Petuanan (Maluku)
Petuanan (bahasa Ambon: patuanan)[1] adalah tanah ulayat atau wilayah adat yang meliputi suatu kesatuan adat masyarakat di Maluku — terutama dimiliki oleh sebuah negeri adat.[2]
Jenis-jenis
[sunting | sunting sumber]Petuanan tertinggi dimulai dari satuan negeri, disebut sebagai petuanan negeri.[2] Di bawah petuanan negeri, terdapat pertuanan darat dan pertuanan laut.[3] Petuanan laut tidak boleh dimiliki oleh soa tertentu, harus dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat negeri, sehingga langsung diperintah melalui petuanan negeri. Petuanan laut meliputi pantai yang kering saat pasang surut yang dikenal sebagai meti.[4]
Sementara itu, petuanan darat terbagi lagi menjadi tanah soa.[a] Tanah soa merupakan gabungan dari beberapa tanah matarumah yang berasal dari soa yang sama. Tanah soa pada umumnya digunakan untuk perumahan, lapangan, dan lahan pertanian maupun perkebunan oleh soa tersebut. Antar matarumah dapat menggunakan tanah matarumah satu soa lainnya dengan syarat mendapatkan izin dan mengikuti peraturan yang diberikan oleh dewan tetua soa.[3] Sejajar dengan tanah soa, terdapat tanah negeri yang merupakan tanah yang bebas dari kepemilikan soa tertentu, umumnya meliputi hutan utama (ewang) dan lahan untuk berburu (dusun).[3]
Batas
[sunting | sunting sumber]Terdapat berbagai macam cara menentukan batas-batas kepemilikan petuanan darat. Namun, diantara semuanya, yang paling sering digunakan adalah ketika seseorang membersihkan lahan untuk dijadikan perumahan dan perkebunan, lahan tersebut menjadi petuanannya. Untuk tanah negeri yang umumnya meliputi hutan dan lahan berburu, masyarakat negeri setempat meletakkan patok di tiap penjuru yang dapat dicapai dari pusat negeri yang akan menjadi batas petuanan negeri.[3]
Batas petuanan laut ditentukan dengan menarik dua garis lurus dari dua titik ujung negeri yang berbatasan dengan laut ke laut lepas. Berakhirnya penarikan garis tersebut biasanya yang bermacam-macam. Di Kei Besar misalnya, batas penarikan garis perbatasan berakhir di titik di mana orang yang berlayar pada siang hari tidak dapat melihat garis pantai negerinya lagi.[3]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Di Kepulauan Lease, tanah soa juga disebut sebagai tanah dati atau tanah pusaka.[3]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Bartels 2017, hlm. 155.
- ^ a b Brosius, Tsing & Zerner 2005, hlm. 366.
- ^ a b c d e f Brosius, Tsing & Zerner 2005, hlm. 367.
- ^ Brosius, Tsing & Zerner 2005, hlm. 368.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Bartels, Dieter (2017) [1994]. Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah. Jilid I: Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Rijoly, Frans. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-150-6.
- Brosius, J. Peter; Tsing, Anna Lowenhaupt; Zerner, Charles (2005). Communities and Conservation: Histories and Politics of Community-Based Natural Resource Management (dalam bahasa Inggris). Lanham: AltaMira Press. ISBN 978-0-7591-0506-5.