Perang Saudara Islam II
Fitnah Kedua | ||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Saudara Islam awal | ||||||||
Kendali wilayah pada sekitar masa puncak perang (686) | ||||||||
| ||||||||
Pihak terlibat | ||||||||
Kekhalifahan Umayyah | Kekhalifahan Ibnu Zubair | Pendukung Banu Ali | ||||||
Tokoh dan pemimpin | ||||||||
Yazid bin Mu'awiyah Muslim bin Uqbah Marwan bin al-Hakam Abdul Malik bin Marwan Ubaidullah bin Ziyad (686) † Al-Hushain bin Numair (686) † Al-Hajjaj bin Yusuf |
Abdullah bin Zubair (692) † Mush'ab bin Zubair (691) † Ibrahim bin al-Asytar (691) † |
Husain bin Ali (680) † Sulaiman bin Surad (685) † Mukhtar ats-Tsaqafi (687) † Ibrahim bin al-Asytar (Membelot) |
Perang Saudara Islam II (atau disebut juga Fitnah Kedua)[a] adalah sebuah periode kekacauan politik dan militer yang melanda umat Islam pada masa-masa awal kekhalifahan Umayyah. Perpecahan ini terjadi setelah meninggalnya khalifah pertama Umayyah, yaitu Muawiyah pada 680 dan berlangsung selama sekitar dua belas tahun. Dalam perang ini, Dinasti Umayyah berhasil mengalahkan dua kelompok penentangnya: pendukung keluarga Ali yang awalnya dipimpin Husain bin Ali dan dilanjutkan Sulaiman bin Surad serta Mukhtar ats-Tsaqafi di Irak, maupun kekhalifahan tandingan yang didirikan Abdullah bin Zubair di Mekkah.
Perang ini berakar dari Perang Saudara Islam I (Fitnah Pertama). Setelah terbunuhnya khalifah ketiga Utsman bin Affan, umat Islam mengalami perang saudara untuk memperebutkan kepemimpinan, yang utamanya melibatkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Setelah pembunuhan Ali pada 661 dan mundurnya penerusnya Hasan bin Ali pada tahun yang sama, Muawiyah menjadi penguasa tunggal umat Islam. Sebelum Muawiyah meninggal, ia menunjuk putranya Yazid sebagai pewaris takhta. Tindakan ini banyak ditentang karena penunjukan penerus melalui garis keturunan belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam. Hal ini memicu ketegangan sepeninggal Muawiyah dan setelah berpindahnya tampuk kekhalifahan ke tangan Yazid. Husain bin Ali diajak oleh pendukung keluarganya di Kufah untuk melengserkan Dinasti Umayyah, tetapi ia terbunuh dalam perjalanan ke Kufah dalam Pertempuran Karbala pada Oktober 680. Abdullah bin Zubair melancarkan perlawanan terhadap Yazid yang berpusat di Mekkah dan meluas hingga Madinah serta seluruh Hijaz berada di bawah pengaruhnya. Yazid mengirim pasukannya untuk menyerang Madinah dan Mekkah, tetapi ia meninggal pada November 683. Sepeninggal Yazid, seluruh wilayah kekhalifahan (kecuali Syam) melepaskan diri dari kekuasaan Umayyah dan hampir seluruhnya tunduk kepada Ibnu Zubair. Di Irak, muncul pemberontakan pendukung keturunan Ali. Menyesali kematian Husain, 4.000 warga Kufah yang dipimpin Sulaiman bin Surad berniat melawan Bani Umayyah hingga mati. Mereka terbunuh dalam Pertempuran Ain al-Wardah pada Januari 685. Mukhtar ats-Tsaqafi mengambil alih Kufah pada Oktober dan pasukannya mengalahkan pasukan Umayyah dalam Pertempuran Khazir pada Agustus 686. Mukhtar sendiri lalu menghadapi pendukung Ibnu Zubair dalam serangkaian pertempuran, dan terbunuh di Kufah pada April 687. Kekalahan Mukhtar menyisakan kubu Umayyah dan kubu Ibnu Zubair dalam perang ini. Selanjutnya, Abdul Malik bin Marwan menyusun kembali kekuatan Umayyah dan berhasil mengalahkan tentara Ibnu Zubair di Irak (Pertempuran Maskin) dan Hijaz (Pengepungan Mekkah) pada tahun 692.
Setelah peperangan ini, Abdul Malik melakukan perubahan struktur pemerintahan kekhalifahan Umayyah dengan meningkatkan kekuasaan pusat khalifah, serta mereformasi angkatan tentara dan birokrasi. Perkembangan yang terjadi selama perang saudara ini memperkuat perpecahan sektarian dan menyebabkan pengembangan doktrin-doktrin dalam agama Islam yang kelak menjadi bagian dari kelompok Sunni dan Syiah. Hingga saat ini Peristiwa Karbala yang terjadi dalam perang ini diperingati umat Muslim Syiah pada Hari Asyura.
Latar belakang
Perang Saudara Islam I
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad pada 632 M, kepemimpinan umat Islam diteruskan oleh para khalifah yang disebut Khulafaur Rasyidin. Sahabat Nabi Abu Bakar menjadi khalifah pertama (hingga 634), dan diteruskan oleh Umar bin Khattab (634–644) dan kemudian Utsman bin Affan.[2] Setelah terbunuhnya Utsman oleh pemberontak pada 656, penduduk Madinah maupun para pemberontak menyetujui diangkatnya Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Muhammad, sebagai khalifah. Pengangkatan Ali ini ditentang oleh sebagian besar suku Quraisy (yang termasuk beberapa kabilah terkuat di Mekkah, dan merupakan suku dari Muhammad, Ali, serta tiga khalifah sebelumnya). Perlawanan terhadap Ali dipimpin oleh dua sahabat terkemuka Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-Awwam, serta Aisyah, istri sang Nabi. Kelompok ini menuntut pembalasan terhadap para pembunuh Utsman, dan dipilihnya khalifah baru melalui syura atau musyawarah. Pertentangan ini berlanjut sehingga pecahlah perang yang disebut Perang Saudara Islam I (Fitnah Pertama). Ali mengalahkan Thalhah, Zubair, dan Aisyah dalam Pertempuran Jamal dekat Bashrah pada November 656, dan selanjutnya ia memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Kufah di Irak.[3] Muawiyah, wali negeri Syam yang seperti halnya Utsman berasal dari Banu Umayyah, juga menolak kekhalifahan Ali dan kedua kubu ini berhadapan dalam Pertempuran Shiffin pada Juli 657. Pertempuran ini berakhir tanpa pemenang, setelah Muawiyah meminta diadakannya tahkim (arbitrase) dan banyak pasukan Ali menjadi tidak ingin bertempur. Ali dengan berat hati menyetujui perundingan ini, tetapi sekelompok pendukungnya, kelak disebut kaum Khawarij ("Mereka yang keluar"), memisahkan diri karena menganggap tahkim tidak sesuai ajaran Islam.[4] Arbitrase ini gagal menyelesaikan pertikaian Muawiyah dan Ali. Ali mengalahkan pasukan Khawarij dalam Pertempuran Nahrawan (659), tetapi anggota Khawarij membunuhnya di Masjid Kufah, Januari 661.[5] Hasan, putra Ali, diangkat menjadi khalifah, tetapi Muawiyah menentang kekuasaannya dan menyerbu Irak. Pada Agustus 661, Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah, sekaligus mengakhiri Perang Saudara Islam I. Muawiyah memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Damaskus.[6]
Yazid menggantikan Muawiyah
Perjanjian antara Hasan dan Muawiyah mengakhiri perang saudara pertama, dan dilanjutkan dengan periode pemerintahan yang relatif tenang di bawah Muawiyah selama kurang lebih dua dasawarsa.[7] Pada periode ini, Muawiyah beserta para wali negerinya melanjutkan perluasan wilayah Islam, dan membangun institusi-institusi pemerintahan baru,[8] tetapi periode ini tidak menghasilkan aturan yang jelas mengenai pengangkatan khalifah-khalifah selanjutnya.[9][10] Isu pergantian kepempimpinan ini berpotensi menimbulkan masalah lagi seperti sebelumnya.[11] Menurut pakar sejarah Islam Bernard Lewis: "Preseden yang tersedia bagi Muawiyah dari sejarah Islam hanyalah pemilihan [melalui syura] dan perang saudara. Pilihan pertama sulit dilaksanakan, sedangkan pilihan kedua tentu saja banyak masalahnya."[10] Muawiyah bermaksud menyelesaikan masalah ini dengan menunjuk anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai penerusnya. Pada 676, ia mengumumkan pencalonan Yazid, tetapi pewarisan kekuasaan belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam sehingga hal ini banyak ditentang berbagai kalangan dan dianggap merusak institusi kekhalifahan menjadi sebuah kerajaan.[12][13] Muawiyah mengadakan majelis syura di Damaskus dan membujuk perwakilan berbagai wilayah melalui diplomasi, suap, serta ancaman.[10][14] Putra-putra dari para sahabat terkemuka, termasuk Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dan Abdurrahman bin Abi Bakar, yang semuanya dapat mengklaim kekuasaan seandainya ditentukan melalui keturunan, menentang pencalonan ini.[15][16] Namun, ancaman dari Muawiyah dan diterimanya Yazid oleh berbagai kalangan di kekhalifahan memaksa mereka untuk diam.[14]
Sebelum Muawiyah meninggal pada April 680, ia memperingatkan Yazid bahwa Husain serta Ibnu Zubair mungkin akan menentangnya, dan mendesak Yazid untuk melawan dan mengalahkan mereka jika hal itu terjadi. Ibnu Zubair bahkan dianggap berbahaya dan harus diperlakukan keras, kecuali jika ia menerima perdamaian.[17] Saat Yazid naik takhta, ia memerintahkan wali negeri Madinah, Walid bin Utbah bin Abi Sofyan untuk menuntut baiat (sumpah setia) dari Husain, Ibnu Zubair, dan Abdullah bin Umar, jika perlu dengan paksaan. Walid lalu meminta saran kerabatnya Marwan bin al-Hakam. Ia menyarankan Ibnu Zubair dan Husain harus dipaksa melakukan baiat, sedangkan Ibnu Umar bisa dibiarkan saja karena tidak berbahaya. Walid memanggil kedua tokoh tersebut, tetapi Ibnu Zubair melarikan diri ke Mekkah.[18] Menurut sejarawan Ath-Thabari, Husain mendatangi Walid tetapi menolak melakukan baiat dalam pertemuan yang rahasia itu, dan menyarankan melakukannya di depan umum. Marwan mengancam memenjarakan Husain, tetapi Walid tidak sampai hati melakukannya mengingat Husain adalah cucu Muhammad. Beberapa hari kemudian, Husain bertolak ke Mekkah tanpa melakukan baiat.[19] Ibnu Umar tidak berada di Madinah pada saat itu, dan pada saat kembali ia berbaiat kepada Yazid.[20] Sejarawan Fred Donner menulis bahwa isu kepemimpinan umat masih belum diselesaikan dalam Perang Saudara I, dan kematian Muawiyah pada April 680 membuka kembali perbedaan pendapat tentang hal ini.[9] Menurut pakar kajian Islam G. R. Hawting, "... ketegangan dan tekanan-tekanan yang diberangus oleh Muawiyah terbuka kembali saat Yazid menjadi khalifah dan meletus setelah kematiannya, ketika kekuasaan Umayyah sempat memudar."[16]
Pemberontakan terhadap Yazid
Pemberontakan Husain bin Ali
Husain memiliki banyak pendukung di Kufah, yang merupakan ibu kota kekhalifahan ayahnya dan kakaknya Hasan. Penduduk Kufah ikut berperang melawan kubu Umayyah selama Perang Saudara I.[21] Mereka merasa kecewa dengan turunnya Hasan,[22] dan beberapa kali mengirim utusan agar Hasan memberontak terhadap Umayyah, tetapi Hasan menolak.[23] Setelah wafatnya Hasan pada 669, mereka berusaha membujuk Husain untuk memberontak terhadap Muawiyah, tetapi ia menolak dan ingin tetap menghormati perjanjian abangnya dengan Muawiyah selama khalifah Umayyah tersebut masih hidup.[24] Setelah Muawiyah wafat, mereka membujuknya lagi. Saat Husain berada di Mekkah, para pendukungnya di Kufah menyuratinya dan memintanya memimpin pemberontakan melawan Yazid. Husain mengirim sepupunya Muslim bin Aqil untuk mencari tahu lebih lanjut. Ibnu Aqil mendapat dukungan besar di Kufah dan menyarankan agar Husain bergabung dengan mereka. Yazid mencopot Wali Negeri Kufah Nu'man bin Basyir al-Anshari yang dianggap gagal menindak aktivitas anti-Umayyah ini, dan menggantinya dengan Wali Negeri Bashrah Ubaidullah bin Ziyad dengan perintah memenjarakan atau menghukum mati Ibnu Aqil. Ibnu Ziyad berhasil memadamkan pemberontakan dan mengeksekusi Ibnu Aqil.[25] Husain, yang menerima surat Ibnu Aqil tetapi tidak mengetahui perihal kematiannya, berangkat menuju Kufah. Ibnu Ziyad menempatkan pasukan di berbagai jalan menuju Kufah untuk mencari Husain. Husain ditemukan di Karbala, sebuah kawasan gurun di utara Kufah. Sekitar 4.000 pasukan Umayyah bergerak ke Karbala untuk menundukkan Husain. Setelah beberapa hari berunding, Husain menolak tunduk dan tewas bersama sekitar 70 pengiringnya (sebagian besar kerabat dan sahabat dekat) dalam sebuah pertempuran di Karbala pada 10 Oktober 680.[25][26]
Perlawanan di Mekkah dan Madinah
Setelah tewasnya Husain, tantangan utama terhadap Yazid datang dari Abdullah bin Zubair, putra sahabat Nabi Zubair bin Al-Awwam serta cucu khalifah pertama Abu Bakar. Ibnu Zubair diam-diam mengumpulkan baiat dari berbagai kalangan di Mekkah,[27] walaupun secara terbuka ia hanya meminta diadakan syura untuk memilih khalifah baru.[28] Awalnya, Yazid berusaha membujuknya dengan menawarkan hadiah rantai koin perak serta delegasi untuk berunding.[27] Ibnu Zubair menolak perundingan dan selanjutnya Yazid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Amr bin Zubair, saudara Abdullah bin Zubair. Pasukan Umayyah ini dikalahkan dan Amr terbunuh.[29] Pengaruh Ibnu Zubair menyebar ke Madinah, yang penduduknya juga kecewa dengan kekuasaan Umayyah dan dengan program pertanian Muawiyah yang melibatkan penyitaan tanah penduduk oleh pemerintah.[30] Yazid mengundang para pemuka Madinah ke Damaskus dan memberi mereka berbagai hadiah agar mereka tunduk. Upaya ini gagal, dan saat kembali ke Madinah mereka justru mengabarkan kisah tentang kemewahan Yazid dan perbuatan-perbuatannya yang dianggap tidak Islami, seperti meminum anggur, berburu dengan anjing, dan mendengarkan musik. Penduduk Madinah, di bawah pimpinan Abdullah bin Hanzhalah, menyatakan tidak lagi tunduk pada Yazid dan mengusir wali negeri beserta para petinggi Umayyah di kota itu. Yazid mengirimkan 12.000 tentara yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menundukkan kawasan Hijaz termasuk Mekkah dan Madinah. Setelah perundingan gagal, pasukan Umayyah menundukkan pasukan Madinah dalam Pertempuran al-Harrah, dan menjarah Madinah selama tiga hari.[31][32] Berbagai sumber sejarah menyebutkan antara 4.000 hingga 10.000 penduduk Madinah yang tewas akibat peristiwa ini, termasuk pemimpin mereka Abdullah bin Hanzhalah serta 180 hingga 700 orang lainnya dari golongan Muhajirin dan Anshar.[33] Para pemberontak Madinah dipaksa untuk kembali berbaiat kepada Yazid, dan pasukan Umayyah bergerak menuju Mekkah untuk menundukkan Ibnu Zubair.[31][32]
Ibnu Uqbah meninggal dalam perjalanan menuju Mekkah dan pasukan Umayyah lalu dipimpin Husain bin Numair, yang memulai Pengepungan Mekkah pada September 683. Mekkah dikepung selama beberapa minggu, dan Ka'bah sempat terbakar. Pengepungan berakhir setelah Yazid meninggal pada November 683. Ibnu Numair berusaha membujuk Ibnu Zubair untuk mengikutinya ke Syam dan diangkat sebagai khalifah di sana, tetapi ia menolak dan Ibnu Numair mundur dari Hijaz bersama pasukannya.[34]
Kekhalifahan tandingan Ibnu Zubair
Setelah wafatnya Yazid serta mundurnya pasukan Umayyah, Ibnu Zubair secara de facto menjadi penguasa Hijaz dan seluruh semenanjung Arab, dengan ibu kota di Mekkah. Ia secara terbuka menyatakan dirinya khalifah seluruh umat Islam, dan kawasan Irak serta Mesir pun lalu tunduk padanya.[35] Ia mengirimkan wali negeri ke Mesir serta Kufah dan Bashrah di Irak. Posisi wali negeri Bashrah dipegang oleh adiknya Mush'ab.[36] Koin dengan namanya juga dicetak di kawasan selatan Persia (Fars dan Kirman),[34][37] tetapi sebagian daerah Syam tetap berada di bawah kekuasaan Umayyah.[38]
Konflik memperebutkan Syam
Setelah wafatnya Yazid, kekhalifahan Umayyah berpindah ke tangan putranya yang telah ia tunjuk, Muawiyah II. Namun, kekuasaan Muawiyah bin Yazid hanya terbatas ke sebagian wilayah Syam.[38] Setelah jatuhnya Mesir dan semenanjung Arab ke tangan Ibnu Zubair, para pemuka Irak mengusir wali negeri Umayyah Ubaidullah bin Ziyad.[34] Beberapa bulan kemudian, Muawiyah bin Yazid meninggal tanpa penerus yang jelas. Banyak kabilah-kabilah Syam bagian utara, dipimpin kabilah Banu Qais, serta wali negeri di berbagai distrik Syam yaitu Hims, Qinnasrin, dan Filastin (Palestina), yang berpindah ke kubu Ibnu Zubair.[39] Bahkan Wali Negeri Damaskus Dahhak bin Qais serta beberapa pemuka Umayyah termasuk Marwan bin al-Hakam, juga mempertimbangkan untuk tunduk pada Ibnu Zubair.[40] Tokoh utama pendukung Muawiyah II adalah Ibnu Bahdal, seorang panglima militer dan pemimpin kabilah pro-Umayyah Banu Kalb. Ia berkuasa di distrik al-Urdunn (Yordania) dan memiliki pendukung di sebagian Damaskus.[41] Ibnu Bahdal memiliki ikatan pernikahan dengan keluarga para khalifah Umayyah sebelumnya dan memiliki kedekatan dengan istana. Ia ingin mengangkat adik Muawiyah, Khalid bin Yazid, sebagai khalifah.[42] Di sisi lain, Ibnu Ziyad membujuk Marwan untuk mengajukan diri karena Khalid dianggap terlalu muda untuk menjadi khalifah. Setelah perdebatan, Marwan diangkat sebagai khalifah oleh sebuah syura di kalangan pro-Umayyah di Jabiyah pada Juni 684.[39] Pihak pendukung Ibnu Zubair di Syam menolak kekuasaan Marwan dan kedua kubu berhadapan dalam Pertempuran Marj Rahith dekat Damaskus pada Agustus 684. Para pendukung Ibnu Zubair yang dipimpin oleh Dahhak bin Qais mengalami kekalahan, dan banyak anggota serta pimpinannya tewas.[42]
Naiknya Marwan menjadi titik balik di Syam karena ia berhasil mengukuhkan kekuasaan Umayyah di daerah tersebut. Ia mulai beralih mengembalikan kekuasaan Umayyah di wilayah lain.[43] Marwan dan anaknya Abdul Aziz bin Marwan mengusir wali negeri Ibnu Zubair di Mesir dengan bantuan kabilah setempat.[43] Serangan Mush'ab bin Zubair ke Palestina berhasil dipatahkan dan pihak Umayyah melancarkan serangan ke Hijaz tetapi dikalahkan di dekat Madinah.[44] Ibnu Ziyad dikirim untuk merebut Irak.[44] Marwan wafat pada April 685 dan digantikan oleh putranya Abdul Malik.[43]
Di kawasan timur
Pada masa sekitar kematian Yazid, wali negeri Umayyah di Sijistan (kini timur Iran) Yazid bin Ziyad mengalami pemberontakan dari Dinasti Zunbil, penguasa bawahan Umayyah di Zabulistan, ujung timur kekhalifahan. Para pemberontak berhasil menawan saudara sang wali negeri, Abu Ubaidah. Yazid bin Ziyad menyerang kubu Zunbil tetapi kalah dan terbunuh. Saudaranya yang lain, Salm bin Ziyad, wali negeri Khurasan (kini di utara Iran serta sebagian Asia Tengah dan Afganistan), mengirim Thalhah bin Abdullah al-Khuza'i sebagai wali negeri Sijistan yang baru. Thalhah membayar tebusan untuk membebaskan Abu Ubaidah, tetapi meninggal tak lama setelah itu. Pudarnya kekuasaan pusat kekhalifahan Umayyah mengakibatkan meletusnya konflik antar kabilah-kabilah Arab yang menempati kawasan ini pascapenaklukan oleh Umayyah. Penerus Thalhah yang berasal dari suku Rabi'ah ditentang dan disingkirkan oleh suku saingannya Banu Mudhar. Perang antarsuku berlanjut hingga setidaknya akhir tahun 685, saat wali negeri dari Ibnu Zubair yang bernama Abdul Aziz bin Abdullah bin Amir datang. Ia menghentikan perang antarsuku dan memadamkan pemberontakan Zunbil.[45][46] Di Khurasan, Salm menyembunyikan berita kematian Khalifah Yazid hingga akhirnya diketahui secara umum. Ia lalu meminta baiat terhadap dirinya sendiri, tetapi tak lama kemudian ia diusir dari Khurasan pada pertengahan 684. Ia menunjuk seorang Banu Mudhar bernama Abdullah bin Khazim al-Sulami sebagai wali negeri Khurasan. Ibnu Khazim mengakui kekuasaan Ibnu Zubair tetapi kekuasaannya terganggu oleh perang antara suku Rabi'ah dan Banu Mudhar. Suku Rabi'ah menolak kekuasaan Ibnu Zubair karena permusuhannya terhadap Ibnu Khazim dan Banu Mudhar. Ibnu Khazim berhasil memadamkan perlawanan suku Rabi'ah tetapi lalu menghadapi pemberontakan dari Banu Tamim.[47][48] Perang antarsuku di Khurasan berlanjut bertahun-tahun dan Ibnu Khazim terbunuh pada 691.[49] Kekuasaan Ibnu Zubair di wilayah ini hanya ada di atas kertas, terutama di Khurasan karena Ibnu Khazim bertindak hampir layaknya penguasa merdeka.[50]
Perpecahan kubu Ibnu Zubair
Awalnya, Ibnu Zubair bersekutu dengan kaum Khawarij, yakni kelompok pemberontak yang melawan kekuasaan Ali maupun Umayyah dalam Perang Saudara I. Setelah menyatakan diri sebagai khalifah, Ibnu Zubair memisahkan diri dari kaum Khawarij karena ia menolak penafsiran Islam Khawarij maupun sistem pemerintahan mereka yang menolak pemerintahan terpusat.[51][52] Kelompok-kelompok Khawarij menyebar ke Bashrah serta semenanjung Arab bagian tengah dan mulai merongrong kekuasaan Ibnu Zubair. Selain itu, Ibnu Zubair juga kehilangan dukungan dari pemuka di Kufah, Mukhtar ats-Tsaqafi. Awalnya ia mendukung Ibnu Zubair melawan Yazid dan dijanjikan posisi tinggi dalam kekuasaan, Namun, ia tidak juga diangkat setelah menguatnya posisi Ibnu Zubair, sehingga ia pulang ke Kufah dan berusaha menanamkan sentimen pro-keturunan Ali pada pendukungnya.[53]
Para pendukung keluarga Ali
Pemberontakan Tawwabin
Beberapa pemuka di Kufah merasa bersalah karena gagal melindungi Husain setelah membujuknya memimpin pemberontakan. Mereka memulai sebuah gerakan anti-Umayyah yang dipimpin Sulaiman bin Shurad, seorang sahabat Nabi. Gerakan ini menyebut dirinya para Tawwabin ("mereka yang bertaubat"), karena merasa telah berdosa akibat terbunuhnya Husain. Kelompok ini bergerak diam-diam selama Banu Umayyah masih berkuasa di Irak. Setelah kematian Yazid pada November 683, penduduk Irak mengusir wali negeri Umayyah Ibnu Ziyad. Kelompok Tawwabin lalu menyerukan pembalasan atas kematian Husain secara terbuka dan mendapat banyak pengikut.[54] Tanpa program politik, mereka hanya bermaksud menghukum Banu Umayyah atau mengorbankan diri.[55] Sekembalinya Mukhtar ats-Tsaqafi di Kufah, ia mencoba membujuk kelompok para Tawwabin untuk tidak bertindak gegabah dan agar mereka membentuk gerakan teratur untuk mengambil alih kota itu. Upaya ini tidak berhasil karena kuatnya pengaruh Ibnu Shurad sebagai sahabat Nabi dan mantan sekutu Ali.[56] Awalnya 16.000 orang mendaftarkan diri dalam kelompok Tawwabin, tetapi hanya 4.000 yang hadir saat mobilisasi pasukan. Pada November 684, kelompok Tawwabin di bawah pimpinan Ibnu Shurad berangkat dari Kufah untuk menghadapi kubu Umayyah. Mereka singgah sehari di Karbala untuk meratap di makam Husain. Kedua kubu bertemu dalam Pertempuran Ain al-Wardah pada Januari 685 di utara Syam. Pertempuran ini berlangsung selama tiga hari, dan berakhir dengan tewasnya sebagian besar pasukan Tawwabin termasuk Ibnu Shurad. Sebagian kecil berhasil lolos ke Kufah.[54]
Pemberontakan Mukhtar ats-Tsaqafi
Mukhtar banyak beraktivitas setelah ia terpecah dari kubu Ibnu Zubair dan kembali di Kufah. Ia mendorong pembalasan terhadap kematian Husain dan diangkatnya putra Ali lainnya, Muhammad bin al-Hanafiyyah, sebagai khalifah.[57] Setelah kekalahan pasukan Tawwabin, ia menjadi pemimpin para pendukung keturunan Ali di Kufah. Pada Oktober 685, Mukhtar dan para pengikutnya yang termasuk banyak kaum mawali (penduduk non-Arab yang masuk Islam), melengserkan wali negeri yang ditunjuk Ibnu Zubair dan menguasai Kufah. Ia memperluas kekuasaannya ke sebagian besar Irak dan barat laut Iran.[58] Mukhtar mengalahkan perlawanan terhadapnya di Kufah dan membunuh para penduduk yang terlibat dalam pembunuhan Husain. Ribuan penduduk Kufah melarikan diri ke Bashrah. Ia lalu mengirim panglima Ibrahim bin al-Asytar untuk menghadapi pasukan Umayyah pimpinan Ibnu Ziyad yang dikirim untuk merebut kembali Kufah. Pasukan Umayyah dikalahkan dalam Pertempuran Khazir (Agustus 686) dan Ibnu Ziyad terbunuh.[59] Hubungan Mukhtar dengan Ibnu Zubair memburuk. Pengungsi dari Kufah di Bashrah mendesak Mushab bin Zubair, wali negeri Bashrah dan adik Abdullah bin Zubair, untuk menyerang Kufah. Mukhtar mengirim pasukan untuk menghadapi Mush'ab, tetapi dikalahkan dalam pertempuran di tempat bernama Madzar di Sungai Tigris antara Bashrah dan Kufah. Pasukan Mukhtar mundur ke Harura, sebuah desa dekat Kufah, tetapi diikuti pasukan Mush'ab dan dihancurkan dalam pertempuran Harura. Mukhtar dan pengikutnya berlindung di istana Kufah dan dikepung oleh Mush'ab. Pada April 687, Mukhtar terbunuh saat berusaha menyerang para pengepung. Sekitar 6.000 pengikutnya terpaksa menyerah, tetapi dihukum mati oleh Mush'ab.[60] Jatuhnya Mukhtar menyisakan dua kubu dalam perang saudara ini: kubu Umayyah dan kubu Ibnu Zubair.[61]
Kemenangan kubu Umayyah
Setelah berkuasanya Marwan pada Juni 684, ia mengirim Ibnu Ziyad untuk merebut Irak, dan ia berhasil mengalahkan kaum Tawwabin di Ain al-Warda. Setelah kekalahan mereka di Marj Rahith, Banu Qais menyusun kembali kekuatannya di utara Irak, melanjutkan perang untuk mendukung Ibnu Zubair, dan menggagalkan upaya Ibnu Ziyad selama setahun.[44] Setelah gagal mengalahkan Mukhtar di benteng pertahanannya, Ibnu Ziyad bergerak merebut Mosul dari penguasa bawahan Mukhtar. Mukhtar mengirim 3.000 pasukan berkuda untuk merebut kembali kota tersebut. Ia memenangkan sebuah pertempuran pada Juni 686, tetapi harus mundur dari pasukan Umayyah yang jauh lebih besar.[62]
Sebulan kemudian, pasukan Mukhtar yang telah mendapat bala bantuan ganti mengalahkan Ibnu Ziyad dalam Pertempuran Khazir.[63] Ibnu Ziyad sendiri terbunuh, sehingga Abdul Malik menunda rencananya merebut Irak dan memusatkan perhatiannya untuk mengukuhkan kekuasaannya di Syam.[64] Posisinya di Syam terancam oleh konflik internal dan serangan dari Romawi Timur.[65] Meskipun demikian, ia sempat memimpin dua serangan ke Irak (689 dan 690),[66] dan pesuruhnya menghasut sebuah pemberontakan di Bashrah terhadap Ibnu Zubair. Serangan maupun pemberontakan tersebut mengalami kegagalan. Alhasil, wali negeri Mush'ab bin Zubair balik menghukum para pendukung Umayyah di Bashrah.[67]
Setelah gencatan senjata dengan Romawi Timur dan mengatasi masalah internal di Syam, Abdul Malik kembali menolehkan perhatiannya ke Irak.[65] Pada 691, ia mengepung benteng Banu Qais di utara Irak. Setelah gagal menembus pertahanan Banu Qais, ia berhasil mengajak kabilah tersebut untuk bergabung dengan menawarkan konsesi politik serta janji pengampunan atas pemberontakan mereka.[68][69] Dengan sekutu baru ini Abdul Malik maju untuk menghadapi Mush'ab,[65] yang posisinya di Irak mulai melemah. Kaum Khawarij melakukan serangan-serangan terhadap pemerintah di Persia, Irak dan Semenanjung Arab. Di Irak dan Persia, kelompok Azariqah, salah satu faksi Khawarij, merebut Fars serta Kirman pada 685 dan terus menentang Mush'ab.[70][68] Penduduk Kufah dan Bashrah juga mulai membencinya akibat tindakan tangan besinya serta pembunuhan terhadap pendukung Mukhtar dan Abdul Malik.[71] Alhasil, mantan pengikut Ibnu Zubair banyak membelot ke pihak Umayyah. Mush'ab harus meninggalkan setengah pasukannya di Bashrah untuk menghalau kaum Khawarij, dan tidak memiliki kekuatan cukup untuk menghadapi Abdul Malik. Ia dikalahkan dan terbunuh dalam Pertempuran Maskin pada Oktober 691.[65][71]
Setelah Irak dan wilayah sekitarnya jatuh ke tangan Abdul Malik, khalifah Umayyah tersebut mengirim panglimanya Al-Hajjaj bin Yusuf untuk menghadapi Abdullah bin Zubair, yang pusat kekuasaannya di Hijaz sedang diancam oleh kelompok Khawarij di bawah pimpinan Najdah bin Amir.[68] Najdah mendirikan sebuah negara merdeka di kawasan Najd dan Yamamah di semenanjung Arabia pada 685,[70] merebut Yaman dan Hadhramaut pada 688, serta menduduki Thaif pada 689.[51] Al-Hajjaj tidak langsung menyerang ibu kota Ibnu Zubair di Mekkah, tetapi bergerak menuju Thaif dan mengalahkan pasukan pendukung Ibnu Zubair dalam beberapa bentrokan kecil. Pasukan Umayyah lain merebut Madinah dari kubu Ibnu Zubair, dan bergabung dengan Al-Hajjaj yang mengepung Mekkah pada Maret 692.[72][73] Kota suci itu dikepung selama enam atau tujuh bulan, berakhir dengan menyerahnya pasukan Ibnu Zubair dan dibunuhnya pemimpin mereka pada September atau Oktober 692.[72][73] Dengan meninggalnya sang khalifah tandingan, daerah Hijaz jatuh ke tangan Umayyah dan kubu Umayyah telah memenangi perang saudara di antara umat Islam.[74] Walaupun setelah ini masih ada rongrongan dari kaum Khawarij, perlawanan kelompok ini pun kelak akan dipadamkan.[75]
Tinggalan sejarah
Dengan kemenangan Khalifah Abdul Malik, kekuasaan Banu Umayyah pulih dan sistem kekhalifahan yang mengikuti garis keturunan dikukuhkan. Abdul Malik beserta keturunan dan keponakannya berkuasa selama 58 tahun selanjutnya, sebelum dijatuhkan dalam Revolusi Abbasiyah pada tahun 750.[76]
Perubahan pemerintahan kekhalifahan
Setelah memenangkan perang saudara, Abdul Malik mulai menata ulang sistem pemerintahan kekhalifahan. Muawiyah berkuasa melalui berbagai hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh yang setia kepadanya dan tak banyak mengandalkan hubungan kekerabatan.[77] Walaupun ia telah memiliki tentara profesional di Syam, satuan ini hanya dikerahkan dalam serangan terhadap Romawi Timur. Di dalam negeri, ia mengandalkan kemampuan diplomasi untuk menjalankan perintahnya.[78] Para wali negeri mengandalkan para pemuka suku (asyraf) setempat untuk berhubungan dengan masyarakat, alih-alih pegawai pemerintah.[79] Kekuatan militer di daerah mengandalkan kabilah-kabilah setempat dan dipimpin oleh para asyraf.[79] Penguasa daerah dapat menyimpan pendapatan wilayahnya setelah mengirim sedikit upeti ke istana.[78][80] Sistem pemerintahan pra-Islam, termasuk bekas pejabat Persia dan Romawi Timur dipertahankan. Bahasa daerah digunakan sebagai bahasa resmi setempat, dan mata uang Romawi Timur maupun Persia digunakan di bekas daerah kedua imperium tersebut.[81]
Bagi Abdul Malik, membelotnya para asyraf seperti Dahhak dan Ibnu Khazim ke kubu Ibnu Zubair menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Muawiyah yang mengandalkan desentralisasi, diplomasi, dan hubungan pribadi sulit untuk dipertahankan. Ia memulai upaya menguatkan pemerintahan pusat.[76] Tentara profesional dibentuk di Syam dan dapat digunakan untuk memaksakan kehendak istana ke daerah-daerah.[82] Jabatan-jabatan kunci pemerintahan diberikan kepada kerabat dekat khalifah. Abdul Malik juga mewajibkan para wali negeri untuk mengirim surplus anggaran daerah ke pemerintah pusat.[83] Selain itu, bahasa Arab dijadikan bahasa resmi pemerintahan dan koin Arab menggantikan koin Romawi Timur maupun Persia.[84] Ia menghentikan tunjangan tetap yang diberikan pada veteran perang penaklukan yang telah pensiun dan menetapkan gaji tetap untuk tentara aktif.[85] Sistem yang dimulai Abdul Malik ini kelak akan diteruskan dengan berbagai penyesuaian oleh banyak pemerintahan Muslim setelahnya.[76]
Perpecahan Sunni-Syiah dan konsep Mahdi
Terbunuhnya Husain bin Ali mendapat kecaman luas dan menjadi salah satu faktor terbentuknya gerakan anti-Umayyah yang didasarkan dengan kecintaan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.[86] Peristiwa Karbala sering dianggap sebagai dimulainya perpecahan Islam Sunni dan Syiah secara nyata. Hingga saat ini, peristiwa tersebut diperingati Muslim Syiah dalam Hari Asyura.[87] Peristiwa ini juga berperan memberi dimensi agama terhadap identitas golongan Syiah yang sebelumnya didominasi dimensi politik.[88][28] Masa ini juga ditandai dengan meluasnya pengikut Syiah ke bangsa non-Arab akibat pemberontakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[89] Ia berhasil menggerakan golongan Muslim non-Arab dengan memperhatikan keluhan-keluhan mereka yang merasa terpinggirkan.[90] Inilah pertama kalinya Muslim non-Arab memegang peran politik aktif dalam sejarah kekhalifahan.[91][92] Walaupun pemberontakannya gagal, gagasan Mukhtar dilanjutkan oleh kelompok Kaisaniyyah, sebuah sekte Syiah radikal, yang mengembangkan gagasan akidah dan tentang akhir zaman yang banyak mempengaruhi pemikiran Syiah selanjutnya.[93] Kelompok Abbasiyah kelak akan memanfaatkan jaringan propaganda rahasia kalangan Kaisaniyyah semasa pergolakannya melawan Umayyah, dan pendukung Abbasiyah pun banyak berasal dari kaum Syiah maupun non-Arab.[94][95]
Perang Saudara II juga mengembangkan gagasan "Imam Mahdi" atau juru selamat akhir zaman dalam Islam.[96] Mukhtar menyematkan gelar Mahdi ke putra Ali yang ia dukung, Muhammad bin al-Hanafiyyah.[96] Walaupun gelar ini (secara harfiah: "yang mendapat petunjuk") sebelumnya pernah disematkan untuk Muhammad, Ali, Husain, dan tokoh-tokoh lain sebagai penghormatan, Mukhtar menggunakan istilah ini dalam arti seseorang yang mendapat petunjuk dari Allah untuk menjadi juru selamat umat Islam.[97][98] Gagasan ini kelak diterima luas sebagai doktrin agama Islam, terutama dalam Islam Syiah.[99]
Pemberontakan Ibnu Zubair banyak dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan umat Islam ke keadaan murni di masa-masa awalnya, dan disambut oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan kekuasaan Umayyah dengan berbagai sebab.[100][101] Bagi pendukungnya, kekalahan Ibnu Zubair menghancurkan harapan mengembalikan kondisi awal negara Islam yang mereka idam-idamkan.[101] Beberapa sejarawan, seperti Wilferd Madelung dan Saïd Amir Arjomand, menganggap kekhalifahan tandingan Ibnu Zubair berperan mengembangkan konsep Imam Mahdi dalam Islam. Beberapa aspek riwayat hidupnya (seperti perebutan kekhalifahan setelah kematian seorang khalifah, pengungsian dari Madinah ke Mekkah, berlindung di dekat Ka'bah, mengalahkan pasukan milik seorang putra dari ibu Banu Kalb (Yazid), pengakuan oleh "orang-orang saleh" Syam dan Irak) dikaitkan dengan hadis-hadis tentang Mahdi.[97][102][103]
Konflik antarsuku
Pada masa ini, terutama setelah Pertempuran Marj Rahith, perpecahan Qais-Kalb (disebut juga Qais-Yaman) mulai terjadi di antara suku-suku Arab. Konflik ini juga diiringi permusuhan antara Banu Mudhar dan Banu Tamim melawan Rabi'ah dan Banu Azad di Irak. Berbagai konflik ini memunculkan dua konfederasi kesukuan atau kelompok besar di seluruh kekhalifahan, yaitu kelompok "Arab Utara" yang termasuk Qais dan Mudhar, serta kelompok "Arab Selatan" atau Yaman. Konfederasi ini lebih didikte pertimbangan politik alih-alih geografi, misalnya kalangan Rabi'ah terletak di utara tetapi termasuk dalam kelompok "selatan".[104][105] Para khalifah Umayyah berusaha menjembatani dan menyeimbangkan kedua kubu ini, tetapi perpecahan dan permusuhan mereka akan menjadi unsur tetap dalam politik dunia Arab selama beberapa dasawarsa. Bahkan suku yang awalnya netral dapat terseret untuk bergabung dalam salah satu kelompok besar ini. Pergulatan demi kekuasaan dan pengaruh terus berjalan dan mendominasi kekhalifahan Umayyah dan memicu ketidakstabilan di daerah-daerah kekhalifahan, berujung pada pecahnya Perang Saudara Islam III dan berdampak pada jatuhnya kekuasaan Umayyah ke tangan Dinasti Abbasiyah.[106] Perpecahan ini tidak berhenti sampai di sana, menurut sejarawan Hugh Kennedy, "bahkan hingga abad ke-19, masih ada pertempuran di Palestina yang mengatasnamakan kelompok Qais dan Yaman."[107]
Catatan
- ^ Kata fitnah (bahasa Arab: فتنة, "ujian" atau "cobaan") dalam konteks ini berasal dari Al-Qur'an dalam arti ujian Allah terhadap iman umat Muslim maupun sebagai hukuman Allah terhadap dosa-dosa mereka. Dalam sejarah Islam, kata ini digunakan untuk menyebut perang saudara ataupun pemberontakan yang mengakibatkan pecahnya kesatuan umat dan menguji keimanan.[1]
Referensi
- ^ Gardet 1965, hlm. 930.
- ^ Donner 2010, hlm. 146.
- ^ Donner 2010, hlm. 157–159.
- ^ Donner 2010, hlm. 161–162.
- ^ Donner 2010, hlm. 166.
- ^ Donner 2010, hlm. 167.
- ^ Donner 2010, hlm. 170–171.
- ^ Donner 2010, hlm. 171–172.
- ^ a b Donner 2010, hlm. 177.
- ^ a b c Lewis 2002, hlm. 67.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 140.
- ^ Madelung 1997, hlm. 322.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 76.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 141–145.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 142.
- ^ a b Hawting 2000, hlm. 46.
- ^ Lammens 1921, hlm. 5–6.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 145–146.
- ^ Howard 1991, hlm. 5–7.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 146.
- ^ Daftary 1992, hlm. 47.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 61.
- ^ Daftary 1992, hlm. 48-49.
- ^ Daftary 1992, hlm. 49.
- ^ a b Donner 2010, hlm. 178.
- ^ Daftary 1992, hlm. 50.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 148–150.
- ^ a b Kennedy 2016, hlm. 77.
- ^ Donner 2010, hlm. 180.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 76–77.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 152–156.
- ^ a b Donner 2010, hlm. 180–181.
- ^ Veccia Vaglieri 1971, hlm. 227.
- ^ a b c Hawting 2000, hlm. 48.
- ^ Donner 2010, hlm. 181–182.
- ^ Donner 2010, hlm. 182.
- ^ Rotter 1982, hlm. 85.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 168–169.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 182.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 171–174.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 170–171.
- ^ a b Kennedy 2016, hlm. 78–79.
- ^ a b c Kennedy 2016, hlm. 80.
- ^ a b c Wellhausen 1927, hlm. 185–186.
- ^ Dixon 1971, hlm. 104–105.
- ^ Rotter 1982, hlm. 87–88.
- ^ Dixon 1971, hlm. 105–108.
- ^ Rotter 1982, hlm. 89–92.
- ^ Dixon 1971, hlm. 110.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 239, 241.
- ^ a b Gibb 1960, hlm. 55.
- ^ Lewis 2002, hlm. 76.
- ^ Dixon 1971, hlm. 34.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 71–74.
- ^ Sharon 1983, hlm. 104–105.
- ^ Dixon 1971, hlm. 37.
- ^ Daftary 1992, hlm. 52.
- ^ Dixon 1971, hlm. 45.
- ^ Hawting 2000, hlm. 53.
- ^ Dixon 1971, hlm. 73–75.
- ^ Hawting 2000, hlm. 47–49.
- ^ Dixon 1971, hlm. 59–60.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 186.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 81.
- ^ a b c d Gibb, H. A. R. 1960, hlm. 76.
- ^ Dixon 1971, hlm. 126–127.
- ^ Dixon 1971, hlm. 127–129.
- ^ a b c Kennedy 2016, hlm. 84.
- ^ Dixon 1971, hlm. 92–93.
- ^ a b Rotter 1982, hlm. 84.
- ^ a b Lammens & Pellat 1993, hlm. 649–650.
- ^ a b Wellhausen 1927, hlm. 188–189.
- ^ a b Gibb 1960, hlm. 54.
- ^ Donner 2010, hlm. 188.
- ^ Gibb, H. A. R. 1960, hlm. 77.
- ^ a b c Kennedy 2016, hlm. 85.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 137.
- ^ a b Kennedy 2016, hlm. 72.
- ^ a b Crone 1980, hlm. 31.
- ^ Crone 1980, hlm. 32–33.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 75–76.
- ^ Hawting 2000, hlm. 62.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 85–86.
- ^ Lewis 2002, hlm. 78.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 89.
- ^ Lewis 2002, hlm. 68.
- ^ Hawting 2000, hlm. 50.
- ^ Halm 1997, hlm. 16.
- ^ Daftary 1992, hlm. 51–52.
- ^ Daftary 1992, hlm. 55–56.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 79–80.
- ^ Hawting 2000, hlm. 51–52.
- ^ Daftary 1992, hlm. 59–60.
- ^ Daftary 1992, hlm. 62.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 504–506.
- ^ a b Arjomand 2016, hlm. 34.
- ^ a b Madelung 1986, hlm. 1231.
- ^ Sachedina 1981, hlm. 9.
- ^ Hawting 2000, hlm. 52.
- ^ Hawting 2000, hlm. 49.
- ^ a b Madelung 1971, hlm. 1164.
- ^ Madelung 1981.
- ^ Arjomand 2007, hlm. 134–136.
- ^ Hawting 2000, hlm. 54–55.
- ^ Kennedy 2001, hlm. 105.
- ^ Kennedy 2001, hlm. 99–115.
- ^ Kennedy 2001, hlm. 92.
Daftar pustaka
- Arjomand, Saïd A. (2007). "The Concept of Mahdi in Sunni Islam". Encyclopaedia Iranica. 14. Encyclopædia Iranica Foundation. Diakses tanggal 2 May 2019.
- Arjomand, Saïd A. (2016). Sociology of Shiʿite Islam: Collected Essays. Leiden: BRILL. ISBN 978-90-04-32627-9.
- Crone, Patricia (1980). Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity. Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-52940-9.
- Daftary, Farhad (1992). The Isma'ilis: Their History and Doctrines. Cambridge, England: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-42974-0.
- Dixon, Abd al-Ameer A. (1971). The Umayyad Caliphate, 65-86/684-705 (a Political Study). London: Luzac. ISBN 978-0718901493.
- Donner, Fred M. (2010). Muhammad and the Believers, at the Origins of Islam. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-05097-6.
- Gardet, Louis (1965). "Fitna". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 930–931. OCLC 495469475.
- Gibb, H. A. R. (1960). "ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 54–55. OCLC 495469456.
- Gibb, H. A. R. (1960). "ʿAbd al-Malik b. Marwān". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 76–77. OCLC 495469456.
- Halm, Heinz (1997). Shia Islam: From Religion to Revolution. Diterjemahkan oleh Allison Brown. Princeton: Markus Wiener Publishers. ISBN 1-55876-134-9.
- Hawting, Gerald R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (edisi ke-2). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Howard, I. K. A., ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XIX: The Caliphate of Yazīd ibn Muʿāwiyah, A.D. 680–683/A.H. 60–64. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0040-1.
- Kennedy, Hugh N. (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London: Routledge. ISBN 0-415-25093-5.
- Kennedy, Hugh N. (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. Boston: Da Capo Press. ISBN 978-0-306-81585-0.
- Kennedy, Hugh (2023). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-3). Abingdon, Oxon and New York: Routledge. ISBN 978-0-367-36690-2.
- Lammens, Henri (1921). Le Califat de Yazid Ier (dalam bahasa Prancis). Beirut: Imprimerie Catholique Beyrouth.
- Lammens, Henri; Pellat, Charles (1993). "Mus'ab b. al-Zubayr". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VII: Mif–Naz (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 649–650. ISBN 978-90-04-09419-2.
- Lewis, Bernard (2002). Arabs in History. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-164716-1.
- Madelung, Wilferd (1971). "Imāma". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1163–1169. OCLC 495469525.
- Madelung, Wilferd (1981). "ʿAbd Allāh b. al-Zubayr and the Mahdi". Journal of Near Eastern Studies. 40 (4): 291–305. doi:10.1086/372899.
- Madelung, Wilferd (1986). "Al–Mahdi". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume V: Khe–Mahi (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1230–1238. ISBN 978-90-04-07819-2.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge, England: Cambridge University Press. ISBN 0-521-64696-0.
- Rotter, Gernot (1982). Die Umayyaden und der zweite Bürgerkrieg (680-692) (dalam bahasa Jerman). Wiesbaden: Deutsche Morgenländische Gesellschaft. ISBN 9783515029131.
- Sachedina, Abdulaziz A. (1981). Islamic Messianism: The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-442-6.
- Sharon, Moshe (1983). Black Banners from the East: The Establishment of the ʻAbbāsid State : Incubation of a Revolt. Jerusalem: JSAI. ISBN 978-965-223-501-5.
- Veccia Vaglieri, Laura (1971). "Al-Ḥarra". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 226–227. OCLC 495469525.
- Watt, W. Montgomery (1973). The Formative Period Of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
- Wellhausen, Julius (1901). Die religiös-politischen Oppositionsparteien im alten Islam (dalam bahasa Jerman). Berlin: Weidmannsche buchhandlung. OCLC 453206240.
- Wellhausen, Julius (1927). The Arab Kingdom and its Fall. Diterjemahkan oleh Margaret Graham Weir. Calcutta: University of Calcutta. OCLC 752790641.