Jukung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jukung di Bali

Jukung atau juga dikenal sebagai cadik adalah perahu kecil bercadik kayu dari Indonesia. Ia adalah perahu nelayan tradisional, tetapi penggunaan yang lebih baru diantaranya sebagai "Jukung Dives", yaitu penggunakan perahu sebagai kendaraan untuk kelompok kecil penyelam skuba.

Jukung bercadik ganda hanyalah salah satu dari banyak jenis kano bercadik Pasifik / Asia yang menggunakan layar cakar kepiting tradisional yang terdapat di seluruh Polinesia. Meskipun layar ini agak sulit dalam berlayar melawan ke angin, jukung sangat bagus kemampuannya dalam berlayar searah angin. Mereka biasanya berdekorasi bagus dan memiliki haluan seperti ikan marlin.

Orang-orang di Kalimantan juga menyebut perahu mereka sebagai Jukung. Ia digunakan untuk transportasi dalam kegiatan sehari-hari seperti pergi ke kantor, ke sekolah, atau berbelanja di pasar terapung (Pasar Terapung merupakan objek wisata yang sangat terkenal di bogor).

Saat ini ada versi modern jukung yang terbuat dari pipa High Density Polyethylene (HDPE) di Indonesia. Diiklankan sebagai perahu yang tidak dapat tenggelam, badan utama terbuat dari pipa HDPE tertutup yang mengandung udara tertutup sebagai sumber daya apungnya.[1]

Jenis[sunting | sunting sumber]

  • Jukung gede. Jenis jukung yang besar, digunakan untuk mengangkut 4–5 sapi dari Bali ke Nusa Penida di selat Lombok, sering terlihat di pantai Kusamba.[2]
  • Jukung payangan. Ini adalah jukung penangkap ikan yang besar dan terkenal dari Salompeng. Panjangnya sekitar 15 m dengan 5 orang awak. Payang sendiri merujuk pada suatu jenis jaring yang ditarik atau diseret.[2]
  • Jukung polangan. Jenis jukung biasa di Sepulu, dengan bagian belakang yang terproyeksi, memiliki tiang penyangga cadik, dan lima tempat duduk (disebut polangan). Bagian sirip depan dan belakang diukir dan dicat dengan emas. Badannya menggunakan badan jukung Madura.[2]

Bagian[sunting | sunting sumber]

Jukung berbentuk bunga teratai.

Jukung memiliki ukuran yang relatif kecil dan sempit, yakni sekitar 4–5 m × 45–60 m × 40–50 m. Jukung dibagi menjadi dua bagian, yakni jukung ketir dan perahu pancingan/jepitan. Jukung ketir merujuk kepada perahu yang diberi tali di sebelah kanan dan kiri, sementara perahu pancingan merujuk kepada perahu yang memiliki dua cadik.[3]

Ada dua bentuk badan perahu yang biasa dibuat oleh masyarakat, papan dan kuno. Perahu yang terbuat dari papan adalah perahu yang lingkari dengan bahan dasar yang kokoh untuk perahu, seperti japitan. Sedangkan perahu yang konu adalah perahu yang dibuat dengan bahan dasar pohon yang sangat besar. Kemudian pohon itu dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan dikeruk dengan benda-benda tajam, lalu diukir sehingga membentuk perahu yang sudah diinginkan. Setelah proses pemotongan, pengukiran dan penambahan alat-alat, seperti pancing dan bambu.[2]

Perlombaan Jukung[sunting | sunting sumber]

Sebuah jukung dari arsip Tropenmuseum, sekitar 1970-an.

Pada akhir 1980-an, ada perjalanan pelayaran lebih dari 1000 mil laut (1852 km) menggunakan jukung terbuka oleh sembilan kru, yang berlayar dari Bali ke Darwin melintasi Laut Timor. Krunya berasal dari Selandia Baru, Australia, AS, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Belanda, dan Indonesia. Ini adalah ekspedisi tiga bulan yang didalangi oleh Bob Hobmann, difilmkan dan dibuat menjadi film dokumenter yang disebut "Passage out of Paradise"; ditampilkan oleh National Geographic Society sebagai "The Great Jukung Race". Ini adalah ekspedisi pertama dari jenis ini, mengikuti rute pelayaran austronesia yang konon sudah ada sejak 7.000 tahun.

Ekspedisinya dimulai di Bali, ketika para kru sudah akrab berlayar dengan Jukung mereka, mereka memulai petualangan dua bulan mengikuti rute berlayar kuno (1000 tahun SM), di sepanjang Kepulauan timur melalui Pulau Komodo. Mereka menyelesaikan perjalanan dengan berlayar 5 hari berbahaya melintasi Laut Arafura ke Darwin, melalui Kepulauan Tiwi.

Tantangan yang dialami adalah badai yang membutuhkan banyak perbaikan kapal, semburan air, paparan sinar matahari yang berlebihan, panas, atau hujan, arus yang merugikan & pusaran air. Bahaya termasuk terdampar ke pulau Timor yang dilanda perang, perilaku tidak terduga dari penduduk desa terpencil, bisul air garam, infeksi luka, kekurangan gizi, menyerempet dengan kapal kargo di malam hari, penampakan paus sperma dan hiu putih besar. Beberapa pelaut diserang oleh lebah ketika bersiap-siap meninggalkan kemah pantai yang terpencil. Para kru memberontak & sepakat memutuskan untuk berlayar sebagai sebuah kelompok, bukannya saling berlomba satu sama lain dari perjalanan, untuk keselamatan mereka.

Akibatnya, semua pelaut secara ajaib selamat dari angin topan berkecepatan lebih dari 110 km / jam di jukung bambu kecil mereka (panjang 1,83 m, lebar 50 cm), meskipun kru Australia hilang selama 2 hari, ia ditemukan penjaga pantai Australia, dengan Jukung yang hancur tersapu di sebuah pulau.

Armada dari 9 jukung dan 18 pelaut internasional diberi sambutan secara tradisional oleh orang Aborigin Pulau Melville setempat, dan berhasil mencapai tujuan akhir mereka di Darwin, Australia.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Aquatec - Keramba Jaring Apung, Dermaga Apung dan Perahu HDPE". www.aquatec.co.id. Diakses tanggal 18 April 2018. 
  2. ^ a b c d Horridge (2015). h.189.
  3. ^ Yayasan Untuk Indonesia.; Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. (2005). Ensiklopedi Jakarta : culture & heritage = budaya & warisan sejarah. Jakarta: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. ISBN 9798682491. OCLC 70850252. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]