Lompat ke isi

Wayang sadat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wayang sadat adalah wayang dakwah Islam dengan menciptakan tokoh-tokoh wayang yang digunakan sebagai medium dakwah tauhid yang mengadopsi Wali songo. Wayang sadat mulai dipentaskan pertama kali oleh Suryadi pada tahun 1985 dengan menggunakan lakon Ki Ageng Pengging yang memuat ajaran tauhid dalam bentuk tersirat seperti janturan, dialog, syair gerongan, dan cakepan sulukan.

Wayang Sadat mulai dipentaskan pada tahun 1985 di Desa Trucuk, Klaten. Wayang Sadat dibuat oleh seorang seniman sekaligus dai bernama Suryadi.[1] Mengamati kembali perspektif budaya, wayang adalah perwujudan sinkretisme dan serpihan dari beragam budaya yang mengkonstruksinya. Sifat ini menunjukkan pluralitas dan sifat eklektisisme budaya sebagai akibat budaya Jawa yang terbuka dan toleran terhadap berbagai budaya lain. Selaras dengan hal tersebut, wayang sadat hadir dari produksi akulturasi Jawa-Islam untuk menjadi sarana penyampaian ajaran tauhid ke-Islaman. Perlu digarisbawahi bahwa sejauh ini banyak wayang yang telah lahir dan berkembang memiliki nilai religiuitas, tetapi hanya dalam tataran normatif dan belum menyentuh ke aspek mendasar dari esensi keagamaan Islam yaitu Tauhid. Tauhid dalam ajaran Islam merupakan pondasi dasar dan inti keimanan seorang muslim. Dapat dikatakan, bahwa wayang sadat muncul menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya dengan misi pengajaran tauhid keislaman. Ajaran tauhid dalam pergelaran wayang sadat ini hanya akan menyoroti pada lakon Ki Ageng Pengging yang memiliki muatan ajaran tauhid ke-Islaman. Analisis akan dipusatkan pada nilai simbolik dalam pergelaran baik dalam janturan, dialog, syair-syair gerongan, dan cakepan sulukan.[2]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Secara etimologis, kata Sadat berasal dari kalimat “syahadat” yang merupakan rukun islam yang pertama bagi pemeluk agama Islam. Iman yaitu meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad adalah Rasulullah. Suryadi memiliki dua tujuan dalam pementasan wayang sadat. Pertama, wayang sadat digunakan untuk berdakwah ajaran tauhid keislaman. Sejauh ini para penyebar agama Islam sudah menggunakan seni pewayangan sebagai dakwah, tetapi dapat diamati bahwa hanya terdapat sedikit porsi dakwah di dalam pagelaran wayang tersebut. Selain itu, pertunjukan wayang yang telah ada sebelumnya, umumnya bersumber dari Epos Mahabharata dan Ramayana yang kental nuansa Hindu-Budha. Kedua, melalui pertunjukan wayang sadat, Suryadi ingin merangsang apresiasi umat Islam, khususnya masyarakat Trucuk dan sekitarnya pada tahun 1980-an, yang dinilainya masih rendah terhadap seni tradisi. Dengan berdasarkan pada kreativitas seni dan landasan dakwah Islam, Suryadi membuat lakon-lakon yang terlepas dari epos Hindu-Budha. Lakon-lakon baru muncul dari rekonstruksi cerita dakwah Wali songo. Selain bersumber dari karya sastra kuno berupa babad dan serat, Suryadi menguatkan citra wayang sadat sebagai wayang dakwah Islam dengan menciptakan tokoh-tokoh wayang yang mengadopsi Wali songo, yaitu Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan para tokoh dari zaman Kerajaan Islam Demak yaitu Raden Patah, Ki Ageng Pengging, dan Joko Tingkir.[3]

Refleksi Tauhid

[sunting | sunting sumber]

Wayang sadat memiliki esensi tauhid yang termuat dalam lakon, ketokohan, dan simbol-simbol di dalamnya. Secara harfiah, kata tauhid dari bahasa Arab yaitu Wahhada Yuwahhidu-tauhid yang artinya “meng-Esakan”. Jadi, bertauhid artinya meng-Esakan Tuhan pencipta semesta yang tidak ada sesuatu bagi-Nya dengan keyakinan yang bulat sehingga yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Mahakuasa tidak ada tandingannya. Tauhid merupakan suatu pegangan, pengilmuan, dan sesuatu yang bersabit dengan penghayatan tentang pengesaan dan Keesaaan Allah Ta’ala. Konsep tauhid terdiri dari tiga asas yaitu iman (kepercayaan), ilmu (pengetahuan) dan amal (perlakuan). Dalam tauhid terdapat enam rukun iman, yaitu: Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitabullah, Iman kepada Rasul, Iman kepada Hari Akhir, dan Iman kepada Takdir Tuhan. Keenam rukun iman tersebut terdapat pada pementasan wayang sadat dalam Lakon Ki Ageng Pengging.[4][5]

  • Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama dan menunjukkan kewajiban bagi pemeluk agama Islam untuk percaya kepada ke-Esaan Allah dengan segala kebesarannya. Lakon Ki Ageng Pengging ini dapat terefleksikan pada vokal tunggal dalang yang berbunyi: “Niyatingsun amiwiti, anyebut asmaning Allah, ingkang sipat rahman-rahiim, Mahamurah Mahaasih, (mengucapkan doa: Bismillahirrahmannirrahiim…) maratani jagad raya.” Lantunan doa tersebut diucapkan oleh dalang ketika mengawali babak pertama pagelaran wayang sadat yang menunjuk adanya rasa keimanan kepada Allah yang hukumnya wajib. Dalam ajaran Islam, setiap awal kegiatan harus dimulai dengan mengucap Basmallah sebagaimana sabda Nabi Muhammad: “Semua perkara yang baik yang tiada dimulai mengerjakannya dengan bacaan Bismillahirrahmannirrahiim, akan terputus (sia-sisa belaka) (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah).” Ucapan Basmalah memberi tuntunan kepada Islam, bahwa setiap langkah dan gerak baik yang dilakukan oleh tangan, kaki, maupun ucapan yang menuju ke arah perbuatan yang baik dan terpuji. Tujuan dari pengucapan tersebut adalah agar hasil pekerjaan itu betul-betul atas ridha-Nya, sebab pada hakikatnya alat yang digunakan untuk mencapai semua itu adalah milik Allah SWT dan hasil yang diharapkan juga atas kodrat dan irodat Allah semata.[6]

  • Iman Kepada Kitab Tuhan

Umat Islam percaya bahwa dogma yang tersurat dalam Al-Qur'an merupakan firman Allah SWT. Oleh karena itu, umat Islam ditekankan untuk mempelajari, mendalami, dan mengamalkan perintah dan larangan yang tersurat dalam kitabullah baik secara pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Dalam lakon Ki Ageng Pengging, ketiga tataran di atas digarap dalam adegan pertama melalui tokoh Ki Ageng Pengging, Nyi Ageng Pengging, dan Nyi Ageng Tingkir. Berikut ini kutipan dialog yang menyebut istilah kataman.[2]

Ki Ageng Pengging: Ngaten mbakyu, anggen kula badhe ngawontenaken perpisahan kaliyan anak kula Mas Karebet mangke, Kula sarengaken kalian upacara kataman santri angkatan taun menika. Mila lajeng menika wonten pahargyan saben taun mbakyu. Percakapan antaran Ki Anggeng Pengging dengan Nyi Ageng Tingkir tersebut menyampaikan akan mengadakan upacara perpisahan antara Ki Ageng Pengging (bapak) dengan anaknya yaitu Mas Karebet. Upacara perpisahan tersebut dibarengkan dengan acara Kataman. Kataman adalah tes membaca Al Qur'an dari juz 1 sampai dengan juz 30 secara baik dan benar sesuai dengan tajwid yaitu panjang pendek pengucapan, pelafalan, intonasi, jeda, dan pemberhentian.[7]

  • Iman Kepada Nabi

Percaya kepada nabi dalam pertunjukan Wayang Sadat lakon Ki Ageng Pengging, dimunculkan dalam jineman (rangkaian akhir dari sulukan jejer pertama). Syair jineman dalam sulukan diambil dari syair selawatan. Syair selawatan ini juga dipakai dalam bagian akhir sulukan pathet sanga wantah. Berikut ini kutipan syair selawatan: “Lailahaillallah muhammadarrasulullah.” Makna yang tersirat di dalam syair selawatan itu adalah mengagungkan nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam, membaca selawatan itu bermaksud untuk mengagungkan nama Allah dan Nabi Muhammad SAW. Ajaran itu terdapat dalam Al-Quran Surah Al Ahzab ayat 44 dan 56 yang artinya: “Menyatakan bahwa Dialah yang memberi rahmat (selawat) kepadamu dan malaikat-Nya (44). (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang (56)”.[8]

Dalam ayat di atas digunakan kata selawat. Ucapan selawat itu berasal dari Allah SWT dan malaikatnya. Orang-orang beriman dianjurkan untuk berselawat kepada Nabi. Ucapan selawat dari malaikat berarti permohonan ampun untuk Nabi Muhammad SAW walaupun Nabi SAW terbebas dari dosa-dosa. Demikian juga orang-orang yang beriman mengucapkan selawat untuk Nabi sebagai penghormatan kepada Nabi.[9]

  • Iman Kepada Hari Akhir

Manusia beragama tidak akan takut terhadap kematian. Mereka menyebutnya sebagai hari akhir dan percaya bahwa sebagai makhluk hidup perlu mengingat akan akhirat, karena pada hakikatnya semua makhluk hidup akan mengalami mati. Setiap pementasan Wayang Sadat lakon Ki Ageng Pengging diselipkan juga refleksi tentang akhirat. Hal ini terlihat pada dialog lakon Ki Ageng Pengging dengan Mengkreng, yang berbunyi sebagai berikut:[10]

Mengkreng: O anu, menika piwulang ingkang kula tampi menika dhasaripun Surat Ibrahim ayat kawanlikur kalian selangkung.

Ki Ageng Pengging: Unine piye?

Mengkreng: Ngaten, “A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim. Bismillahirrahmannirrahiim. Alamtara kaifadharaballahumatsalan kalimatan thayyibatan kasyajaratin hayyibatin ashluhaa tsaabituw wafaruhaa fissama.

Ki Ageng Pengging: Ya bener, tegese?

Mengkreng: Tegesipun, apa kowe apa sira kepriye Gusti Allah nganakake perlambang tumrap kalimah Toyibah Lailahaillallah. Pepindhane kaya dene wit kang gedhe, oyote kukuh bakuh tumanem ing bumi, pucuke rumangsang langit.

Ki Ageng Pengging: Ya terjemahane wis bener, njur tegese maknane kepiye?

Mengkreng: Ngaten Ki Ageng, tiyang gesang menika sanadyan mawi gegebengan agami, tujuan ingkang pungkasan menika kamulyan mbenjang wonten ing akherat samawiyah mrika, nanging menika kedah tumapak ing bumi, liripun kedah alandhesan realitas ngaten lho Ki Ageng.[11]

Apabila direfleksikan, dialog tersebut mempunyai makna yang sangat dalam yaitu semua makhluk hidup apabila berusaha dengan sungguh-sungguh, Allah akan selalu memberi petunjuk dan mengabulkan permohonannya. Hal ini sesuai dengan Surah Ibrahim ayat 25 yang artinya sebagai berikut: “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.[12] Dialog tersebut juga mengandung makna bahwa orang hidup itu meskipun sudah beragama diwajibkan mengingat akan kematian. Hal ini sesuai dengan Al-Quran Surah At-Taubat ayat 35 yang berbunyi: “Kullu nafsin dzaaiqatil mauut” yang artinya: “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasai mati”. Oleh karena itu, manusia hidup patut mempersiapkan diri menghadapi mati itu tanpa memohon kematian, sebab setiap orang sudah punya ajal masing-masing. Kematian orang lain hendaknya menjadi pelajaran. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “Cukuplah sudah dengan kematian itu, menjadi peringatan dan pelajaran di mana kematian tak mengenal usia seseorang di mana dan kapan saja. Tua-muda, kaya-miskin semuanya akan mati”.[13]

Dari refleksi di atas, dapat digarisbawahi bahwa pagelaran wayang sadat khususnya dalam lakon Ki Ageng Pengging memuat ajaran Tauhid yang tampak dari berbagai ketokohan, percakapan, dan simbolisasi di dalamnya. Ajaran ketauhidan yang termuat dalam wayang sadat yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Rosullullah, iman kepada kitab (Al-Quran), dan iman kepada hari akhir.[2][14]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Aziz, Abdul (24 Januari 2017). "Berdakwah Lewat Wayang Sadat". Tirto.id. Diakses tanggal 27 Juni 2020. 
  2. ^ a b c Ashari, Hasan; Joebagio, Hermanu; Pelu, Musa (2019). "Refleksi Ketauhidan Dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging". Jantra. 14 (2): 129. 
  3. ^ Salam, Nur (3 Juni 2018). "Mengenal Wayang Sadat, Media Dakwah Islam Koleksi Museum Peradaban Islam MAJT". Merdeka.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-29. Diakses tanggal 27 Juni 2020. 
  4. ^ Jafar, Ahmad (1974). Ilmu Tauhid. Solo: CV. Siti Syamsiah. hlm. 11. 
  5. ^ Al-Qardawi, Yusuf (1993). Pengertian Tauhid. Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. hlm. 12. 
  6. ^ Mustafa, Ahmad (1985). Tafsir Al-Maraghi Juz XV. Semarang: CV. Toha Putra. hlm. 11. 
  7. ^ Murtana, I Nyoman (2011). Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging. Surakarta: ISI Press. hlm. 65. ISBN 978-602-8755-33-7. 
  8. ^ Shihab, Quraish (2006). Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati. hlm. 71. ISBN 978-979-9048-08-0. 
  9. ^ Murtana, I Nyoman (2011). Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging. Surakarta: ISI Press. hlm. 67. ISBN 978-602-8755-33-7. 
  10. ^ Ashari, Hasan; Joebagio, Hermanu; Pelu, Musa (2019). "Refleksi Ketauhidan Dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging". Jantra. 14 (2): 135. 
  11. ^ Murtana, I Nyoman (2011). Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging. Surakarta: ISI Press. hlm. 70. ISBN 978-602-8755-33-7. 
  12. ^ Departemen Agama RI (1990). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an. hlm. 383. 
  13. ^ Mustafa, Ahmad (1985). Tafsir Al-Maraghi Juz XV. Semarang: CV. Toha Putra. hlm. 86. 
  14. ^ Mustafa, Ahmad (1985). Tafsir Al-Maraghi Juz XV. Semarang: CV. Toha Putra. hlm. 105.