Mitologi Hindu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi dalam kitab Purana, salah satu sumber mitologi Hindu.

Mitologi Hindu adalah suatu istilah yang digunakan oleh para sarjana masa kini kepada kesusastraan Hindu yang luas, yang menjabarkan dan menceritakan tentang kehidupan tokoh-tokoh legendaris, Dewa-Dewi, makhluk supernatural, dan inkarnasi Tuhan yang dijelaskan dengan panjang lebar dalam aliran filsafat dan ilmu akhlak. Mitologi Hindu juga menjabarkan kisah-kisah kepahlawanan yang diklaim sebagai sejarah India masa lampau, seperti Ramayana dan Mahabharata.

Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu dapat disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem filsafat Hindu.

Sumber[sunting | sunting sumber]

Suatu ilustrasi dalam Bhagawatapurana, kitab yang memuat legenda dan mitologi agama Hindu.

Akar dari segala mitologi Hindu dan cerita-cerita keagamaannya berasal dari kebudayaan Weda, dan merupakan agama kuno yang berkembang pada saat Weda muncul. Weda berjumlah empat, yaitu: Rigweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Di samping itu, terdapat bagian-bagian dalam tubuh Weda yang luas, dan merupakan kitab-kitab tersendiri, seperti Jyotisha, Purana, Itihasa, Niti Sastra, Sulwa Sutra, Tantra, Darsana, dan lain-lain. Ajaran yang terkandung dalam bagian tubuh Weda tersebut adalah: filsafat, teologi, astronomi, ilmu tata negara, cerita keagamaan, dan biografi tokoh-tokoh masa lampau. Ajaran tersebut menjadi dasar kepercayaan dan peradaban agama Hindu dan memberikannya beragam mitologi.

Kitab yang memuat cerita keagamaan, seperti Purana dan Itihāsa, sangat terkenal sebagai sumber mitologi Hindu yang utama. Kitab Purana merupakan kitab yang memuat legenda Hindu dan kisah-kisah makhluk supernatural (Dewa, Asura, Detya, Raksasa, Yaksa, dan lain-lain) dalam kaitannya dengan kejadian di alam semesta. Kitab Purana banyak sekali jenisnya. Masing-masing kitab menceritakan tokoh-tokoh Hindu (Raja-Raja kuno, para resi), dewa-dewi, inkarnasi Tuhan (awatara), dan legenda.

Lukisan yang menggambarkan pertempuran di Kurukshetra, sebuah babak dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa.

Selain Purana, ada kitab yang disebut Itihasa. Itihasa adalah kitab yang memuat tentang kisah kepahlawanan (epos atau wiracarita) dan diyakini memiliki hubungan dengan sejarah India. Kisah kepahlawanan tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Kisah tersebut dihimpun oleh para Maharesi yang terkenal, yakni Resi Walmiki dan Resi Byasa. Berbagai sudut pandang muncul akan kebenaran kisah yang terjadi dalam Itihasa. Sebagian orang meyakini bahwa kisah dalam Itihāsa merupakan fakta sejarah, sementara yang lain menganggap bahwa cerita tersebut hanyalah karangan, atau suatu cerita kiasan, bahwa kejahatan selalu kalah oleh kebajikan.

Kemunculan dan perkembangan[sunting | sunting sumber]

Mitologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitologi ini diyakini muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan. Lagu tersebut memuji-muji alam dan unsur-unsurnya, seperti: udara, air, petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Dewa-Dewa yang memiliki gelar masing-masing sesuai dengan unsur alam, seperti Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-Dewi inilah yang akan menjadi bagian dari mitologi Hindu.

Menurut para sarjana masa kini, pada zaman Weda, Dewa-Dewi dalam mitologi Hindu masih dikonsepkan. Pada zaman ini, pemujaan dan mitologi mengenai Dewa-Dewa merupakan pengetahuan akan ilmu ketuhanan. Setelah zaman Weda, disusul oleh kebudayaan zaman Brahmana. Pada zaman ini, ilmu Weda dikembangkan dengan pengetahuan akan upacara keagamaan. Zaman ini ditandai dengan cenderungnya pelaksanaan upacara daripada pengajaran filsafat. Pada zaman ini mulai disusun kitab-kitab yang menceritakan tentang mitologi, legenda, kosmologi, dan sebagainya. Pada zaman Weda umat Hindu memohon anugerah dari para Dewa, sedangkan pada zaman Brahmana para Dewa memiliki kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.

Reruntuhan jembatan kuno antara India dan Sri Lanka, seperti terkisah dalam wiracarita Ramayana. Kini berada di dasar laut.

Zaman Purana merupakan perkembangan dari kebudayaan terdahulu. Zaman ini merupakan masa-masa ketika mitologi Hindu dihimpun. Pada zaman tersebut, Dewa-Dewi tersebut memiliki karakter khusus dan dilukiskan secara detail. Pada zaman ini pula, terjadi kisah epos Ramayana dan Mahabharata, yang dipercaya sebagai kejadian bersejarah. Pada epos Ramayana, dikisahkan bahwa Sri Rama dan bala tentaranya membangun sebuah jembatan dari India menuju Alengka (kini Sri Lanka). Reruntuhan jembatan kuno yang menghubungkan antara India dan Sri Lanka yang kini terpendam di dasar laut dianggap dan diyakini sebagai bukti sejarahnya. Bukti arkeologi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan apakah cerita tersebut merupakan bagian dari sejarah atau mitologi belaka.

Pada zaman modern, selama agama Hindu masih memiliki penganut, mitologi Hindu masih eksis dan diceritakan, tetapi sebagian belum terkenal dan jarang diketahui. Mitologi Hindu mudah beradaptasi dengan budaya lokal tanpa melupakan format aslinya (Weda, Purana, Itihasa). Pada masa penyebaran agama Hindu ke wilayah Asia Tenggara, seperti: Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Nusantara (terutama Semenanjung Malaka, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali dan lain-lain), beberapa bagian dari mitologi Hindu yang asli dari India telah bercampur dengan budaya lokal dan diadaptasi agar lebih mudah dicerna. Mitologi Hindu tersebut diadaptasikan sesuai dengan kepercayaan lokal (seperti Animisme dan Dinamisme), dengan menambahkan atau mengurangi format aslinya. Di Indonesia, pada beberapa bagian dari kesusastraan Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, adaptasi budaya dapat ditoleransi selama tidak mencemarkan atau melupakan versi aslinya. Sebagai catatan, sebagian dari mitologi Hindu yang datang ke Indonesia telah beradaptasi dengan budaya lokal.

Kosmologi[sunting | sunting sumber]

Brahma, manifestasi Brahman sebagai dewa pencipta dalam agama Hindu.

Dalam ajaran Hindu, gambaran mengenai keadaan awal dari alam semesta dituliskan dalam suatu lagu dalam kitab Rigweda. Di sana dikisahkan, pada mulanya, alam semesta adalah sesuatu yang kosong dan tak berbentuk. Kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Di alam semesta dahulu tidak ada sesuatu yang ada namun juga tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada bumi, matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, maupun segala benda kosmik di alam semesta, tetapi hanya terdapat Brahman, sesuatu yang bernapas namun tanpa napas menurut kekuatannya sendiri, ia tidak terikat oleh waktu, tidak berawal namun juga tidak berakhir, tidak memiliki umur, di luar kehidupan dan kematian, yang tiada lain adalah Tuhan. Dari kekosongan yang tak beraturan itu Brahman menciptakan sesuatu yang seperti lautan luas, apakah itu merupakan air, tetapi dalamnya tak terhingga. Lautan tersebut merupakan kekacauan yang tak berbentuk. Dari sana munculah Hiranyagharba yang berarti "janin emas", yang mengeluarkan Brahma, yang bergelar sebagai Dewa pencipta. Dari segala hal yang tak beraturan tersebut Brahma mengaturnya kembali menjadi suatu alam semesta yang rapi dan teratur. Tidak ada yang sungguh-sungguh mengetahui kejadian apa yang sebenarnya terjadi, bahkan para Dewa sekalipun.

Dalam kitab Purana disebutkan, alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 432.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.

Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahmā meninggal, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.

Relief di kuil Angkor Wat yang menggambarkan Apsara, makhluk surgawi dalam mitologi Hindu.
Berkas:Yamas big.jpg
Deskripsi modern mengenai "Kerajaan Yama" atau neraka. Karya Dominique Amendola.

Dunia[sunting | sunting sumber]

Mitologi Hindu mengenal adanya empat belas dunia (bukan planet) selain bumi, yang mana tujuh dunia berada di atas, tujuh dunia lagi berada di bawah. Dunia-dunia tersebut merupakan wilayah khusus yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang sudah meninggalkan raganya. Setelah mencapai dunia yang sesuai dengan karma (perbuatan) semasa hidup, jiwa dilahirkan kembali (reinkarnasi). Di antara empat belas dunia tersebut, tujuan yang tertinggi merupakan moksa, yakni filsafat Hindu yang mengatakan bahwa jiwa berada dalam keadaan bahagia, lepas dari siklus reinkarnasi, tidak terikat pada sesuatu dan tidak dipenuhi oleh berbagai nafsu, atau menyatu dengan Tuhan.

Dunia atas[sunting | sunting sumber]

Dalam mitologi Hindu, "Swarga" adalah dunia ketiga di antara tujuh dunia yang lebih tinggi (dunia atas). Dalam penggunaan sehari-hari, kata "Swarga" sering disamakan dengan "Sorga", dunia yang tertinggi dalam gambaran umum, tempat orang-orang hidup bahagia setelah meninggalkan dunia yang fana. Menurut agama Hindu, Swarga merupakan persinggahan sementara bagi orang-orang yang berjiwa baik sebelum bereinkarnasi.

Menurut mitologi Hindu, dunia atas merupakan dunia suci, dunia para dewa, atau kahyangan. Sesuatu yang bersifat jahat, kasar, dan nafsu duniawi (hubungan seks, arak, uang, dan sebagainya) sangat dilarang karena kebahagiaan di sana tidak diperoleh dengan pemuasan nafsu. Di sana terdapat beragam makhluk supernatural, yaitu: Dewa, Apsara, Gandharwa, Yaksa, Kinnara, dan lain-lain. Di Swarga juga tinggal penari-penari yang cantik, seperti misalnya: Urwasi, Menaka, Ramba, dan Tilottama. Tugas mereka adalah menghibur para penghuni swarga atas perintah dari Dewa Indra. Selain itu mereka juga ditugaskan untuk menguji iman para pertapa yang memohon kesaktian kepada para Dewa.

Dunia bawah[sunting | sunting sumber]

Dalam mitologi Hindu, salah satu dunia yang berada di bawah disebut "Naraka" (bahasa Indonesia: Neraka), dan istilah tersebut digunakan dengan sangat terkenal. Dunia bawah dipenuhi oleh para Asura. Naraka dikuasai oleh Dewa Yama yang bergelar sebagai Raja Neraka, Dewa kematian, dan Dewa keadilan. Naraka merupakan tempat di mana jiwa seseorang diadili oleh Dewa Yama dan dihukum menurut perbuatannya semasa hidup dan setelah itu dilahirkan kembali untuk menebus kesalahan di kehidupan sebelumnya agar mendapat kesempatan untuk mencapai moksha (kebahagiaan tertinggi).

Makhluk Supranatural[sunting | sunting sumber]

Lukisan Trimurti (tiga dewa utama dalam agama Hindu) dari Andra Pradesh.

Mitologi Hindu tak lepas dari cerita para makhluk supranatural, seperti misalnya: Dewa, Asura, Raksasa, Detya, Gandharwa, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supernatural yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa.

Dewa-Dewi[sunting | sunting sumber]

Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, dewa-dewi banyak dipuja sebagai pelindung diri manusia.

Para Dewa dan Dewi tinggal menurut tempatnya masing-masing, seperti misalnya: Dewa Siwa di gunung Kailasha, Dewa Wisnu di Waikuntha, Dewa Brahma di Satyaloka dan sebagainya. Namun, atas sifat-sifat gaib yang dimilikinya, para dewa dan dewi dapat muncul dengan cepat kapan saja dan di mana saja sesuai dengan keinginannya.

Dalam kebudayaan India, penggambaran terhadap para Dewa dan Dewi dituangkan dalam bentuk pahatan, ukiran, dan lukisan sesuai dengan atributnya. Atribut yang dimiliki oleh para Dewa disesuaikan dengan karakternya, misalnya: Dewa Agni berambut api, Dewa Wisnu bertangan empat dan memegang cakram, Dewa Brahma berwajah empat, dan sebagainya.

Lukisan India bercorak Rajasthan, menggambarkan adegan Rama bertarung melawan para Asura (kiri).

Asura[sunting | sunting sumber]

Asura adalah bangsa Detya, kadang kala disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat dalam mitologi Hindu. Mereka merupakan golongan makhluk supranatural dan memiliki sifat negatif, yakni memusuhi para Dewa. Meskipun demikian, beberapa Asura merupakan Dewa, seperti Kubera, golongan bangsa Yaksa, adalah Dewa keuangan dan kekayaan. Para Asura mengatur fenomena sosial di muka bumi seperti Baruna, Dewa air, yang juga mengatur hukum rta. Sedangkan Dewa, mengatur fenomena alam, seperti Indra, Dewa hujan, Dewa petir dan cuaca. Dalam beberapa kitab, para dewa adalah golongan bangsa yang memiliki sifat mulia sedangkan Asura sebaliknya.

Raksasa[sunting | sunting sumber]

Dalam mitologi Hindu, Raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam bahasa Sanskerta, kata "raksasa" berarti kekejaman dan merupakan lawan kata dari "raksha" (sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya yang lampau. Meskipun bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, tetapi mereka juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar dan bertubuh besar. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut Rakshasi, sedangkan raksasa dalam wujud manusia disebut Manushya Raksasa.

Relief di Kuil Preah Khan, negara Kamboja, yang melukiskan adegan para raksasa melawan para wanara (dari wiracarita Ramayana).

Para raja dan kesatria[sunting | sunting sumber]

Mitologi Hindu tidak hanya bercerita tentang dewa-dewi dan makhluk supranatural saja, tetapi juga menceritakan tentang kisah para kesatria, raja-raja, dan pertempuran akbar yang digunakan untuk mengungkap sejarah masa lampau.

Kesatria[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Hindu, Kesatria adalah golongan (kasta) para bangsawan, raja-raja, kesatria dan prajurit. Mitologi Hindu tidak lepas dari kisah-kisah para kesatria. Dalam berbagai legenda Hindu, kesatria jumlahnya sangat banyak, dan yang terkenal hanya beberapa saja. Dalam kitab Purana, kesatria yang paling terkenal adalah Parasurama dan Rama. Mereka adalah awatara Wisnu. Parasurama merupakan seorang brahmana (pemuka agama) yang juga seorang kesatria. Dalam legenda, ia merupakan brahmana bersenjata kapak yang paling ditakuti kasta Kesatria. Dalam kisah Ramayana, Rama merupakan kesatria pemanah yang terkenal. Dia adalah putera Raja Dasarata, seorang keturunan Kesatria dari Dinasti Surya. Selain berperan sebagai kesatria pemanah dan putera mahkota, ia merupakan awatara ketujuh Dewa Wisnu. Pasangannya adalah Dewi Sita, yang menurut kitab Ramayana, ia diculik oleh Rahwana, Raja Alengka. Parasurama pernah menantang Rama untuk membuktikan kesaktiannya dengan membengkokkan busur Wisnu. Rama mampu melakukannya. Kemudian ia mengakui bahwa Rama merupakan awatara Wisnu.

Para raja kuno[sunting | sunting sumber]

Para Raja kuno dalam mitologi Hindu banyak sekali jumlahnya. Raja-raja yang disebut-sebut dalam mitologi Hindu merupakan keturunan dari beragam dinasti yang berbeda pada zaman India kuno. Menurut mitologi Hindu, maharaja yang diduga pertama kali ada di muka bumi ini adalah Manu. Ia diyakini sebagai putera Wiwaswan, Dewa matahari. Dalam kitab Purana, dia merupakan Maharaja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah dengan membuat bahtera besar atas amanat Dewa Wisnu. Ia menurunkan ajarannya kepada Ikswaku, salah satu dari sepuluh anaknya. Ajarannya dikenal sebagai Manusmrti.

Dalam Mahabharata juga banyak disebutkan nama Raja-Raja. Raja-Raja utama dalam kisah tersebut digolongkan ke dalam dua Dinasti besar yang merupakan keturunan dari Yayati. Dua dinasti tersebut adalah Dinasti Kuru dan Dinasti Yadu. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Kuru misalnya Santanu, Citrānggada, Pandu, Dretarastra, Yudistira, dan lain-lain. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Yadu misalnya Basudewa, Kresna, Surasena, Hredika, dan lain-lain. Dalam Mahabharata, para putera mahkota dari Dinasti Kuru berselisih untuk menjadi penerus yang terbaik. Di lain pihak, terdapat seorang Raja dari Dinasti Yadu yang masih sekerabat dengan Dinasti Kuru, Kresna, yang akan menjadi penengah dalam perselisihan tersebut. Namun ketika konflik tak bisa dihindari lagi, dua keluarga dalam satu dinasti terpaksa harus bertarung. Akhirnya keturunan dinasti Kuru yang paling mulialah yang akan menjadi penerus tahta.

Awatara[sunting | sunting sumber]

Sepuluh Awatara Wisnu.

Dalam ajaran Hindu, beberapa Dewa-Dewi diyakini berinkarnasi ke dalam suatu bentuk material yang disebut awatara, seperti yang dilakukan Wisnu. Dalam kitab suci Hindu disebutkan, bahwa Wisnu turun ke dunia pada setiap zaman (Yuga) untuk menegakkan kembali ajaran agama, membinasakan orang jahat, dan menyelamatkan orang saleh. Dalam kitab Purana disebutkan adanya dua puluh lima awatara Wisnu, yang mana sepuluh dari dua puluh lima awatara tersebut merupakan awatara utama yang paling terkenal. Awatara tersebut adalah sbb:

Dari sepuluh awatara tersebut, sembilan diyakini sudah turun ke dunia, sedangkan awatara terakhir, Kalki, merupakan awatara terakhir dan diprediksi akan muncul pada akhir zaman Kali. Awatara-awatara tersebut turun secara periodik dan membawa makna menurut zamannya, misalnya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia. Kisah-kisah mengenai para awatara dan filsafatnya dimuat dalam kitab Purana.

Kisah legendaris[sunting | sunting sumber]

Kisah-kisah legendaris dalam mitologi Hindu dimuat dalam kitab Purana dan Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Kitab Purana memuat tentang kejadian-kejadian yang berhubungan dengan para Dewa, Detya, dan makhluk supranatural lain. Kisah-kisah tersebut berkembang menjadi mitologi yang menjelaskan tentang asal mula sesuatu, kejadian zaman dahulu, dan penjelmaan-penjelmaan Tuhan (Awatara). Kitab Itihasa memuat kisah-kisah kesatria dan para Raja zaman dulu, pertempuran, dan diyakini sebagai sejarah.

Air bah[sunting | sunting sumber]

Kisah mengenai air bah yang terkenal, terdapat dalam berbagai mitologi dari bermacam-macam kebudayaan dunia, seperti Yunani, Yahudi, dan lain-lain. Kisah tersebut juga terdapat dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi Hindu, bencana air bah pertama kali terjadi dalam sejarah manusia pada masa Satya Yuga. Pada masa tersebut bertahtalah Maharaja Manu, seorang Raja yang bijaksana dan suci. Manu mendapat pesan dari Dewa Wisnu dalam wujud Matsya (ikan besar), agar segera membuat bahtera karena bencana air bah akan datang. Manu pun mengikuti amanat tersebut. Bahtera tersebut diisi beragam jenis binatang yang jumlahnya masing-masing sepasang (betina-jantan), dan tak lupa dia turut menyelamatkan tumbuh-tumbuhan ke dalam bahtera.

Pertempuran[sunting | sunting sumber]

Lukisan bergaya Thailand yang menggambarkan pertempuran antara pasukan Rama dan Rahwana.

Kisah pertempuran dalam mitologi Hindu tidak jarang muncul dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut, terdapat tiga macam pertempuran:

  1. pertempuran antar individu
  2. pertempuran antara individu dengan kelompok
  3. pertempuran antara kelompok dengan kelompok.

Dalam filsafat Hindu, pertempuran adalah jalan terakhir yang ditempuh jika usul perdamaian tidak ditanggapi atau jika kejahatan sulit untuk berkompromi. Peperangan dalam mitologi Hindu melibatkan senjata-senjata sakti, pusaka, makhluk supranatural, dan kekuatan gaib.

Dalam kitab Itihasa, terdapat dua kisah kepahlawanan yang sangat terkenal, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Dalam kedua kisah tersebut, ditampilkan pertempuran antara dua kelompok besar—yang satu bertindak dalam kebajikan, yang satu lagi bersifat jahat—yang bertarung untuk mencapai tujuan masing-masing. Pertempuran tersebut selalu memiliki akhir yang sama, yakni kemenangan selalu berada di pihak yang benar. Kisah-kisah peperangan dengan tema seperti itu dan dengan akhir kisah yang sama merupakan filsafat terkenal yang mengatakan bahwa kemenangan dan kejayaan yang direbut melawan orang baik tak akan bisa dicapai dalam orang yang bersifat jahat.

Senjata[sunting | sunting sumber]

Dalam mitologi Hindu terdapat banyak sekali senjata, dan biasanya digunakan oleh para kesatria, Raja, dan Dewa. Dalam kisah-kisah pertempuran juga disebutkan adanya bermacam senjata. Senjata tersebut digunakan untuk bertempur, melindungi diri, membasmi kejahatan, membela kebenaran, atau hanya sebagai atribut Dewa. Senjata yang muncul dalam mitologi Hindu misalnya: Gada, Cakram, Trisula, Agneyastra, Brahmastra, Garudastra, Kaumodaki, Narayanastra, Pasupati, Siwa Danus, Sudarsana, Waisnawastra, Bajra, Warunastra, dan Wayawastra. Para Dewa tertentu juga memiliki senjata-senjata tertentu.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Sejarah Agama Hindu, oleh: Sudirga, Ida Bagus, dkk. Widya Dharma Agama Hindu. Ganeca Exact
  • Pembagian Weda, oleh: Sukartha, I Ketut. Agama Hindu. Ganeca Exact
  • Ajaran Ketuhanan dan Kosmologi dalam Weda, oleh: Drs. I Gede Sura
  • Ngakan Made Madrasuta. Saya beragama Hindu. Penerbit: Warta Hindu Dharma
  • Ramayana, oleh: I Gusti Made Widia. Penerbit BP