Lompat ke isi

Trilaksana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tiga Corak Umum)

Trilaksana (Pali: tilakkhaṇa; Sanskerta: त्रिलक्षण, trilakṣaṇa), juga dikenal sebagai tiga karakteristik atau tiga corak umum, merupakan konsep Buddhisme mengenai tiga ciri umum kenyataan keberadaan, yaitu anicca (ketidakkekalan), dukkha (umum diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", "ketidaknyamanan"),[note 1] dan anatta (tanpa atma).[5][6][7][8][9] Ketiga ciri tersebut berlaku pada semua fenomena yang terkondisi (saṅkhāra). Ciri ketiga, yaitu anatta, juga menjadi ciri dari fenomena yang tidak terkondisi (Nirwana).

Konsep-konsep yang menyatakan bahwa manusia tunduk pada delusi atas tiga karakteristik keberadaan, delusi tersebut mengakibatkan penderitaan, dan penghapusan delusi tersebut mengakibatkan berakhirnya dukkha, merupakan tema sentral dalam Empat Kebenaran Mulia. Kebenaran mulia yang terakhir merujuk pada Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa daftar “corak keberadaan” yang ditemukan dalam kitab-kitab suci aliran Buddhis awal.[10]

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Tiga karakteristik

[sunting | sunting sumber]

Dalam tradisi Pali dari aliran Theravāda, tiga karakteristik atau corak tersebut adalah:[4][10][11][12]

  • sabbe saṅkhārā aniccā – semua saṅkhāra (fenomena terkondisi) adalah ketidakkekalan
  • sabbe saṅkhārā dukkhā – semua saṅkhāra adalah penderitaan, tidak memuaskan, tidak sempurna, atau tidak stabil
  • sabbe dhammā anattā – semua dhamma (fenomena terkondisi dan tidak terkondisi) adalah tanpa-atma (tidak memiliki diri, roh, atau jiwa yang kekal)

Saṅkhāra vs dhamma

[sunting | sunting sumber]

Makhluk-makhluk dianggap tersusun atas gugusan (khandha) yang bukan atma atau tanpa atma (anatta). Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan (khandha) dalam skema:[13]

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[14]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Seluruh agregat (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Tiga corak

[sunting | sunting sumber]

Aliran Sarvāstivāda dari Buddhisme Utara (nenek moyang aliran Mahāyāna) menjelaskan sebagai berikut dalam kitab Samyukta Agama mereka:[10][15]

  • Segala sesuatu yang terkondisi tidak kekal (sarvasaṃskārā anityāḥ)
  • Semua dharma adalah bukan-diri (sarvadharmā anātmānaḥ)
  • Nirvāṇa adalah ketenangan (śāntaṃ nirvāṇam)

Empat corak

[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Ekottarika-āgama dan kitab-kitab Mahayana lainnya seperti Yogācārabhūmi-Śāstra dan Pertanyaan Nāga Raja Sāgara (Sāgaranāgarājaparipṛcchā), dijelaskan ada empat corak atau “empat segel Dharma” (Sanskerta: dharmoddāna-catuṣṭayaṃ atau catvāri dharmapadāni, Hanzi: 四法印) alih-alih tiga corak:[10][16][17]

  • Semua fenomena majemuk bersifat tidak kekal (anitya)
  • Semua fenomena yang terkontaminasi tidak memuaskan (duḥkha)
  • Semua fenomena tidak memiliki diri (anātman)
  • Nirwana adalah ketenangan/kedamaian (śānta/śānti)

Penjelasan

[sunting | sunting sumber]

Ketidakkekalan

[sunting | sunting sumber]

Ketidakkekalan (Pali: anicca, Sanskerta: anitya) berarti bahwa semua hal atau fenomena yang terkondisi (saṅkhāra) berada dalam keadaan yang terus berubah. Buddhisme menyatakan bahwa semua peristiwa fisik dan mental muncul dan lenyap.[18] Kehidupan manusia merupakan perwujudan dari ketidakkekalan dalam proses penuaan dan siklus kelahiran dan kematian yang berulang (saṁsāra); tak ada yang abadi, dan semuanya dapat rusak. Ketidakkekalan juga berlaku bagi semua makhluk dan lingkungannya, termasuk makhluk yang terlahir di alam surga dan alam neraka.[19][20] Hal ini berbeda dengan Nirwana, yaitu realitas yang bersifat nicca, atau tidak mengenal perubahan, pembusukan, atau kematian.[21]

Penderitaan

[sunting | sunting sumber]

Dukkha (Sanskerta: duhkha) berarti "tidak memuaskan", umumnya diterjemahkan sebagai "penderitaan", "ketidakpuasan", atau "rasa sakit".[22][23][24] Mahasi Sayadaw menyebutnya sebagai 'tak terkelola, tak terkendali'.

Sebagai poin Kebenaran Mulia Pertama dalam Empat Kebenaran Mulia, dukkha dijelaskan sebagai ketidakpuasan fisik dan mental terhadap perubahan kondisi seperti kelahiran, penuaan, penyakit, kematian; bertemu apa yang ingin dihindari atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan; dan "singkatnya, lima kelompok unsur kemelekatan" (khandha).[22][25][26]

Hubungan antara ketiga karakteristik tersebut dijelaskan dalam Tripitaka Pali sebagai berikut: "Sesuatu yang anicca adalah dukkha. Sesuatu yang dukkha adalah anatta (Saṁyutta Nikāya)." dan "Sesuatu yang anicca adalah dukkha (yakni tidak dapat dibuat bertahan lama). Sesuatu yang dukkha tidak kekal."

Tanpa atma

[sunting | sunting sumber]

Anatta (Sanskerta: anatman) mengacu pada tanpa-atma, yaitu tidak adanya hakikat yang kekal dalam sesuatu atau fenomena, termasuk makhluk hidup.[27][28]

Sementara anicca dan dukkha berlaku untuk "semua fenomena yang terkondisi" (saṅkhārā), anatta memiliki cakupan yang lebih luas karena berlaku untuk semua dhamma tanpa kualifikasi "terkondisi, tidak terkondisi".[29] Jadi, Nirwana, sebagai realitas yang tidak terkondisi, juga merupakan keadaan bukan-Diri atau anatta.[29] Frasa "sabbe dhamma anatta" mencakup khandha (kelompok agregat, tumpukan) yang menyusun makhluk apa pun, dan keyakinan atas adanya "keakuan" adalah kesombongan yang harus disadari sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tanpa substansi, untuk mengakhiri semua dukkha.[30]

Ajaran anattā menolak adanya sesuatu yang kekal dalam diri seseorang yang dapat disebut Diri atau Roh; dan bahwa kepercayaan terhadap Diri atau Roh adalah sumber dukkha.[31][32] Namun, beberapa tradisi dan cendekiawan Buddhis menafsirkan bahwa ajaran anatta hanya berlaku untuk lima kelompok unsur kehidupan dan bukan sebagai kebenaran universal, meskipun Buddha menegaskan hal ini dalam diskursus pertama-Nya.[33][34][35] Sarjana studi agama Alexander Wynne menyebut anatta sebagai ajaran “bukan-diri” alih-alih “tanpa-diri”.[36]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme, ketidaktahuan (avijja, atau moha; yaitu kegagalan untuk memahami realitas) atas tiga karakteristik keberadaan (trilaksana: anicca dukkha anatta) dianggap sebagai mata rantai pertama dalam keseluruhan proses samsara, yang dengannya makhluk-makhluk tunduk pada keberadaan yang berulang dalam siklus dukkha yang tak berujung. Melenyapkan ketidaktahuan dengan kebijaksanaan atas tiga karakteristik keberadaan dikatakan akan mengakhiri samsara dan, sebagai hasilnya, dukkha itu sendiri (dukkha nirodha atau nirodha sacca, seperti yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia Ketiga dalam Empat Kebenaran Mulia).

Buddha Gotama mengajarkan bahwa semua makhluk yang terkondisi oleh sebab (saṅkhāra) memiliki sifat ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha); dan bahwa tanpa-atma, bukan-diri, atau bukan-roh (anatta) merupakan ciri semua fenomena apa pun (dhamma), yang berarti tidak ada "aku", "milikku", atau "milikku" baik dalam yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi (yakni Nibbāna).[37][38] Ajaran tentang tiga corak keberadaan dalam Tripitaka Pali diyakini berasal dari Sang Buddha sendiri.[29][39][40]

  1. ^ Istilah ini mungkin berasal dari duh-stha, "berdiri tidak stabil".[1][2][3][4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Monier-Williams 1899, hlm. 483, entry note: .
  2. ^ Analayo (2013).
  3. ^ Beckwith (2015), hlm. 30.
  4. ^ a b Alexander (2019), hlm. 36.
  5. ^ Steven Collins (1998). Nirvana and Other Buddhist Felicities. Cambridge University Press. hlm. 140. ISBN 978-0-521-57054-1. 
  6. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change. 
  7. ^ Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 42–43, 47, 581. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  8. ^ Carl Olson (2005). The Different Paths of Buddhism: A Narrative-Historical Introduction. Rutgers University Press. hlm. 63–4. ISBN 978-0-8135-3778-8. 
  9. ^ Anggara, Indra. "AN 3.136: Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  10. ^ a b c d Tse-fu Kuan 關則富, 'Mahāyāna Elements and Mahāsāṃghika Traces in the Ekottarika-āgama' in Dhammadina (ed.) Research on the Ekottarika-āgama (2013). Dharma Drum Publishing, Taipei.
  11. ^ Hahn, Thich Nhat (1999). The Heart of the Buddha's Teaching. New York: Broadway Books. hlm. 22. 
  12. ^ Walsh 1995, hlm. 30.
  13. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  14. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  15. ^ Thich Nhat Hanh, The Heart of the Buddha's Teaching
  16. ^ Ulrich Timme Kragh (editor), The Foundation for Yoga Practitioners: The Buddhist Yogācārabhūmi Treatise and Its Adaptation in India, East Asia, and Tibet, Volume 1 Harvard University, Department of South Asian studies, 2013, p. 144.
  17. ^ "The Questions of the Nāga King Sāgara (3) | 84000 Reading Room". 
  18. ^ Anicca Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013).
  19. ^ Damien Keown (2013). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 32–8. ISBN 978-0-19-966383-5. 
  20. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 32–33, 38–39, 46–49. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  21. ^ Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-EnC. Motilal Banarsidass. hlm. 355, Article on Nicca. ISBN 978-81-208-1144-7. 
  22. ^ a b Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 26–31. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  23. ^ Carol Anderson (2013). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 1, 22 with note 4. ISBN 978-1-136-81332-0. (...) the three characteristics of samsara/sankhara (the realm of rebirth): anicca (impermance), dukkha (pain) and anatta (no-self). 
  24. ^ Malcolm Huxter (2016). Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment. Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-317-50540-2. dukkha (unsatisfactoriness or suffering) (....) In the Introduction I wrote that dukkha is probably best understood as unsatisfactoriness. 
  25. ^ Malcolm Huxter (2016). Healing the Heart and Mind with Mindfulness: Ancient Path, Present Moment. Routledge. hlm. 1–10, Introduction. ISBN 978-1-317-50540-2. 
  26. ^ Bhikkhu Bodhi (2005). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Simon and Schuster. hlm. 67–8. ISBN 978-0-86171-491-9. 
  27. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013).
  28. ^ [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–3. ISBN 978-1-136-22877-3.  [b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. (...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering.  [c] Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. (...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon. 
  29. ^ a b c Richard Francis Gombrich; Cristina Anna Scherrer-Schaub (2008). Buddhist Studies. Motilal Banarsidass. hlm. 209, for context see pp. 195–223. ISBN 978-81-208-3248-0. 
  30. ^ Joaquín Pérez Remón (1980). Self and Non-self in Early Buddhism. Walter de Gruyter. hlm. 218–222, 234. ISBN 978-90-279-7987-2. 
  31. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 57–62. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  32. ^ Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 34–37. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  33. ^ "Selves & Not-self: The Buddhist Teaching on Anatta", by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight (Legacy Edition), 30 November 2013, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/selvesnotself.html Diarsipkan 2013-02-04 di Wayback Machine..
  34. ^ Bhikkhu, Thanissaro. "There is no self". Tricycle: The Buddhist Review (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-19. Diakses tanggal 2018-08-19. 
  35. ^ Thepyanmongkol, Phra (2009). The Heart of Dhammakaya Meditation (dalam bahasa Inggris). Wat Luang Phor Sodh. hlm. 12. ISBN 9789748097534. 
  36. ^ Wynne, Alexander (2009). "Early Evidence for the 'no self' doctrine?" (PDF). Oxford Centre for Buddhist Studies: 63–64. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-02. Diakses tanggal 2017-04-22. 
  37. ^ Nārada, The Dhammapada (1978), pp. 224.
  38. ^ Bodhi, Bhikkhu (2003). The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya. Somerville, MA: Wisdom Publications. hlm. 1457. ISBN 978-0-86171-331-8. 
  39. ^ Dhammapada Verses 277, 278 and 279.
  40. ^ Joaquín Pérez Remón (1980). Self and Non-self in Early Buddhism. Walter de Gruyter. hlm. 210–225. ISBN 978-90-279-7987-2. 

Sumber-sumber

[sunting | sunting sumber]