Suku Bajo
ᨈᨚ ᨓᨍᨚ (Script error: The function "name_from_code" does not exist.)
| |
---|---|
![]() Permukiman mayarakat suku Bajo di pulau Ternate, Maluku Utara, ca. 1920 | |
Jumlah populasi | |
± 349.000 | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
![]() | ± 349.000[1] |
![]() | ± 25.000 |
Wakatobi | ± 25.000 |
![]() | ± 5.000 |
![]() | ± 5.000 |
![]() | ± 1.500 |
Kep. Sula | ± 1.500[2] |
![]() | ± 3.000 |
![]() | ± 5.000 |
Kep. Kangean | ± 5.000 |
Bahasa | |
Agama | |
Etnis terkait | |
Suku Bajo juga disebut sebagai Bajoʼ, Bajok, Bajoq, Bajao, Bajau, Bayo, Wajo, Wajoʼ, Wajok, Wajoq, Bodjo, Mbodjo (ejaan lama: Badjo; Badjoʼ; Badjok; Badjoq; Badjao; Badjaoe; Wadjo; Wadjoʼ; Wadjok; Wadjoq; Bodjo; Mbodjo) adalah suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan[3] yang umumnya mendiami wilayah perairan Sulawesi, khususnya di area laut Flores.[4]
Etimologi
Menurut tradisi, istilah “bajo” berakar dari kata bajoʼ atau wajoʼ (aksara Bugis: ᨓᨍᨚ) dalam bahasa Bugis yang merujuk kepada pohon yang secara umum diidentifikasi sebagai tumbuhan dari genus Macaranga[5] yang dipercayai oleh masyarakat lokal Sulawesi (khususnya suku Bajo dan Bugis) sebagai tempat penguasa wilayah Cinnotabiʼ yang dikenali sebagai La Tenribali.[catatan 1][6]
Sejarah
Asal-usul
Tradisi Lisan dan Tulisan
Berdasarkan kisah leluhur kuno, suku Bajo dipercayai berasal dari negeri Cinnotabiʼ di Sulawesi. Menurut satu tradisi yang tercatat dalam kronik-kronik Bajo, Cinnotabiʼ didirikan oleh seorang totompo (orang yang naik dari dunia bawah) bernama La Matatikkaʼ yang menikahi seorang keturunan tomanurung (orang yang turun dari dunia atas) bernama Lingeʼmanasa.[7] Dalam Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (terj. bahasa Indonesia: Sejarah Lengkap Wajoʼ), disebutkan bahwa Cinnotabiʼ didirikan oleh seorang bangsawan Bugis bernama La Paukkeʼ yang menemukan wilayah subur di pedalaman semenanjung selatan Sulawesi.[8]
Penelitian modern
Sebuah studi genetik dari tiga kelompok suku Bajo di kepulauan Derawan (Kalimantan Timur), Kotabaru (Kalimantan Selatan), dan Kendari (Sulawesi Tenggara) menunjukkan bahwa asal usul suku Bajo adalah berasal dari Sulawesi Selatan, hal ini selaras dengan kisah leluhur turun-temurun yang menyampaikan hal demikian. Etnogenesis suku Bajo diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-4 M oleh peristiwa campuran antara kelompok suku Bugis dan Papua. Para penulis menyatakan bahwa suku Bajo bermigrasi ke pulau Kalimantan sekitar abad ke-11 M dan bermukim di Kalimantan Timur, dan kemudian menuju Kalimantan Utara dan Filipina Selatan sekitar abad ke-13 hingga ke-14 M, yang diduga suku Bajo didorong untuk bermigrasi selama peningkatan pengaruh dan aktivitas perdagangan Kemaharajaan Sriwijaya di kawasan laut Sulawesi.[9]
Klasifikasi
Pada suku Bajo dikenal empat klasifikasi masyarakat dari cara kebiasaannya melaut, diantaranya adalah:[10]
- Palibu, yakni kebiasaan melaut hanya satu hari dan jaraknya dekat. Mereka menggunakan perahu soppe yang dikendalikan dayung. Setelah mendapat ikan, mereka kembali ke darat, untuk menjual hasil tangkapan atau menikmatinya bersama keluarga.
- Papongka, yakni melaut bisa sepekan atau dua pekan. Mereka menggunakan jenis perahu yang sama besarnya dengan kelompok Palibu. Sekadar perahu soppe. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut. Begitu seterusnya.
- Sakai, yakni kebiasaan mencari ikan yang jauh lebih lama dengan menggunakan perahu besar yang disebut leppa. Leppa ini dapat memuat satu keluarga dan kebutuhan hidup selama melaut. Mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok Papongka. Namun, wilayah kerjanya lebih luas. Bila kelompok Papongka hitungannya seluas provinsi, maka kelompok Sakai hitungannya antar provinsi atau antar pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun lebih lama minimal sebulan. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin.
- Lame, bisa dikategorikan kegiatan nelayan-nelayan yang cukup modern. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang banyak dan mesin bertenaga besar. Mereka mengarungi laut lepas hingga menjangkau negara lain. Dan mereka bisa berada di lautan hingga berbulan-bulan.
Subkelompok
Suku Bajo memiliki beberapa bagian kelompok yang bervariasi di berbagai daerah, diantaranya yakni:
- Bajo Bahari (bahasa Inggris: Bahari Bajo people; Bahari Bajau people) — kelompok suku Bajo yang mayoritas mendiami wilayah Buton yang hidup berdampingan dengan suku Buton.[11]
- Bajo Kangean (bahasa Kangean: Oréng Bajo Kangéan; bahasa Bugis: ᨈᨚ ᨓᨍᨚ ᨀᨂᨙᨕᨊ, translit. To Bajo Kangeang, har. 'Orang Bajo Kangean'; bahasa Inggris: Kangean Bajo people) — kelompok suku Bajo yang mayoritas mendiami wilayah kepulauan Kangean yang hidup berdampingan dengan suku Kangean. Subkelompok ini memiliki varian kelompok yang terdiri dari:
- Bajo Sapeken (bahasa Kangean: Oréng Bajo Sapěkěn; bahasa Inggris: Sapeken Bajo people) — kelompok suku Bajo Kangean yang tinggal di kawasan Sapeken di kepulauan Kangean.
- Bajo Sampela atau Bajau Sampela (bahasa Inggris: Sampela Bajo people; Sampela Bajau people) — kelompok suku Bajo yang mendiami kepulauan Wakatobi.[12]
- Bajo Sama atau Bajau Sama (bahasa Inggris: Sama Bajo people; Sama Bajau people), yang mana dalam subkelompok ini memiliki pengelompokan lagi yakni terdiri dari:
- Sama Bihing (juga disebut sebagai Sama Lipid)
- Sama Deya
- Sama Pala'u
- dan lain sebagainya.
Bahasa
Bahasa Bajo merupakan bahasa yang dituturkan secara dominan oleh masyarakat suku Bajo, khususnya di wilayah Laut Flores seperti di kepulauan Wakatobi. Di beberapa daerah lain, masyarakat suku Bajo juga bertutur dalam bahasa lain seperti contohnya di pulau Ternate, masyarakat Bajo mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Ternate, begitu pula di wilayah kepulauan Kangean, masyarakat Bajo lebih dominan bertutur dalam bahasa Kangean.
Dialek
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, bahasa Bajo yang dituturkan antar satu daerah dengan daerah lainnya (Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur), menunjukkan persentase perbedaan berkisar antara 60,75%—75,25% (beda dialek).[13]
Dialek-dialek bahasa Bajo yang dituturkan di Sulawesi sendiri terdiri dari:
- Jampea
- Jaya Bakti
- Kajoa
- Matalaang
- Poso
- Roti
- Same'
- Sulamu
- Togian 1
- Togian 2
- Wallace
Kesastraan
Sekitar abad ke-13 sampai 15 M, aksara khas suku Bugis mulai dipakai untuk mencatat sejarah dan silsilah, yakni menggunakan aksara Lontara.[14][15] Selama setidaknya dua abad sebelum agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600-an, literatur di wilayah Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar, dan memberikan gambaran masyarakat Nusantara pra-modern yang jarang sekali dapat ditemui.[16]
Kebudayaan
Referensi
- ^ "Bajau in Indonesia" (dalam bahasa Inggris).
- ^ Hasil Penelitian ‘Perubahan Permukiman Suku Bajo di Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara’ oleh Capalulu, M. A.; Waani, J. D.; Rengkung, Michael M. tahun 2015
- ^ Kusuma P; Brucato N; Cox MP; Letellier T; Manan A; Nuraini C; Grangé P; Sudoyo H; Ricaut FX (2017). "The last sea nomads of the Indonesian archipelago: genomic origins and dispersal". Eur J Hum Genet (dalam bahasa Inggris). 25 (8): 1004–1010. doi:10.1038/ejhg.2017.88. PMC 5567155
. PMID 28513608.
- ^ "Bajo (suku)". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021.
Bajo merupakan suku bangsa yang berasal dan mendiami perairan Sulawesi
- ^ Abidin (1985), hlm. 403.
- ^ Abidin (1985), hlm. 399.
- ^ Wellen (2014), hlm. 114.
- ^ Wellen (2014), hlm. 27.
- ^ Kusuma P; Brucato N; Cox MP; Letellier T; Manan A; Nuraini C; Grangé P; Sudoyo H; Ricaut FX (2017). "The last sea nomads of the Indonesian archipelago: genomic origins and dispersal". Eur J Hum Genet (dalam bahasa Inggris). 25 (8): 1004–1010. doi:10.1038/ejhg.2017.88. PMC 5567155
. PMID 28513608.
- ^ Poedjowibowo, Djajeng; Waani, Judy O.; Warouw, Fela. "Teritorialitas Pada Permukiman Suku Bajo di Desa Tumbak (Studi Kasus Permukiman Diatas Air)" [Territorial of the Bajo Tribe Settlements in Tumbak Village (Study case of Residency over Water)] (PDF).
- ^ "Menilik Kehidupan Suku Bajo Buton, Pengembara yang Tinggal di Laut" [Looking into the Life of Bajo Tribe in Buton, the nomads who lives in sea]. merdeka.com. Merdeka.
- ^ Nurhaliza, Wa Ode Sitti; Suciati, Titis Nurwulan (2019). "Potret Sosial Budaya Masyarakat Suku Bajo Sampela di Kabupaten Wakatobi" [Social Cultural Portrait of the Bajo Tribe (Sampela Bajo) in Wakatobi Regency]. Jurnal Komunikasi Universitas Garut: Hasil Pemikiran dan Penelitian. 5 (2): 341–356. ISSN 2461-0836.
- ^ "Bahasa Bajo (Provinsi Nusa Tenggara Barat)". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
- ^ Caldwell (1988), hlm. 169–171.
- ^ Pelras (1996), hlm. 96–97.
- ^ Wellen (2014), hlm. 13.
Daftar pustaka
- Abidin, Andi Zainal (1983). "The emergence of early kingdoms in South Sulawesi: A preliminary remark on governmental contracts from the thirteenth to the fifteenth century". Southeast Asian Studies. 20 (4): 455–491.
- Abidin, Andi Zainal (1985). Wajo' pada Abad XV–XVI: Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Penerbit Alumni. OCLC 12901929.
- ——— (2017). Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: Social Politic Genius. ISBN 9786026183323.
- Ammarell, Gene (2002). "Bugis migration and modes of adaptation to local situations". Ethnology. 41 (1): 51–67. doi:10.2307/4153020. JSTOR 4153020.
- Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 9789024724635.
- Caldwell, Ian (1988). South Sulawesi A.D. 1300–1600: Ten Bugis Texts (disertasi PhD). Canberra: Australian National University.
- ——— (1995). "Power, State and Society Among the Pre-Islamic Bugis". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038. JSTOR 27864678.
- ———; Wellen, Kathryn Anderson (2017). "Finding Cina: A new paradigm for early Bugis history". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 173 (2–3): 296–324. doi:10.1163/22134379-17302004
.
- Duli, Akin (2010). "Peranan Tosora sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo abad XVI–XIX". Walennae. 12 (2): 143–158.
- Druce, Stephen C. (2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: Brill. ISBN 9789004253827.
- ——— (2020). "Of Native Concerns: Brooke, the Bugis and Borneo". Dalam Ooi Keat Gin. Borneo and Sulawesi: Indigenous Peoples, Empires and Area Studies. London: Routledge. hlm. 78–93. ISBN 9780429430602.
- Hafid, Rosdiana. "Budaya politik Kerajaan Wajo". Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya. 7 (2): 505–520. doi:10.36869/wjsb.v7i2.147.
- Hägerdal, Hans (2015). "The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora (review)". HumaNetten. 35: 50–52.
- Halim, Wahyuddin (2016). "Eksplorasi Atas Praktik dan Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Kerajaan Wajo' Abad ke-15/16 dan Kompatibilitasnya Dengan Sistem Demokrasi Modern". Masyarakat dan Budaya. 18 (2): 187–202. doi:10.14203/jmb.v18i2.410.
- Harvey, Barbara Sillars (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965 (disertasi PhD). Cornell University.
- Henley, David; Caldwell, Ian (2019). "Precolonial citizenship in South Sulawesi" (PDF). Citizenship Studies. 23 (3): 240–255. doi:10.1080/13621025.2019.1603271.
- Lineton, Jacqueline (1975a). An Indonesian society and its universe: A study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and their role within a wider social and economic system (disertasi PhD). School of Oriental and African Studies, University of London.
- ——— (1975b). "Pasompe' Ugi': Bugis migrants and wanderers". Archipel. 10: 173–201. doi:10.3406/arch.1975.1248.
- Mundy, Rodney, ed. (1848). Narrative of Events in Borneo and Celebes, Down to the Occupation of Labuan: From the Diaries of James Brooke, Esq. 1. London: John Murray.
- Noorduyn, Jacobus (1955). Een Achttiende-Eeuwse Kroniek van Wadjo’: Buginese Historiografie. ‘s-Gravenhage: H. L. Smits.
- ——— (1972). "Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began" (PDF). Indonesia. 13 (13): 61–68. doi:10.2307/3350682. JSTOR 3350682.
- ——— (2000). "The Wajorese merchants community in Makassar". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (3): 473–498. doi:10.1163/22134379-90003836.
- Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862.
- Pelras, Christian (1971). "Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo'". Archipel. 1: 169–191. doi:10.3406/arch.1971.930.
- ——— (1993). "Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South-Sulawesi" (PDF). Indonesia. 57 (1): 133–154. doi:10.2307/3351245. JSTOR 3351245.
- ——— (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314.
- Reid, Anthony (1998). "Merdeka: The Concept of Freedom in Indonesia". Dalam David Kelly; Anthony Reid. Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 141–160. ISBN 9780521637572.
- ——— (2016). "The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora (review)". Journal of Southeast Asian Studies. 47 (2): 312–315. doi:10.1017/S002246341600014X.
- Sutherland, Heather (2015). "Pursuing the Invisible: Makassar, City and Systems". Dalam David Henley; Henk Schulte Nordholt. Environment, Trade and Society in Southeast Asia: A Longue Durée Perspective. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 300. Leiden dan Boston: Brill. hlm. 133–148. ISBN 9789004288058.
- Wellen, Kathryn Anderson (2009). "Credit among the Early Modern To Wajoq". Dalam David Henley; Peter Boomgaard. Credit and Debit in Indonesia: From Peonage to Pawnshop, from Kongsi to Cooperative. Leiden: KITLV Press. hlm. 102–123. ISBN 9789067183505.
- ——— (2014). The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126.
- ——— (2018). "La Maddukelleng and Civil War in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring Societies of Pre-Colonial Southeast Asia: Local Cultures of Conflict Within a Regional Context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 47–71. ISBN 9788776942281.
- Ammarell, Gene (2002). "Bugis migration and modes of adaptation to local situations". Ethnology. 41 (1): 51–67. doi:10.2307/4153020. JSTOR 4153020.
- Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 9789024724635.
- Caldwell, Ian (1988). South Sulawesi A.D. 1300–1600: Ten Bugis Texts (disertasi PhD). Canberra: Australian National University.
- ——— (1995). "Power, State and Society Among the Pre-Islamic Bugis". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038. JSTOR 27864678.
- ———; Wellen, Kathryn Anderson (2017). "Finding Cina: A new paradigm for early Bugis history". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 173 (2–3): 296–324. doi:10.1163/22134379-17302004
.
- Duli, Akin (2010). "Peranan Tosora sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo abad XVI–XIX". Walennae. 12 (2): 143–158.
- Druce, Stephen C. (2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: Brill. ISBN 9789004253827.
- ——— (2020). "Of Native Concerns: Brooke, the Bugis and Borneo". Dalam Ooi Keat Gin. Borneo and Sulawesi: Indigenous Peoples, Empires and Area Studies. London: Routledge. hlm. 78–93. ISBN 9780429430602.
- Hafid, Rosdiana. "Budaya politik Kerajaan Wajo". Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya. 7 (2): 505–520. doi:10.36869/wjsb.v7i2.147.
- Hägerdal, Hans (2015). "The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora (review)". HumaNetten. 35: 50–52.
- Halim, Wahyuddin (2016). "Eksplorasi Atas Praktik dan Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Kerajaan Wajo' Abad ke-15/16 dan Kompatibilitasnya Dengan Sistem Demokrasi Modern". Masyarakat dan Budaya. 18 (2): 187–202. doi:10.14203/jmb.v18i2.410.
- Harvey, Barbara Sillars (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965 (disertasi PhD). Cornell University.
- Henley, David; Caldwell, Ian (2019). "Precolonial citizenship in South Sulawesi" (PDF). Citizenship Studies. 23 (3): 240–255. doi:10.1080/13621025.2019.1603271.
- Lineton, Jacqueline (1975a). An Indonesian society and its universe: A study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and their role within a wider social and economic system (disertasi PhD). School of Oriental and African Studies, University of London.
- ——— (1975b). "Pasompe' Ugi': Bugis migrants and wanderers". Archipel. 10: 173–201. doi:10.3406/arch.1975.1248.
- Mundy, Rodney, ed. (1848). Narrative of Events in Borneo and Celebes, Down to the Occupation of Labuan: From the Diaries of James Brooke, Esq. 1. London: John Murray.
- Noorduyn, Jacobus (1955). Een Achttiende-Eeuwse Kroniek van Wadjo’: Buginese Historiografie. ‘s-Gravenhage: H. L. Smits.
- ——— (1972). "Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began" (PDF). Indonesia. 13 (13): 61–68. doi:10.2307/3350682. JSTOR 3350682.
- ——— (2000). "The Wajorese merchants community in Makassar". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (3): 473–498. doi:10.1163/22134379-90003836.
- Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862.
- Pelras, Christian (1971). "Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo'". Archipel. 1: 169–191. doi:10.3406/arch.1971.930.
- ——— (1993). "Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South-Sulawesi" (PDF). Indonesia. 57 (1): 133–154. doi:10.2307/3351245. JSTOR 3351245.
- ——— (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314.
- Reid, Anthony (1998). "Merdeka: The Concept of Freedom in Indonesia". Dalam David Kelly; Anthony Reid. Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 141–160. ISBN 9780521637572.
- ——— (2016). "The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora (review)". Journal of Southeast Asian Studies. 47 (2): 312–315. doi:10.1017/S002246341600014X.
- Sutherland, Heather (2015). "Pursuing the Invisible: Makassar, City and Systems". Dalam David Henley; Henk Schulte Nordholt. Environment, Trade and Society in Southeast Asia: A Longue Durée Perspective. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 300. Leiden dan Boston: Brill. hlm. 133–148. ISBN 9789004288058.
- Wellen, Kathryn Anderson (2009). "Credit among the Early Modern To Wajoq". Dalam David Henley; Peter Boomgaard. Credit and Debit in Indonesia: From Peonage to Pawnshop, from Kongsi to Cooperative. Leiden: KITLV Press. hlm. 102–123. ISBN 9789067183505.
- ——— (2014). The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126.
- ——— (2018). "La Maddukelleng and Civil War in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring Societies of Pre-Colonial Southeast Asia: Local Cultures of Conflict Within a Regional Context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 47–71. ISBN 9788776942281.
Catatan
- ^ Juga dikenal sebagai La Tenriba atau La Tenribabbareng dalam beberapa naskah kuno