H.A.S. Hanandjoeddin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk nama bandara, lihat: Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin.
H.A.S. Hanandjoeddin
Bupati Belitung ke-8
Masa jabatan
1967–1972
Sebelum
Pendahulu
Wahab Aziz
Pengganti
Koesnio Hadi
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1910-08-05)5 Agustus 1910
Tanjung Tikar, Sungai Samak, Badau, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Hindia Belanda
Meninggal5 Februari 1995(1995-02-05) (umur 84)
Tanjung Pandan, Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia
KewarganegaraanIndonesian
Suami/istriHatimah
Musriah
Anak10
Orang tuaMohammad Djoeddin bin Ali (Ayah)
Selamah (Ibu)
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Udara
Masa dinas1946 - 1972
Pangkat Letnan Kolonel
SatuanKopasgat
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letnan Kolonel Pas (Purn.) Haji A.S. Hanandjoeddin (5 Agustus 1910 – 5 Februari 1995) adalah tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, yang juga pernah menjabat sebagai Bupati Belitung ke delapan pada tahun 1967 hingga 1972. Namanya kini diabadikan sebagai nama Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin di Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.

Hanan lahir di Tanjungtikar, Sungai Samak, Badau, Belitung, sebagai anak seorang peladang. Ia mulai bersekolah di Volk School dan dilanjutkan hingga Ambacht School (AS). Setelah lulus, Ia mulai bekerja sebagai bank werken (pekerja teknik) di Naamloze Vennootschap Gameenchapppelijke Mijnbouwmaschaappij Biliton (NV GMB) di Manggar dan kemudian dipindahkan ke Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM) di Pulau Bintan. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Ozawa Buntai hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana ia mulai membantu perbaikan pelbagai pesawat yang ada di Pangkalan Bugis.

"A.S." pada namanya, adalah gelar yang diberikan oleh Bung Karno, "Akademi Senter", yang berarti sekolah, tempat menempa diri (Akademi) dan Senter yang berarti pusat pelaksana. Pemberian gelar tersebut didapatkannya ketika menghadapnya di Gedung Agung bersama dengan Soerjadi Soerjadarma dan Abdulrachman Saleh.[1]

Hanan, menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remajanya di Tanjung Tikar, Belitung hingga akhirnya ia pindah ke Tanjungpandan sejak ia diasuh oleh keluarga Haji Hasyim dan Ibu Aminah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak ibunya, Selamah. Dan sejak itu ia mulai mendalami ilmu agama dengan belajar mengaji pada seorang guru, Kek Udin.[2][3]

Hanan mulai menempuh pendidikan umum mulai dari Sekolah Rakyat, atau Volk School atau dikenal juga dengan nama De Inlandsche School di Kampung Ume, Tanjungpandan.[4]

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]

Masa kecil[sunting | sunting sumber]

Kehidupan para Peladang Belitong yang dikenal juga sebagai "Urang Darat", warga yang tinggal di perkampungan pedalaman Pulau Belitung.[5]
Sebuah rumah warga di distrik Dendang, Belitung Timur

Hanandjoeddin dilahirkan di perkampungan peladang Tanjungtikar, Sungai Samak, Badau, Belitung, pada pukul 05:00 WIB, 05 Agustus 1910 dari ayah bernama Mohammad Djoeddin bin Ali dan Ibu, Selamah, dengan nama kecil "Hanan".[6][7][8][9] Ayahnya adalah seorang peladang berkemauan keras dan tinggal di kampung yang berbeda dari Ibunya. Ibu Selamah adalah satu dari empat bersaudara putra-i dari Bapak Idris, seorang peladang yang sejak abad ke-19 sudah membuka ladang-ladang di hutan-hutan sekitar Mempiu. Pak Idris memilliki empat orang anak, yaitu Selamah, Ba'ie, Minah dan Makhmud. Waktu itu, setelah menikah, Pak Idris mengajak ayah Hanandjoeddin untuk membuka ladang di dekat kawasan hutan Tanjungtikar yang berdekatan dengan laut untuk menanam padi. Ladang yang dibuka dengan laut sehingga memungkinkan mereka bisa mencari ikan di laut. Tanjungtikar berada di Kampung Telok Dalam, Distrik Tanjungpandan, Belitung. Daerah ini berjarak sekitar 15 Km dari pusat kotanya, dan setelah kemerdekaan daerah ini masuk ke wilayah Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung. Ketika lahir, Hanandjoeddin memiliki kulit yang bersih, coklat kemerahan dan montok serta mengeluarkan tangisan yang keras. Persalinannya dibantu oleh seorang pengguling atau dukun beranak wanita kenalan baik keluarga kakeknya, dimana ia sejak sore sebelumnya sudah ada di pondok Selamah ketika terlihat adanya tanda-tanda ia akan melahirkan. Tradisi saat itu di masyarakat Belitong, selalu memilih kata yang sederhana dalam menamai putra/putrinya, tak terlepas dengan Hanandjoeddin, dimana pada awalnya cuma diberi nama Hanan, dan para tamu yang berkunjung mengenalnya sebagai "Hanan bin Mohammad Djoeddin", dan nantinya lebih dikenal sebagai "Hanandjoeddin" atau "Bung Hanan" ketika ia akhirnya merantai ke Pulau Jawa. Acara syukuran atas kelahirannya diadakan setelah bayi berusia 40 hari dan ketika pesta banyak tamu lelaki. yang memakai songkok Sesam, yaitu peci yang terbuat dari anyaman pohon Resam, serta pada duduk bersila di lantai gelegar, lantai dari kayu gelondongan yang bersusun. Dalam acara syukuran itu para lelaki membaca doa Berzanji dengan dipimpin oleh seorang lebai kampong, julukan tetua adat Melayu Bitong di Islam.[2]

Ketika belum genap berumur dua tahun, Hanan diajak orangtuanya berkunjung ke sanak keluarganya di Distrik Dendang, Belitung Timur menemui Kik Tagor, kerabat dekat dari Pak Ali, kakek Hanan, yang merupakan orang terpandang di kampungnya. Kik Tgor, dikabarikan memiliki kekuatan Supranatural, dimana ketika Hanan digendongnya, spontan, ia menyampaikan bahwasanya kelak Hanan akan menjadi pemimpin Belitong suatu hari. Dimana hal ini akhirnya menjadi kenyataan, ketika ia menjadi Bupati Belitung ke delapan.[10]

Pasukan Komando Pasukan Gerak Cepat yang sedang berlatih di hutan

Selain Hanan, pasangan Djoeddin - Selamah memiliki dua orang anak lagi, yaitu Redinah, seorang anak perempuan yang dilahirkan pada tahun 1912 dan Hasri Djoeddin atau sering dipanggil Seri, seorang anak laki-laki yang dilahirkan pada tahun 1914. Sebagai anak dari keluarga peladang, kehidupannya di masa kecilnya cukup sederhana namun tidak pernah kekurangan makanan. Karena untuk padi bisa dengan mudah didapatkannya di "perregasan" (lumbung padi) dan untuk lauk pauknya cukup mudah memperoleh jenis-jenis ikan mengkawak, kelik dan linggang (sejenis Ikan Lele) dengan cara memancingnya di danau sekitar ladang. Ketika Hanan berusia enam tahun, Djoeddin dan Selamah bercerai karena Djoeddin menikah lagi dengan Madiyah dan tinggal di Kampung Ibul. Sedangkan Selamah dengan tiga orang anaknya kembali tinggal di Mempiu bersama kakeknya Pak Idris. Sebagai orang tua tunggal kehidupan mereka cukup kekurangan, bahkan Seri, adik bungsu Hanan, seringnya hanya diberi minum air tajin, karena Selamah tidak mampu untuk membeli susu. Untuk menopang perekonomian keluarganya, Selamah akhirnya berdagang kain hingga ke Pulau Betang. Dan ketika akhirnya pihak Kolonial Belanda membuka Passarlodsen di tengah kota Tanjungpandan, maka ia cukup berdagang dengan membeli barang dagangan di sana untuk kemudian dijual kembal di kampungnya.[11]

Hanan sering sekali membantu kakeknya membersihkan rerumputan liar yang tumbuh diantara sayur-sayuran yang ditanam di ladang. Di usianya yang menginjak umur sembilan tahun, ia dikhitan (sering dikenal sebagai tradisi "putong lancau") ala kampung. Dimana proses tersebut dilakukan tanpa peralatan medis maupun pembiusan lokal. Sebelum seseorang dikhitan, ia diwajibkan untuk berendam di air minimal selama lima jam. Setelah itu ia akan dibaringkan terlentang di meja kayu dan Pak Kadim, juru sunat setempat, memulai operasi kecilnya dengan alat sederhana yaitu jepitan bambu dan sebilah pisau kecil yang sangat tajam, dan untuk menhentikan perdarahan, dilakukan dengan menaburkan kopi bubuk di sekitar luka bekas sayatan. Proses khitan tersebut pada umumnya dilakukan dalam kurun waktu tak kurang dari lima menit saja. Dan sebagai hadiah atas "kedewasaannya" tersebut, Hanan mendapatkan hadiah katapel ("peletikan" namanya di pulau Belitong) dari kakeknya, Pak Idris. Hingga menginjak usia sepuluh tahun, ia belum bersekolah di sekolah resmi dan hanya belajar dari alam bersama kakeknya, dan hal ini membuatnya unggul untuk bisa hidup bertahan di hutan, pada masa dewasanya ketika ia menjadi anggota Komando Pasukan Gerak Cepat nantinya.[12]

Masa remaja[sunting | sunting sumber]

Volk School atau dikenal juga dengan nama De Inlandse School di Tanjungpandan dimana Hanan memulai pendidikannya

Ketika remaja, Hanan mulai rindu dengan sosok ayahnya, Djoeddin, dan akhirnya mereka bisa bertemu lagi dengannya di kampung Ibul. Disana mereka mengetahui bahwa Hanan telah memiliki adik perempuan bernama Masinah. Semasa di Ibul, Hanan mendapatkn teman sebaya, yaitu anak laki-laki bernama Serok dan anak perempuan, Sami. Bersama-sama, mereka membantu Hanan untuk bisa bersepeda. Sejak tahun 1921, Hanan mulai diasuh dan tinggal bersama Haji Hasyim dan istrinya Aminah, di Tanjungpandan, yang masih berkerabat dengan Selamah. Selama tinggal bersama mereka, banyak perubahan besar terjadi pada Hanan dan kehidupannya.[3]

Genap sebulan tinggal disana, Hanan mulai belajar mengaji bersama Kek Udin, seorang ustad yang juga dikenal dengn sebutan Kakek Moenir karena ia memiliki seorang cucu bernama Moenir. Selain belajar mengaji, Hanan juga mulai bisa membaca huruf Arab gundul dan hal itu ia praktekkan dengan membaca koleksi syair-syair Melayu yang dimiliki oleh keluarga Haji Hasyim. HIngga tahun kelima atau tahun 1926, Hanan trus belajar mengaji sembari ia belajar berdagang dengan menjajakan kue-kue buatan Ibu angkat, Aminah keliling kampung. Dari sanalah ia belajar banyak mengenai kedisplinan dan keteguhan serta etos kerja yang baik.[13]

Di usianya menjelang 16 tahun atau tahun 1926, Hanan didaftarkan ke kelas 1 Sekolah Rakyat di Kampung Ume, Tanjungpandan, bernama Volk School atau dikenal juga dengan nama De Inlandsche School.[4] Ini adalah sekolah satu-satunya untuk kaum pribumi di masa itu dengan masa belajar selama lima tahun. Pada tiga tahun pertama belajar menulis dengan alat tulis batu lai dan baru di kelas empat dan lima bisa mulai mempergunakan pensil dan pulpen. Untuk tingkat empat dan lima, sekolahnya dinamakan Ver Volks School. Hanan menjadi satu-satunya orang kampung/pedalaman (urang darat) yang menempuh pendidikan disana, dan murid-murid lainnya adalah orang kota atau anak-anak karyawan NV GMB, Perusahaan Timah Hindia Belanda. Dan pada tahun 1931, ia berhasil meraih ijasahnya dengan susah payah.[14]

Masa sekolah[sunting | sunting sumber]

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Hanan awalnya ingin langsung mencari pekerjaan agar ia bisa membantu ekonomi keluarganya di kampung yang menghidupinya, Ibu, dan kedua adik-adiknya. Namun keinginan ini ditentang oleh ayah asuhnya.dan menyarankan agar ia melanjutkan pendidikannya ke Ambacht School (AC), sekarang menjadi SMKS Stannia, di Manggar pada tahun 1931.[9] Sekolah ini adalah salah satu sekolah teknik terbaik, bonafit dan langka di era 1930-an, karena sekolah yang sama hanya ada di Batavia dan Surabaya. AS adalah sekolah berasrama yang mewajibkan para pelajarnya tinggal di asrama, tidak dipungut biaya bahkan mereka mendapatkan uang saku, semacam beasiswa dari NV GMB. AS yang di Manggar, memiliki dua jurusan, yaitu Machine bankwerken dan Electric bankwerken, dimana Hanan memilih jurusan machine bankwerken. Pada 21 Juli 1934, Hanan lulus dari sekolah tersebut dengan hasil baik, serta berhak menyandang predikat lulusan Teknik Mesin. Dimana pada tahun 1934 baru ada empat angkatan, dengan masing-masing angkatan terdiri atas 30 siswa, maka jumlah alumninya baru 120 orang saja. Lulusan AS ini akhirnya disebar untuk bekerja di seluruh unit kerja dari NV GMB, dimana mereka adalah ahli-ahli teknik profesional yang menjadi pemimpin pada usaha pertambangan timah Hindia Belanda. Keahlian mereka juga masih terpakai hingga era Perusahaan Negara Tambang Timah, puuhan tahun yang akan datang. Tahun 1934, adalah tahun dimana NV GMB sedang mengalami masa kejayaan, dimana tiga perempat sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berlokasi di Batavia, sehingga mereka mempunyai banyak instalasi tambang yang berada di seantero Pulau Belitung.[15]

Karier[sunting | sunting sumber]

Sipil[sunting | sunting sumber]

Karier Hanan di sipil dimulai ketika ia lulus dari AS dan setelah ia pensiun dari dinasnya di kemiliteran.

NV GMB[sunting | sunting sumber]

Bagian Elektrikal dari peralatan listrik yang dipakai di NV GMB

Lulus dari AC, Hanan ditempatkan sebagai karyawan teknik di perusahaan NV GMB, wilayah Tanjungpandan, Belitung, pada bagian instalasi bengkel bangunan sejak 1 Agutus 1934.[16][6] Hanan mengawali karirnya sebagai bankwerken (pekerja teknik). Walaupun sebagai karyawan baru, Hanan dipercaya sebagai koordinator para montir mesin di bengkel kayu tersebut. Setelah beberapa waktu, ia lalu dipindahkan ke gudang transport, masih dengan tugas yang sama. Ketika di gudang transport inilah, Hanan banyak mempelajari pelbagai mesin kendaraan buatan Eropa. Pada saat itu, Hanan memiliki gaji sebesar 30,50 Gulden per bulan dan sebagiannya dipergunakannya untuk membantu ibunya di kampung. Selain Hanan yang dibantu pendidikannya oleh ayah asuhnya, Haji Hasyim, adiknya Seri, juga disekolahkan di Sekolah Rakyat hingga lulus. Selain bekerja di NV GMB, Hanan juga terus menimba ilmu agamanya yang dilakukannya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia belajar mengenainya di Madrasah AlIslamiah Tanjungpandan, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan rumah dari Haji Hasyim. Namun sayangnya keberadaan madrasah ini hanya bertahan hingga tahun 1937 saja sehingga terputuslah kesempatan Hanan untuk memperdalam ilmu Agama Islam.[17]

Pada bulan Februari 1938, Hanan dipindah tugaskan ke Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM) di Pulau Bintan, sebuah perusahaan penambangan bauksit milik pemerintahan Hindia Belanda.[16] Pada perusahaan tersebut, ia ditempatkan di bagian perbengkelan dan bertanggung jawab atas perawatan mesin-mesin tambang dan kendaraan berat. Di tahun 1940, di masa cuti kerja tahunannya yang kedua, Hanan berkesempatan untuk pulang kampung ke Belitung dan ia dijodohkan dengan Hatimah atau yang sering dipanggil dengan nama Dayang, yang merupakan putri kedua dari empat bersaudara anak dari Pak Jahari atau sering dikenal dengan nama Pak Tok, yang juga merupakan adik kandung dari ayah angkatnya, Haji Hasyim. Pesta pernikahan mereka dilakukan dengan sederhana mengingat kondisi saat itu, dimana ada larangan bagi penduduk untuk melakukan keramaian di malam hari, sebagaimana disampaikan oleh pihak Politiek Intelijen Diens (PID), Dinas Polis Rahasia pemerintahan Hindia Belanda.[18] Setelah cuti, Hanan kembali ke Pulau Bintan sendirian tanpa mengajak serta istrinya hingga anak pertamanya lahir tanpa ia sempat menunggui prosesnya. Baru pada bulan Februari 1941, kurang lebih 3 bulan setelah bayi perempuannya lahir, Hanan bisa mengunjunginya. Bayi itu diberi nama Hatijah dengan panggilan Tijah. Kepulangannya ini juga mengakhiri masa kontrak kerjanya dengan NV NIBEM dan ia bertekad untuk memulai usaha sendiri di kampung. Hanan memulai usaha sendiri yaitu mengurus toko bahan bangunan milik ayahnya Haji Hasyim, namun dengan hasil yang seadanya saja mengingat banyak para pembeli tidak melakukan pembayaran sebagaimana mestinya dan hal ini membuat biduk rumah tangga terganggu, hingga akhirnya Hanan menjatuhkan talak satu kepada istrinya dan ia pergi meninggalkan mereka.[19]

Di bulan Mei 1941, akhirnya Hanan pergi merantau ke Bandung bersama Haji Hamim bin Akil (Haji Hamim), kawan dekat dari orang tua angkatnya. Perjalanannya di Jawa dimulai dari pelabuhan Sunda Kelapa lalu menuju Stasiun Beos, Batavia menuju ke Bandung. Di Bandung mereka menuju sebuah rumah yang ternyata milik dari Pak Surya Kastam, salah seorang guru yang telah membimbingnya semasa dia menempuh pendidikan di AC, Manggar, dimana akhirnya ia diterima untuk tinggal bersamanya. Tak berapa lama kemudian ia diperkenalkan ke teman dari Haji Hamim sehingga bisa bekerja di Wolter & Co, sebuah perusahaan yang mengelola air minum di kota Bandung. Sedangkan Pak Haji Hamim sendiri, selepas dari NV GMB, beliau bekerja di pabrik senjata Artillerie Contruktie Winkel (ACW), yang nantinya menjadi PT. Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Tak berapa lama bekerja di Wolter, Hanan kemudian dipercaya sebagai hoofmandur (kepala mandor) karena keahliannya semasa masih bekerja di NV GMB dan NIBEM, membawahi puluhan pegawai. Semasa di Bandung inilah jiwa pergerakan kebangsaan Hanan tumbuh dan akhirnya ia bergabung dengan Partai Indonesia Raya( Parindra), partai yang sudah dikenalnya semenjak ia masih bekerja dengan NV GMB. Hanan dan rekan-rekan seperjuangannya, menggelorakan semangat "Indonesia Berparlemen" dan itu menjadi ancama dan incaran pemerintah Belanda, karena dianggap bersimpati kepada Jepang dalam era Perang Dunia II. Dan Hanan akhirnya ditangkap oleh PID dan dinterogasi, namun berhasil dibebaskan karena bantuan dari pimpinan perusahaan Wolter & Co yang orang Belanda. Namun, karena selalu diawasi pergerakannya, akhirnya Hanan hijrah ke Kota Malang, bersama kawan sepekerjaannya, Sudjadi dengan melakukan penyamaran selama perjalanan kesana. Di Malang, mereka kost di area Lowok Waru dan disana Hanan dikenal dengan panggilan Bung Hanan.[20]

Ozawa Butai[sunting | sunting sumber]

Pesawat Guntei KI-51, koleksi MusPusDirLa di Jogjakarta, salah satu jenis pesawat yang pernah diperbaiki oleh Hanan dan kawan-kawan

Sejak 1942, Hanan bekerja pada Ozawa Butai (Satuan Militer Angkatan Darat Jepang), Dameyan, dan ditempatkan pada Tomimuri Butai sebagai montir atau teknisi yang mendalami dan memperbaiki mesin-mesin pesawat Guntei (Ki-51), Hayabusa (Nakajima Ki-43III), Nishikoren, Sansykisin hingga pesawat pembom Soukei. Selain mempelajari tentang mekanikalnya, ia juga mempelajari sistem navigasi dan persenjataan pesawatnya. Setelah tiga bulan bekerja, diangkat sebagai Hancho (pimpinan kelompok pekerjaan), dan dipercayai memimpin beberapa montir pesawat tempur Jepang di Pangkalan Udara Bugis, yang pada masa itu, menjadi pusat penerbangan Angkatan Darat Jepang di wilayah Jawa Timur.[21][22]

Pada Oktober 1943, Hanan menikah dengan Musri'ah, putri tunggal dari pasangan Pak Salim, pegawai perusahaan kereta Malang Stroomtram Maatscappij (MSM) dan Ibu Fatukah, walau pada awal perkenalan mereka, Hanan sempet tidak disetujui, karena dianggap anak seberang. Setelah menikah, Hanan tinggal bersama mertuanya. Jepang akhirnya menyerah pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom. Pada saat itu juga satuan udara darat angkatan darat termasuk Ozawa Butai dibubarkan, sehingga Hanan dan beberapa temannya yang bekerja disana mendapatkan pemutusan hubungan kerja dan diberikan pesangon dan tiket kereta untuk pulang ke kota masing-masing, bagi yang berasal dari luar kota Malang.[23]

Masa kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Tanda pangkat Djenderal Major di Badan Keamanan Rakyat hingga Tentara Keamanan Rakyat sebelum menjadi Tentara Nasional Indonesia

Beberapa saat setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menyerukan untuk menggelar Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Komite Nasional Indonesia di daerah. Oleh karenanya, pada pekan keempat Agustus 1945, Hanan mengumpulkan teman-teman seperjuangannya dan bersepakat membentuk panitia kecil kelompok pemudi teknik penerbangan, yang merupakan persiapan pembentukan sejenis Badan Keamanan Rakyat Oedara di Malang dengan susunan : Penasehat/Ketua Umum oleh Hanandjoeddin, Wakil Ketua I dipegang oleh Sunardi. Sedangkan untuk Wakil Ketua II oleh Soemadji dan Bendahara oleh Nasrip.[24] Hasil dari pertemuan tersebut, tercatat dan dilaporkan oleh Bung Hanan dan Sunardi ke Balai Kota Malang dan diterima oleh Mochammad Said yang kebetulan berkantor disana, dan kelompok mereka dikenal sebagai "Pemoeda Bagian Oedara". Pada 28 Agustus 1945, diadakan pengukuhan Komite Nasional Indonesia Kota Malang di Balai Kota Malang, yang menetapkan Mr. Soenarko sebagai ketuanya dan Sarjono sebagai wakilnya. Dan untuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Malang, ditetapkan Imam Soedja’i, seorang mantan Daidanco ( Komandan Batalyon Pembela Tanah Air, PETA) serta Iskandar Sulaiman sebagai wakilnya. Moetakat Hoerip, seorang mantan perwira PETA lainnya, ditunjuk sebagai Kepala Operasi Keamanan. Sejak saat itulah Hanan bergabung dengan BKR Malang yang merupakan bagian dari BKR Angkatan Darat, yang sejak September 1945 dan setelah dilakukan konsolidasi badan-badan perjuangan, ia berganti nama menjadi Divisi VIII Jawa Timur dengan wilayah Malang dan Besuki. dimana pimpinannya memiliki pangkat Jenderal Mayor.[25]

Kelompok Pemoeda Bagian Oedara ini kemudian dilebur oleh Imam Soedja’i menjadi "Panitia Persiapan Kaum Teknik Penerbangan Indonesia" yang diketuai oleh Imam Soepeno, wakil I Kid Darlim, Wakil II H.A.S.Hanandjoeddin dan bagian politik merangkap perlengkapan Suparno, dengan kantor pusat di Jalan Celaket No. 75, Malang. Pada tanggal 10 Oktober 1945, Badan Keamanan Rakyat Oedara ini diresmikan di hotel Concordia.[26] Seiring dengan itu, satu persatu gedung yang dikuasai Tentara Jepang akhirnya berhasil dikuasai oleh Indonesia sehingga mereka mulai bergerak untuk menguasai Lapangan Udara Bugis yang berada pada 17 Km arah Timur Laut, Kota Malang. Saat itu, setelah pembubaran Rikugun yang terdiri atas Ozawa Buntai dan Tomimuri Buntai, maka penguasaan lapanga udara ini berada pada pihak Kaigun atau Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan dikendalikan oleh Panglima Angkatan Laut Armada Timur, Laksamana Muda Ishido. Pada saat itu, Jepang berkeinginan untuk menyerahkannya ke pihak Sekutu. Pada 18 September 1945 pecah pertempuran antara masa Indonesia melawan Jepang, dan sementara itu juga sedang diadakan perundingan penyerahan Lapangan Udara Bugis secara baik-baik kepada rakyat Indonesia, yang akhirnya membuat tentara Jepang menyerahkannya pada Indonesia. Dalam penyerahan itu diserahkan 167 pucuk senjata otomatis beserta kotak pelurunya, 70 buah pesawat berbagai jenis, senjata penangkis serangan udara dan barang-barang inventaris lainnya.[27] Di versi lain menyebutkan bahwa pesawat yang diserahkan hingga mencapai 105 buah pesawat, dimana 12 diantaranya siap terbang. [28][29]

Akhirnya pada 22 September 1945, Lapangan Udara Bugis telah sepenuhnya dikuasai oleh BKR Divisi III, Malang, dan penjagaannya oleh Kompi Sulam Sjamsun dari Resimen Hamid Rusdi.[24] Pada waktu itu BKR Oedara, belum terbentuk, namun walaupun begitu, Hanan dan beberapa kawannya yang memiliki keahlian dengan pesawat terbang Jepang mulai berkumpul kembali. Mereka itu diantaranya adalah Sunardi, Nasrip, Mujiman, Soemadji, Mustari dan Kamulyan yang merupakan mantan pegawai Ozawa Buntai. Keberadaan mereka tak sebanding dengan jumlah pesawat yang ada disana, dimana dengan sekitar 70-an pesawat yang terdiri atas Cukiu (pesawat latih) sebanyak 25, 9 buah pesawat Nishikoren (pesawat latih), 11 buah pesawat pemburu Hayabusha, 11 buah pesawat pengintai Nakashima, 4 buah pesawat pemburu Sansykisen, 7 buah pesawat pembon tukik Guntai, 7 buah peawat pembom tukik Sakai, 1 buah pesawat pengebom berat Rocojunan dan 1 buah pesawat transport, dimana hampir semuanya dalam kondisi rusak berat.[30] Sehingga pada awal Oktober 1945, "Panitia Persiapan Kaum Teknik Penerbagan Indonesia" yang dipimpin Imam Soepeno, Hanan, Kid Darlim dan rekan-rekan mencoba mulai merekrut tenaga-tenaga tambahan dengan berprogranda dan pendaftarannya dibuka di jalan Celaket 75 Malang, Gedung Susteran, juga dilakukan propaganda melalui radio. Dari aksi tersebut terkumpullah tidak kurang dari 150 orang yang sebagiannya adalah mantan penerbangan Jepang yang sudah berpengalaman dan para pemuda lainnya. Para pemuda itu, kemudian berkumpul di gedung Concordia pada 10 Oktober 1945 untuk diresmikan sebagai anggota dari Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) Malang, satuan militer dibawah komando dari Divisi VIII. Dimana dalam beberapa minggu kemudian, berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat Oedara dan Divisi VIII berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat Divisi VII Surapati, meliputi wilayah Malang dan Besuki. Perubahan nama itu mengacu ke Maklumat Pemerintah Nomor 6 tanggal 5 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa Tentara Keamanan Rakyat merupakan perwujudan dari Badan Keamanan Rakyat, yang berfungsi sebagai alat untuk memelihara keamanan umum.[31]

Pesawat Cukiu milik Angkatan Udara Kerajaan Thai di Museum Bandar Udara Internasional Don Mueang, Bangkok.

Dengan terbentuknya BKRO Malang, maka dimulai pembagian tugas, dimana Imam Soepeno sebagai ketua BKRO, sekaligus sebagai penanggung jawab teknik Pangkalan Udara Bugis, dan Hanan bertanggung jawab sebagai pelaksana teknis lapangan yang berarti ia bertanggung jawab atas semua perbaikan pesawat terbang yang ada di pangkalan.[32] Hanan sangat dipercaya menangani hal ini karena ia adalah mantan teknisi senior di Pangkalan Udara Bugis dan pernah menjadi Hancho (pimpinan rombingan pekerjaan di jaman Jepang. Selain itu Hanah juga didampingi oleh teknisi yang sangat handal, Sukarman, montir yang handal, masih berusia 19 tahun, pernah bekerja pada orang Belanda di bengkel pesawat Pangkalan Udara Andir karena pernah tinggal bersama Soerjadi Soerjadarma ketika ia masih menjadi pilot Angkatan Udara Kerajaan Belanda, militaire lutchvaart. Kerja keras para teknisi, dalam waktu cepat, mereka bisa menyiapkan empat buah peswat, Cukiu 001 (TK-001), Cukiu 002 (TK-002), Cukiu 003 (TK-003) dan Cukiu 004 (TK-004). Semua pesawat ini rata-rata berusia tujuh tahun yang dibuat oleh pabrik Takachiwa, Jepang tahun 1938. Tentara Jepang, menyebutnya sebagai Ki-55, Ida oleh pasukan Sekutu (Perang Dunia II) dan beken dengan nama Cukiu atau Tjukiu, sehingga registrasi di ekornyapun TK yang merupakan singkatan namanya. Namun dengan ketiadaan pilot, maka pesawat-pesawat itu tidak bisa dicoba kemampuan. terbangnya.[33]

Pada 17 Oktober 1945, pangkala ini dikunjungi oleh rombongan Dr. Soegiri dari Surabaya, yang diantar oleh Panglima Divisi VII Surapati, Djenderal Major Imam Soedja’i, Ketua BKR Oedara dan Residen Malang, Syam. Ikut bersama dalam rombongan itu adalah dua orang pilot Jepang dan satu orang teknisi yang sudah memakai nama Indonesia, Ali, Atmo (penerbang) dan Amat (teknisi/montir). Djenderal Major Imam Soedja’i berkeinginan untuk melakukan test flight, namun awalnya, pilot-pilot Jepang itu menolaknya karena terikat perjanjian dengan Sekutu untuk tidak terbang. Namun setelah diberikan jaminan dan dibujuk oleh Panglima, akhirnya mereka bersedia melakukannya. Dari pengecekan bersama, ditemukan bahwa hanya TK-003 dan TK-004. Kedua pesawat akhirnya disiapkan dengan kombinasi Atmo akan terbang bersama dengan Amat akan terbang dengan TK-003, sedangan TK-004 akan diterbangan oleh Ali dan Bung Hanan. Penerbangan pertama dengan TK-003 berjalan dengan baik dalam waktu 15 menit saja, karena pesawat tersebut masih perlu diperbaiki agar tidak terjadi kecelakaan fatal. Penerbangan dengan TK-004 berjalan dengan lebih baik, dimana pesawatnya bisa melakukan beberapa gerakan akrobatik dan menyambar-nyambar, serta pernah berada di ketinggian 3,000 meter di atas permukaan. Penerbangan ini, tanggal 17 Oktober 1945 atau tepat 2 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, adalah penerbangan militer pertama Indonesia dengan pesawat yang sudah memiliki ekor dengan tanda merah putih. Peristiwa bersejarah itu juga disiarkan secara meluas oleh Radio Republik Indonesia Malang dan menjadi salah satu tonggak sejarah perintisan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Sebagai penghargaan dari pemerintah, Hanan akhirnya dianugerahi Bintang Garuda, suatu bentuk apresiasi negara terhadap para pelopor berdirinya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara.[33]

Militer[sunting | sunting sumber]

Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]

Tanda pangkat Letnan Satu TKR Angkatan Darat
Pesawat Soukei

Pada 12 November 1945, Djenderal Major Imam Soedja’i membuka pendidikan militer perintis pertama di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pendidikan ini disebut "Sekolah Kadet Perwira Divisi VIII", dilaksanakan selama dua bulan di HBS (komplek bangunan SMA Tugu). Hanan mengikuti pendidikan ini, dan di Januari 1946, lulus dengan pangkat Letnan Satu TKR Angkatan Darat. Pendidikan ini sederajat dengan Akademi Militer di Magelang, dengan lambang bunga melati. Sejak itum karier Hanan di militer, dimulai. Hanan berhak menyandang pangkat tersebut dikarenakan kecakapannya di bidang teknik dan sebagai Hancho, atau orang sipil yang terlatih.[34][35]

Hanan mendapat tugas sebagai Komandan Pertahanan Teknik Udara Pangkalan Bugis, yang bertanggung jawab atas pengamanan seluruh obyek vital, baik di area bengkel maupun hanggar. Pada pertemuan yang diadakan pada 11 - 14 Januari 1946, TKR Oedara Malang menjadi di bawah komando Markas Tinggi TKR Jawatan Penerbangan di Yogyakarta.[36]

Pada 23 Januari 1946, istri keduanya, Musri'ah, melahirkan anak laki-laki pertamanya (sekaligus anak kedua Hanan), bernama Herman.[37] Pada 21 Februari 1946, Hanan bersama teman-temannya, berhasil memperbaiki pesawat pembom Soukei, yang berusia 6 tahun namun dengan kondisi mesin yang rusak. Pesawat itu diberi nama Pangeran Diponegoro I atau PD-I, dimana di Yogyakarta, dipakai oleh Jenderal Mayor Sudibyo untuk mengurus para tawanan perang Sekutu, Repatriation Allied Prisoners of WAr and Interness (RAPWI). Sejak 25 Januari 1946 Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara Republik Indonesia, sehingga TKR Djawatan Penerbangan menjadi TRI Oedara, Hanan mendapatkan pangkat Opsir Moeda Oedara I (OMU) I.[38]

Pada 17 Februari 1946, Hanan membantu Sekolah Penerbangan Darurat di Yogyakarta dengan mempersiapkan sebuah pesawat Cukiu yang diterbangkan langsung oleh Adisoetjipto dari Pangkalan Udara Bugis, yang merupakan sumbangan pesawat pertama.[39] Pada 5 Maret 1945, diterbangkan sebuah pesawat Cukiu TK-007 dari Pangkalan Udara Bugis ke Pangkalan Udara Panasan. Sumbangan kedua ini ditukar barter dengan beberapa kain batik dari BKR Oedara Solo yang juga pimpinan Penerbangan Surakarta, Letnan Soejono.[40]


Agresi Militer Belanda II[sunting | sunting sumber]

21 Juli 1947, Agresi Militer Belanda I dimulai. Dalam perlawanan ini, H.A.S. Hanandjoeddin dan anggota teknik lainnya berhasil menyelamatkan 15 pesawat terbang yang berada di Pangkalan Udara Bugis. H.A.S. Hanandjoeddin sebagai pimpinan Pasukan Pertahanan Teknik PPU III/930 Malang ditunjuk sebagai Komandan Pertempuran Sektor I STC III Front Malang Timur dan sebagai Komandan Pertempuran Sektor II. Karena Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, yang salah satu isinya adalah TNI (TRI berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 3 Juni 1947) ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, pasukan H.A.S. Hanandjoeddin akhirnya pindah dari Malang Timur ke Tulung Agung untuk meneruskan pembangunan pangkalan udara darurat. Dari Tulung Agung H.A.S. Hanandjoeddin ditugaskan sebagai Komandan Detasemen Pertahanan Udara Prigi untuk melakukan pengamanan wilayah Pantai Prigi. Pada masa itu, H.A.S. Hanandjoeddin sebagai Komandan Sektor II Pantai Selatan juga turut serta dalam misi pemusnahan Pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso. Pada tanggal 19 Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II. Sebagai Komandan Sektor II Pantai Selatan H.A.S. Hanandjoeddin juga memimpin pasukan di Sektor Watulimo. Pasca Belanda menguasai Pangkalan Udara Campurdarat, H.A.S. Hanandjoeddin ditunjuk untuk menangani urusan pertahanan AURI sebagai Wakil Danlanud Campurdarat. Tanggungjawab H.A.S. Hanandjoeddin tidak sampai di situ, masih sebagai Wakil Danlanud Campurdarat, Beliau juga ditugaskan sebagai Komandan Pertempuran Sub I pada Sektor V. Instruksi Panglima Besar Jenderal Soedirman tanggal 19 Desember 1948 agar seluruh Angkatan Perang RI melakukan perang gerilya membuat H.A.S. Hanandjoedin dipercaya sebagai Komandan Onder Distrik Militer (ODM) Pakel.

Walaupun pada tanggal 7 Mei 1948 ditandatanganinya Perjanjian Roem-Roijen, tapi Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mengeluarkan seruan agar seluruh prajurit Angkatan Perang RI tidak angkat tangan. Pada masa itu H.A.S. Hanandjoeddin ditunjuk sebagai Komandan Sektor VIII Tulungagung, juga merangkap sebagai Komandan KDM Campurdarat. Setelah Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949 dan Pangkalan Bugis Malang diserahkan Belanda kepada AURI, H.A.S. Hanandjoeddin kembali ke Malang dan menjabat Kepala Jawatan Teknik Udara Pangkalan Udara Bugis, H.A.S. Hanandjoeddin berpangkat OMU II atau Letnan Udara II (naik dari OMU III). Itulah beberapa perjuangan H.A.S. Hanandjoeddin dalam memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia disamping perjuangan lainnya untuk AURI, juga negara Republik Indonesia.

Pengusulan sebagai Pahlawan Nasional[sunting | sunting sumber]

Pengusulan H.A.S. Hanandjoeddin, dilakukan pada tahun 2022 oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kepada pemerintah pusat, namun belum disetujui karena masih adanya kekurangan berkas-berkas yang harus dilengkapi.[41][42][43] Pada Jum'at, 17 November 2023, Kepala Dinas Sosial Kepulauan Bangka Belitung, Budi Utama, bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan membentuk tim Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk kembali mengusulkan Hanan sebagai Pahlawan Nasional, dimana memang pengusulannya bisa dilakukan kapan saja.[44]

Gambar-gambar[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah beberapa gambar yang terkait dengan kehidupan H.A.S. Hanandjoeddin :

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Andersen 2015, hlm. 437.
  2. ^ a b Andersen 2015, hlm. 3-15.
  3. ^ a b Andersen 2015, hlm. 41-60.
  4. ^ a b Swastiwi, Rohana, Arman 2018, hlm. 61.
  5. ^ Andersen 2015, hlm. 4.
  6. ^ a b Adryamarthanino, Verelladevanka (2022-01-10). Ningsih, Widya Lestari, ed. "HAS Hanandjoeddin: Kehidupan dan Perjuangannya". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-01-31. 
  7. ^ "Lanud Tanjung Pandan Berganti Nama Menjadi Lanud H. AS. Hananjoeddin". TNI.mil.id. 2012-10-24. Diakses tanggal 2024-02-04. 
  8. ^ Wirayudha, Randy (2022-02-19). "Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan". Historia - Majalah Sejarah. Diakses tanggal 2024-01-31. 
  9. ^ a b Julianti, Shindy Aulia. Setiawan, Muri, ed. "Kisah Heroik HAS Hanandjoeddin, Pemuda asal Belitung yang Ikut Berperang Melawan Penjajah". inews.id. Diakses tanggal 2024-02-03. 
  10. ^ Andersen 2015, hlm. 17-24.
  11. ^ Andersen 2015, hlm. 25-31.
  12. ^ Andersen 2015, hlm. 32-40.
  13. ^ Andersen 2015, hlm. 61-70.
  14. ^ Andersen 2015, hlm. 71-75.
  15. ^ Andersen 2015, hlm. 76-89.
  16. ^ a b Swastiwi, Rohana, Arman 2018, hlm. 62.
  17. ^ Andersen 2015, hlm. 90-104.
  18. ^ Swastiwi, Rohana, Arman 2018, hlm. 63.
  19. ^ Andersen 2015, hlm. 105-134.
  20. ^ Andersen 2015, hlm. 135-180.
  21. ^ Andersen 2015, hlm. 181-216.
  22. ^ Swastiwi, Rohana, Arman 2018, hlm. 64.
  23. ^ Andersen 2015, hlm. 217-246.
  24. ^ a b Robuja 1968.
  25. ^ Andersen 2015, hlm. 247-262.
  26. ^ Diswatpersau 2004, hlm. 11-13.
  27. ^ Budaja dan Sedjarah 1968.
  28. ^ Soewito 2008.
  29. ^ Andersen 2015, hlm. 263-269.
  30. ^ Dispersau 2002.
  31. ^ Andersen 2015, hlm. 263-276.
  32. ^ Andersen 2015, hlm. 277.
  33. ^ a b Andersen 2015, hlm. 276-288.
  34. ^ Andersen 2015, hlm. 297-302.
  35. ^ Buku catatan pribadi Kapten Udara AS, Hanandjoeddin. 1963. 
  36. ^ Andersen 2015, hlm. 303-318.
  37. ^ Andersen 2015, hlm. 318-322.
  38. ^ Andersen 2015, hlm. 329-332.
  39. ^ Andersen 2015, hlm. 333-336.
  40. ^ Andersen 2015, hlm. 336-342.
  41. ^ Lestari, Dewanti, ed. (2019-11-10). "Hanandjoedin kembali diusulkan jadi pahlawan nasional". Antara News. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  42. ^ Burhani, Ruslan, ed. (2020-11-10). "Babel perjuangkan tiga pejuang kemerdekaan sebagai pahlawan nasional". Antara News. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  43. ^ Santoso, Budhi, ed. (2022-07-13). "HAS Hanandjoedin terus diusulkan jadi pahlawan nasional dari Belitung". Antara News. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  44. ^ Agustian, Bima, ed. (2023-11-18). "Babel usulkan H.AS Hanandjoeddin sebagai pahlawan nasional". ANTARA News Bangka Belitung. Diakses tanggal 2024-02-05. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Andersen, Haril M. (2015). Sang Elang; Serangkaian Kisah Perjuangan H. AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI. Tanjungpandan: Yayasan Melati. ISBN 978-979-17175-3-3. 
  • Budaja dan Sedjarah, Biro (1968). Sejarah AURI. Jakarta: Markas Besar TNI Angkatan Udara. 
  • Dispersau, Subdisjarah (2002). Buku Perkembangan Pangkalan TNI AU Abdulrachman Sales Malang 1945-2000. Jakarta: Markas Besar TNI Angkatan Udara. 
  • Diswatpersau, Subdisjarah (2004). Sejarah TNI Angkatan Udara. Jakarta: Markas Besar TNI Angkatan Udara. 
  • Robuja, Staf Seksi Sejarah (1968). Buku Penelitian Periode 1945-1950; Sejarah Pertumbuhan AURI. Jakarta: Markas Besar TNI Angkatan Udara. 
  • Soewito dkk, Dra.Irna H.N. Hadi (2008). Awal Kedirgantaraan di Indonesia. Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
  • Swastiwi, Anastasia Wiwik; Rohana, Sita; Arman, Dedi (2018). Harto, Zulkifli, ed. INVENTARISASI TOKOH SEJARAH DAN BUDAYA Wilayah Kerja Balai Pelestarian Budaya Kepulauan Riau (PDF). Tanjung Pinang. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]