Kapten Mulyono

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kapten Mulyono
Kapten Mulyono, c. 1946/1947.
Informasi pribadi
Lahir
Moeljono Nasution

11 November 1921
Magetan, Jawa Timur
Meninggal5 Mei 1975(1975-05-05) (umur 53)
Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Suami/istri
Rudji Tokon
(m. 1951; c. 1964)

Marine
(m. 1964; c. 1970)
Anak8
PekerjaanTentara
Karier militer
Pihak
Masa dinasSebelum 1942—1975
Pangkat Letnan Kolonel
SatuanInfanteri
Pertempuran/perangRevolusi Nasional Indonesia Konfrontasi Indonesia–Malaysia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Moeljono Nasution (11 November 1921 – 15 Mei 1975) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kapten Mulyono, adalah seorang tokoh militer anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berperan dalam penyerbuan tentara Belanda di Pulau Kalimantan. Mulyono secara khusus dihormati sebagai pahlawan di Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Murung Raya, dan sekitarnya.

Keluarga[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya, Mulyono menikah dengan Rudji Tokon, seorang gadis Dayak Siang. Mereka menikah pada tahun 1951, dan dikaruniai lima orang anak: Sutomo Mulyono, Rudjito Mulyono, Titin Pudjawati, Indra Sakti, dan Supriadi.[1] Namun, karena Mulyono sering berpindah tugas, maka hubungannya dengan istrinya tidak berjalan dengan baik, hingga akhirnya Mulyono dan Rudji bercerai pada tahun 1964.[2]

Beberapa bukan setelah bercerai dengan Rudji, Mulyono menikahi istri keduanya, Marine, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rudji. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai tiga orang anak: Tuti Marhaeni Kencana Wati, Larasati, dan Satria Budiono.[2] Namun, setelah Mulyono pindah ke Banjarmasin pada 1970, ia bercerai dengan Marine. Meskipun begitu, Mulyono meminta Markoni, salah satu rekannya untuk menikahi Marine dan merwat anak-anaknya. Beberapa tahun kemudian, Markoni membawa ketiga anak Mulyono ke Jakarta.[3]

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Mulyono dilahirkan di Magetan, Jawa Timur. Ia adalah anak dari mantan wedana Magetan pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari bersekolah di Sekolah Dasar Bahasa Belanda, kemudian berlanjut ke Sekolah Teknik Ratu Emma selama tiga tahun. Setelah lulus, Mulyono bekerja sebagai asisten di sebuah Otoritas Air Propinsi di Jawa Timur dan Madura.[4] Kemudian, ia bergabung dengan Korps teknik dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan mendapat pangkat sersan. Ia bertanggung jawab atas penjagaan para kuli yang membangun gudang senjata.[5]

Buronan tentara Jepang[sunting | sunting sumber]

Antara tahun 1942 atau 1943, Belanda menyerah kepada Kekaisaran Jepang yang menginvasi Hindia Belanda selama Perang Dunia II. Namun, Mulyono, yang diinstruksikan oleh atasannya untuk menyerahkan posnya kepada Jepang, menolak dan menembak tentara Jepang yang mendatangi posnya untuk menerima penyerahan dirinya. Hal itu menyebabkan Mulyono dinyatakan sebagai buronan di Madura, yang membuat Mulyono melarikan diri ke Pulau Sumatra hingga Jepang menyerah pada Agustus 1945.[6]

Revolusi Nasional (1945–1946)[sunting | sunting sumber]

Bergabung ke Badan Keamanan Rakyat[sunting | sunting sumber]

Setelah Jepang menyerah, Mulyono kemudian pulang ke Jombang.[6] Setelah itu, ia bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan dikirim ke Surabaya untuk mengepung tentara Jepang di sana. Meskipun tidak memiliki jabatan militer secara formal, namun Mulyono turut berperan dalam melawan tentara Inggris di Surabaya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke Jombang dan dan memegang komando Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Setelah itu, ia dipindahkan ke Semarang.[7]

Berangkat ke Kalimantan[sunting | sunting sumber]

Setelah Pertempuran Lima Hari di Semarang berakhir, Mulyono dan rekan-rekannya bertemu dengan Zulkifli Lubis, yang menanyakan apakah mereka besedia dikirim ke luar Pulau Jawa, tepatnya di Kalimantan. Dari sejumlah orang yang ditanya, hanya Mulyono yang menyatakan kesediaannya.[8] Mulyono kemudian mendapat tambahan pasukan sebanyak lima orang: Sukurgani putra mantan wedana Jombang, Markoni dan Alfred orang Dayak Kapuas, Jauhari orang Banjar, dan Gusti Rusli Noor, putra Pangeran Muhammad Noor Gubernur Kalimantan. Pada awalnya, mereka berniat untuk berangkat pada 1 Januari 1946, namun gagal karena angin laut yang kencang. Mereka baru bisa berangkat dua minggu setelahnya, dan dibekali dengan persiapan logistik yang terbatas.[9]

Perahu mereka diduga berlabuh di Tanjung Puting. Tugas utama mereka adalah untuk mengabarkan kepada desa-desa di pedalaman Kalimantan bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka, serta untuk memetakan wilayah tersebut dan melakukan propaganda untuk mendukung sekaligus mempertahankan kemerdekaan.[10]

Menetap di Kuala Pembuang dan kembali ke Jawa[sunting | sunting sumber]

Mulyono dan teman-temannya kemudian menetap di Kuala Pembuang, ibukota Distrik Pambuang saat itu. Di sana, Mulyono menjalin hubungan baik dengan empat orang pelaut: H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah dengan harapan mereka bisa membawanya kembali ke Jawa.[11] Sementara itu, rekan-rekan Mulyono yang lain ditugaskan ke Banjarmasin, namun tidak ada yang pernah kembali. Akhirnya, Mulyono memilih untuk kembali ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta, untuk melapor kepada Lubis.[12] Di Yogyakarta, Mulyono kemudian bertemu kembali dengan Sukurgani, yang ternyata berhasil kembali dari Banjarmasin dengan membawa sejumlah peta dan laporan-laporan yang juga dikirimkan kepada Lubis.[13]

Kembali ke Kalimantan[sunting | sunting sumber]

Pada Juli 1946, Mulyono kembali mendapat perintah untuk menjalankan operasi inteljen ke Kalimantan. Ia kemudian berangkat dari Tuban menggunakan Seri Bintang, perahu yang ia beli sendiri. Ia ditemani oleh empat orang pelaut Kuala Pembuang rekannya, yaitu H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah. Kali ini ia dibekali dengan cukup banyak persenjataan, di antaranya pedang samurai, dua bom seberat 50 kg, tujuh bom seberat 10 kg, dua senjata laras panjang, dan satu kotak berisi 1000 peluru.[14] Lubis mengatakan bahwa bom tersebut berfungsi untuk menenggelamkan kapal Belanda yang mungkin mengepung Mulyono, namun ketika Mulyono sadar bahwa kapalnya juga akan ikut tenggelam, Mulyono kemudian membuang tujuh bom kecil dari kapalnya ketika mendekati Tanjung Puting.[15]

Segera setelah mendarat, kedatangan Mulyono dan rekan-rekannya diketahui oleh Belanda, yang kemudian memburu mereka. Hal ini membuatnya memutuskan untuk berjalan selama dua puluh hari dengan tujuan ke Tumbang Manjul.[16] Bupati ketiga Seruyan, Yulhaidir mengatakan,[16]

Kalau [menurut] cerita kakek saya, Kapten Mulyono beserta rekannya dari Tanjung Puting berjalan di tengah hutan dan rawa-rawa menuju Tumbang Manjul.

Setelah itu, Mulyono mengirim surat kepada seorang informan yang disebut sebagai "Guru Lewi," bahwa dirinya adalah perwira TRI, bukan seorang bandit atau penjahat. Mulyono juga menjelaskan bahwa dia datang untuk melatih kader dan menyatukan berbagai kelompok berbeda yang beroperasi di sana. Dukungan pertama ia dapatkan dari Markoni, kemudian Jayadi Seman, pemimpin kelompok TRI lain di sekitar Tumbang Manjul.[17]

Penyerbuan Tumbang Manjul[sunting | sunting sumber]

Sungai Manjul di Tumbang Manjul. Mulyono menjadikan aliran sungai ini sebagai basis operasi militernya.

Pada Oktober 1946, tentara KNIL Belanda yang dipimpin oleh Hullenberg melakukan patroli ke Manjul dan berkemah di suatu pesanggrahan. Mulyono yang telah menyadap pasukan itu kemudian mengetahui bahwa mereka berencana untuk meminta pengiriman dua pasukan dari Pontianak untuk mencegah pelarian Mulyono dan teman-temannya. Setelah berdiskusi dengan kelompoknya, mereka sepakat untuk menyerang pasukan patroli Belanda tersebut.[18]

Pada jam 4 pagi, Mulyono dan rekan-rekannya, mengepung pesanggrahan pasukan Belanda. Beberapa tentara KNIL lainnya terlihat berjaga di luar pesanggrahan. Segera, salah seorang rekan Mulyono menghancurkan lampu petromaks pesanggrehan dan keadaan sekitar segera menjadi gelap.[19] Kelompok Mulyono kemudian mulai membantai satu persatu pasukan KNIL di dalam pesanggrahan, termasuk Hullenberg.[19] Keadaan segera menjadi kacau dengan beberapa orang Belanda yang mengambil senjata api dan menembakkannya secara acak.[20] Salah seorang rekan Mulyono, Markasan, secara tidak sengaja melukai sepupunya sendiri dengan parang, yang akhirnya membuat sepupunya meninggal dunia. Hal ini membuat Markasan menjadi marah, dan segera mengamuk serta membantai seluruh orang Belanda yang ada di pesanggrehan itu.[21] Menurut cucu Markasan, Syahran, kejadian itu membuat Markasan menyimpan dendam terhadap pasukan KNIL, meskipun Syahran menyatakan bahwa dirinya melupakan nama sepupu Markasan yang tewas tersebut.[22] Syahran hanya menceritakan bahwa Markasan kemudian selalu diburu oleh Belanda, dan menyebabkan ia selalu bersembunyi di dalam hutan. Pada akhirnya, Markasan berhasil ditangkap oleh Belanda karena salah seorang warga berkhianat dan melaporkan tempat persembunyian Markasan. Pada akhirnya, Markasan ditangkap dan disiksa, kemudian ditembak mati dihadapan istri dan anaknya sendiri, yang merupakan nenek dan ayah Syahran.[23]

Meskipun begitu, dikabarkan bahwa tentara KNIL Belanda sempat melakukan serangan balasan. Mereka menembaki Mulyono dan kemudian melarikan diri menggunakan perahu sampan.[24] Salah satu rekan Mulyono, Rawi, kemudian melompat ke Sungai Manjul untuk menyelamatkan diri dari tembakan pasukan KNIL. Penduduk Tumbang Manjul mengeklaim bahwa jejak telapak kaki Rawi, yang melompat dari jendela pesanggrahan, masih ada hingga sekarang dan terdapat di kayu ulin yang menancap di dasar sungai.[25] Pada awalnya, Mulyono mengira Rawi tenggelam, namun kemudian Rawi muncul kembali ke permukaan sungai.[26] Sebelum melarikan diri, Mulyono melepaskan salah satu tawanan Belanda untuk membawakan atasannya sebuah surat, yang berisi pernyataan bahwa Mulyono adalah orang yang bertanggung jawab atas penyerangan ini, dan penyerangan ini tidak ada hubungannya dengan masyarakat setempat. Beberapa hari kemudian, Mulyono dan rekan-rekannya meninggalkan Kalimantan menuju Jepara.[27]

Tanggapan KNIL[sunting | sunting sumber]

KNIL Belanda dikabarkan sangat marah atas penyerangan ini. Sejak Desember 1946 sampai akhir Maret 1947, Belanda melakukan operasi pembersihan TRI secara besar-besaran di sepanjang Sungai Manjul sampai ke desa paling utara di Pambuang, meskipun operasi tersebut juga mendapatkan berbagai perlawanan dari pendukung TRI di Kalimantan.[28] Dalam operasi tersebut, tercatat ada 18 orang anggota TRI yang gugur, sementara banyak warga sipil yang ditangkap dan disiksa karena dianggap mendukung aksi TRI.[29] Pada akhirnya, jumlah anggota TRI di Kalimantan mengalami penurunan besar-besaran, dan banyak petinggi TRI di Kalimantan yang ditangkap dan dipenjara.[30]

Berangkat ke Kuala Tungkal[sunting | sunting sumber]

Mulyono melaporkan kepada Lubis bahwa kabar penyerbuan di Manjul sudah menyebar hingga ke Sampit, dan kini dirinya telah menjadi salah satu buronan yang paling dicari oleh Belanda.[31][32] Lubis kemudian memberikan instruksi baru, yaitu untuk melatih kader baru di Kuala Tungkal dan Tambilahan.[31][33]

Mulyono berangkat ke Kuala Tungkal pada Januari 1947, dan dengan cepat berhasil mengumpulkan 200 orang Banjar di Kuala Tungkal dan Tambilahan.[34] 200 orang yang telah direkrut kemudian didaftarkan ke Tentara Nasional Indonesia (TNI).[35][36]

Pindah ke Singapura dan berangkat ke Sambas[sunting | sunting sumber]

Pada Januari 1948, Mulyono bekerja sebagai pelaut pada sebuah tongkang bermotor dari Singapura, tujuan utamanya adalah agar ia bisa keluar dari Kuala Tungkal. Dia bekerja di tongkang ini selama dua bulan pelayarannya di Singapura. Ketika ia tiba di Singapura, Mulyono sempat kebingungan karena tidak memiliki keluarga atau teman di Singapura. Dalam kebingungan itu, Mulyono tiba-tiba bertemu dengan Jayadi Seman, rekan satu tim ketika menyerbu tentara Belanda di Tumbang Manjul.[37][38] Jayadi sendiri mengaku sudah menetap di Singapura, dan saat ini menjadi seorang pedagang. Jayadi mengajak Mulyono untuk tinggal di rumahnya sebelum pergi ke Sambas. Selama tinggal di rumah Jayadi, Mulyono menceritakan bahwa ia mendapat tugas baru untuk melakukan operasi inteljen di Borneo Barat. Jayadi sendiri bercerita kepada Mulyono bahwa dia yang ditugasi sebagai kepala persiapan lapangan untuk wilayah Borneo.[39]

Untuk menyeberang ke Sambas, Mulyono menumpang tongkang bermotor milik Abdurachman, mitra Jayadi di persiapan lapangan dan agen di Borneo Barat.[39] Hingga akhirnya ia berhasil sampai di Sambas. Namun, ketika ia sampai di Sambas, ia ditangkap oleh tentara Belanda pada 23 September 1948, yang kemudian menginterogasinya terkait penyerbuan Tumbang Manjul dan kariernya di TRI. Mulyono kemudian berhasil selamat dan kemudian pindah ke Banjarmasin untuk berpartisipasi dalam sebuah perundingan dengan Belanda, yang bertujuan agar Borneo Selatan tidak dimasukkan dalam Negara Federal Kalimantan.[40][41]

Konfrontasi Malaysia[sunting | sunting sumber]

Mulyono kemudian pindah ke Puruk Cahu, sekitar tahun 1950-an.[42] Diduga, Mulyono juga membangun salah satu basis militer di Puruk Cahu, sama seperti di Tumbang Manjul. Diketahui bahwa selama menetap di Puruk Cahu, Mulyono pernah dikunjungi oleh Jenderal Ahmad Yani dan Agus Siswandi dari Jakarta. Kunjungan itu terjadi sekitar tahun 1964, setahun sebelum Jenderal Yani terbunuh pada peristiwa Gerakan 30 September.[43]

Setelah kunjungan tersebut, Mulyono mempersiapkan 162 orang pemuda yang kemudian menyerang Serawak di Malaysia. Penyerangan ini dikatakan telah menarik banyak perhatian dari kalangan internasional.[44] Presiden Indonesia, Soekarno, secara khusus menyebut penyerangan ini dalam pidatonya,[45]

Mati satu, tumbuh seribu. Mati seribu, tumbuh sepuluh ribu. Padahal gerilyawan yang ada di perbatasan Malaysia hanya ada seratus enam puluh dua orang.

Setahun kemudian, Mulyono menarik pasukannya dari Serawak, dikarenakan kondisi yang dinilai tidak kondusif, ditambah dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Upaya untuk merebut Serawak mulai melemah, ditambah dengan pemerintahan Presiden kedua, Soeharto yang sepakat untuk berdamai dengan Malaysia.[46]

Kematian[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1975, Mulyono mendapat tugas ke Kalimantan Timur. Nama daerah pastinya tidak diketahui. Dalam perjalanannya menuju Kalimantan Timur, Mulyono menaiki sebuah perahu motor bersama beberapa orang penumpang lainnya.[47] Namun, perahu motor tersebut kemudian mengalami kecelakaan. Badan perahu motor menabrak tebing batu dan perahu motor tersebut kemudian terbalik dan akhirnya pecah. Sementara itu, badan Mulyono terjepit di antara batu besar dan badan perahu motor. Meskipun begitu, ia dilaporkan sempat berusaha untuk membantu penumpang lain yang terjebak di sekitarnya.[48] Hal ini berlanjut hingga ia merasakan sakit di bagian dadanya. Mulyono segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat, kemudian dipindah ke Rumah Sakit Suaka Insani di Banjarmasin.[48]

Setelah mendapatkan perawatan di Banjarmasin, diketahui bahwa paru-paru Mulyono pecah akibat terjepit di antara perahu motor dan batu besar tersebut. Mulyono akhirnya meninggal dunia pada 11 Mei 1975 di Banjarmasin.[49] Ia kemudian dimakamkan di Makam Pahlawan Banjarmasin.[50]

Warisan[sunting | sunting sumber]

Pandangan[sunting | sunting sumber]

Pandangan mengenai Mulyono umumnya positif, pandangan positif ini datang terutama dari masyarakat Kabupaten Seruyan, lokasi di mana Tumbang Manjul yang menjadi basis operasi militer Mulyono berada. Di Seruyan, Mulyono telah dianggap sebagai pahlawan yang memberantas penjajahan dan merelakan dirinya menjadi buronan Belanda.[51] Misalnya Bupati Seruyan, Yulhaidir yang mengatakan,[52]

Kapten Mulyono bagi masyarakat Seruyan, bukan sekadar pelatih militer dan komandan penyerangan markas Belanda di pesanggrahan Tumbang Manjul, tetapi sosok pemberani dan penyemangat bagi masyarakat Seruyan.

Yulhaidir juga menyatakan bahwa cerita tentang Mulyono sudah sangat terkenal di Kabupaten Seruyan, bahkan ia memperkirakan bahwa seluruh Kalimantan Tengah mungkin sudah tahu mengenai Mulyono.[53] Bandar Udara Kapten Mulyono di Kuala Pembuang dinamai berdasarkan namanya, dan penggantian nama ini diresmikan oleh Bupati Seruyan kedua, Sudarsono.[54] Mulyono juga sempat direncanakan akan diusulkan sebagai Pahlawan nasional Indonesia, meskipun kelanjutan dari rencana ini tidak bisa dipastikan.[55][56]

Meskipun begitu, hanya sedikit referensi yang membahas mengenai kehidupan Mulyono. Di antara referensi yang membahas kehidupannya adalah buku autobiografi Zulkifli Lubis, atasan Mulyono sekaligus orang yang digelari sebagai "Bapak intelijen Indonesia."[57] Selain itu, nama Mulyono sebagai pahlawan mulai dilupakan oleh masyarakat Kalimantan Tengah, sehingga hanya sedikit ingatan yang tersisa mengenai dirinya.[58] Nama Mulyono telah dijadikan sebagai nama jalan di Tumbang Manjul, Kuala Pembuang, dan daerah sekitarnya, termasuk di Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Kotawaringin Timur.[50] Pada awalnya, terdapat jalan yang diberi nama Mulyono di Palangka Raya, yang terletak di dekat rumah jabatan Gubernur Kalimantan Tengah. Namun, nama jalan tersebut dilaporkan menghilang dan saat ini jalan tersebut tidak memiliki nama. Dilaporkan bahwa terdapat kecurigaan akan adanya unsur kesengajaan dibalik hilangnya nama jalan tersebut.[59]

Pesanggrahan[sunting | sunting sumber]

Pesanggrahan Tumbang Manjul, sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai "Balai," yang dulunya menjadi tempat di mana Mulyono dan teman-temannya membantai pasukan Belanda pada peristiwa penyerbuan Tumbang Manjul, saat ini dijadikan sebagai tempat pertemuan para tokoh masyarakat di wilayah itu.[60] Di dinding pesanggrahan yang terbuat dari kayu ulin, terdapat sisa-sisa bekas lubang peluru dan sebuah bekas sabetan mandau. Dikabarkan bahwa para pasukan TRI yang melakukan penyerbuan tersebut melarang anak dan cucunya untuk membongkar bekas sabetan mandau tersebut, dengan tujuan untuk mengingatkan pemuda-pemuda masa depan tentang penyerbuan tersebut.[61] Abdul Kasi, tokoh masyarakat Tumbang Manjul menceritakan bahwa kakeknya, Duwam Buntal, salah satu anggota TKR yang ikut serta dalam penyerbuan pernah berpesan kepadanya agar "bekas sabetan mandau di dinding kayu ulin jangan dibongkar."[61]

Pemerintah Kabupaten Seruyan sempat merenovasi pesanggrahan tersebut karena sudah terlalu tua. Bangunan tersebut dipugar dengan bentuk yang lebih kuat dan di dalam pesanggrahan ditambahkan beberapa kamar.[62]

Bendera pusaka[sunting | sunting sumber]

Salah satu sisa-sisa dari perjuangan Mulyono dan kelompoknya adalah sebuah bendera merah putih yang saat ini disimpan di Tumbang Laku. Mayoritas masyarakat percaya bahwa bendera tersebut dibawa oleh kelompok TRI pimpinan Mulyono yang bertujuan untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar sepenuhnya merdeka.[63] Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa bendera itu dibawa langsung oleh Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah untuk dikibarkan pada Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.[64] Yulhaidir, bupati Seruyan memiliki versi tersendiri. Menurutnya, bendera tersebut dibawa oleh kakeknya, Jamhir bin Matnor dari Banjarmasin, kemungkinan juga atas komando Mulyono.[65] Jamhir sendiri membawa banyak bendera serupa untuk dibagikan ke setiap desa dengan tujuan untuk meyakinkan penduduk desa bahwa Indonesia benar-benar sudah merdeka.[66] Pada akhirnya, Jamhir diburu oleh tentara Belanda, dan terpaksa mengganti namanya menjadi Ijam bin Nor.[67]

Selama masa pemerintahan Sudarsono sebagai bupati, pemerintah telah membuatkan peti kayu berukuran 40×70 cm sebagai tempat penyimpanan bendera tersebut, setelah sebelumnya bendera tersebut disimpan di dalam sebuah lemari pakaian.[68] Bendera itu sendiri hanya akan dikeluarkan pada saat Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia saja.[69]

Perusahaan tambang misterius[sunting | sunting sumber]

Di daerah Puruk Cahu, Mulyono mendirikan sebuah perusahaan tambang berbasis perseroan terbatas yang bernama PT Mulyono Mining Coorperation. Lokasi tambangnya adalah di Indo Muro Puruk Cahu dan sejumlah tempat lain. Perusahaan ini bekerja sama dengan sejumlah negara, seperti Australia dan Amerika Serikat. Salah satu nama yang diingat adalah Mr. Parker, seorang warga Amerika.[70]

Mulyono mempercayakan perusahaannya kepada teman-temannya, termasuk Markoni, Gatot, Tondo Widigdo, dan Hendro Sujiati. Namun mereka semua telah meninggal dunia. Anak-anak Mulyono dikabarkan ikut menandatangani kepemilikan saham perusahaan ayahnya.[71] Meskipun begitu, hingga saat ini tidak diketahui di mana lokasi fisik perusahaan ini berada. Satu-satunya yang diketahui adalah Mulyono yang bekerjasama dengan Mr. Parker dan putranya, Mr. Robin untuk mengurus tambang di Puruk Cahu, namun sebelum hal itu terlaksana, Mulyono terlebih dahulu meninggal dunia pada tahun 1975.[72]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Kutipan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ekpres 2019, hlm. 40.
  2. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 41.
  3. ^ Ekpres 2019, hlm. 42.
  4. ^ Ekpres 2019, hlm. 1.
  5. ^ Ekpres 2019, hlm. 1–2.
  6. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 2.
  7. ^ Ekpres 2019, hlm. 3–4.
  8. ^ Ekpres 2019, hlm. 3.
  9. ^ Ekpres 2019, hlm. 4.
  10. ^ Ekpres 2019, hlm. 5.
  11. ^ Ekpres 2019, hlm. 7.
  12. ^ Ekpres 2019, hlm. 8.
  13. ^ Ekpres 2019, hlm. 8–9.
  14. ^ Ekpres 2019, hlm. 9.
  15. ^ Ekpres 2019, hlm. 9–10.
  16. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 10.
  17. ^ Ekpres 2019, hlm. 10–11.
  18. ^ Ekpres 2019, hlm. 11.
  19. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 12.
  20. ^ Ekpres 2019, hlm. 12–13.
  21. ^ Ekpres 2019, hlm. 57.
  22. ^ Ekpres 2019, hlm. 58.
  23. ^ Ekpres 2019, hlm. 57, 59.
  24. ^ Ekpres 2019, hlm. 95.
  25. ^ Ekpres 2019, hlm. 96.
  26. ^ Ekpres 2019, hlm. 97–98.
  27. ^ Ekpres 2019, hlm. 13–14.
  28. ^ Ekpres 2019, hlm. 19.
  29. ^ Ekpres 2019, hlm. 19–20.
  30. ^ Ekpres 2019, hlm. 20.
  31. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 21.
  32. ^ Cribb 1986, hlm. 216.
  33. ^ Cribb 1986, hlm. 217.
  34. ^ Ekpres 2019, hlm. 22.
  35. ^ Ekpres 2019, hlm. 23.
  36. ^ Cribb 1986, hlm. 278.
  37. ^ Ekpres 2019, hlm. 24.
  38. ^ Cribb 1986, hlm. 218.
  39. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 25.
  40. ^ Ekpres 2019, hlm. 26–27.
  41. ^ Cribb 1986, hlm. 218–219.
  42. ^ Ekpres 2019, hlm. 33.
  43. ^ Ekpres 2019, hlm. 35.
  44. ^ Ekpres 2019, hlm. 35–36.
  45. ^ Ekpres 2019, hlm. 37.
  46. ^ Ekpres 2019, hlm. 37–38.
  47. ^ Ekpres 2019, hlm. 114.
  48. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 115.
  49. ^ Ekpres 2019, hlm. 115–116.
  50. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 116.
  51. ^ Ekpres 2019, hlm. xiv–xv.
  52. ^ Ekpres 2019, hlm. vi.
  53. ^ Ekpres 2019, hlm. 58–59.
  54. ^ Febriyana, Wahyu. "Kapten Mulyono Resmi Menjadi Nama Bandara di Seruyan". mmckalteng. Diakses tanggal 2023-10-20. 
  55. ^ Home; Terkini; News, Top; Terpopuler; Nusantara; Nasional; Daerah, Kabar; Internasional; Bisnis (2022-11-11). "Pemkab Seruyan usulkan Kapten Mulyono jadi pahlawan nasional". Antara News Kalteng. Diakses tanggal 2023-10-20. 
  56. ^ Rafliansyah, Dody (2022-11-11). "Pemkab Seruyan Usulkan Kapten Mulyono Jadi Pahlawan Nasional". Mata Kalteng. Diakses tanggal 2023-10-20. 
  57. ^ Ekpres 2019, hlm. xiii.
  58. ^ Ekpres 2019, hlm. xv.
  59. ^ Ekpres 2019, hlm. 117.
  60. ^ Ekpres 2019, hlm. 78.
  61. ^ a b Ekpres 2019, hlm. 79.
  62. ^ Ekpres 2019, hlm. 79–80.
  63. ^ Ekpres 2019, hlm. 69–71.
  64. ^ Ekpres 2019, hlm. 72.
  65. ^ Ekpres 2019, hlm. 73.
  66. ^ Ekpres 2019, hlm. 74.
  67. ^ Ekpres 2019, hlm. 75–77.
  68. ^ Ekpres 2019, hlm. 70.
  69. ^ Ekpres 2019, hlm. 70–71.
  70. ^ Ekpres 2019, hlm. 107.
  71. ^ Ekpres 2019, hlm. 108–109.
  72. ^ Ekpres 2019, hlm. 110, 111.

Bibliografi[sunting | sunting sumber]