Kyōiku mama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kyōiku mama (教育ママ) adalah sebuah istilah sindiran dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan secara harfiah sebagai "ibu pendidik". Kyōiku mama adalah sosok stereotip dalam masyarakat Jepang modern yang digambarkan sebagai seorang ibu yang terus-menerus mendorong anaknya untuk belajar, sehingga mengorbankan perkembangan sosial dan fisik, serta kesehatan emosional anak.[1]

Kyōiku mama adalah salah satu sosok dalam budaya populer yang terkenal dan paling tidak disukai pada Jepang kontemporer. Kyōiku mama serupa dengan stereotip Amerika seperti ibu panggung yang memaksa anaknya untuk mencapai kesuksesan dalam bisnis pertunjukan di Hollywood, streotip dari ibu harimau di Tiongkok yang berupaya keras mengarahkan sebagian besar dari pengaruh keibuan untuk mengembangkan prestasi pendidikan dan intelektual anak-anaknya, dan streotip dari dorongan ibu Yahudi untuk anak-anaknya agar berhasil secara akademis dan profesional, menghasilkan dorongan untuk kesempurnaan dan pencapaian berkelanjutan dengan sesuatu yang kurang atau kritis, ibu yang mengorbankan dirinya untuk memaksa anaknya masuk sekolah kedokteran atau sekolah hukum.[2]

Stereotip seperti kyōiku mama ditakuti oleh anak-anak, dipersalahkan oleh pers karena menyebabkan fobia sekolah dan bunuh diri pada remaja, serta membuat iri dan benci para ibu yang memiliki anak pemalas dan bernasib kurang baik dalam ujian.[3][4]

Faktor yang mempengaruhi perkembangan kyōiku mama[sunting | sunting sumber]

Pada awal 1960-an, pekerja wanita paruh waktu berawal di beberapa perusahaan besar[yang mana?] di Jepang dan diadopsi oleh perusahaan lain[yang mana?] dalam satu dekade. Hal tersebut menjadi populer di kalangan wanita yang sudah menikah pada 1970-an dan bahkan lebih lagi pada tahun 1985.

Kembalinya wanita ke tempat kerja biasanya menjelaskan dua hal: karena tuntutan keuangan untuk melengkapi anggaran keluarga, dan tuntutan psikologis untuk menghubungkan diri mereka dengan masyarakat.

Wanita yang mengasuh anak pada 1960-an mengispirasi media untuk menghasilkan idiom kyōiku mama, yang merujuk pada "rekan domestik dari sararii-man" (salaryman). Hal tersebut mencakup tanggung jawab besar untuk "membesarkan anak-anak, terutama anak laki-laki, agar berhasil lulus ujian kompetitif yang diperlukan untuk masuk sekolah dan perguruan tinggi".[5] Tidak ada kemunculan idiom yang menganggap pria sebagai "ayah pendidik"; sehingga "ibu" yang menjadi fenomena sosial.

Pandangan orang Amerika[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan sebagian besar gambaran negatif Jepang mengenai kyōiku mama, para pemimpin Amerika yang mengedepankan citra "manusia super Jepang" untuk meningkatkan kinerja pendidikan Amerika dengan memuji para ibu yang memikirkan pendidikan di Jepang. Kedua sekretaris pendidikan Ronald Reagan memusatkan perhatian pada para ibu Jepang sebagai cerminan untuk meningkatkan keluarga dan sekolah di Amerika. Sekretaris Pendidikan Reagan yang pertama, Terrel Bell (dikreditkan untuk kata-katanya dalam A Nation at Risk) menulis kata pengantar yang antusias untuk Mothers, Leadership and Success yang ditulis oleh Guy Odom—sebuah buku yang memiliki poin dasar bahwa hanya ibu super yang kuat, agresif, dan cerdas yang dicontohkan oleh para ibu di Jepang yang dapat menghidupkan kembali Amerika. William J. Bennett, kepala Departemen Pendidikan pada masa jabatan kedua Reagan, memuji "keberadaan orang tua" di Jepang yang "tetap berhubungan dengan para guru, mengawasi pekerjaan rumah, mengatur bantuan instruksional tambahan jika diperlukan, dan menunjang motivasi anak untuk melakukan sesuatu dengan baik di sekolah dan selebihnya".[6]

Kyōiku mama kontemporer[sunting | sunting sumber]

Banyak ibu di Jepang mendedikasikan banyak waktu untuk menemani anak-anak mereka dari satu ujian masuk ke ujian masuk lainnya. Pada ujian masuk universitas nasional, yang diadakan di Tokyo, sebagian besar ibu bepergian dengan anak-anak mereka ke ruang ujian. Mereka tiba dan menginap di hotel terdekat, memeriksa anak-anak mereka pada menit terakhir dan memastikan mereka tidak terlambat untuk ujian.[7]

Beberapa ibu memulai pendidikan anak-anak mereka pada usia yang masih muda. Seorang ibu berusia 30 tahun di Jepang berkata, "Ini adalah anak pertama saya, dan saya tidak tahu bagaimana cara bermain dengannya atau membantunya berkembang". Ia mengirim putrinya yang berusia 6 bulan ke sekolah pra-sekolah di Tokyo. Seorang kepala sekolah di sekolah pra-sekolah lain menyatakan bahwa sekolah, untuk anak-anak yang berusia satu tahun atau lebih, membantu untuk membina dan mengembangkan rasa ingin tahu anak-anak melalui kegiatan "mengupas jeruk atau mengumpulkan dan mewarnai salju".[7]

Para ibu pada dasarnya bersaing ketat dengan para ibu lain yang ingin anaknya masuk ke universitas unggulan. Dalam beberapa kasus, untuk membuat anaknya tampak seperti tidak begitu banyak belajar, para ibu akan membiarkan anaknya menggunakan kamar orang tua untuk belajar sementara para ibu menonton televisi di ruang tamu. Para ibu lain yang melewati rumah akan melihat kamar anak tersebut terlihat gelap, dengan asumsi bahwa anak tersebut mengabaikan pelajarannya untuk menonton televisi. Keesokan paginya, ibu akan memberitahu isi acara tersebut kepada anaknya, yang akan pergi ke sekolah dan membicarakannya dengan teman sekelas, yang juga akan menganggap bahwa temannya itu pemalas, menurunkan ekspektasi terhadap teman mereka dan untuk mereka sendiri. Namun, ketika waktu ujian bergulir, "si pemalas" akan diterima di sekolah unggulan sementara teman-temannya akan tertinggal.[7]

Kyōiku mama sering memberi penampilan besar pertama kepada anak-anak mereka di lingkungan sekitar melalui kōen debyū (公園デビュー), ketika para ibu "memamerkan anak-anak mereka di sekitar taman terdekat untuk mendapatkan penerimaan".[8]

Para ibu mengirim anak-anak mereka ke bimbingan belajar (juku), anak-anak dapat menghabiskan waktu di sana sampai pukul 10 atau 11 malam. Jepang memiliki lebih dari 35.000 bimbingan belajar untuk ujian perguruan tinggi.[per kapan?][7] Selain bimbingan belajar, anak-anak dikirim ke kelas kaligrafi, kibor, sempoa, atau kendo.[8] Seperti yang diungkapkan Marie Thorsten, kepanikan moral mengenai juku dan ibu pendidik terjadi pada waktu yang bersamaan, pada 1970-an. "Sebagai 'sekolah kedua', juku, sebagai layanan pelanggan, menarik kecemasan para ibu mengenai anak-anak mereka, membentuk citra ibu 'normal' sebagai orang yang mengirim anak-anaknya ke juku dan mengikuti tren komersial dalam persiapan ujian."[9]

Dampak pada anak-anak[sunting | sunting sumber]

Pada 1950-an, para ibu penuh waktu mengabdikan diri untuk sejumlah kecil anak-anak. Stres orang tua mengakibatkan kesamaan dari masalah baru bagi anak-anak; termasuk asma bronkial, gagap, nafsu makan yang buruk, rentan terhadap patah tulang, dan fobia sekolah. Anak-anak sadar bahwa mereka adalah tujuan hidup ibu mereka. Para ibu berperan sebagai guru sekolah bagi anak-anak mereka selama mereka berada di rumah.[10]

Terkadang, seorang anak yang tumbuh dengan kyōiku mama berubah menjadi tenuki okusan (手抜き奥さん, "ibu rumah tangga yang lepas tangan"). Stereotip ini menggambarkan wanita yang biasanya memiliki pekerjaan dan tidak terlalu dekat dengan anak-anak, pada dasarnya menjadi versi wanita dari stereotip ketidakhadiran ayah di Jepang, "orang tua yang memiliki waktu luang" atau "seorang teman di hari Minggu". Para ibu ini dikatakan tidak banyak melakukan pekerjaan rumah tangga, biasanya membuat makanan yang banyak, dan dapat dibekukan yang mudah dipanaskan kembali jika mereka tidak di rumah atau terlalu sibuk untuk memasak. Mereka tidak berusaha untuk mewakili keluarga mereka di dalam masyarakat melalui partisipasi dalam Pertemuan Orang Tua Murid dan Guru di sekolah anak-anak mereka dan fungsi masyarakat lainnya.[4]

Dibandingkan dengan anak-anak Amerika modern, remaja Jepang memiliki lebih sedikit penggunaan narkoba, depresi, kekerasan, dan kehamilan remaja,[11] meskipun hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh aturan keras dan nilai-nilai sosial intrinsik dalam budaya Jepang.

Regulasi pemerintah[sunting | sunting sumber]

Kementerian Pendidikan Jepang mengakui bahwa sistem pendidikan dan tekanan orang tua berdampak pada anak-anak. Reformasi pendidikan yang diberlakukan Kementerian Pendidikan sejak 1970-an menantang sistem sekolah egaliter di Jepang. Untuk mengurangi tekanan akademik di kalangan peserta didik dari kompetisi ujian, Kementerian Pendidikan memangkas jam pelajaran di sekolah dan meningkatkan kegiatan non-akademik seperti waktu istirahat dan klub di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.[12]

Pada tahun 2002, pemerintah pusat kembali mengurangi jam pelajaran di sekolah, mengurangi konten, dan memperkenalkan kurikulum baru di seluruh sekolah dasar negeri untuk mendorong minat dan motivasi belajar siswa secara individu[12] Kementerian Pendidikan Jepang menerbitkan buku putih yang menyatakan bahwa anak-anak tidak memiliki kesempatan seperti "berhubungan dengan alam, merasa kagum dan menghargai kehidupan, dan mengalami pentingnya belajar kerja keras dari kesulitan".[7]

Pendidikan Jepang dan stres terkait[sunting | sunting sumber]

Jepang pascaperang pada 1950-an menjadikannya "misi nasional untuk mempercepat program pendidikan. Anak-anak pada zaman ini harus membedakan diri dari teman sebayanya pada usia dini jika mereka berharap untuk masuk ke universitas terkemuka. Ujian masuk untuk anak-anak ini dimulai di taman kanak-kanak.[13]

Pada pertengahan 1970-an, tekanan untuk berprestasi pada anak-anak menciptakan kebutuhan untuk sekolah khusus. Tujuh puluh persen siswa melanjutkan hari sekolah mereka yang panjang di juku atau "bimbingan belajar".[13]

Pada 1980-an, serangkaian bunuh diri terkait dengan tekanan sekolah dimulai. Siswa sekolah dasar dan menengah merenggut nyawa mereka setelah gagal dalam ujian masuk.[13]

Selama 1990-an, keruntuhan ekonomi di Jepang (setelah dominasi ekonomi global pada dekade sebelumnya) menyebabkan hilangnya motivasi siswa. Peringkat akademik Jepang yang dulu sangat dipuji dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam jatuh di belakang peringkat Amerika Serikat. Stres mulai menyebabkan gangguan di kelas.[13]

Pada tahun 2001, Institut Penelitian Pendidikan Nasional menemukan bahwa 33 persen guru dan kepala sekolah yang disurvei mengatakan bahwa mereka menyaksikan kehancuran kelas secara total "selama periode berkelanjutan" karena anak-anak yang memberontak "terlibat dalam aktivitas sewenang-wenang".[13] Pada tahun 2002, Kementerian Pendidikan Jepang —ditekan oleh kebutuhan untuk mereformasi —menghilangkan 30 persen dari kurikulum inti. Hal tersebut membebaskan waktu bagi siswa untuk belajar dalam kelompok sesuai dengan peminatan yang dipilih oleh siswa.[13]

Penggunaan istilah mukatsuku yang berarti "menjengkelkan dan menyusahkan" semakin meningkat penggunaannya di kalangan siswa sebagai gambaran perasaan yang mereka alami karena jenuh dengan guru, orang tua, dan kehidupan.[13]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kriman, Alfred. "SBF Glossary: Jo. to J-2". 10/25/07
  2. ^ Nisbett, Richard E. (2010). Intelligence and How to Get It: Why Schools and Cultures Count. WW Norton (dipublikasikan tanggal January 26, 2010). hlm. 180. ISBN 978-0393337693. 
  3. ^ Tobin, Joseph J., David Y.H. Wu, and Dana Davidson. Preschool in Three Cultures: Japan, China and the United States. New Haven, Conn.: Yale University Press, 1989.
  4. ^ a b White, Merry I. Perfectly Japanese: Making Families in an Era of Upheaval. Berkeley: University of California Press, 2002.
  5. ^ Kato, Etsuko. The Tea Ceremony and Women's Empowerment in Modern Japan: Bodies Re-presenting the Past. London: Routledge, 2004.
  6. ^ Thorsten, Marie. Superhuman Japan: Nation, Knowledge and Culture in US-Japan Relations. Routledge, 2012.
  7. ^ a b c d e Joseph, Joe. The Japanese: Strange But Not Strangers. London: Viking, 1993.
  8. ^ a b Hills, Ben. Japan Behind the Lines. Rydalmere, New South Wales: Hodder Headline Australia Pty Limited, 1996.
  9. ^ Thorsten, Marie. Superhuman Japan. Routledge, 2012.
  10. ^ Ochiai, Emiko. The Japanese Family System in Transition. Tokyo: Yoshikaku Publishing Co., 1994.
  11. ^ Elliot, Julian. Bempechat, Janine. Learning in Culture and Context. San Francisco: Jossey-Bass, 2002
  12. ^ a b Yamamoto, Yoko. Unequal beginnings: Socioeconomic differences in Japanese mothers' support of their children's early schooling. Diss. University of California, Berkeley, 2006. ProQuest Digital Dissertations. ProQuest. University of Texas at Austin Libraries 30 Oct. 2007
  13. ^ a b c d e f g Nathan, Jonathan. Japan Unbound. New York: Houghton Mifflin Company, 2004.