Obat antivirus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Obat tanpa virus

Antivirus merupakan salah satu penggolongan obat yang secara spesifik digunakan untuk mengobati infeksi virus.[1] Sama seperti antibiotik dan antibiotik spektrum luas untuk bakteri, kebanyakan antivirus digunakan untuk infeksi virus yang spesifik, sementara antivirus spektrum luas dapat efektif melawan berbagai macam virus.[2] Tetapi, tidak seperti sebagian besar antibiotik, antivirus tidak dapat membunuh virus dan hanya menghambat virus untuk masuk ke dalam sel atau bereplikasi.

Obat antivirus, antibiotik, antijamur, dan antiparasit termasuk golongan antimikroba,[3] termasuk obat antivirus yang berupa antibodi monoklonal.[4] Sebagian besar antivirus relatif tidak berbahaya bagi pasien, karena itu dapat digunakan untuk mengobati infeksi. Antivirus berbeda dengan virisida, yang merupakan suatu molekul yang dapat menghancurkan virus. Beberapa tumbuhan menghasilkan senyawa virisida alami seperti pada eukaliptus.[5]

Kegunaan medis[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar obat antivirus ditujukan untuk mengobati HIV, virus herpes, virus hepatitis B dan C, dan virus influenza A dan B. Peneliti tengah mengembangkan antivirus untuk patogen lainnya.

Merancang obat antivirus yang aman dan efektif sangatlah sulit, karena virus menggunakan sel inang untuk bereplikasi. Hal ini yang membuat sulit untuk obat dapat menghambat virus tanpa perlu membahayakan pasien. Selain itu, kendala utama dalam mengembangkan vaksin dan obat antivirus adalah materi genetik virus yang mudah bermutasi sehingga tercipta banyak variasi dari materi genetik Virus.

Munculnya antivirus dikarenakan pengetahuan tentang genetik dan fungsi molekuler dari organisme berkembang, sehingga peneliti dapat memahami struktur dan fungsi dari virus, kemajuan metode untuk menemukan obat baru, meningkatnya tekanan yang diberikan pada tenaga medis untuk menyembuhkan HIV, penyebab dari AIDS.

Penelitian antivirus pertama kali dikembangkan pada tahun 1960-an, sebagian besar untuk menangani virus herpes, dan obat tersebut ditemukan dengan menggunakan metode trial-and-error. Peneliti menumbuhkan kultur sel dan menginfeksikannya dengan virus. Kemudian diberikan senyawa kimia yang diharapkan dapat menghambat aktivitas virus, dan kemudian diamati apakah jumlah virus dalam kultur meningkat atau menurun. Senyawa kimia yang terlihat memberikan efek diteliti lebih lanjut.

Proses tersebut sangat menghabiskan waktu, dan dengan kuranngnya pengetahuan yang dimiliki tentang bagaimana virus tersebut bekerja metode tersebut tidaklah efisien untuk menemukan antivirus yang efektif dengan efek samping yang minimal. Baru pada tahun 1980-an, ketika sekuensing genetik dari virus telah berhasil dilakukan, peneliti dapat mempelajari virus bekerja secara menyeluruh, dan senyawa kimia yang diperlukan untuk menghambat virus bereplikasi.

Siklus hidup virus[sunting | sunting sumber]

Virus terdiri dari genom dan terkadang terdapat beberapa enzim yang berada dalam sebuah membran terbuat dari protein (disebut kapsid), dan terkadang dilapisi dengan lapisan lipid (sering disebut dengan istilah selubung). Virus tidak dapat bereproduksi sendiri, dan justru memanfaatkan sel inang untuk mereplikasikan virus berikutnya.

Peneliti mencoba untuk merancang obat antivirus agar dapat menyerang virus pada setiap tahap siklus hidup virus. Beberapa spesies jamur ditemukan mengandung beberapa senyawa antivirus dengan efek sinergis.[6] Siklus hidup virus berbeda-beda tergantung pada spesies dari virus, tetapi semua virus mempunyai pola yang umum:

  • Penempelan ke sel inang.
  • Pelepasan gen dan mungkin enzim virus ke dalam sel inang.
  • Replikasi dari komponen virus menggunakan "mesin" dari sel inang.
  • Perakitan komponen virus untuk membentuk partikel virus yang baru.
  • Pelepasan virus untuk menginfeksi sel inang baru.

Keterbatasan vaksin[sunting | sunting sumber]

Vaksin merangsang sistem imun tubuh untuk menyerang virus di tahap sebagai partikel utuh, di luar sel organisme. Vaksin umumnya terdiri dari virus yang telah dilemahkan atau diinaktivasi. Dalam kasus yang sangat jarang, vaksin dapat membahayakan inangnya dengan secara tidak sengaja menginfeksi inang sama seperti virus pada umumnya. Baru-baru ini telah dikembangkan vaksin subunit yang hanya terdiri dari protein target patogen. Vaksin merangsang sistem imun tubuh tanpa perlu menyerang inangnya. Keduanya, ketika patogen yang sebenarnya menyerang inang, sistem imun tubuh dapat merespon dengan cepat dan menghancurkan virus.

Vaksin sangat efektif pada virus yang tidak banyak bermutasi, tetapi yang terbatas digunakan dalam mengobati pasien yang telah terinfeksi dan sulit untuk mencegah virus yang dengan cepat bermutasi, seperti influenza (vaksin flu diperbarui setiap tahun) dan HIV. Antivirus biasanya berguna dalam kasus ini.

Penargetan Antivirus[sunting | sunting sumber]

Ide di balik rancangan obat antivirus adalah dapat mengidentifikasi protein virus, atau bagian-bagian lain dari protein, yang dapat dinonaktifkan. "Target" pada umumnya merupakan protein atau bagian-bagian dari protein yang tidak mempunyai kemiripan dengan yang terdapat di manusia, hal tersebut bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping. Target juga harus umum ditemui di berbagai galur virus, atau bahkan spesies yang berbeda dalam satu famili, jadi obat tersebut memiliki efektivitas yang tinggi.

Setelah target teridentifikasi, kandidat obat dapat dipilih, baik dari yang telah diketahui memiliki efek, atau dengan merancang obat pada tingkat molekul dengan bantuan komputer.

Protein target protein dapat dibuat di lab untuk pengujian dengan memasukkan gen yang menghasilkan protein target ke dalam bakteri atau sel lain. Sel tersebut dikultur untuk produksi protein, yang kemudian dapat diberikan perlakukan tertentu dan dievaluasi dengan teknologi "skrining cepat".

Pendekatan melalui fase siklus hidupnya[sunting | sunting sumber]

Sebelum masuk ke sel[sunting | sunting sumber]

Salah satu tujuan obat antivirus untuk mengganggu kemampuan virus untuk menempel ke sel target. Virus harus berikatan dengan reseptor molekul spesifik pada permukaan sel inang dan melepaskan materi genetik virus dari selubungnya. Virus yang memiliki selubung lipid harus berfusi dengan sel target, atau dengan vesikel yang mengantarkan virus dalam sel, sebelum virus melepas materi genetik dari selubungnya.

Tahap replikasi virus dapat dihambat dengan dua cara:

  1. Menggunakan agen yang menyerupai virus-associated protein (VAP) dan mengikat pada reseptor.
  2. Menggunakan agen yang meniru reseptor seluler dan mengikat pada VAP.

Hanya saja perancangan obat yang bekerja pada tahap ini sangat mahal dan relatif lambat.

Entry inhibitor[sunting | sunting sumber]

Tahap awal dari infeksi virus adalah penetrasi, ketika virus menempel dan masuk ke sel inang. Sejumlah obat entry-inhibiting atau entry-blocking sedang dikembangkan untuk mengobati HIV. HIV menyerang sel darah putih yaitu helper T-cell, dan mengenali sel target melalui reseptor di permukaan sel T spesifik CD4 dan CCR5. Usaha yang dilakukan untuk mengganggu pengikatan HIV ke reseptor CD4 gagal untuk menghentikan infeksi HIV ke sel T, tapi penelitian berlanjut dengan mencoba untuk mengganggu pengikatan HIV ke reseptor CCR5 dengan harapan bahwa metode tersebut lebih efektif.

HIV menginfeksi sel melalui fusi dengan membran sel, yang membutuhkan dua reseptor yang berbeda, CD4 dan reseptor chemokine (tergantung pada tipe sel). Terapi ini dapat mencegah masuknya virus ke dalam sel. Salah satu entry inhibitor—peptida biomimetik dijual dengan nama dagang Fuzeon—telah menerima persetujuan FDA dan telah digunakan untuk beberapa waktu. Salah satu potensi keuntungan dari penggunaan entry inhibitor yang efektif dapat berpotensi tidak hanya mencegah penyebaran virus di tubuh pasien tetapi juga mencegah penyebaran virus ke individu yang sehat.

Keuntungan dari terapi ini adalah bahwa virus lebih sulit untuk mengembangkan resistensi terhadap obat golongan ini.

Uncoating inhibitor[sunting | sunting sumber]

Penghambat pelepasan selubung juga telah diteliti.[7][8]

Amantadin dan rimantadin telah digunakan untuk mengobati influenza. Obat ini bekerja saat penetrasi dan pelepasan selubung.[9]

Pleconaril efektif melawan rhinovirus, yang menyebabkan pilek, dengan memblok bagian pada permukaan virus yang berperan dalam proses uncoating. Bagian ini serupa dalam sebagian besar galur rhinovirus dan enterovirus, yang dapat menyebabkan diare, meningitis, konjunctivitis, dan encephalitis.

Selama sintesis virus[sunting | sunting sumber]

Golongan ini mengganggu proses sintesis komponen-komponen virus setelah virus menyerang sel.

Transkripsi balik[sunting | sunting sumber]

Obat golongan ini merupakan analog nukleotida atau nukleosida, terlihat seperti struktur RNA atau DNA, tetapi dapat menonaktifkan enzim yang mensintesis RNA atau DNA setelah analog ini bergabung. Obat ini diasosiasikan dengan inhibisi transkriptase balik (RNA ke DNA) dibandingkan dengan transkriptase normal (DNA ke RNA).

Antiviral pertama yang efektif, asiklovir, adalah analog nukleosida, dan efektif melawan infeksi herpesvirus. Obat antivirus pertama yang disetujui untuk mengobati HIV, zidovudin (AZT), juga merupakan analog nukleosida.

Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dari aksi transkriptase balik, analog nukleosida untuk mengobati infeksi HIV juga turut berkembang. Salah satu obat tersebut, lamivudin, telah disetujui untuk mengobati hepatitis B, yang menggunakan transkriptase balik dalam proses replikasi. Peneliti mengembangkan lebih jauh lagi dan mengembangkan inhibitor yang tidak terlihat seperti nukleosida, tetapi masih bisa memblok transkriptase balik.

Target lain yang dipertimbangkan untuk antivirus HIV adalah RNase H – yang merupakan komponen dari transkriptase balik yang membagi DNA yang telah disintesi dari RNA virus awal.

Pada 10 Agustus 2011, peneliti di MIT mempublikasikam[10] sebuah metode baru untuk menginhibisi RNA, proses yang secara selektif mempengaruhi sel yang terinfeksi. Peneliti tersebut menamakan proses itu Double-stranded RNA Activated Caspase Oligomerizer (DRACO). Yang menurut peneliti "Secara teori, [DRACO] dapat bekerja melawan semua virus."[11]

Integrase[sunting | sunting sumber]

Target lainnya adalah integrase, yang menggabungkan DNA virus ke dalam genom sel inang.

Transkripsi[sunting | sunting sumber]

Setelah genom virus menjadi aktif dalam sel inang, kemudian akan menghasilkan RNA duta (mRNA) yang mengatur sintesis dari protein virus. Produksi mRNA dimulai oleh protein yang dikenal sebagai faktor transkripsi. Beberapa antivirus dirancang untuk memblok penempelan faktot transkripsi ke DNA virus.

Translasi/antisense[sunting | sunting sumber]

Antisense merupakan segmen dari DNA atau RNA yang didesain sebagai molekul komplementer untuk bagian penting dari genom virus. Obat untuk antisense, Fosforotioat yaitu fomivirsen digunakan untuk mengobati infeksi mata oportunistik pada pasien AIDS yang disebabkan oleh sitomegalovirus, dan lain antivirus antisense lainnya dalam tahap pengembangan. Sebuah tipe struktur antisense sedang dikembangkan yaitu antisense morpholino.

Morpholino telah digunakan untuk dalam percobaan untuk menekan virus:

Translasi/ribozim[sunting | sunting sumber]

Ada antivirus lain, yakni berdasarkan ribozim, yang mana enzim itu akan memotong RNA atau DNA virus pada tempat tertentu. Normalnya, ribozim digunakan sebagai bagian untuk membentuk virus, tetapi ribozim buatan dirancang untuk memotong RNA dan DNA pada tempat yang akan menonaktifkan virus.

Diusulkan antivirus ribozim digunakan dalam pengobatan hepatitis C,[17] dan antivirus ribozim sedang dikembangkan untuk pengobatan HIV.[18] Ada ide untuk penggunaan sel yang telah dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan ribozim sesuai dengan kebutuhan. Hal ini merupakan bagian dari upaya utama untuk menciptakan sel yang dimodifikasi secara genetik yang dapat diinjeksikan ke inang untuk menyerang patogen dengan menghasilkan protein khusus yang menghalangi replikasi virus pada berbagai fase hidup virus.

Pengolahan dan penargetan protein[sunting | sunting sumber]

Interferensi dengan modifikasi pasca-translasi atau dengan penarargetan protein virus dalam sel juga memungkinkan.[19]

Penghambat Protease[sunting | sunting sumber]

Beberapa virus memiliki enzim protease yang memotong rantai protein virus menjadi terpisah sehingga virus dapat dirakit menjadi bentuk akhir. HIV memiliki protease, dan penelitian telah dilakukan untuk menemukan penghambat protease yang akan menyerang HIV pada fase siklus hidupnya.[20] penghambat Protease tersedia di 1990-an dan terbukti efektif, meskipun menyebabkan efek samping yang tidak biasa, misalnya lemak menumpuk di tempat-tempat yang tidak biasa.[21] Penghambat protease terbaru tengah dikembangkan.

Penghambat Protease juga ada di alam. Sebuah penghambat protease diisolasi dari jamur Shiitake (Lentinus edodes).[22] Adanya penghambat protease di Shiitake dapat menjelaskan aktivitas antiviral in vitro pada Shiitake.[23]

Fase perakitan[sunting | sunting sumber]

Rifampisin bekerja pada fase perakitan.[24]

Fase rilis[sunting | sunting sumber]

Fase terakhir dari siklus hidup virus adalah melepaskan virus yang telah dirakit dari sel inang, dan fase ini juga ditargetkan oleh pengembang obat antivirus. Dua obat yakni zanamivir (Relenza) dan oseltamivir (Tamiflu) yang baru-baru ini digunakan untuk mengobati influenza dapat mencegah pelepasan virus dengan memblok molekul neuraminidase yang ditemukan pada permukaan virus flu, dan juga tampaknya ada di berbagai macam galur virus flu.

Stimulasi Sistem Imun[sunting | sunting sumber]

Golongan berikutnya dalam melawan virus melibatkan rangsangan ke sistem imun untuk menyerang virus, daripada obatnya yang langsung menyerang. Beberapa antivirus ini tidak fokus pada patogen yang spesifik, tetapi merangsang sistem imun untuk menyerang berbagai patogen.

Salah satu yang golongan obat yang terkenal ialah interferon, yang menghambat sintesis virus dalam sel-sel yang terinfeksi.[25] Salah satu bentuk interferon pada manusia disebut interferon alfa yang telah digunakan untuk pengobatan hepatitis B dan C,[26] dan interferon yang lain sedang diteliti sebagai pengobatan untuk berbagai penyakit.

Pendekatan yang lebih spesifik adalah untuk mensintesis antibodi monoklonal. molekul protein yang dapat terikat ke patogen dan menandainya untuk diserang oleh sistem imun. Saat ini, antibodi monoklona dijual salah satunya untuk membantu melawan respiratory syncytial virus pada bayi,[27] dan juga untuk hepatitis B.[28]

Resistensi[sunting | sunting sumber]

Hampir semua antimikroba, termasuk antivirus, dapat mengalami resistensi karena patogen terus bermutasi dari waktu ke waktu, sehingga pengobatan menjadi kurang efektif. Pada sebuah studi terbaru yang dipublikasikan oleh Nature Biotechnology menekankan perlunya penambahan persediaan oseltamivir (Tamiflu) dengan tambahan obat antivirus lainnya termasuk zanamivir (Relenza) karena kemungkinan neuraminidase (NA) dari virus Flu Babi H1N1 pada tahun 2009 telah bermutasi menjadi resisten terhadap tamiflu (His274Tyr) yang saat ini tersebar luas di galur H1N1 lainnya.[29]

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Medmicro Chapter 52". Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 August 2000. Diakses tanggal 21 February 2009. 
  2. ^ Rossignol JF (2014). "Nitazoxanide: a first-in-class broad-spectrum antiviral agent". Antiviral Res. 110: 94–103. doi:10.1016/j.antiviral.2014.07.014. PMID 25108173. Originally developed and commercialized as an antiprotozoal agent, nitazoxanide was later identified as a first-in-class broad-spectrum antiviral drug and has been repurposed for the treatment of influenza. ... From a chemical perspective, nitazoxanide is the scaffold for a new class of drugs called thiazolides. These small-molecule drugs target host-regulated processes involved in viral replication. ... A new dosage formulation of nitazoxanide is presently undergoing global Phase 3 clinical development for the treatment of influenza. Nitazoxanide inhibits a broad range of influenza A and B viruses including influenza A(pH1N1) and the avian A(H7N9) as well as viruses that are resistant to neuraminidase inhibitors. ... Nitazoxanide also inhibits the replication of a broad range of other RNA and DNA viruses including respiratory syncytial virus, parainfluenza, coronavirus, rotavirus, norovirus, hepatitis B, hepatitis C, dengue, yellow fever, Japanese encephalitis virus and human immunodeficiency virus in cell culture assays. Clinical trials have indicated a potential role for thiazolides in treating rotavirus and norovirus gastroenteritis and chronic hepatitis B and chronic hepatitis C. Ongoing and future clinical development is focused on viral respiratory infections, viral gastroenteritis and emerging infections such as dengue fever. 
  3. ^ Rick Daniels; Leslie H. Nicoll (2012). "Pharmacology - Nursing Management". Contemporary Medical-Surgical Nursing. Cengage Learning, 2011. hlm. 397. 
  4. ^ Kisung Ko, Yoram Tekoah, Pauline M. Rudd, David J. Harvey, Raymond A. Dwek, Sergei Spitsin, Cathleen A. Hanlon, Charles Rupprecht, Bernhard Dietzschold, Maxim Golovkin, and Hilary Koprowski (2003). "Function and glycosylation of plant-derived antiviral monoclonal antibody". PNAS. doi:10.1073/pnas.0832472100. 
  5. ^ Schnitzler, P; Schön, K; Reichling, J (2001). "Antiviral activity of Australian tea tree oil and eucalyptus oil against herpes simplex virus in cell culture". Die Pharmazie. 56 (4): 343–7. PMID 11338678. 
  6. ^ Lindequist, Ulrike; Niedermeyer, Timo H. J.; Jülich, Wolf-Dieter (2005). "The Pharmacological Potential of Mushrooms". Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2 (3): 285–99. doi:10.1093/ecam/neh107. PMC 1193547alt=Dapat diakses gratis. PMID 16136207. 
  7. ^ Bishop NE (1998). "Examination of potential inhibitors of hepatitis A virus uncoating". Intervirology. 41 (6): 261–71. doi:10.1159/000024948. PMID 10325536. 
  8. ^ Almela MJ, González ME, Carrasco L (May 1991). "Inhibitors of poliovirus uncoating efficiently block the early membrane permeabilization induced by virus particles". J. Virol. 65 (5): 2572–7. PMC 240614alt=Dapat diakses gratis. PMID 1850030. 
  9. ^ Beringer, Paul; Troy, David A.; Remington, Joseph P. (2006). Remington, the science and practice of pharmacy. Hagerstwon, MD: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 1419. ISBN 0-7817-4673-6. 
  10. ^ Rider, Todd H.; Zook, Christina E.; Boettcher, Tara L.; Wick, Scott T.; Pancoast, Jennifer S.; Zusman, Benjamin D. (2011). Sambhara, Suryaprakash, ed. "Broad-Spectrum Antiviral Therapeutics". PLoS ONE. 6 (7): e22572. doi:10.1371/journal.pone.0022572. PMC 3144912alt=Dapat diakses gratis. PMID 21818340. 
  11. ^ "New drug could cure nearly any viral infection". Diakses tanggal 11 August 2011. 
  12. ^ Stein DA, Skilling DE, Iversen PL, Smith AW (2001). "Inhibition of Vesivirus infections in mammalian tissue culture with antisense morpholino oligomers". Antisense Nucleic Acid Drug Dev. 11 (5): 317–25. doi:10.1089/108729001753231696. PMID 11763348. 
  13. ^ Deas, T. S.; Binduga-Gajewska, I.; Tilgner, M.; Ren, P.; Stein, D. A.; Moulton, H. M.; Iversen, P. L.; Kauffman, E. B.; Kramer, L. D.; Shi, P. -Y. (2005). "Inhibition of Flavivirus Infections by Antisense Oligomers Specifically Suppressing Viral Translation and RNA Replication". Journal of Virology. 79 (8): 4599–4609. doi:10.1128/JVI.79.8.4599-4609.2005. PMC 1069577alt=Dapat diakses gratis. PMID 15795246. 
  14. ^ Kinney, R. M.; Huang, C. Y.-H.; Rose, B. C.; Kroeker, A. D.; Dreher, T. W.; Iversen, P. L.; Stein, D. A. (2005). "Inhibition of Dengue Virus Serotypes 1 to 4 in Vero Cell Cultures with Morpholino Oligomers". J. Virol. 79 (8): 5116–28. doi:10.1128/JVI.79.8.5116-5128.2005. PMC 1069583alt=Dapat diakses gratis. PMID 15795296. 
  15. ^ McCaffrey AP, Meuse L, Karimi M, Contag CH, Kay MA (2003). "A potent and specific morpholino antisense inhibitor of hepatitis C translation in mice". Hepatology. 38 (2): 503–8. doi:10.1053/jhep.2003.50330. PMID 12883495. 
  16. ^ Neuman, B. W.; Stein, D. A.; Kroeker, A. D.; Paulino, A. D.; Moulton, H. M.; Iversen, P. L.; Buchmeier, M. J. (June 2004). "Antisense Morpholino-Oligomers Directed against the 5′ End of the Genome Inhibit Coronavirus Proliferation and Growth†". J. Virol. 78 (11): 5891–9. doi:10.1128/JVI.78.11.5891-5899.2004. PMC 415795alt=Dapat diakses gratis. PMID 15140987. 
  17. ^ Ryu KJ, Lee SW (2003). "Identification of the most accessible sites to ribozymes on the hepatitis C virus internal ribosome entry site". J. Biochem. Mol. Biol. 36 (6): 538–44. doi:10.5483/BMBRep.2003.36.6.538. PMID 14659071. 
  18. ^ Bai J, Rossi J, Akkina R (March 2001). "Multivalent anti-CCR ribozymes for stem cell-based HIV type 1 gene therapy". AIDS Res. Hum. Retroviruses. 17 (5): 385–99. doi:10.1089/088922201750102427. PMID 11282007. 
  19. ^ Alarcón B, González ME, Carrasco L (1988). "Megalomycin C, a macrolide antibiotic that blocks protein glycosylation and shows antiviral activity". FEBS Lett. 231 (1): 207–11. doi:10.1016/0014-5793(88)80732-4. PMID 2834223. 
  20. ^ Anderson J, Schiffer C, Lee SK, Swanstrom R (2009). "Viral protease inhibitors". Handb Exp Pharmacol. Handbook of Experimental Pharmacology. 189 (189): 85–110. doi:10.1007/978-3-540-79086-0_4. ISBN 978-3-540-79085-3. PMID 19048198. 
  21. ^ Flint, O. P.; Noor, M. A.; Hruz, P. W.; Hylemon, P. B.; Yarasheski, K.; Kotler, D. P.; Parker, R. A.; Bellamine, A. (2009). "The Role of Protease Inhibitors in the Pathogenesis of HIV-Associated Lipodystrophy: Cellular Mechanisms and Clinical Implications". Toxicol Pathol. 37 (1): 65–77. doi:10.1177/0192623308327119. PMC 3170409alt=Dapat diakses gratis. PMID 19171928. 
  22. ^ Odani S, Tominaga K, Kondou S (1999). "The inhibitory properties and primary structure of a novel serine proteinase inhibitor from the fruiting body of the basidiomycete, Lentinus edodes". European Journal of Biochemistry. 262 (3): 915–23. doi:10.1046/j.1432-1327.1999.00463.x. PMID 10411656. 
  23. ^ Suzuki H, Okubo A, Yamazaki S, Suzuki K, Mitsuya H, Toda S (1989). "Inhibition of the infectivity and cytopathic effect of human immunodeficiency virus by water-soluble lignin in an extract of the culture medium of Lentinus edodes mycelia (LEM)". Biochemical and Biophysical Research Communications. 160 (1): 367–73. doi:10.1016/0006-291X(89)91665-3. PMID 2469420. 
  24. ^ Sodeik B, Griffiths G, Ericsson M, Moss B, Doms RW (1994). "Assembly of vaccinia virus: effects of rifampin on the intracellular distribution of viral protein p65". J. Virol. 68 (2): 1103–14. PMC 236549alt=Dapat diakses gratis. PMID 8289340. 
  25. ^ Samuel CE (October 2001). "Antiviral Actions of Interferons". Clin. Microbiol. Rev. 14 (4): 778–809. doi:10.1128/CMR.14.4.778-809.2001. PMC 89003alt=Dapat diakses gratis. PMID 11585785. 
  26. ^ Burra P (2009). "Hepatitis C". Semin. Liver Dis. 29 (1): 53–65. doi:10.1055/s-0029-1192055. PMID 19235659. 
  27. ^ Nokes JD, Cane PA (December 2008). "New strategies for control of respiratory syncytial virus infection". Curr. Opin. Infect. Dis. 21 (6): 639–43. doi:10.1097/QCO.0b013e3283184245. PMID 18978532. 
  28. ^ Akay S, Karasu Z (November 2008). "Hepatitis B immune globulin and HBV-related liver transplantation". Expert Opin Biol Ther. 8 (11): 1815–22. doi:10.1517/14712598.8.11.1815. PMID 18847315. 
  29. ^ Venkataramanan Soundararajan; Kannan Tharakaraman; Rahul Raman; S. Raguram; Zachary Shriver; V. Sasisekharan; Ram Sasisekharan (9 June 2009). "Extrapolating from sequence — the 2009 H1N1 'swine' influenza virus". Nature Biotechnology. 27 (6): 510–3. doi:10.1038/nbt0609-510. PMID 19513050.