Lompat ke isi

Brahmavihāra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Brahmavihara atau Empat Keadaan Batin yang Luhur (Pali: cattāri brahmavihārā atau appamaññā) merujuk pada empat sifat luhur yang patut dikembangkan dalam batin, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasihan atau welas asih (karuṇā), kegembiraan simpatik atau turut-berbahagia (mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā).

Mettā[sunting | sunting sumber]

Mettā adalah cinta kasih Universal. Cinta kasih yang tanpa pamrih dan ikhlas. Layaknya cinta seorang Ibu kepada anaknya/anak tunggalnya. Kalimat ini sebagaimana yang tertuang dalam syair Karaniya Metta Sutta, Syair Sutta Cinta Kasih.

Ahaṁ sukhito homi, Niddukkho homi, Avero homi, Abyāpajjho homi, Anīgho homi, Sukhī attānaṁ pariharāmi. Sabbe sattā sukhitā hontu, Niddukkhā hontu, Averā hontu, Abyāpajjhā hontu, Anīghā hontu, Sukhī attānaṁ pariharantu. Semoga aku berbahagia, Bebas dari penderitaan, Bebas dari kebencian, Bebas dari penyakit, Bebas dari kesukaran, Semoga aku dapat mempertahankan kebahagiaanku sendiri. Semoga semua makhluk berbahagia, Bebas dari penderitaan, Bebas dari kebencian, Bebas dari kesakitan, Bebas dari kesukaran, Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.[1]

Karuna[sunting | sunting sumber]

Karuna merupakan sifat welas asih atau sifat yang timbul karena adanya perasaan iba. Sebagai contoh, saat Pangeran Siddharta sedang bermain dengan para sahabat-Nya di hutan.[2] Di antara mereka adalah Pangeran Devadatta, sepupu Pangeran Siddhartha, yang memegang busur dan beberapa anak panah dalam kantung yang tergantung di punggungnya.[2]Ketika Pangeran Siddhartha tengah beristirahat di bawah pohon menikmati kedamaian dan keindahan alam.[2] Tiba-tiba, seekor angsa jatuh dari angkasa tidak jauh tepat di hadapan-Nya.[2] Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa itu.[2] Pangeran Siddharta bangkit dan bergegas menolong si angsa.[2] Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, tetapi Pangeran Siddharta berlari lebih cepat darinya.[2] Sebatang anak panah telah menusuk salah satu sayapnya; untunglah angsa itu masih hidup.[2] Dengan lembut Ia menarik anak panah itu keluar dari sayapnya; lalu memetik beberapa tanaman obat, memeras, dan meneteskan getahnya pada luka si angsa untuk menghentikan pendarahan.[2] Ia mengelus angsa tersebut dengan lembut dan menenangkan unggas yang ketakutan itu.[2] Angsa itu didekap di dada-Nya supaya merasa hangat dan nyaman.[2]

Sabbe sattā dukkhā pamuccantu. Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.[1]

Mudita[sunting | sunting sumber]

Mudita sebagai sifat luhur ketiga bermakna turut berbahagia.

Sabbe sattā ma laddha-sampattito vigacchantu. Semoga semua makhluk tidak kehilangan kesejahteraan yang telah mereka peroleh.[1]

Upekkhā[sunting | sunting sumber]

Sifat luhur keempat, Upekkhā berarti keseimbangan batin. Sikap batin yang teguh dan seimbang.

Sabbe sattā kammassakā, kamma-dāyādā, kamma-yonī, kamma-bandhū, kamma-paṭisaraṇā. Yaṁ kammaṁ karissanti kalyāṇaṁ vā pāpakaṁ vā tassa dāyādā bhavissanti. Semua makhluk Memiliki karmanya sendiri, Mewarisi karmanya sendiri, Lahir dari karmanya sendiri, Berhubungan dengan karmanya sendiri, Terlindung oleh karmanya sendiri. Apa pun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk, itulah yang akan diwarisinya.[1]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d "Paritta Suci" (PDF). Samaggi-Phala.com. Diakses tanggal 28 Desember 2020. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Buddha, kronologi (2006). Kronologi Hidup Buddha. Karaniya. hlm. 42–43. ISBN 979-8727-01-0.