Dekolonisasi ilmu pengetahuan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aksi pemindahan patung Cecil Rhodes dari kampus Universitas Cape Town pada tanggal 9 April 2015. Aksi ini merupakan bagian dari gerakan Rhodes Must Fall yang merupakan gerakan yang bertujuan untuk mendekolonisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan di Afrika Selatan.[1]

Dekolonisasi ilmu pengetahuan atau juga dikenal dengan nama dekolonisasi epistemik[2] atau dekolonisasi epistemologis[3] merupakan sebuah konsep yang bertujuan mengakhiri ketergantungan terhadap teori, interpretasi serta ilmu pengetahuan yang telah ada dan lebih menekankan kepada pembentukan ilmu pengetahuan baru yang lebih sesuai dengan masa lalu serta masa kini atas interpretasi yang dilakukan oleh pencari pengetahuan terhadap dunia yang dihadapi.[4] Istilah ini merupakan bagian dari konsep dekolonialitas yang dicetuskan oleh seorang sosiologis, Anibal Quijano yang bertujuan mendekolonisasi penelitian, produksi ilmu pengetahuan serta kritik sosial.[5] Menurutnya, ilmu pengetahuan yang ada di Amerika Tengah dan di hampir seluruh bagian dunia tidak terlepas dari hegemoni ilmu pengetahuan barat berdasarkan analisis dari teori Descartes tentang subyek-objek dalam ilmu pengetahuan dan menyebut kondisi ini sebagai kolonialitas ilmu pengetahuan.[6]

Proses dekolonisasi dilakukan dengan mencari alternatif dari epistemologi, metodologi dan ontologi yang dianggap telah terkoloni oleh ilmu pengetahuan barat.[7] Selain membahas tekait produksi pengetahuan, konsep ini juga bertujuan menghilangkan aktivitas akademik yang dicurigai hanya memiliki sedikit hubungan terhadap pencarian kebenaran dan ilmu pengetahuan yang obyektif. Fondasi pemikiran ini berdasar bila kurikulum, teori dan ilmu pengetahuan mengalami kolonisasi, maka tempat yang mempelajari hal ini juga akan sebagian besar terpengaruh atas pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang mungkin berasal dari pengetahuan yang dikolonisasi. [8] Sudut pandang konsep ini mencakup beragam topik, seperti filsafat (khususnya epistemologi), ilmu, sejarah ilmu serta beberapa kategori fondasi dalam ilmu sosial.[9]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Pada buku Descripción de Tlaxcala yang terbit pada tahun 1585, Diego Muñoz Camargo menggambarkan kehancuran kodeks oleh frater franciskan.[10]

Dekolonisasi ilmu pengetahunan membahas mekanisme sejarah produksi ilmu pengetahuan dan fondasi pengaruh koloni serta etnosentrisme khususnya erosentrisme terhadap produksi tersebut. Konsep ini berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan standar penentuan validitas dari ilmu pengetahuan dinilai berat sebelah terhadap sistem barat dan konsep pemikiran mereka tentang alam semesta. [4][7] Menurut teori dekolonial, sistem pengetahuan barat yang muncul di Eropa pada periode renaisans dan abad pencerahan diterapkan sebagai usaha untuk melegitimisasi usaha koloni yang dilakukan oleh bangsa Eropa yang perlahan menjadi bagian dari peraturan koloni dan bentuk masyarakat yang para koloni bawa bersama mereka. Dipercaya bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari sistem ilmu pengetahuan barat lebih superior dibandingkan sistem pengetahuan lain, seperti pengetahuan lokal karena memiliki kualitas yang universal. Para akademisi di bidang dekolonial berpendapat bahwa sistem ilmu pengetahuan barat masih terus berlanjut menentukan apakah yang harus dipertimban bgkan sebagai pengetahuan ilmiah dan terus mengasingkan sistem pengetahuan, keahlian serta cara pandang yang berbeda dari sistem pengetahuan mereka.[7]

Anibal Quijano menyatakan:

Hegemoni Eropa terhadap model baru kekuatan global terkonsentrasi pada semua bentuk kuasa subyektivitas, budaya dan khususnya pengetahuan serta produksi pengetahuan di bawah hegemoninya.[11]

Linda Tuhiwai Smith menyatakan dalam bukunya yang berjudul Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples:[12]

Imperialisme dan kolonialisme membawa ketidakberaturan utuh terhadap orang-orang yang terkoloni dan memutuskan hubungan mereka dengan sejarah, lanskap, bahasa , interaksi sosial dan pemikiran, perasaan dan interaksi dengan dunia.

Berdasarkan pandangan ini, walaupun kolonialisme berakhir secara hukum dan politik, tetapi warisannya berlanjut di banyak situasi kolonial pada tempat tempat yang menjadi lokasi-lokasi orang-orang yang secara sejarah pernah dikolonialisasi dimarginalisasi dan dieksploitasi. Akademisi ilmu dekolonial menyebut fenomena ini sebagai kolonialitas sebagai bentuk gambaran opresi dan eksploitasi yang ditinggalkan kolonialisme dia beragam bidang, termasuk bidang subyektivitas dan ilmu pengetahuan. [4]

Asal usul dan perkembangan[sunting | sunting sumber]

Pada kelompok komunitas dan pergerakan sosial di Benua Amerika dekolonisasi ilmu pengetahuan bermula dari pemberontakan terhadap koloniaslisme pada awal tahun 1492.[9] Kemunculan kekhawatiran akademik terhadap dekolonisasi adalah fenomena baru. Menurut Enrique Dussel, tema dekolonisasi ilmu pengetahuan berasal dari kelompok pemikir dari Amerika Latin.[13] Walaupun gagasan dekolonisasi ilmu pengetahuan telah menjadi topik akademik sejak dasawarsa 1970-an, Walter Mignolo berkata bahwa pendapat ini adalah karya dari sosiologis Peru, yaitu Anibal Quijano yang secara eksplisit menghubungkan kolonialitas kuasa dalam ruang lingkup ekonomi dan politk dengan kolonialitas ilmu pengetahuan.[14] Pandangan ini mulai berkembang sebagai sebuah elaborasi dari masalah-masalah yang mulai dari sebuah hasil dari beberapa sikap terhadap pascakolonialisme, studi subaltern dan pascamodernisme. Dussel berkata bahwa dekolonisasi ilmu pengetahuan berada dalam sebuah gagasan kolonialitas kuasa dan transmodernitas yang berasal dari pemikiran José Carlos Mariátegui, Frantz Fanon dan Immanuel Wallerstein.[13] Berdasarkan pendapat Sabelo J. Ndlovu-Gatsheni, dimensi politik, ekonomi, budaya dan epistemologi dari dekolonisasi saling terkait satu sama lain dan perebutan kedaulatan politik adalah strategi logis praktis perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai hasilnya, dekolonisasi politik pada abad dua puluh gagal mencapai dekolonisasi ilmu pengetahuan karena tidak secara ls luasmembahas tentang bidang pengetahuan yang merupakan bidang yang kompleks.[15]

Tema[sunting | sunting sumber]

Decolonisasi kadang dianggap sebagai penolakan terhadap gagasan obyektivitas yang dianggap sebagai warasan pemikiran kolonial. Pandangan bahwa konsepsi ide tentang apa yang dianggap tentang kebenaran dan fakta dianggap sebagai konstruksi Barat yang dipaksakan pada budaya asing lain. Bagi pandangan ini, fakta dan kebenaran bersifat lokal dan berpendapat bahwa apa yang terlihat dan dan diekspresikan di suatu tempat dan waktu belum tentu bisa diterapkan di tempat dan waktu yang berbeda.[8] Kekhawatiran dekolonisasi pengetahuan bahwa sistem pengetahuan yang lain telah menghasilkan berkurangnya keberagaman espitemik dan membangun sebuah pusat ilmu pengetahuan yang menghambat semua bentuk ilu pengetahuan yang berbeda. [16] Boaventura de Sousa Santos berkata " Di seluruh dunia, tidak hanya ada bentu penetahuan terhadap materi, masyarakat, kehidupan dan jiwa yang beragama, tapi ada banyak konsep yang sangat beragam tentang apa yang dinilai sebagai pengetahuan dan syarat untuk memvalidasinya. Sistem pengetahuan yang beragami ini tidak mendapatkan banyak pengakuan".[17] Menurut Lewis Gordon, pembentukan pengetahuan dalam bentuk tunggal belum diketahui hinga kemunculan modernitas bangsa Eropa . Bentuk produksi pengetahuan dan gagasan pengetahuan.[18]

Menurut Mignolo, fondasi pengetahuan modern bersifat teritorial dan imperialisme. Fondasi ini berdasarkan" organisasi sosial sejarah dan klasifikasi dunia yang berdiri pada naratif makro dan sebuah konsep spesifik serta prinsip pengetahuan yang berasal dari modernitas Bangsa Eropa.[19] Dia berpendapat dekolonisasi epistemik sebagai bentuk gerakan ekspansif yang mengidentikasi lokasi geopolitik teologi, filsafat sekularisme dan pemikiran ilmiah sekaligus menegaskan mode dan prinsip ilmu pengetahuan yang telah ditolak oleh retorika kristenisasi, masyarakat, perkembangan, pengembangan dan demokrasi pasar. ."[15] Pendapat ini juga didukung oleh pendapat Achille Mbembe yang menyatakan dekolonisasi ilmu pengetahuan melawan epistemologi hegemonik barat dan melewati apapun yang terlihat, dihasilkan dan diformulasikan oleh epistemolgi yang berada di luar epistemologi barat.[20] Pandangan ini memiliki dua aspek: kritik terhadap paradigma pengetahuan barat dan pengembangan model epistemik baru.[16] Heleta menyatakan bahwa dekolonisasi ilmu pengetahuan " menyirat akhir dari ketergantuang terhadap ilmu pengetahuan, teori dan interpretasi yang dipaksakan dan berteori berdasarkan masa lalu seseorang dan masa sekarang serta interpretasinya terhadap dunia.

Pengaruh[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan pendapat Quijano, dekolonisasi epistemologik dibutuhkan untuk menciptakan jalan baru untuk komunikasi antarbudaya, pertukaran pengalaman dan makna serta pandangan rasionalitas alternatif terhadap apa yang mungkin secara tepat beberapa universalitas.[21] Ndlovu-Gatsheni berkata dekolonisasi epistemologi penting untuk menjawab pembagian intelektual beban kerja buruh yang tidak asimetris yang merupakan hasil pengajaran Eropa dan Amerika Utara terhadap seluruh dunia yang menjadikannya pusat produksi teori dan konsep yang dipakai oleh seluruh umat manusia.[22]

Pendekatan[sunting | sunting sumber]

Dekolonisasi ilmu pengetahuan tidak menyiratkan dewesternisasi atau penolakan terhadap siste pengetahuan dan sains Barat. Menurut Gordon, pandangan ini memberikan mandat terhadap pemisahan dari terhadap komitmen sebuah epistemi musuh. [23]Pandangan ini lebih berfokus kepada penyesuaian terhadap semua sumber ilmu pengetahuan sebagai cara mencapai otonomi dan ekonomi epistemik untuk tradisi pengetahuan yang sebelumnya tidak diakui dan dihambat.[24]

Model pengetahuan relasional[sunting | sunting sumber]

Para akademisi di bidang dekolonial membahas beragam bentuk pengetahuan lokal dalam usaha mereka untuk mendekolonisasi pengetahuan dan cara pandang. Mereka mengambil contoh kasus terhadap model pengetahuan rasional yang tehadi di dalam pengetahuan lokal. Pengetahuan ini berdasarkan persepsi masyarakat pribumi dan mode pencarian pemecahan masalah mereka. Para akademisi ini mempertimbangan pengetahuan lokal secara penting berhubungan karena pengetahuan ini memegang tinggi nilai hubungan antara pelaku, obyek dan latar terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan hubungan jaringan yang digunakan dalam produksi pengetahuan ini mengembangkan dan mendorok hubungan antara individu, kelompok, sumber daya serta komponen lain dalam komunitas yang menghasilkan pengetahuan. Karena pengetahuan dibangun dari sebuah ontologi yang mengakui dunia spiritual sebagai sesuatu yang nyata dan penting dalam pembentukan ilmu pengetahuan, maka hubungan juga berfondasi spiritual dan memberikan konsep aksiologi tentang mengapa dan bagaimana pengetahu harus dibuat, dijaga dan digunakan.[25]

Dunia akademis[sunting | sunting sumber]

Salah satu aspek penting dalam dekolonisasi pengetahuan adalah untuk kembali memikirkan peran dunia akademis yang menjadi musuh utama dari pengertahuan dan dekolonialisasi. Universitas di Negara Barat selalu mengabdi terhadap kuasa polonial dan imperial dan situasinya menjadi semakin buruk saat periode neoliberalisme. Langkah pertama dalam mendekolonisasi produksi ilmu pengetahuan adalah secara hati-hati menganalisis bagaimana ilmu pengetahuan diproduksi dan oleh siapa yang karyanya dikanonkan dan diajarkan sebagai teori dan mata kuliah dasar dan tipe bibliografi d referensi yang digunakan di dalam artikel yang terbit dan semua buku yang digunakan. Pada proses ini, kritik terhadap universitas barat terhadap kebijakan mereka terkait karya peneltitian yang menihilkan sumber independend dan asing, lalu lebih memilih kutipan terhadap akademisi Eropa dan Amerika yang sering dipertimbangkan sebagai dasar di dalam bidang terkait yang seharusnya tidak dilakukan dan dihentikan. [26]

Pendapat lain juga menyatakan bahwa tujuan dunia akademis adalah untuk tidak mencapai peraturan baru yang homogen, melakinkan menjadi sebuah representasi yang lebih besar terhadap ide pengethuan yang lebih plural dan kokoh. Dunia akademis mengundang para akademisi untuk secara hati-hati menelaah para penulis dan pendapat yang ditampilkan sebagai otoritas dalam sebuah subyek, metode dan epistemologi yang diajarkan dan dirujuk sekaligus kekhawatiran akdemik yang dilihat sebagai dasar dan yang diacuhkan. Pertimbangan terhadap peralatan pedagogi dan pendekatan yang digunakan sebagai bahan pembelajaran murid harus dipertimbangkan sekaligus memeriksa pengetahuan komunitas serta pengetahuan lokal yang diikuti, dikenalkan atau dibolehkan untuk mendefinikan kembali agenda pembelajaran. Pada proses ini, tujuan dan masa depan ilmu pengetahuan harus dievaluasi ulang.[27] Ada beberapa saran untuk memperluas daftar bacaan dan menciptakan kurikulum yang inklusif dalam memasukkan beragam pendapat dan cara pandang yang menjadi representasi cara pandang yang lebih luas dan historis. Para peniliti didorong untuk menginvestigasi pengetahuan diluar pengetahuan barat yang kanon untuk menentukan apakah ada kanon alternatid yang terlewat atau tidak dianggap sebagai bentuk dari kolonialisme.[28]

Ngũgĩ wa Thiong’o yang menekankan pentingnya mendekolonisasi sejarah, memori dan bahasa menyatakan bahwa bahasa, bukan geopolitik yang menjadi titik awal dekolonisasi. Menurut Mahmood Mamdani, ide sebuah universitas berdasarkan pada satu bahasa adalah warisan kolonial seperti yang terjadi di universitas yang ada di Benua Afrika yang awalnya muncul sebagai proyek yang dimulai dari Bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa yang digunakan dalam proyek ini sehingga hanya mengenal satu tradisi intelektual, yaitu tradisi barat. Maka dari itu, pendidikan harus lebih beragam dan terdiri dari beragam bahasa dengan fokus yang tidak hanya memberikan pendidikan yang terwesternisasi dalam beragam bahasa, tetapi juga dalam cara untuk meningkatkan tradisi intelektual non barat sebagai tradisi yang hidup dan bisa mendukung diskusi publik dan akademis. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah memberikan dana untuk membuat unit akademik yang meneliti tradisi intelektual non barat, Dia percaya belajar bahasa yang menjadi tradisi dan telah dikembangkan secara historis penting untuk mengakses tradisi intelektual yang berbeda.[29]

Pelabelan terhadap para akademisi baru dengan nama peneliti sebelumnya dianggap sebagai dasar juga dianggap sebagai metode kolonial dalam memvalidasi diri dan penelitian, meskipun para akademisi ini juga terinspirasi dari banyak peneliti sebelum mereka, tetapi tidak diberikan label serupa. Penelaahan sejawat menjadi sebuah sistem penjaga gerbang yang meregulasi produksi pengetahuan dalam bidang terkait atau beberapa wilayah tertentu di dunia. [26]

Dalam beragam disiplin ilmu[sunting | sunting sumber]

Sebagai cara untuk melewati pembatas pengetahuan kanon barat, proponen dekolonisasi ilmu pengetahuan melakukan pemanggilan terhadap dekolonisasi di beragam disiplin ilmu, seperti sejarah[30] sains dan sejarah sains[31][32] filsafat[33], (khususnya, epistemologi),[34]psikologi,[35][36] sosiologi,[37]studi agama[38] [39]dan studi hukum.[40]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Chowdhury, Rashedur (2021). "From Black Pain to Rhodes Must Fall: A Rejectionist Perspective". Journal of Business Ethics (dalam bahasa Inggris). 170 (2): 287–311. doi:10.1007/s10551-019-04350-1. ISSN 1573-0697. 
  2. ^ Sepherd, Nick (1 April 2019). "Epistemic Decolonization". Keywords | ECHOES (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 25 Oktober 2022. 
  3. ^ Mamdani, Mahmood (2016). "Between the public intellectual and the scholar: decolonization and some post-independence initiatives in African higher education". Inter-Asia Cultural Studies. 17 (1): 68–83. doi:10.1080/14649373.2016.1140260. ISSN 1464-9373. 
  4. ^ a b c Heleta, Savo (2018). "Decolonizing Knowledge in South Africa: Dismantling the 'pedagogy of big lies'". Ufahamu: A Journal of African Studies (dalam bahasa Inggris). 40 (2). doi:10.5070/F7402040942. ISSN 0041-5715. 
  5. ^ Trembath, Sarah. "Decoloniality". American University Washington DC. Diakses tanggal 25 Oktober 2022. 
  6. ^ Chambers, Paul Anthony (2020). "Epistemology and Domination: Problems with the Coloniality of Knowledge Thesis in Latin American Decolonial Theory". Dados (dalam bahasa Inggris). 63. doi:10.1590/dados.2020.63.4.221. ISSN 0011-5258. 
  7. ^ a b c Dreyer, Jaco S. (2017). "Practical theology and the call for the decolonisation of higher education in South Africa: Reflections and proposals". HTS Teologiese Studies / Theological Studies (dalam bahasa Inggris). 73 (4): 7. doi:10.4102/hts.v73i4.4805. ISSN 2072-8050. 
  8. ^ a b Broadbent, Alex (1 Juni 2017). "It will take critical, thorough scrutiny to truly decolonise knowledge". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 25 Oktober 2022. 
  9. ^ a b Hira, Sandew (2017). "Decolonizing Knowledge Production". Dalam Peters, Michael A. Encyclopedia of Educational Philosophy and Theory (dalam bahasa Inggris). Singapore: Springer. hlm. 375–382. doi:10.1007/978-981-287-588-4_508. ISBN 978-981-287-588-4. 
  10. ^ Beer, Andreas; Mackenthun, Gesa, ed. (2015). "Introduction". Fugitive Knowledge. The Loss and Preservation of Knowledge in Cultural Contact Zones (PDF). Waxmann Verlag GmbH. hlm. 13. doi:10.31244/9783830982814. ISBN 978-3-8309-3281-9. 
  11. ^ Quijano, Aníbal (2000). "Coloniality of Power and Eurocentrism in Latin America" (PDF). International Sociology (dalam bahasa Inggris). 15 (2): 215–232. doi:10.1177/0268580900015002005. ISSN 0268-5809. 
  12. ^ Smith, Linda Tuhiwai (2016). Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. hlm. 28. ISBN 978-1-84813-952-7. 
  13. ^ a b Dussel, Enrique (2019). "Epistemological Decolonization of Theology". Dalam Barreto, Raimundo; Sirvent, Roberto. Decolonial Christianities: Latinx and Latin American Perspective. Springer Nature. hlm. 25, 26. ISBN 9783030241667. 
  14. ^ Andraos, Michel Elias (2012). "Engaging Diversity in Teaching Religion and Theology: An Intercultural, De-colonial Epistemic Perspective: Engaging Diversity" (PDF). Teaching Theology & Religion (dalam bahasa Inggris). 15 (1): 3–15. doi:10.1111/j.1467-9647.2011.00755.x. 
  15. ^ a b Ndlovu-Gatsheni, Sabelo (2018). "THE DYNAMICS OF EPISTEMOLOGICAL DECOLONISATION IN THE 21ST CENTURY: TOWARDS EPISTEMIC FREEDOM". The Strategic Review for Southern Africa (dalam bahasa Inggris). 40 (1). doi:10.35293/srsa.v40i1.268. ISSN 1013-1108. 
  16. ^ a b Naude, Piet (2017). "Decolonising knowledge : in what sense is an 'African' ethic possible?" (dalam bahasa Inggris): 1–24. 
  17. ^ de Sousa Santos, Boaventura (2007). "Beyond Abyssal Thinking: From Global Lines to Ecologies of Knowledges". Review. XXX (1): 1–66 [28]. doi:10.4324/9781315634876-14. hdl:10316/42128alt=Dapat diakses gratis. ISBN 9781315634876. 
  18. ^ Gordon, Lewis R. (2014). "Disciplinary Decadence and the Decolonisation of Knowledge". Africa Development. XXXIX (1): 81–92 [81]. 
  19. ^ Mignolo, Walter D.; Tlostanova, Madina V. (2006). "Theorizing from the Borders: Shifting to Geo- and Body-Politics of Knowledge". European Journal of Social Theory (dalam bahasa Inggris). 9 (2): 205–221. doi:10.1177/1368431006063333. ISSN 1368-4310. 
  20. ^ O’Halloran, Paddy (2016). "The 'African University' as a Site of Protest: Decolonisation, Praxis and the Black Student Movement at the University Currently Known as Rhodes". Interface. 8 (2): 184–210 [185]. 
  21. ^ Quijano, Aníbal (2007). "Coloniality and Modernity/Rationality" (PDF). Cultural Studies. 21 (2-3): 168–178. doi:10.1080/09502380601164353. ISSN 0950-2386. 
  22. ^ Ndlovu-Gatsheni, Sabelo J. (2017). "The emergence and trajectories of struggles for an 'African university': The case of unfinished business of African epistemic decolonisation". Kronos. 43 (1): 51–77. doi:10.17159/2309-9585/2017/v43a4. [pranala nonaktif permanen]
  23. ^ Gordon, Lewis R. (2010). "Fanon on Decolonizing Knowledge". Dalam Hoppe, Elizabeth A.; Nicholls, Tracey Nicholls. Fanon and Decolonization of Philosophy. Lexington Books. hlm. 13. ISBN 9780739141274. 
  24. ^ Olivier, Bert (2019). "Decolonization, Identity, Neo-Colonialism and Power". Phornimon. 20: 1–18 [1]. 
  25. ^ Botha, Louis; Griffiths, Dominic; Prozesky, Maria (2021). "Epistemological Decolonization through a Relational Knowledge-Making Model". Africa Today. 67 (4): 51–72. doi:10.2979/africatoday.67.4.04. ISSN 1527-1978. 
  26. ^ a b Yako, Louis (9 April 2021). "Decolonizing Knowledge Production: a Practical Guide". CounterPunch.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 31 Oktober 2022. 
  27. ^ Kessi, Shose; Marks, Zoe; Ramugondo, Elelwani (2021). "Decolonizing knowledge within and beyond the classroom". Critical African Studies. 13 (1): 1–9. doi:10.1080/21681392.2021.1920749. ISSN 2168-1392. 
  28. ^ Arshad, Rowena (14 September 2021). "Decolonising the curriculum – how do I get started?". Timeshighereducation. Diakses tanggal 31 Oktober 2022. 
  29. ^ Mamdani, Mahmood (2019-08-01). "Decolonising Universities". Decolonisation in Universities. Wits University Press. hlm. 15–28. doi:10.18772/22019083351.6. ISBN 9781776143368. 
  30. ^ Behm, Amanda; Fryar, Christienna; Hunter, Emma; Leake, Elisabeth; Lewis, Su Lin; Miller-Davenport, Sarah (2020). "Decolonizing History: Enquiry and Practice". History Workshop Journal. 89: 169–191. doi:10.1093/hwj/dbz052. ISSN 1363-3554. 
  31. ^ Roy, Rohan Deb. "Decolonise science – time to end another imperial era". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-10-31. 
  32. ^ Boisselle, Laila N. (2016). "Decolonizing Science and Science Education in a Postcolonial Space (Trinidad, a Developing Caribbean Nation, Illustrates)". SAGE Open (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 215824401663525. doi:10.1177/2158244016635257. ISSN 2158-2440. 
  33. ^ Shah, Mashael (12 April 2022). "Global and Islamic approach to philosophy highlighted". The Express Tribune (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 31 Oktober 2022. 
  34. ^ Mignolo, Walter (2011). "Decolonizing Western Epistemology / Building Decolonial Epistemologies" (dalam bahasa Inggris). doi:10.5422/fordham/9780823241354.003.0002. 
  35. ^ Kessi, Shose (27 September 2016). "Decolonising psychology creates possibilities for social change". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 31 Oktober 2022. 
  36. ^ Bhatia, Sunil (2020). "Decolonizing psychology: Power, citizenship and identity". Psychoanalysis, Self and Context. 15 (3): 257–266. doi:10.1080/24720038.2020.1772266. ISSN 2472-0038. 
  37. ^ Connell, Raewyn (2018). "Decolonizing Sociology". Contemporary Sociology: A Journal of Reviews (dalam bahasa Inggris). 47 (4): 399–407. doi:10.1177/0094306118779811. ISSN 0094-3061. 
  38. ^ Nye, Malory (2019). "Decolonizing the Study of Religion". Open Library of Humanities (dalam bahasa Inggris). 5 (1). doi:10.16995/olh.421. ISSN 2056-6700. 
  39. ^ Tayob, Abdulkader (2018). "Decolonizing the Study of Religions: Muslim Intellectuals and the Enlightenment Project of Religious Studies". Journal for the Study of Religion. 31 (2). doi:10.17159/2413-3027/2018/v31n2a1. [pranala nonaktif permanen]
  40. ^ González, Aitor Jiménez (2018). "Decolonizing Legal Studies: A Latin Americanist perspective". Dalam Cupples, Julie; Grosfoguel, Ramón. Unsettling Eurocentrism in the Westernized University. Routledge. doi:10.4324/9781315162126. ISBN 978-1-315-16212-6.