Pengasuhan anak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seorang ayah menggendong anaknya.

Pengasuhan anak adalah segala bentuk perlakuan yang diberikan kepada anak dari kelahiran hingga memasuki usia dewasa. Perlakuan ini meliputi dukungan secara fisik, intelektualm emosional, dan sosial. Pola asuh yang umum terjadi adalah pola asuh demokratif, pola asuh otoritatif, pola asuh pengabaian dan pola asuh penurutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasuhan anak sebagian besar dipengaruhi oleh orang tua.

Pengasuhan anak dapat dilakukan kepada anak kandung maupun bukan anak kandung. Pengasuhan anak bukan oleh orang tua kandungnya dilakukan di lembaga pendidikan maupun di panti asuhan.

Konsep[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya, pengasuhan anak merujuk kepada seluk-beluk membesarkan anak. Kegiatannya meliputi pemberian dukungan fisik, emosional, sosial dan perkembangan kecerdasan anak dari bayi sampai dewasa. Pengasuhan anak tak harus dari hubungan biologis.[1] Pengasuhan pada dasarnya bertujuan untuk mendidik anak agar mampu menyesuaikan diri sebagai bagian dari lingkungan sosial kemasyarakatan.[2]

Tanggung-jawab pengasuhan[sunting | sunting sumber]

Orang tua[sunting | sunting sumber]

Orang tua pada dasarnya adalah sebab kelahiran anak-anak mereka sendiri. Sehingga pengasuhan anak merupakan tanggung jawab yang perlakuannya harus diberikan sendiri oleh orang tuanya. Peran orang tua dalam pengasuhan anak adalah memberikan pendidikan dasar yang mampu memberikan kualitas kehidupan bagi anaknya. Orang tua juga berperan sebagai percontohan dalam pembentukan watak anaknya.[3]

Kelompok sebaya[sunting | sunting sumber]

Anggota kelompok sebaya terdiri dari para anak yang menghabiskan waktunya di luar kendali orang tua. Dinamika kelompok sebaya menjadi tanggung jawab dari para anggotanya. Pada kelompok sebaya, pengasuhan anak dilakukan oleh diri mereka sendiri kepada anggota kelompok sebayanya. Pola pengasuhan ini membentuk hierarki di dalam kelompok. Kecenderungan yang timbul adalah terciptanya pengasuhan kepada sahabat sendiri ketika usia anak bertambah. Anak-anak juga menjadi peka terhadap sesuatu yang penting bagi orang lain.[4]

Pola asuh[sunting | sunting sumber]

Pola pengasuhan dari orang tua ke anak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis bagi anak. Kecenderungan pemilihan pola asuh dari orang tua kepada anaknya adalah yang dianggap baik oleh orang tua bagi anaknya. Pola pikir orang tua cenderung dibagi dua, yaitu orang tua yang memerhatikan kebutuhan dan situasi anaknya, dan orang tua yang menginginkan kondisi anaknya lebih baik dibandingkan dirinya.[5] Peran penting dari pola asuh adalah membentuk kepribadian anak.[6]

Pola asuh otoritatif[sunting | sunting sumber]

Pola asuh ororitatif adalah pola asuh yang tidak memberikan perlakuan pemaksaan, pengabaian maupun penelantaran anak. Pada pola asuh ini, orang tua mendukung kemandirian anak dengan tetap membatasi tindakan yang mereka lakukan. Orang tua memberikan pendapatnya kepada anak dan menerima pendapat dari anaknya. Pemberian dan penerimaan pendapat disertai dengan sifat penyayang dan ramah kepada anak.[7]

Pola asuh otoriter[sunting | sunting sumber]

Pada pola asuh otoriter, orang tua memberikan pengasuhan kepada anak dengan kekuasaan penuh. Sifat pengasuhannya adalah memaksa, pengaturan ketat dan disertai dengan keseringan pemberian hukuman. Pada pola asuh otoriter, hubungan antara orang tua dan anak bersifat kaku sehingga komunikasi kurang terjalin.[8]

Pola asuh pengabaian[sunting | sunting sumber]

Pada pola asuh pengabaian, orang tua tidak banyak membimbing dan mengendalikan perilaku anaknya. Anak sama sekali tidak pernah diberi hukuman atau ganjaran atas perbuatannya. Orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya sehingga peran anak lebih banyak dibandingkan orang tuanya.[9]

Pola asuh penurutan[sunting | sunting sumber]

Pada pola asuh penurutan, keterlibatan orang tua atas pengasuhan anaknya sangat aktif. Namun, orang tua tidak mengawasi anaknya atau memberikan tuntutan tertentu kepada anaknya. Keinginan anak selalu dituruti oleh orang tuanya. Pola pengasuhan ini membuat anak tidak dapat mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu memiliki keinginan pemenuhan atas keinginannya sendiri.[10]

Faktor yang mempengaruhi[sunting | sunting sumber]

Latar belakang pola asuh orang tua[sunting | sunting sumber]

Pola asuh pada umumnya berkaitan dengan cara pengawasan orang tua terhadap anaknya. Tiap keluarga memiliki keunikan pola asuh yang berbeda dengan keluarga lainnya.[2] Pola asuh berkaitan dengan tanggung-jawab dan peran orang tua dalam perawatan, pembimbingan dan pembinaan anak. Pola asuh yang diberikan oleh orang tua cenderung sama dengan yang diterima oleh orang tua ketika masih menjadi anak. Kecenderungan pola asuh juga pada contoh yang diberikan oleh orang tua dari orang tua yang dulunya masih menjadi anak.[11] Emosi anak sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua. Kedua aspek ini berhubungan sangat erat.[12]

Tingkat pendidikan orang tua[sunting | sunting sumber]

Tingkat pendidikan yang berbeda pada orang tua akan memberikan pola asuh yang berbeda pada anaknya.[13] Pada orang tua yang memiliki kemampuan komunikasi dan hubungan yang tepat kepada anaknya akan menyesuaikan kebutuhan anak dalam pengembangan pola asuhnya.[14]

Tingkat ekonomi orang tua[sunting | sunting sumber]

Orang tua yang memiliki kondisi ekonomi berkecukupan akan mengembangkan perlakuan pengasuhan kepada anaknya sesuai dengan keinginannya. Pemilihan pola asuh ini cenderung dilakukan oleh orang tua yang memiliki kesempatan mengasuh anaknya dengan fasilitas dan lingkungan pendukung.[14] Anak-anak yang orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya cenderung terabaikan pengasuhannya. Peran pengasuhan diberikan kepada pembantu. Sehingga pola pengasuhan yang diterima oleh anak adalah pola pengasuhan yang dipilih oleh pembantu.[13]

Kondisi emosional orang tua[sunting | sunting sumber]

Orang tua yang mampu mengelola emosinya, akan mampu mengajar anak mengatur emosinya selama pola pengasuhan berlangsung. Anak memperoleh cara mengendalikan emosi dari keluarga terdekatnya, yaitu orang tua.[15]

Tingkat keberhasilan[sunting | sunting sumber]

Keberhasilan pola asuh pada anak dalam lingkup masyarakat dapat diketahui melalui pengasuhan keyakinan agama. Tingkatan pengasuhan agama oleh orang tua menjadi indikator penting bagi perkembangan keyakinan pada anak.[16] Keberhasilan pengasuhan anak juga terlihat dari pembentukan identitas diri. Pengasuhan yang berhasil akan menghasilkan identitas diri yang sifatnya berkelanjutan.[17]

Lembaga pengasuhan[sunting | sunting sumber]

Panti asuhan[sunting | sunting sumber]

Di dalam panti asuhan, anak dibentuk kemandiriannya karena tidak adanya kehadiran orang tua kandung. Anak-anak diasuh untuk hidup dengan mengurus diri sendiri sehingga tidak terlalu bergantung kepada orang lain. Pada anak di panti asuhan, semakin rendah tingkat kebergantungannya pada orang lain, maka semakin tinggi tingkat kemandirian pada dirinya.[18] Kemandirian anak di panti asuhan bertujuan untuk mengurangi kecanggungan mereka dalam menjalani hidup tanpa adanya orang tua yang seharusnya memenuhi kebutuhan hidupnya.[19]

Lembaga pendidikan[sunting | sunting sumber]

Tanggung jawab pengasuhan anak di lembaga pendidikan terbagi antara pendidik dan orang tua dari anak yang diasuh. Dalam lembaga pendidikan, peran orang tua sebagai pengasuh utama tidak tergantikan. Pendidik hanya berperan sebagai mitra bagi orang tua dalam pengasuhan anaknya.[20]

Penelitian[sunting | sunting sumber]

Pengasuhan anak merupakan salah satu topik penting dalam psikologi perkembangan. Penyebabnya ada dua. Pertama, ada acuan khusus pada anak dalam bertingkah laku. Acuan ini berkaitan dengan pemenuhan keinginan atas kebutuhan anak sendiri atau pemenuhan tuntutan lingkungannya. Lingkungan ini meliputi agen sosial yang disebut orang tua dan agan budaya yang disebut keluarga. Segala nilai, norma dan aturan bertingkah laku diperoleh oleh anak melalui orang tuanya.  Sementara sebab yang kedua adalah adanya keterkaitan antara hubungan orang tua dan anaknya dengan komunitas, masyarakat dan lingkungan sosial di sekitarnya. Hubungan ini selalu berubah di setiap zaman. Produk yang dihasilkan adalah cara pengendalian orang tua atas anaknya dan cara orang tua menyalurkan kasih sayangnya kepada anaknya.[21]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Jane B. Brooks (28 September 2012). The Process of Parenting: Ninth Edition. McGraw-Hill Higher Education. ISBN 978-0-07-746918-4.  For the legal definition of parenting and parenthood see: Haim Abraham, A Family Is What You Make It? Legal Recognition and Regulation of Multiple Parents (2017)
  2. ^ a b Putro, B. D., dan Kaler, I. K. (2019). "Pola Asuh Keluarga Muslim Melayu dalam Balutan Kearifan Lokal di Kelurahan Loloan Timur, Kabupaten Jembrana" (PDF). Seminar Nasional Bahasa dan Budaya IV. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana: 34. ISBN 978-602-294-380-8. 
  3. ^ Maimun 2017, hlm. 6.
  4. ^ Yetti, Elindra (2021). Syarah, Erie Siti, ed. Tari Pendidikan Anak Usia Dini (PDF). Media Edukasi Indonesia. hlm. 72. ISBN 978-623-6497-22-7. 
  5. ^ Maknun, D., dkk. (2018). Cahyanti, Alviana, ed. Sukses Mendidik Anak di Abad 21 (PDF). Yogyakarta: Samudra Biru. hlm. 2. ISBN 978-602-5610-63-9. 
  6. ^ Purwaningtyas, Fifin Dwi (2020). Hidayati, Tri, ed. Pola Asuh Otoriter Orang Tua dan Perilaku Kenakalan (Delinquency) pada Remaja. Banyumas: Penerbit CV. Pena Persada. hlm. 7. ISBN 978-623-315-079-8. 
  7. ^ Supenawinata, dkk. 2018, hlm. 9.
  8. ^ Supenawinata, dkk. 2018, hlm. 38-39.
  9. ^ Supenawinata, dkk. 2018, hlm. 39-40.
  10. ^ Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak-Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf (Neurodevelopmental Disorders) (PDF). Jakarta: Kencana. hlm. 3. ISBN 978-623-218-688-0. 
  11. ^ Nufus, H.,, dan Adu. L. (2020). Pola Asuh Berbasis Qalbu dan Perkembangan Belajar Anak (PDF). Ambon: LP2M IAIN Ambon. hlm. 95. ISBN 978-623-6830-04-8. 
  12. ^ Surahman, Buyung (2021). Suradi, A., ed. Korelasi Pola Asuh Attachment Parenting Terhadap Perkembangan Emosional Anak Usia Dini (PDF). Bengkulu: Penerbit CV. Zigie Utama. hlm. 4. ISBN 978-623-7558-35-4. 
  13. ^ a b Supenawinata, dkk. 2018, hlm. 34.
  14. ^ a b Supenawinata 2018, hlm. 36.
  15. ^ Hasbi, M., dkk. (2020). Mengelola Emosi Orang Tua Dalam Proses Pengasuhan (PDF). Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. hlm. 1. ISBN 978-602-6964-54-0. 
  16. ^ Miskahuddin (2014). Safrilsyah, ed. Hubungan Gaya Pengasuhan Orang Tua dengan Eksplorasi dan Komitmen dalam Pembentukan Identitas Ranah Agama pada Remaja Akhir Etnik Aceh (PDF). Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. hlm. 4. ISBN 978-602-1216-10-1. 
  17. ^ Shaleh, A. R., dkk. (2020). Jannah, M., dkk., ed. Bahagia dan Bermakna (PDF). Serang: CV. A. A. Rizky. hlm. 92. ISBN 978-623-7726-01-2. 
  18. ^ Rianti dan Ifdil 2019, hlm. 29.
  19. ^ Rianti dan Ifdil 2019, hlm. 30.
  20. ^ Maimun 2017, hlm. 2.
  21. ^ Warni, W. E., dan Purwono, U. (2019). "Mengasuh dan Mendidik Anak di Era Revolusi Industri 4.0" (PDF). Prosiding Temilnas XI IPPI: 713–714. ISBN 978-60274420-7-8. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Bacaan tambahan[sunting | sunting sumber]

  • Robert Levine; Sarah Levine (2017). Do Parents Matter?: Why Japanese Babies Sleep Soundly, Mexican Siblings Don't Fight & Parents Should Just Relax. Souvenir Press. ISBN 978-0285643703. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]