Majelis Permusyawaratan Ulama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
مجلس استشاري العلماء
Logo resmi MPU Aceh
JulukanMPU
Tanggal pendirian18 Desember 1965
TipeOrganisasi keagamaan
TujuanKeagamaan Islam
Kantor pusatBanda Aceh
Wilayah layanan
Aceh
Ketua MPU
Tgk. H. M. Faisal Ali
Wakil Ketua
Tgk. H. Muhibbussabry
Tgk. Hasbi Albayuni
Situs webmpu.acehprov.go.id

Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, dikenal pula sebagai MPU Aceh atau MPU saja, adalah suatu lembaga independen yang mewadahi para ulama atau cendekiawan Muslim untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam yang berada di Aceh. MPU Aceh memiliki peranan sangat penting dalam rangka pertimbangan implementasi syariat Islam di Aceh karena peran MPU sebagai pemberi pertimbangan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam pembentukan sebuah rancangan Qanun (Perda) Aceh. Aceh yang berstatus daerah istimewa dan provinsi otonomi khusus membuat penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk syariat Islam. Kehadiran lembaga MPU diharapkan syariat Islam di Aceh akan lebih terkoordinasi dan dapat berlangsung di semua aspek kehidupan masyarakat.[1]

Sejarah MPU[sunting | sunting sumber]

Catatan sejarah Aceh dari zaman dulu membuktikan bahwa para ulama selalu mendapatkan tempat yang khusus di hati masyarakat. Dalam Qanun Al-Asyi disebutkan bahwa wadah ulama adalah salah satu lembaga tertinggi negara dipimpin oleh Qadhi Malikul Adil yang dibantu empat orang Syaikhul Islam yaitu Mufti Madzhab Syafi’i, Mufti Madzhab Maliki, Mufti Madzhab Hanafi dan Mufti Madzhab Hambali.

Pada masa peperangan melawan Belanda dan Jepang, lembaga-lembaga ini tidak berwujud lagi, akibatnya muncul mufti-mufti mandiri yang juga mengambil tempat yang amat tinggi dalam masyarakat. Di awal-awal kemerdekaan, lembaga seperti ini pernah terwujud di dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Selain itu, berkembang juga lembaga seperti PERTI, Nahdlatul 'Ulama, Al-Washiyah, Muhammadiyah dan lain-lain. Karena itu, pada Tahun 1965 Musyawarah Alim Ulama se-Aceh yang berlangsung pada tanggal 17 s.d 18 Desember 1965 di Banda Aceh bersepakat membentuk wadah berupa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan Ketua Umum pertamanya dipercayakan kepada Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba.

Saat itu, MPU terdiri dari Pimpinan, Badan Pekerja, Komisi dan Panitia khusus. Komisi pada waktu itu, terdiri atas 5 (lima) Komisi, yaitu : Komisi Ifta; Komisi Penelitian dan Perencanaan; Komisi Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan; Komisi Dakwah dan Penerbitan serta Komisi Harta Agama. Komposisi ini juga berlaku pada MPU kabupaten/Kota dan MPU Kecamatan. Pada tahun 1968, sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor: 038/1968, Majelis Permusyawaratan Ulama berubah namanya menjadi Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan nama komisi-komisinya berubah menjadi Komisi A (Hukum/Fatwa); Komisi B (Penelitian dan Perencanaan); Komisi C (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan); Komisi D (Dakwah dan Penerbitan) dan Komisi E (Harta Agama).

Kedudukan MUI Provinsi Aceh dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan “Daerah dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri dari Ulama”. Dalam ayat (2) ditegaskan lagi “Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami”.

Amanat Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusywaratan Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian diadakan Musyawarah Ulama se-Aceh pada tanggal 2-5 Rabi’ul Akhir 1422 H (24-27 Juni 2001 M) di Banda Aceh untuk memililh/ membentuk kepengurusan MPU. Pada malam 17 Ramadhan 1422 H (3 Desember 2001 M) melalui iqrar sumpah, terbentuklah MPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang independen, bermitra sejajar dengan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk masa khidmat 2001-2006. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama mengukuhkan dan memperkuat kedudukan MPU Aceh sebagai mitra sejajar Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, terumata pembangunan syariat Islam.

Hubungan Tata Kerja[sunting | sunting sumber]

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan Tata Kerja MPU dengan Eksekutif, Legislatif dan instansi Lainnya.

  1. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berwenang memberikan pertimbangan, saran/fatwa baik diminta maupun tidak diminta kepada Badan Eksekutif, Legislatif, Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Kejaksaan, KODAM Iskandar Muda dan lain-lain Badan/Lembaga Pemerintah lainnya. (Pasal 2 Qanun Provinsi Nanggro Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan Tata Kerja MPU dengan Legislatif, Eksekutif dan Instansi lainnya).
  2. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan mitra kerja Badan Eksekutif dalam penentuan kebijakan Daerah terutama yang berkaitan dengan Syari'at Islam. (Pasal 3 ayat 1).
  3. Sebagai mitra kerja Badan Eksekutif, Majelis Permusyawarata Ulama (MPU) wajib memberi masukan, pertimbangan dan saran-saran kepada Badan Eksekutif dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan Daerah baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan tatanan hukum serta tatanan ekonomi yang Islami. (Pasal 3 ayat 2). 4.Badan Eksekutif dalam menjalankan kebijakan Daerah wajib memposisikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai Badan independen dan mitra kerja terutama yang berkaitan dengan Syari’at Islam. (Pasal 4 ayat 1).
  4. Badan Eksekutif wajib meminta masukan, pertimbangan dan saran-saran dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menjalankan kebijakan Daerah. (Pasal 4 ayat 2).
  5. Badan Eksekutif wajib mendengar fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menjalankan kebijakan Daerah, di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang Iislami (Pasal 4 ayat 3).[2]

Struktur Organisasi[sunting | sunting sumber]

MPU terdiri atas :

a. Majelis Syuyukh;

b. Pimpinan;

c. Komisi;

d. Panitia Musyawarah (Panmus);

e. Badan Otonom;

f. Panitia Khusus.[3]

Tugas Pokok, Kewenangan dan Fungsi[sunting | sunting sumber]

=== Tugasnya Menurut Pasal 6 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang MPU Aceh, yaitu :

  • Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
  • Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at Islam.
  • Melakukan penelitian, Pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam.
  • Melakukan Pengkaderan Ulama.

Kewenangan[sunting | sunting sumber]

Menurut Pasal 140 ayat 1 dan 2 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh :

  • Memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan. Menurut Pasal 5 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009) :
  • Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan.
  • Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.[4]

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Sesuai Pasal 139 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh:

  • MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintah, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. Sesuai Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang MPU :
  • Memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, social budaya dan kemasyarakatan.
  • Memberikan nasihat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam.

LPPOM MPU[sunting | sunting sumber]

Logo Sertifikasi Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melalui Sistem Jaminan Produk Halal.

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, Kosmetika dan Makanan merupakan badan otonom dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama, Aceh.

Sistem Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat SJPH adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai ketentuan LPPOM MPU Aceh.

Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal, nomor registrasi halal, dan label halal. Label Halal adalah tanda pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu produk.

Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MPU Aceh melalui keputusan sidang Pimpinan MPU Aceh Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh LPPOM MPU Aceh.[5]

PPID[sunting | sunting sumber]

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu Sekretariat MPU Aceh merupakan ujung tombak pelayanan informasi di lingkungan Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh. Tugasnya adalah mengelola dan memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat.

Fatwa MPU Aceh[sunting | sunting sumber]

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh secara resmi menetapkan pelarangan terhadap perayaan Hari Valentine, game Player Unknown's Battle Grounds (PUBG) dan sejenisnya haram. Keputusan itu ditetapkan setelah dilakukan pengkajian mendalam oleh anggota MPU Aceh. Majelis Permasyarakatan Ulama (MPU) Aceh juga baru-baru ini menerbitkan fatwa haram radikalisme guna mencegah keresahan masyarakat terhadap intoleransi beragama.[6][7][8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-11. Diakses tanggal 2019-10-11. 
  2. ^ "MPU ACEH | Dasar Hukum". mpu.acehprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-11. Diakses tanggal 2019-10-26. 
  3. ^ http://simeuluekab.go.id/uploads/qanun_aceh_no_2_tahun_2009(1).PDF, Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 (2009). "Qanun Tentang MPU Aceh". 
  4. ^ "MPU ACEH | KUMPULAN KEPUTUSAN MPU ACEH". mpu.acehprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-11. Diakses tanggal 2019-10-26. 
  5. ^ "SJPH - Sistem Jaminan Produk Halal". sjph.acehprov.go.id. Diakses tanggal 2022-03-16. 
  6. ^ "MPU Aceh Terbitkan Fatwa Haram Radikalisme". suara.com. 2019-10-12. Diakses tanggal 2019-10-26. 
  7. ^ Tim. "Fatwa MPU Terbit, Aceh Kejar Target Imunisasi Rubella". nasional (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-26. 
  8. ^ "Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh: PUBG dan Game Sejenisnya Haram". kumparan. Diakses tanggal 2019-10-11. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]