Lompat ke isi

Ghali (kapal)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah "galai" dari Madura, 1601. Perhatikan panggung pertempuran yang dinaikkan, tiga meriam menghadap ke depan, dan setidaknya satu meriam putar yang terletak di dekat buritan kapal. Ia mungkin merupakan gambaran yang agak canggung tentang lancaran atau kapal yang sejenis.

Ghali, gali, atau gale mengacu pada beberapa jenis kapal mirip galai dari kepulauan Nusantara. Kapal jenis ini baru muncul setelah tahun 1530-an. Di Nusantara, sebelumnya sudah ada beberapa kapal seperti galai, beberapa dengan cadik. Ghali (atau istilah yang serupa) adalah hasil dari dampak pembuatan kapal asli Mediterania, khususnya yang diperkenalkan oleh orang Arab, Persia, Turki Utsmani, dan Portugis. Namun demikian, istilah tersebut dapat merujuk pada kapal laut Mediterania yang dibuat oleh penduduk setempat, atau kapal laut lokal yang memiliki pengaruh Mediterania.[1]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Kata ghali dan variasinya berasal dari kata Portugis galé, yang berarti galai.[2] Alasan penambahan huruf h adalah karena ditulis dalam teks-teks Melayu menggunakan aksara jawi, dengan ghain awal (غ) seperti dalam ghurab.[1]:163

Sejarah dan deskripsi

[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa jenis kapal yang menggunakan nama serupa di kepulauan Nusantara, deskripsi dan konstruksi masing-masing kapal belum tentu sama.

Galai Melayu abad ke-16.

Karya sastra Melayu Hikayat Hang Tuah menceritakan sebuah galai kerajaan (ghali kenaikan raja) legendaris dari kesultanan Melaka yang disebut Mendam Berahi. Panjangnya 60 gaz (180 kaki atau 54.9 m)[catatan 1] dan lebar 6 depa (36 kaki atau 11 m).[3] Ia dipersenjatai dengan 7 meriam.[4][5]:299[6]:180

Namun, Mendam Berahi sepertinya hanyalah kapal fiksi, karena ia hanya disebut dalam literatur fiksi Hikayat Hang Tuah, dan manuskrip Melayu lain tidak pernah menyinggung keberadaannya.[7][8] Meskipun HHT mengisahkan cerita berlatar kesultanan Melaka (1400–1511), ia sebenarnya merefleksikan kejadian yang terjadi pada kesultanan Johor pada abad ke-17, lebih rincinya berdasar pada masa keemasan Johor pada 1640-an hingga 1670-an. Tokoh utamanya, Hang Tuah, adalah tokoh fiktif, namun kisahnya ditulis berdasarkan kisah nyata Laksamana Abd al-Jamil (Tun Abdul Jamil) dari Johor.[9] Catatan Portugis sezaman menunjukkan bahwa galai muncul di armada lokal pada akhir tahun 1530-an, sebelumnya kapal andalan armada Melayu adalah lancaran. Baru pada tahun 1560-an penggunaan ghali semakin meluas, kebanyakan digunakan oleh orang Aceh, bukan Melayu. Kata “ghali” sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Portugis, sehingga keberadaan ghali pada masa kejayaan kesultanan Melaka merupakan anakronisme.[1]:164[10]:77, 210-212

Orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus untuk armada perang mereka.[catatan 2] Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.[5]:270-277, 290-291, 296-301[1]:148, 155

Indonesia bagian timur

[sunting | sunting sumber]
Sebuah galai dengan layar terkembang, di sebelah barat Pulau Gilolo (sekarang Halmahera).

Di Indonesia timur, jenis kapal yang disebut galé (arti harfiah: galai) diadaptasi oleh Spanyol dan Portugis untuk digunakan di Filipina dan Indonesia timur. Mereka panjang dan sempit, kapal menyempit ke depan dan belakang. Panjangnya 7 atau 8 kali lebarnya. Mereka memiliki dek yang membentang sepanjang perahu dan didorong oleh dayung yang panjang. Sebuah dek khusus dibangun untuk para prajurit, dan di sepanjang galai ditempatkan perisai untuk melindungi para pendayung dan para prajurit.[13]:378

Sebuah kapal mirip galai Aceh menarik perahu yang lebih kecil, saat pengepungan Melaka tahun 1568. Kapal ini memiliki 3 tiang dan kemudi samping ganda, juga didorong dengan 12 baris dayung. Karena memiliki 3 tiang, mungkin ia adalah " lancaran bertiang tiga "

Kesultanan Aceh terkenal dengan penggunaan galai yang berasal dari Ottoman/Turki Utsmani. Menariknya istilah Aceh untuk galai adalah ghali, yang berasal dari kata Portugis galé, bukan dari istilah Turki untuk itu (Kadırga).[1]:163 Ketika menyerang bangsa Portugis di Melaka pada tahun 1568, Kesultanan Aceh mengerahkan 4 galai besar dengan panjang 40–50 m, dan berpendayung 190 orang dalam 24 baris dayung, dipersenjatai dengan 12 camelo besar (3 di kiri dan kanan haluan, serta 4 di buritan), 1 basilisk (di ujung haluan), 12 falcon, dan 40 laras meriam putar.[1]:164 Saat itu meriam, senjata api, dan peralatan perang lainnya datang secara rutin dari Jeddah, dan orang Turki juga mengirimkan ahli militer, ahli galai, dan teknisi.[14] Rata-rata galai Aceh pada paruh kedua abad ke-16 memiliki panjang sekitar 50 meter, memiliki dua tiang, dengan layar persegi dan layar atas, bukan layar lateen seperti di galai Portugis.[1]:165[15] Ia akan didorong oleh 24 dayung di setiap sisi, membawa sekitar 200 orang di atas kapal, dan dipersenjatai dengan 20 meriam (dua atau tiga yang besar di haluan, sisanya meriam putar yang lebih kecil).[1]:165

Pada serangan tahun 1575, Aceh menggunakan 40 galai 2 tiang dengan kapten Turki membawa 200–300 tentara yang berasal dari Turki, Arab, Deccani, dan Aceh. Galai negara (ghorab istana) milik Aceh, Daya, dan Pedir dikatakan membawa 10 meriam, 50 lela, dan 120 cecorong (tidak termasuk istinggar). Galai yang lebih kecil membawa 5 meriam, 20 lela, dan 50 cecorong.[16] Sumber lokal dan sumber Barat menyebutkan bahwa Aceh memiliki 100–120 galai yang siaga kapanpun (tidak termasuk fusta dan galiot yang lebih kecil), tersebar dari Daya (pesisir Barat) ke Pedir (pesisir Timur). Sebuah galai yang ditangkap Portugis pada 1629 sangat besar, dan dilaporkan Aceh memiliki 47 buah totalnya. Panjangnya 100 m dan lebarnya 17 m, memiliki 3 tiang dengan layar persegi dan layar atas, digerakkan oleh 35 dayung dan dapat membawa 700 orang. Dipersenjatai 18 meriam besar (lima buah 55-pounder di haluan, satu 25-pounder di buritan, sisanya 17 dan 18-pounder), 80 falcon dan banyak meriam putar. Kapal ini disebut "Espanto do Mundo", yang mungkin merupakan terjemahan dari kata Cakradonya (Cakra Dunia). Orang Portugis melaporkan bahwa galai-galai ini jauh lebih besar daripada segala macam kapal yang pernah dibuat di Dunia Kristen, dan bahkan kimbulnya (bagian belakangnya) memiliki tinggi menyamai kastil (kimbul) galiung.[1]:166

Sebuah galai dari Banten, 1598. Empat cetbang dapat terlihat.

Dua gambar dari Belanda tahun 1598 dan 1601 menggambarkan galai Banten dan galai Madura. Masing-masing bertiang 2 dan bertiang 1. Berbeda dari galai-galai Laut Tengah, galai-galai Nusantara memiliki panggung tempat bertempur yang disebut "balai", tempat berdiri para prajurit. Balai merupakan salah satu bagian yang lazim dijumpai pada kapal-kapal perang di Nusantara.[17][1]:165 Galai-galai dan kapal-kapal mirip galai Jawa dibangun sesuai dengan instruksi dari orang-orang Turki yang tinggal di Banten.[18]:132 plate 27[19]:373

Galai lokal yang menyerang galiung Belanda, di sebelah barat Pulau Ternate .

Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Gowa memiliki galle' (atau galé) sepanjang 40 m dan selebar 6 m, yang mampu menampung 200–400 orang. Galle' Kesultanan Gowa lainnya memiliki panjang 23–35 m.[20]:160[21]:85[22] Kapal-kapal itu digunakan oleh raja Gowa untuk melakukan pelayaran dan perdagangan laut antar pulau di Nusantara, baik di barat (Melaka, Riau, Mempawah, Kalimantan) atau di timur (Banda, Timor, Flores, Bima, Ternate, dan Australia Utara).[23][21]:85

Karaeng Matoaja, kepala pemerintah Gowa dan pangeran Tallo, diantara yang lainnya, memiliki sembilan galai, yang dibangunnya pada tahun ketika Buton ditaklukkan (1626). Kapal-kapal itu disebut galé. Dimensi mereka adalah 20 depah (36,6 m) panjangnya dan 3 depah (5,5 m) lebarnya. Mereka memiliki tiga kemudi: Dua kemudi Indonesia di kedua sisi buritan, dan sebuah kemudi aksial Eropa. Tidak aneh jika Makassar memiliki galai pada abad ke-17. Gowa telah memelihara hubungan persahabatan dengan Portugis sejak 1528.[19]:371-372

Galai-galai Ternate menyambut kedatangan Francis Drake.

Kapal jenis ini biasanya dimiliki oleh orang-orang kaya dan raja-raja Bugis dan Makassar. Untuk perdagangan antar pulau, kapal gale Makassar dianggap sebagai kapal paling kuat, dan oleh karena itu digunakan oleh bangsawan Bugis-Makassar dan Malaya untuk mengangkut rempah-rempah dari Maluku. Penggunaan gale meningkatkan perdagangan maritim di Gowa, serta pelabuhan lain di Sulawesi Selatan, sejak abad ke-16.[24][21]:85

  1. ^ 1 gaz Melayu setara dengan 33–35 inci atau 3 kaki. Lihat Kamus Dewan Ed. 4, 2005: hlm. 383.
  2. ^ Pada saat Portugis menyerang Kesultanan Melaka pada tahun 1511, orang Melayu menggunakan lancaran (lanchara) dan penjajap (pangajaoa).[11] Kelulus (calaluz) digunakan dalam beberapa ekspedisi sebelum dan sesudah jatuhnya Melaka.[12]

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. Dalam G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
  2. ^ "English Translation of "galé" | Collins Portuguese-English Dictionary". www.collinsdictionary.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-30. 
  3. ^ Musa, Hashim (2019). Teknologi perkapalan Melayu tradisional: Jong dan Ghali meredah tujuh lautan Diarsipkan 2023-04-06 di Wayback Machine.. In: Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu 2019, 15-17 Oktober 2019, Auditorium, Pepustakaan Negara Malaysia. hlm. 18.
  4. ^ Hikayat Hang Tuah, VIII: 165. Transkripsi: Maka Mendam Berahi pun di-suroh dayong ka-laut. Maka Laksamana memasang meriam tujoh kali. Maka kenaikan pun belayar lalu menarek layar.
  5. ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  6. ^ Robson-McKillop, Rosemary (2010). The Epic of Hang Tuah. ITBM. ISBN 9789830687100. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-04. Diakses tanggal 2020-10-15. 
  7. ^ Institut Penyelidikan Matematik (2022). Akhirnya Kapal Hang Tuah - Mendam Berahi Akan di Bina Semula [Siaran pers]. https://www.youtube.com/watch?v=FDyjjhhUoHI Diarsipkan 2023-06-13 di Wayback Machine.
  8. ^ Halimi, Ahmad Jelani (2023, June 20). Mendam Berahi: Antara Realiti dan Mitos [Seminar presentation]. Kapal Mendam Berahi: Realiti atau Mitos?, Melaka International Trade Centre (MITC), Malacca, Malaysia. https://www.youtube.com/watch?v=Uq3OsSc56Kk
  9. ^ Braginsky, V.I. (1990). "Hikayat Hang Tuah; Malay epic and muslim mirror; Some considerations on its date, meaning and structure". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 146 (4): 399–412. doi:10.1163/22134379-90003207. ISSN 0006-2294. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-04. Diakses tanggal 2023-06-16. 
  10. ^ Reid, Anthony, ed. (1993). Southeast Asia in the Early Modern Era. Ithaca: Cornell University Press. 
  11. ^ Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 Vol. III. London: The Hakluyt Society, halaman 68; dan Albuquerque, Afonso de (1774). Commentários do Grande Afonso Dalbuquerque parte III. Lisboa: Na Regia Officina Typografica, halaman 80–81.
  12. ^ Manguin, Pierre-Yves (1993). 'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era (Ithaca: Cornell University Press), halaman 212.
  13. ^ Tarling, Nicholas (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume 1, From Early Times to C.1800. Cambridge University Press. ISBN 9780521355056. 
  14. ^ Boxer, Charles Ralph (1964). “The Acehnese attack on Malacca in 1629, as described in contemporary Portuguese sources”. In J. Bastin and R. Roolvink (eds.). Malayan and Indonesian Studies. Oxford: Oxford University Press. hlm. 105–121.
  15. ^ Augustin de Beaulieu (1996). Mémoire d'un voyage aux Indes orientale (1619–1622). Un marchand normand à Sumatra, édité par Denys Lombard. Pérégrinations asiatiques I (Paris: École française d'Extrême-Orient).
  16. ^ Iskandar, Teuku (1958). De Hikajat Atjeh. ‘s-Gravenhage: KITLV. hlm. 175. 
  17. ^ Jacob Cornelisz Neck (1601). Het tweede Boeck, journael oft dagh-register, inhoudende een warachtich verhael ende historische vertellinghe vande reyse gedaen door de acht schepen van Amstelredamme, gheseylt inden maent martij 1598 onder ‘t beleydt vanden admirael Iacob Cornelisz Neck ende Wybrant van Warwijck als vice-admirael etc. Amstelredamme: Cornelis Claesz. hlm. 17.
  18. ^ Rouffaer, G.P. (1915). De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman Vol. I. Den Haag: 'S-Gravenhage M. Nijhoff. 
  19. ^ a b Noteboom, Christiaan (1952). "Galeien in Azië". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 108: 365–380. 
  20. ^ Tapala, La Side' Daéng (1975). "L'expansion du royaume de Goa et sa politique maritime aux XVIe et XVIIe siècles". Archipel. 10 (1): 159–171. doi:10.3406/arch.1975.1247. ISSN 0044-8613. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-04. Diakses tanggal 2022-12-15. 
  21. ^ a b c Hadrawi, Muhlis (May 2018). "Sea Voyages and Occupancies of Malayan Peoples at the West Coast of South Sulawesi" (PDF). International Journal of Malay-Nusantara Studies. 1: 80–95. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-06-23. Diakses tanggal 2020-10-15. 
  22. ^ Sidiq H. M., Muhammad (21 June 2019). "Kapal-Kapal di Wilayah Kesultanan Gowa Abad 17 M". IslamToday. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-30. Diakses tanggal 23 January 2019. 
  23. ^ Chambert-Loir, Henri. 2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim, Lima Teks Indonesia Lama. Naskah dan Dokumen Lama Seri XXIX. Jakarta: KPG, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, MANASSA, Pusat Kajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta.
  24. ^ Christian Pelras, Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d’Extreme-Orient. (Terjemahan bahasa Indonesia dari The Bugis, Oxford: Blackwell, 2006, hlm. 67)