Jalur Ancol–Cililitan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jalur Jalan Raya Ancol - Cililitan adalah sebuah ruas Jalan Raya di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Indonesia yang memiliki panjang 16,01 km yang menghubungkan kawasan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara hingga Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur. Jalan ini terbagi menjadi 9 bagian, yakni Jalan Gunung Sahari, Jalan Pasar Senen, Jalan Kramat Raya, Jalan Salemba Raya, Jalan Matraman Raya, Jalan Jatinegara Barat, Jalan Jatinegara Timur, Jalan Otto Iskandardinata, dan Jalan Dewi Sartika. Jalur Jalan Raya ini mulai terbentuk sejak awal abad ke-19, karena jalur jalan raya ini merupakan salah satu bagian dari Jalan Raya Pos (Bahasa Belanda: De Groote Postweg atau De Grote Postweg) yang dibangun oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Herman Willem Daendels yang memiliki panjang 1000 km dari Anyar, Serang, Banten hingga Panarukan, Situbondo, Jawa Timur.[butuh rujukan]

Jalur Jalan Raya Ancol - Cililitan
De Groote Postweg
Informasi rute
Panjang:16.01 km (9,95 mi)
Berdiri:1809 – sekarang
Sejarah:Merupakan salah satu bagian dari Jalan Raya Pos (De Groote Postweg)
Persimpangan besar
 Simpang Ancol
Simpang Mangga Dua
Simpang Jalan Pangeran Jayakarta
Simpang Jalan Raya Mangga Besar
Simpang Jalan Sukarjo Wirjopranoto/Jalan Angkasa (Menuju kawasan Kemayoran)
Simpang Jalan Dr. Soetomo
Simpang Pasar Senen
Simpang Salemba
Simpang Matraman
Simpang Pasar Hewan Jatinegara
Simpang Kampung Melayu
Simpang Otista (Jalan MT Haryono)
Simpang Kalibata (menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata
Simpang Cililitan (Jalan Raya Bogor atau Jalan Mayjen Sutoyo
Letak
Kota besar:Jakarta Utara
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Sistem jalan bebas hambatan

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sistem pengiriman pesan di Hindia Belanda pertama kali diperkenalkan di masa VOC. Sarana pengirimannya saat itu bergantung pada kapal perang VOC yang berlayar ke berbagai pulau dan belum ada sistem yang terorganisasi.[1] Kantor pos baru pertama kali didirikan pada 26 Agustus 1746 di Batavia oleh Gubernur Jenderal yang ke-26, Gustaaf Willem van Imhoff untuk menjamin keamanan surat-surat penduduk terutama bagi para pedagang yang berdagang di luar Jawa dan orang-orang yang pulang pergi dari dan ke Belanda. Empat tahun kemudian, kantor pos Semarang didirikan dan menggunakan rute melalui Karawang, Cirebon, dan Pekalongan.[2] Sementara itu, transportasi daratan sudah ada setidaknya pada sekitar 1750, yaitu jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Namun, hujan tropis yang deras sering kali menghancurkan jalannya.

Pada 28 Januari 1807, Herman Wiliem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon.[3] Cemas akan masa depan Jawa, khususnya setelah Isle de France (kini Mauritius) diserbu Inggris pada 1807, Louis memberi dua tugas utama dalam bentuk instruksi kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahannya.[4] Instruksi yang serupa juga diterimanya dari Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.

Pilihan Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos mungkin diinspirasi oleh cursus publicus, sistem jalan pos Kekaisaran Romawi yang menghubungkan Roma dengan kota-kota yang ditaklukkannya. [5][6] Dengan begitu, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan menghubungkan Batavia dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[7] Sumber lainnya mengatakan bahwa idenya untuk membangun sebuah jalan raya mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Saat itu, Inggris menguasai lautan dan memblokade Prancis untuk mengakses lautan sehingga memaksa Daendels harus melalui daratan Prancis terlebih dahulu dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon.[8] Upaya membangun jalan ini didasarkan pada salah satu instruksi Louis yang mewajibkan Daendels untuk memperhatikan sarana (transportasi) yang paling sesuai dirancang, melalui kesepakatan dengan para bupati, yang dapat memperbaiki nasib pribumi Hindia Belanda.[9]

Jalan tersebut dinamai demikian karena Daendels membangun sebanyak 50 kantor pos di antara Batavia dan Surabaya untuk mempercepat komunikasi dengan para pejabatnya.[10] Komunikasi saat itu dianggap hal yang berharga karena Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan mereka yang tersebar di seluruh Jawa dan lalu lintas laut yang bisanya digunakan untuk menyampaikan surat diblokade Inggris.[11]

Bagian[sunting | sunting sumber]

Jalan yang termasuk jalur ini yaitu:

Secara administratif, jalur jalan raya ini melewati 3 Kota Administrasi, yakni:

Persimpangan[sunting | sunting sumber]

Simpang CIlilitan di Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur merupakan salah satu persimpangan besar dan ujung selatan dari Jalur Jalan Raya Ancol-Cililitan

Jalur Jalan Raya Ancol-Cililitan memiliki banyak persimpangan besar maupun kecil. Persimpangan besar pada jalur jalan raya ini adalah:

Transportasi[sunting | sunting sumber]

Jalur Bus[sunting | sunting sumber]

Transjakarta[sunting | sunting sumber]

Bus listrik pengumpan dalam kota Transjakarta melewati Jalan Jatinegara

Jalur Jalan Raya Ancol - CIlilitan dilewati oleh Transjakarta koridor 5 dan 7 yang terus menelusuri jalan raya ini dari simpang Jalan Otista dan Jalan MT Haryono hingga Ancol. Berikut adalah rute bus yang melewati jalur jalan raya ini:

Jalur Kereta Api[sunting | sunting sumber]

Stasiun Jatinegara (atas) dan Stasiun Matraman (bawah) merupakan salah satu stasiun pemberhentian KRL Commuter Line yang berada di dekat Jalur Jalan Raya Ancol-Cililitan.

KRL Commuter Line Lin Lingkar Cikarang C Terdapat dua stasiun, yakni:

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi 1980, hlm. 47.
  2. ^ Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi 1980, hlm. 50.
  3. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 16.
  4. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 28.
  5. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 4.
  6. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 5.
  7. ^ Hartatik 2018, hlm. 34.
  8. ^ Nas & Pratiwo 2003, hlm. 709.
  9. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 17.
  10. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 5.
  11. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]