Persatuan Ulama Seluruh Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) didirikan pada 12 Rabiul Awal 1358 H atau 5 Mei 1939 M di Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara (sekarang Bireuen), merupakan satu organisasi keagamaan yang besar dan kuat di Aceh pada era 1950-an. PUSA diprakarsai dan didirikan oleh para ulama modernis, seperti Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap, Ayah Hamid Samalanga, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Tgk Muhammad Daud Beureu-éh, dan lain-lain.[1]

Tujuan utama pembentukan organisasi ini antara lain dimaksudkan untuk memajukan dunia pendidikan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah di Aceh. Kongres PUSA yang diinisiasi oleh Teuku Chik Muhammad Djohan Alamsyah yang dikenal sebagai Ampon Syik Peusangan Meunasah Meucap di Matang Glumpang Dua. Dia merupakan ulee balang moderat yang disegani oleh Belanda. Namun pada pelaksanaannya, Ampon Syiek Peusangan yang semula merencanakan kongres ini sakit. Dan terpilihlah Teungku Daud Beureueh sebagai Ketua PUSA secara aklamasi.[2][3] Melalui ide reformasi Islam, gerakan ini telah mampu memperkuat identitas keislaman masyarakat dan renovasi historis masyarakat Aceh secara keseluruhan.[4]

Awal Kepengurusan PUSA[sunting | sunting sumber]

Pengurus PUSA terbentuk dari hasil musyawarah yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Komplek Al-Muslim, Matang Geulumpangdua, pada 12 Rabiul Awal 1358 H/5 Mei 1935 M dengan komposisi: Tgk Muhammad Dawud Beureueh sebagai Ketua I, Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap (Ketua II), Tgk M Nur El Ibrahimy (Sekretaris I), Tgk Ismail Jacub (Sekretaris II), TM Amin (Bendahara) yang kemudian digantikan oleh Tgk H Mustafa Ali.[5]

Selanjutnya, TM Amin menjadi Sekretaris Pengurus Besar PUSA tatkala Tgk M Nur El Ibrahimy menjadi pimpinan Normal Islam Institut di Bireuen. Kepengurusan PUSA ini dibantu oleh beberapa ulama kenamaan, seperti Tgk Abdul Wahab Seulimuem, Tgk H Sjech Abd Hamid, Tgk M Daud, Tgk Usman Lampoh Awé, Tgk Jahja Baden, Tgk Mahmud, Tgk Usman Laziz, dan Tgk Ahmad Damanhuri Takengon. Sementara uleebalang Peusangan dipercayakan sebagai penasihat PUSA.[6]

Para pemimpin PUSA yang terdiri dari ulama-ulama berpaham modernis yang mengutamakan ibadah sesuai dengan sunnah Rasulullah saw dan menjauhi segala jenis bid’ah dan khurafat, pernah memimpin Aceh dalam beberapa periode dalam kurun waktu tahun empat puluhan dan lima puluhan. Dengan demikian terkenallah pemerintah di Aceh waktu itu dengan nama pemerintahan PUSA karena yang duduk dalam jajaran pemerintahan umumnya terdiri dari kader-kader PUSA, baik dari sipil, polisi maupun militer.[7][8]

Tujuan dibentuknya PUSA[sunting | sunting sumber]

Beberapa poin penting yang menarik dicatat dalam masa kepemimpinan PUSA, yang barang tentu berbeda dengan Pemerintah Aceh hari ini, antara lain: Pemerintah PUSA mengutamakan pendidikan untuk anak bangsa Aceh; menarik hati bangsa Aceh dengan gerakan dakwah dari satu wilayah ke wilayah lainnya; mengikat ukhuwah yang sangat akrab dengan rakyat Aceh; menghidupkan ekonomi rakyat dengan memberikan berbagai fasilitas untuk rakyat Aceh; dan mengikat hubungan dengan organisasi nasional yang berakar di ibu kota Jakarta seperti Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Majelis Islam Akla Indonesia (MIAI), serta organisasi-organisasi Islam dunia di berbagai Negara seperti Ikhwanul Muslimin dan lainnya.[9]

Upaya memajukan pendidikan yang dilakukan PUSA adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan yang sudah lebih dulu ada, antara lain: Lembaga pendidikan Al-Muslim di Matang Geulumpangdua yang didirikan oleh Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap; Normal Islam Institut di Bireuen yang didirikan PUSA; Madrasah Diniyah Idi (Madni) di Idi yang didirikan Tgk M Nur El Ibrahimy; Madrasah Diniyah Abdiyah di Blang Paseh yang didirikan Tgk Muhammad Daud Beureueh; JADAM yang didirikan Ayahanda di Montasik; Dan, Sekolah Menengah Islam (SMI) di Blang Padang (Banda Aceh) yang didirikan PUSA.

Hasil dari pendidikan yang diprakarsai PUSA betul-betul dapat menjawab tantangan zaman, sesuai dengan maksud dan tujuan PUSA kala itu. Betapa tidak, hampir seluruh lulusan Al-Muslim, JADAM, Diniyah Abdiyah menjadi guru dan menjadi pejabat tinggi di Aceh. Mereka mampu membaca dan menerjemah kitab kuning dengan lancar, mampu berhasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya dengan baik. Demikian pula para lulusan Normal Islam Institut Bireuen, umumnya menjadi tokoh masyarakat nasional dan internasional seperti Abdullah Arif, Ismuha, Hasan Tiro, Zainal Abidin Tiro, Ismail Thaib Paya Bujok, AR Hasyim, Hasan Saleh, dan lain-lain.[10]

Di bidang dakwah, pemerintah PUSA tidak henti-hentinya berdakwah kepada segenap bangsa Aceh baik secara langsung ketika menjalankan tugas pemerintah ke daerah-daerah kabupaten/kota maupun secara tidak langsung ketika para pejabat Aceh pulang kampung, berkunjung kepada rumah dan tempat-tempat tertentu. Dengan demikian setiap turun ke daerah para pemimpin Aceh dari kalangan pemerintah PUSA selalu berdakwah dan membaur dengan masyarakat. Umumnya mereka tidur di rumah-rumah para pejabat kabupaten/kota (bukan di hotel atau penginapan) sambil berdialog tentang Islam. Dengan demikian ukhuwah Islamiyah tegak dalam masyarakat antara pejabat Aceh dengan orang-orang kampung dari rakyat jelata.

Para pejabat Aceh ketika pergi ke daerah selalu membawa dakwah, pendidikan dan sumbangan atau shadaqah sehingga wibawa dan gezah pemerintah PUSA sangat besar di mata masyarakat tatkala itu. Sumbangan atau sedekah yang dibawakan para penguasa Aceh waktu itu lebih mengarah kepada pemberdayaan ekonomi rakyat sesuai dengan profesi masyarakat tempatan masing-masing. Kalau masyarakat tani selalu diberikan modal bibit dan pupuk, kalau para nelayan dibantu pukat dan perahu (boat), kalau masyarakat pedagang diberikan modal usaha dan seumpamanya.

Para penguasa Aceh dari kader-kader PUSA dulu tidak rakus, tidak mengutamakan kaum sendiri dengan menyisihkan kaum lain, tidak memaksa orang-orang agar mendapatkan proyek secara kasar, tidak menculik orang yang berbeda partai dengannya, tidak membajak dan menurunkan bendera/spanduk/baliho partai lain yang sedang dikibarkan, dan sangat menjaga ukhuwah dengan rakyat dan masyarakatnya.

Yang tidak kurang menariknya adalah para pemimpin PUSA membuka diri dalam bingkai ukhuwah Islamiyah dengan menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi Islam lain baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri PUSA bermitra dengan MASYUMI dan MIAI sehingga apa saja informasi secara nasional PUSA cepat mendapatkannya. Di luar negeri PUSA punya link dan aliansi informasi dengan Ikhwanul Muslimin dan jaringannya di seluruh dunia.

Dengan demikian baik para pemimpin maupun rakyat PUSA menjadi orang-orang yang peka dengan informasi nasional dan internasional, sehingga para kader dan pemerintah PUSA tidak ada waktu untuk meneror kontraktor meminta persen dari hasil proyek pemerintah yang dikerjakannya. Mereka juga tidak ada waktu untuk memusuhi orang-orang yang tidak seide dan tidak sejalan pemikiran dan tata cara ibadah dengannya, karena wawasan dan jangkauan pemikirannya sudah dewasa, arif, dan mendunia.[11]

Munculnya Konflik Ulama & Uleebalang[sunting | sunting sumber]

Uleebalang yang dipercaya sebagai Zelfbestuurder pada masa kesultanan merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang dipegang oleh Uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan secara diam-diam. Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu. Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh. Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda apabila perang pasifik meletus.[12]

PUSA didirikan utuk mempersatukan pola pikir para ulama, dalam perkembangannya PUSA menjadi motor yang menggerakkan berbagai konflik dalam sejarah Aceh, termasuk dalam peristiwa Perang Cumbok. Sebagian warga Aceh pro Ulee Balang memplesetkan PUSA sebagai pembunuh Uleebalang Seluruh Aceh. Tidak semua Uleebalang ingin Belanda kembali dan berkuasa. Kabar tentang adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya. (Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok).[13]

Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder tersebut secara terang-terangan. Dimulai pada saat Jepang menyerahkan senjatanya, tanggal 4 Desember 1946 di Sigli. Dalam peristiwa tersebut terjadi pertumpahan darah dalam memperebutkan senjata Jepang itu, antara ulama dan uleebalang. Walaupun pertempuran itu dapat dipadamkan oleh pemerintah daerah Aceh yang sudah dibentuk sejak Indonesia merdeka pada tanggal 6 Desember, akan tetapi persengketaan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Cumbok.[14]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ M. Nur El Ibrahimy. Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh Dalam Pergolakan Aceh, (Edisi Revisi), Media Da’wah, Jakarta, 2001
  2. ^ Amal, Taufik Adnan (2004). Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria. Pustaka Alvabet. ISBN 978-979-3064-07-9. 
  3. ^ Mor-Mur, Montserrat; Saldo, Jordi (2012-11-20). Handbook of Food Safety Engineering. Oxford, UK: Wiley-Blackwell. hlm. 575–602. ISBN 978-1-4443-5532-1. 
  4. ^ MA, Prof Dr Amirul Hadi (2010). Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-773-1. 
  5. ^ Ibrahim, Muhammad; Arifin, M.; Sulaiman, Nasruddin; Sufi, Rusdi; Ahmad, Zakaria; Ambary, Hasan Mu'arif; MA, T. Ibrahim Alfian (1991-01-01). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  6. ^ Wanti, Irini Dewi; Priyotomo, Iskandar Eko (2005). Dinamika dan peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Trasisional. 
  7. ^ "Abu Daud Beureu'eh, Sang Pelopor Egaliterianisme di Aceh". Baranom. 2014-10-30. Diakses tanggal 2020-06-14. 
  8. ^ TEMPO, Tim BUKU (2016-02-25). Seri Tempo: Kartosoewirjo. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9111-63-0. 
  9. ^ Usman, Abdul Rani. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-359-1. 
  10. ^ M.Pd, Dr Wildan (2020-05-06). Nasionalisme dan Sastra: Doktrin, Misi, dan Teknik Penyampaian Nasionalisme dalam Novel A. Hasjmy. Syiah Kuala University Press. ISBN 978-623-264-057-3. 
  11. ^ Bakri. "Membangun Aceh ala PUSA". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-06-14. 
  12. ^ Ulama Dan Ulee Balang: Potret Revolusi Sosial Di Aceh Tahun 1945-1946
  13. ^ Anshari, Saifuddin (2004). Wawasan Islam: pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem Islam. Gema Insani. ISBN 978-979-561-892-8. 
  14. ^ tengkuputeh (2013-06-18). "PERANG CUMBOK SEBUAH REVOLUSI SOSIAL DI ACEH (1946-1947)". Tengkuputeh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-14.