Hidayat Suryalaga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hidayat Suryalaga adalah salah seorang budayawan Sunda dan akademisi.[1] Radén Hidayat Suryalaga lahir di Banjarsari, Ciamis, 16 Januari 1941.[2] Selain seorang budayawan, Abah Surya juga adalah seorang guru dan penulis bahasa Sunda.[1] Kontribusi beliau adalah mengakomodir keislaman dengan nilai-nilai budaya Sunda. Salah satunya dengan mengadakan majelis malem reboan. Majelis ini adalah kelompok pengajian untuk mempublikasikan karya Nur Hidayah kepada khalayak yang berkaitan dengan tatacara pembacaan sekaligus penghayatan terhadap Al-Quran menggunakan bahasa Sunda. Adapun rangkaian acaranya, pertama ahli tilawah membacakan ayat Al-Quran tertentu. Kemudian dibacakan Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda dengan iringan petikan alat musik kecapi. Setelah itu, ahli tafsir mulai menjelaskan maksud ayat dan apabila diperlukan Abah Surya akan menambahkan keterangan dari sudut pandang nilai kesundaan.[1]

Perjalanan hidup[sunting | sunting sumber]

Karier[sunting | sunting sumber]

Abah Surya menyelesaikan pendidikan di SR (Sekolah Rakyat) tahun 1954, SGA tahun 1961, Bimbingan dan Konseling untuk Tingkat III tahun 1964, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran tahun 1986. Dalam hal pekerjaan, Abah Surya pernah menjadi guru SR (Sekolah Rakyat) tahun 1958-1966, guru Sekolah Menengah Pertama tahun 1966-1978, guru SGA tahun 1978-1980, guru Sekolah Menengah Atas tahun 1980-1984, dosén Fakultas Sastra Unpad tahun 1986-1998, dan dosén Ilmu Budaya Sunda Unpas tahun 1992-2001.[2]

Organisasi[sunting | sunting sumber]

Abah Surya juga aktif dalam organisasi kesundaan. Organisasi tersebut adalah Majalah Kalawarta dan Kudjang (1966-78), Ketua Yayasan Atikan Sunda (YAS) (1996-98), Ketua Daya Mahasiswa Sunda (1994), Peangurus Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (2000-2005), pendiri dan penasihat Teater Sunda Kiwari (1975-2010), Panasihat Yayasan Nur Hidayah (1992-2010), Ketua Lembaga Kabudayaan Unpas (1992-2000), Staf Ahli Kabudayaan Unpas (2000-2004), dan Pangurus Yayasan Daya Budaya Pasundan (2001-2004).[2]

Meninggal dunia[sunting | sunting sumber]

Hidayat Suryalaga meninggal dunia pada usia 69 tahun di Rumah Sakit Sato Yusuf, Bandung. Beliau meninggal pada hari sabtu, tanggal 25 Desember 2010, pukul 00.02 WIB setelah dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) karena terkena penyakit liver. Abah Surya dimakamkan di pemakaman umum yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya di Jalan Sukaasih Atas V nomor 348, Ujungberung, Kota Bandung.[3]

Karya[sunting | sunting sumber]

Abah Surya produktif menghasilkan beberapa karya fiksi terutama naskah drama Sunda yang berjumlah 36 judul. Semua naskah drama yag dibuat telah ditampilkan oleh Téater Sunda Kiwari yang didirikan oleh beliau kira-kira tahun 1970-an. Selain drama, ia juga menulis naskah gending karesmen, guguritan, dan sajak. Selain itu, Abah Surya menulis materi buku ajar untuk SMP. Ada juga sebuah buku yang berisi bahan ajar seperti Etika dan Sopan Santun (1994), Wulang Krama (5 jilid, 1994), Gending Karesmen & Dramaturgi (1995), Kiat MC Upacara Adat Sunda (1996), Rinéka Budaya Sunda I (1997), dan Wawacan Lutung Kasarung (1984). Abah Surya juga menghasilkan karya-karya keislaman melalui yayasan Nur Hidayah dan banyak karya lain juga dimuat dalam Majalah Kalawarta, Kujang, dan Manglé. Salah satu karya fenomenalnya adalah Saritilawah Al-Quran Bahasa Sunda dalam bentuk Pupuh (1981-1998). Buku ini berisi terjemah puitis Sunda Al-Quran 30 juz dengan penulisan kaidah pupuh, yaitu bentuk puisi Sunda buhun (lama) dengan aturan yang sangat ketat. Ini menunjukan kepakaran beliau, selain harus memikirkan aturan baku pupuh, beliau juga harus menemukan makna yang sepadan antara bahasa Al-Quran dengan bahasa Sunda. Hal itu dilakukan selama 18 tahun (1980-1998), Hidayat Suryalaga menghabiskan waktu menekuni setiap jengkal ayat dan makna Al-Quran demi menyelesaikan karya Nur Hidayah.[4]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]

Pemikiran Abah Surya yang berkaitan dengan Agama Islam yaitu berupa tafsir yang berjudul Nur Hidayah Sari Tilawah Qur’an Basa Sunda Winangun Pupuh dan Nurul Hikmah.[5] Dalam ilmu akhlak pemikiran beliau dijelaskan dalam konsep Sadrasa Kemanusiaan dan konsep Silas (Silih Asah – Silih Asih – Silih Asuh).[5] Dalam hal tasawuf berkaitan dengan Buana Panta-Panta (strata atau jenjang pada Rawayan Jati), dan dalam sejarah dikenal sebagai penggerak peradaban mardani mardhotillah melalui teori-teori klasik serta kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an sebagai gambaran kehidupan yang lebih nyata.[5] Selain itu, ada juga dalam kesundaan dibagi menjadi beberapa bagian seperti penjelasan kesundaan dan arti atau makna dari kata Sunda itu sendiri.[5] Dalam bidang sastra tentang Parigeuing (gaya memimpin Prabu Siliwangi yang ada dalam Naskah Sunda Kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian) dan Amanat Parabu Guru Darmasiksa (amanat untuk manusia dalam kehidupan dengan cara menghargai para leluhur yang ada dalam Naskah Amanat Galunggung). Dalam bidang filsafat tentang Rawayan Jati Kasundaan yang berkaitan dengan Filsafat Perenni Sundawi dan hal-hal lain yang berkaitan konsep tersebut, seperti adanya skema Rawayan Jati sebagai pandangan alur kehidupan orang Sunda yang Nyunda jeung Islami (berkarakter Sunda dan Islami).[5] Dalam bidang seni Sunda, bisa dipergunakan sebagai alternatif dakwah menyebarkan pengetahuan agama Islam.[5] Terakhir dalam bidang teknologi informasi, beliau membuat website beralamat Sundanet.com sebagai sarana memperkenalkan budaya Sunda ke luar Jaᴡa Barat dan Indonesia.[6] Hal ini membuktikan bahᴡa Abah Surya tidak anti terhadap perkembangan zaman terutama teknologi dan informasi yang semakin pesat.[6]

Rawayan jati[sunting | sunting sumber]

Rawayan Jati (Filsafat Perenni Sundawi) adalah salah satu pemikiran yang berkaitan dengan fase-fase tirakat. Hal ini diciptakan sebagai bentuk alur pikir pandangan hidup orang Sunda yang bernafaskan Islam atau Religius (Nyunda jeung Islami).[7] Kepercayaan orang Sunda telah dijelaskan dalam konsep Rawayan Jati yang islami. Di dalamnya berkaitan erat dengan sikap orang Sunda yang diᴡajibkan bertoleransi tinggi tapi tetap berpegang teguh pada fase-fase tirakat yang ada. Sudah menjadi prinsip orang Sunda untuk jauh dengan sifat sekular dan profane yang bertentangan dengan sikap agamais monotheistis. Dalam konsep rawayan jati, seluruh agama atau penghayat kepercayaan akan diakomodir dengan pandangan hidup orang Sunda, kecuali orang yang menganut paham atheisme. Istilah rawayan jati memiliki makna yang sama dengan shirath, tao, intelek kosmos, atau konsep sangkan paraning dhumadi yang berasal dari teologi Jawa, yaitu kesadaran beragama manusia di dunia, dari mana asal dan ke mana tujuan akhir keberadaannya.[7]

Kasundaan Rawayan Jati memiliki tujuan mencari dan memahami konsep pandangan hidup manusia Sunda, yaitu mulih ka jati mulang ka asal, congo nyusup dina puhu atau dalam terminologi Islam inalillahi wa ina ilaihi raji'un. Dengan berlandaskan pandangan Islam, konsep ini dekat dengan alur teologi agama Islam dan pendekatan moral, mengingat mayoritas orang Sunda adalah Muslim.[7] Agama Islam memiliki peran sebagai lokomotif peradaban manusia yang bermartabat untuk mempersiapkan innalilahi wa inna ilaihi raji'un, yang masuk ke dalam kesadaran religi setiap insan dalam mencapai rawayan jati dirinya sendiri. Adapun rantai kaitan kesadaran itu adalah akhlak muslim yang mulia. Metode bersosialisasi yang nyunda, ada tiga aspek yaitu silih asih atau silaturahmi yang bersih dan suci, silih asah atau selalu ingin mencerdaskan akal pikir lahir maupun batin, dan silih asuh atau sadar tempat diri seharusnya, proporsional dan profesional.[7] Indikator keberhasilan tersebut adalah manusia Sunda anu cageur, bageur, bener, pinter, wanter, teger, pangger, singer, cangker.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Imaduddin, Wildan (2018-07-27). "H.R Hidayat Suryalaga: Penulis Buku 'Nur Hidayat Saritilawah Basa Sunda' yang Fenomenal - Bincang Syariah". BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin. Diakses tanggal 2019-03-19. 
  2. ^ a b c Ajip Rosidi. (2003). Apa dan Siapa Orang Sunda. Kiblat Buku Utama: Jakarta.
  3. ^ "Budayawan Sunda Hidayat Suryalaga Tutup Usia". Tempo.co. 2010-12-25. Diakses tanggal 2019-03-19. 
  4. ^ Ajip Rosidi. 2000. Ensiklopedi Sunda (alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi). Bandung: Pustaka Jaya. Halaman 272.
  5. ^ a b c d e f Liestiawaty, Dewi Novia (2018-04-19). "Pemikiran H.R. Hidayat Suryalaga tentang Islam-Sunda Tahun 1981-2010". UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 
  6. ^ a b "Pustaka Ilmiah Universitas Padjadjaran » Blog Archive » Sunda, Teknologi Informasi, dan RH Hidayat Suryalaga" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-21. 
  7. ^ a b c d e Suryalaga, Hidayat. 2010. Rawayan Jati Kasundaan. Bandung: Yayasan Nur Hidayah

Pranala luar[sunting | sunting sumber]