Wayang Potehi
Wayang Potehi (Hanzi: 布袋戲; Pinyin: bùdàixì; Pe̍h-ōe-jī: pò͘-tē-hì) merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong) dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Mempunyai makna wayang yang berbentuk kantong dari kain. Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang. Kesenian tradisional dari Tionghoa ini telah berkembang selama kurang lebih 3.000 tahun lalu telah ada sejak Dinasti Jin (265-420 M).
Untuk memainkan wayang potehi ini membutuhkan 5 pemain, 2 pemain berperan sebagai dalang dan 3 pemain sebagai pengiring musiknya. Cerita yang dimainkan pada wayang potehi biasanya tentang legenda, kepahlawanan dari Tiongkok,” Wayang yang dimainkan berbeda-beda tergantung ceritanya, untuk alatnya ada tambur, musik gesek, simbah, dan lain-lain. Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie. Lakon-lakon itu merupakan kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tiongkok dan biasanya dimainkan di kelenteng. Bila wayang potehi pentas di luar kelenteng, diambil cerita-cerita yang populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti)), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang.
Kesenian wayang potehi ini masuk ke Kabupaten Jombang diperkirakan sejak tahun 1920 berpusat di Klenteng Hong San Kiong Gudo. wayang potehi ini khususnya di Surabaya dibawa oleh para pendatang. Pada masa itu, banyak pendatang dari Tiongkok yang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Beberapa dari mereka bahkan menetap di Indonesia dan memperkenalkan budaya ini. Perpaduan unsur budaya asal daratan Cina dengan budaya lokal memberi warna tersendiri bagi etnis Tionghoa di Nusantara termasuk yang ada di Kota Santri-julukan Kabupaten Jombang dan Kota Surabaya salah satunya yakni etnis Tionghoa yang membawa kesenian wayang potehi.[1]
Menurut legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang langsung bersedih, tetapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.
Menurut sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin 晉朝 (265-420 Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song 宋朝 (960-1279). Wayang Potehi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Nusantara pada sekitar abad 16 sampai 19. Data yang sahih berupa catatan awal tentang wayang Potehi di Indonesia, berasal dari seorang Inggris bernama Edmund Scott. Dia pergi ke Banten 2 kali, antara 1602 dan 1625. Ia menyebutkan, pertunjukan sejenis opera, yang diselenggarakan bila jung-jung akan berangkat ke atau bila kembali ke Tiongkok. Ia mengamati dengan teliti, bahwa pertunjukan ini berhubungan dengan penyembahan dan bahwa biarawan-biarawan mempersembahkan kurban, dan bersujud di tanah sebelum persiapan.[2] Scott menuliskan bahwa "mereka sangat menyukai sandiwara dan nyanyian, tetapi suara mereka adalah yang paling jelek yang akan didengar orang. Sandiwara atau selingan itu mereka selenggarakan sebagai kebaktian kepada dewa-dewa mereka: pada permulaannya, mereka lazim membakar kurban, para pendetanya berkali-kali berlutut, satu demi satu. Sandiwara ini biasa diadakan, apabila mereka melihat jung atau kapal berangkat dari Banten ke Tiongkok. Sandiwara ini kadang-kadang mulai pada tengah hari dan baru berakhir keesokan paginya, biasanya di jalan terbuka, di panggung yang didirikan untuk maksud itu."[2]
Penjelajah-penjelajah 1-2 abad kemudian menggambarkan bahwa teater ini yang asli dari Tiongkok, sudah mapan di masyarakat-masyarakat perantau di kota utama pada masa itu. Sayangnya, hanya sedikit keterangan bahasa yang dipakai dalam pertunjukan itu. Juga tidak terdapat teater boneka sarung dari Fujian Selatan, yang dikenal dengan nama po-te-hi, yang kini masih ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah.[2] Pada abad ke-18, seorang Jerman yang bernama Ernst Christoph Barchewitz (yang tinggal selama 11 tahun di Jawa) menunjukkan bahwa ketika ia melihatnya di Batavia pertunjukan-pertunjukan ini diselenggarakan dalam bahasa Tionghoa.[2]
Bukan sekadar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi etnik Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.
Beberapa lakon yang sering dibawakan dalam Wayang Potehi adalah Si Jin Kui 薛仁貴 (Ceng Tang 征東 dan Ceng Se 征西), Hong Kiam Chun Chiu 鋒劍春秋, Cu Hun Cau Kok 慈雲走國, Lo Thong Sau Pak 羅通掃北 dan Pnui Si Giok 方世玉. Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Koan Kong 關公, Utti Kiong 尉遲恭, dan Thia Kau Kim 程交金, yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Lakon
[sunting | sunting sumber]Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti novel Se Yu 西遊記 (Pilgrimage to the West) dengan tokohnya Kera Sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Nusantara, wayang potehi dimainkan dalam dialek Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk non-Tionghoa pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.
Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak. Seperti misalnya tokoh Si Jin Kui 薛仁貴 yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Li Si Bin 李世民, kaisar kedua Dinasti Tong 唐朝 (618-907).
Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng/lo 鑼, kecer/simbal 鑔 cheh dan 鈸 puah, suling/phin-a 笛仔, (gitar/gueh-khim 月琴), rebab/hian-a 絃仔, tambur/kou 鼓, terompet/ai-a 噯仔, dan piak-kou 逼鼓. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul tidak akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.
Perkembangan
[sunting | sunting sumber]Tahun 1970-an sampai tahun 1990-an bisa dikatakan masa suram bagi Wayang Potehi. Itu dikarenakan tindakan represif penguasa pada masa itu terhadap budaya Tionghoa. Padahal nilai-nilai budaya yang dibawa serta oleh orang Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, Wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Padahal jika diamati para penggiat Wayang Potehi sebagian besar adalah penduduk asli Indonesia. Bayangkan, betapa besar apresiasi mereka terhadap budaya yang bisa dikatakan bukan budaya asli Indonesia. Namun setelah reformasi berjalan, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan sembunyi-sembunyi.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Bibliografi
- Salmon, Claudine (1985). Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Media tentang Wayang Potehi di Wikimedia Commons
- (Indonesia) Dulu Terpasung, Kini Merana[pranala nonaktif permanen]
- (Indonesia) Wayang Potehi, Warisan yang Pernah Hampir Mati