Al-Qur'an merupakan catatan yang menjadi penjelas bahwa Allah-lah yang memberikan perintah kepada manusia untuk mengerjakan perintahnya. Ciri dakwah melalui tulisan yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman adalah membuat surat yang mengandung kalimat basmalah di bagian awal suratnya sebagai bentuk dakwah.[3]

Masa Nabi Muhammad[sunting | sunting sumber]

Pada masa awal penyebaran Islam, Nabi Muhammad telah mengadakan dakwah melalui tulisan. Raja-raja yang ada di sekeliling Jazirah Arab dikirimi surat dakwah yang isinya berupa ajakan untuk menerima agama Islam. Proses pengiriman surat dilakukan oleh para sahabat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai kurir.[11] Menulis juga menjadi tradisi baru bagi masyarakat Arab sejak Al-­Qur'an diwahyukan. Kegiatan membaca, mengoreksi, dan menyem­purnakan bacaan serta hafalan Al­-Qur'an dan hadis yang dilakukan oleh para sahabat nabi menjadikan kegiatan menulis cenderung bersifat ilmiah.[12]

Setelah Pertempuran Badar berakhir dengan kemenangan Muhammad dan pasukannya, sebanyak 70 orang Quraisy dijadikan sebagai tawanan perang. Proses dakwah melalui tulisan dilanjutkan dengan pemberian pembebasan bersyarat. Tiap tawanan perang diwajibkan mengajar 10 orang anak dan orang dewasa di Madinah mengenai membaca dan menulis.[13]

Masa Kehalifahan Rasyidin[sunting | sunting sumber]

Dakwah melalui tulisan pada masa Kehalifahan Rasyidin dimulai oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Bentuknya adalah pengumpulan dan penyatuan bagian-bagian Al-Qur'an dalam bentuk tulisan yang sebelumnya terpisah-pisah. Usulan penyatuan Al-Qur'an ini disampaikan oleh Umar bin Khattab dan disetujui oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Penyatuan Al-Qur'an ini dilandasi oleh keadaan banyaknya sahabat Nabi Muhammad yang syahid dalam pertempuran. Tujuan penyatuan Al-Qur'an ini ada dua. Pertama, mencegah terputusnya penyebaran syariat Islam akibat berkurangnya penghafal Al-Qur'an. Sedangkan yang kedua adalah agar Al-Qur'an dapat dibaca dan dipelajari serta dikaji dan diamalkan oleh generasi penerus di kalangan muslim.[14]

Dakwah melalui tulisan kembali menjadi dakwah yang utama ketika Al-Qur'an dikumpulkan dan disatukan menjadi satu kitab yang utuh pada masa Utsman bin 'Affan. Pada masa ini juga perkembangan dakwah melalui tulisan kemudian dilanjutkan oleh para ulama melalui karya tulis yang berisi kajian-kajian mengenai Al-Qur'an.[15]

Kekhalifahan Abbasiyah[sunting | sunting sumber]

Selama periode Kekhalifahan Abbasiyah, terdapat dua sultan yang memberikan dukungan terhadap kegiatan dakwah melalui tulisan. Keduanya ialah Harun Ar-Rasyid dan Ma'mun Ar-Rasyid. Lembaga pendidikan yang dibangun untuk mendukung kegiatan ilmiah adalah Rumah Kebijaksanaan. Di dalamnya terdapat beragam sarana dan prasarana untuk keperluan perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian. Pada masa Harun Al-Rasyid juga dibangun sebuah majelis khusus yang mengkaji persoalan agama bernama Al-Muzakarah. Majelis ini diadakan di tempat yang berpindah-pindah dari masjid hingga ke rumah-rumah penduduk.[16]

Abad Pertengahan[sunting | sunting sumber]

Pada Abad Pertengahan, para cendekiawan Muslim melakukan kegiatan menulis juga sebagai tradisi. Rujukan utama yang digunakan oleh berbagai disiplin ilmiah masih tetap berasal dari berbagai karya tulis ilmiah dari para cendekiawan Muslim. Kegiatan menulis dilakukan dengan tujuan melakukan penerjemahan maupun menghasilkan karya­-karya pemikiran baru.[12]

Pandangan[sunting | sunting sumber]

Dalam bidang dakwah, dakwah melalui tulisan dipandang sebagai sebuah dakwah yang menerapkan prinsip mekanisme. Keberadaan mekanisme dalam dakwah melalui tulisan ditinjau dari adanya media dan tujuan dakwah yang jelas. Dakwah melalui tulisan memerlukan media untuk menampilkan tulisan berbentuk media cetak misalnya koran dan majalah. Sementara tujuan dakwah melalui tulisan adalah masyarakat atau pembaca tulisan. Dakwah melalui tulisan juga langsung disampaikan kepada masyarakat melalui tulisan dengan bantuan media cetak.[17] Literasi media menjadi bagian dari sejarah Islam khususnya dalam proses dakwah oleh para mubalig. Bentuk literasi yang umum dilakukan dalam dakwah melalui tulisan meliputi penulisan berita, artikel, opini, dan feature.[18]

Tulisan[sunting | sunting sumber]

Dalam dakwah melalu tulisan, penulis harus meyakini bahwa tulisan yang dibuatnya merupakan hal yang benar berdasarkan pandangannya. Tulisan dakwah yang tidak disertai dengan keyakinan yang kuat oleh penulisnya, cenderung tidak dapat tersampaikan secara kuat dan tidak dapat mempnegaruhi pemikiran para pembacanya.[19] Penulis harus memiliki keyakinan bahwa menjadi penulis merupakan suatu profesi yang setara atau sama dengan menjadi mujahid. Profesi sebagai penulis harus dianggap sebagai bentuk jihad agar tulisan yang dihasilkan mampu menjadi alat dalam menyebarkan perintah Allah.[20]

Media[sunting | sunting sumber]

Koran[sunting | sunting sumber]

Koran merupakan salah satu media dakwah melalui tulisan yang disampaikan melalui kegiatan media massa. Dakwah melalui koran termasuk dakwah yang menjadi hal umum di masyarakat khususnya dalam pemberitaan dan penyampaian informasi. Cakupan dakwah dengan koran melingkupi seluruh wilayah di dunia beserta dengan perkembangannya. Karya dakwah yang dihasilkan berupa berita-berita dan artikel-artikel tentang Islam dan masyarakat muslim.[21] Kelebihan dari koran adalah mampu memberikan banyak pilihan kepada para pembacanya karena memiliki beragam jenis berita dan artikel. Para pembacanya juga dapat membaca koran secara keseluruhan maupun satu per satu serta membuat resume.[22]

Berita dan informasi yang ada di dalam koran juga dapat digunakan berulang-ulang tanpa ada batas waktu pemakaiannya. Pembaca dapat menggunakan koran untuk mengingat kembali kejadian yang telah lampau. Sementara itu, koran dapat pula dijadikan sebagai bahan untuk membuat dan mengembangkan topik baru yang sesuai dengan keinginan pembaca dan penulis. Penulisan berita di dalam koran juga tidak terikat oleh gaya bahasa dan struktur kalimat tertentu. Penyampaian berita di koran lebih mengutamakan selera pembaca. Kelebihan dari koran ini mengatasi kekurangan dari media audio, visual maupun audio visual seperti radio, film dan televisi. Penyaluran berita melalui koran juga lebih cepat dibandingkan dengan media seperti film.[23] Koran juga kebih cepat mempengaruhi pembaca karena sebagian besar berita yang disampaikan ditulis dengan pertimbangan kebiasaan pembaca. Adanya minat untuk membaca membuat koran dapat meningkatkan kesenangan untuk membaca serta meningkatkan perhatian pembaca terhadap konteks dari tulisan di dalam koran.[24]

Sasaran[sunting | sunting sumber]

Penguasa[sunting | sunting sumber]

Dakwah melalui tulisan pada masa awal penyebaran Islam di Jazirah Arab ditujukan kepada para penguasa di kalangan suku Quraisy di Makkah. Para penguasa ini merupakan bangsawan, hartawan dan pemimpin suku Quraisy yang memiliki kekuasaan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk lainnya.[25] Nabi Muhammad kemudian memperluas jangkauan dakwah melalui tulisan hingga ke pemimpin-pemimpin kerajaan yang berada di luar wilayah kekuasaan bangsa Arab. Isi dakwah yang disampaikan berupa ajakan untuk beriman kepada Allah serta pemberitahuan mengenai kenabiannya. Dakwah melalui tulisan ini disampaikan dalam bentuk surat kepada penguasa Kekaisaran Romawi Timur, Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia.[26] Nabi Muhammad juga mengiri surat dengan isi yang sama kepada Al-Muqaquqis di Mesir dan An-Najasyi di Etiopia. Pelepah kurma dan batang kayu digunakan sebagai media tulisan disertai dengan simbol resmi berupa stempel bertuliskan pernyataan "Muhammad utusan Allah" dalam bahasa Arab.[10]

Kondisi pendukung[sunting | sunting sumber]

Kegiatab dakwah melalu tulisan didukung oleh dua hal, yaitu semangat dari pendakwah dan lingkungan yang mendukung kegiatan dakwah. Semangat dari pendakwah meliputi motivasi dari dalam diri pendakwah serta adanya keseriusan dalam mengadakan pelatihan menulis secara berkesinambungan. Sedangkan dukungan dari lingkungan berupa pertemanan dengan para penulis lain serta adanya kebiasaan berbagi pengalaman menulis dengan orang lain.[27]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Dakwah melalui tulisan membuat karya-karya para ulama dan cendekiawan muslim terdahulu dapat tetap dibaca hingga masa sekarang. Penggunaan alat tulis disertai dengan perkembangan dunia tulis-menulis dan percetakan pasca revolusi industri semakin meningkatkan keberagaman media tulis. Dampak yang ditimbulkan ialah penyebaran dakwah yang meluas tanpa adanya batasan wilayah secara geografi. Media tulis yang digunakan juga dapat menjangkau seluruh wilayah di dunia. Kondisi ini membuat penyebaran ilmu keislaman semakin pesat sehingga pemikiran-pemikiran di masa lalu dapat bertahan hingga masa sekarang. Hal ini dikarenakan tulisan merupakan catatan yang dapat dibaca dan dikaji sehingga lebih langgeng untuk diingat.[28]

Tulisan yang dibuat sebagai sarana dakwah juga memberikan pahala kepada penulisnya karena merupakan ilmu yang bermanfaat. Dakwah melalui tulisan berarti mengumpulkan amal jariah. Penulis memperoleh manfaat dunia dan akhirat karena tetap menerima pahala melalui tulisan yang dibuatnya meski telah mengalami kematian. Manfaat ini diperoleh melalui hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Dalam hadis ini disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah menyebutkan tiga hal yang pahalanya tidak terputus meski telah wafat. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat.[29]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Abdullah 2019, hlm. 39.
  2. ^ a b Abdullah 2018, hlm. 104.
  3. ^ a b Syukur 2017, hlm. 5.
  4. ^ Syukur 2017, hlm. 6.
  5. ^ Kusnawan 2016, hlm. 24.
  6. ^ Kusnawan 2016, hlm. 25.
  7. ^ Kusnawan 2016, hlm. 27.
  8. ^ Kusnawan 2016, hlm. 28.
  9. ^ Syukur 2017, hlm. 4-5.
  10. ^ a b Hasanah 2020, hlm. 64.
  11. ^ Abdullah 2019, hlm. 55.
  12. ^ a b Kusnawan 2016, hlm. 32.
  13. ^ Abdullah 2018, hlm. 106-107.
  14. ^ Syukur 2017, hlm. 91.
  15. ^ Syukur 2017, hlm. 1.
  16. ^ Abdullah 2018, hlm. 107.
  17. ^ Abdullah 2018, hlm. 43-44.
  18. ^ Abdullah 2018, hlm. 103.
  19. ^ Syukur 2017, hlm. 56-57.
  20. ^ Syukur 2017, hlm. 57.
  21. ^ Hasan 2013, hlm. 99.
  22. ^ Hasan 2013, hlm. 99-100.
  23. ^ Hasan 2013, hlm. 100.
  24. ^ Hasan 2013, hlm. 101.
  25. ^ Hasanah 2020, hlm. 51-52.
  26. ^ Hasanah 2020, hlm. 52.
  27. ^ Syukur 2017, hlm. 89.
  28. ^ Hasanah 2020, hlm. 65.
  29. ^ Syukur 2017, hlm. 9.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]