Lompat ke isi

Ahmad al-Muhajir

Halaman yang dilindungi semi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Ahmad Al-Muhajir)

Imam
Aḥmad al-Muhājir
Nama asalأحمد
LahirAḥmad
873 M
Basra, Irak
Meninggal956 (umur 82–83)
al-Husaisah, Yaman
Makamal-Husaisah, Yaman
KebangsaanArab
Nama lainIbnu Isa
PekerjaanUlama, guru
ZamanZaman Keemasan Islam
(Pertengahan Abbasiyah)
Dikenal atasNenek moyang dari Alawiyyin
Anak
  • Muhammad
  • Ali
  • Husain
  • Ubaidillah
Orang tua
  • Isa al-Rumi (bapak)
Nama Arab
Pribadi (Ism)Aḥmad
Patronimik (Nasab)Aḥmad al-Muhājir bin ʿĪsā ar-Rūmī bin Muḥammad an-Naqīb bin ʿAlī al-ʿUraiḍī bin Jaʿfar aṣ-Ṣādiq bin Muḥammad al-Bāqir bin ʿAlī Zain al-ʿĀbidīn bin al-Ḥusain bin ʿAlī bin Abī Ṭālib
Teknonim (Kunyah)Abu Muḥammad
Julukan (Laqab)al-Muhājir (terj. har.'imigran')

Ahmad al-Muhajir (bahasa Arab: أحمد المهاجر, Aḥmad al-Muhājir, pelafalan dalam bahasa Arab: [ɑhmɑd ɑl muhɑːdʒiɽ]; 260–345 H atau ca 873–956 M)[1] juga dikenal sebagai al-Imām Aḥmad bin ʿĪsā adalah seorang Imam, Mujtahid, dan diklaim sebagai nenek moyang kelompok Alawiyyin yang kemudian menyebarkan Islam ke India, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Dia adalah salah satu keturunan Ali al-Uraidi,[2] yang merupakan anak keempat dari Imam Ja'far ash-Shadiq, generasi kelima keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, putri nabi Islam Muhammad. Dia juga dikenal sebagai teman baik Bisyr al-Ḥāfī.

Kehidupan awal

Menurut riwayat lain, ia diperkirakan lahir pada tahun 241 Hijriah (854 M);[3] tapi ini sepertinya opini yang lebih lemah. Aḥmad tumbuh di bawah pengawasan orang tuanya dalam lingkungan yang dikelilingi oleh para ulama dan teladan hidup karakter kenabian. Ia hafal Al-Qur'an dan kemudian menguasai ilmu-ilmu hukum suci hingga mencapai derajat mujtahid. Ia juga memiliki koleksi hadisnya sendiri (musnad, bukan Musnad Ahmad) dan sangat dihormati oleh Imam Sunni ath-Thabari.

Migrasi

Aḥmad bin Isa disebut al-Muhâjir (imigran) karena ia meninggalkan Basra, Irak pada masa Kekhalifahan Abbasiyah yang beribukota di Baghdad di tahun 317H (929 M). Aḥmad bin Isa meninggalkan Basra bersama istrinya, putranya, Abdullah, (yang lebih dikenal sebagai Ubaidillah) dan cucunya dari Ubaidillah (dikenal sebagai Basri). Nama asli Basri adalah Ismail tetapi dikenal sebagai Basri karena ia lahir di Basra. Bersama mereka juga hadir nenek moyang Syarif Muḥammad bin Sulayman, kakek dari keluarga Ahdal dan Syarif Aḥmad al-Qudaimi, kakek dari keluarga Qudaimi, dan rombongan berjumlah 70 orang. Dia meninggalkan ketiga putranya yang lain, Muḥammad, Ali dan Husain di Irak untuk mengurus kekayaan dan harta benda mereka.

Pertama-tama beliau pergi ke Madinah dan Makkah, kemudian dari Mekah ke Yaman pada sekitar tahun 319 H. Beliau hijrah pada saat terjadi banyak pertikaian internal, pertumpahan darah dan kekacauan di Irak, dimana sejumlah besar keturunan Muhammad dianiaya karena alasan politik oleh penguasa Abbasiyah dan juga karena terjadi kekacauan akibat pemberontakan melawan pemerintahan Abbasiyah yang dilakukan oleh kaum Qaramitah.[4][5]

Ahmad berangkat ke Yaman pada tahun 319 H bersama rombongannya dan akhirnya mencapai Hadhramaut, sedangkan Aḥmad al-Qudaimi menetap di Yaman utara dan Syarif Muḥammad bin Sulaiman di Tihamah di pesisir Laut Merah. Dia pertama kali menetap di desa Jubail dan kemudian Hajrain. Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke desa Qarat Bani Jusyair dan akhirnya menetap di al-Husayyisah dekat Seiyun.

Kehidupan selanjutnya

Ahmad tiba di Hadhramaut pada saat sebuah cabang dari sekte Khawarij yang disebut Ibadiyah memegang kekuasaan politik dan memiliki pengaruh luas di seluruh lembah. Dia bertahan dalam menyebarkan kebenaran Islam sampai dia hampir sendirian menyingkirkan sekte Ibadi dari Hadhramaut tanpa pernah mengangkat senjata melawan mereka.[6]

Ahmad meninggal dunia pada tahun 345 H atau 956 M di al-Husaisah, sebuah kota antara Tarim dan Seiyun, Hadhramaut. Kuilnya berdiri di atas bukit dan merupakan salah satu kuil pertama yang dikunjungi pengunjung Hadhramaut ketika mengunjungi daerah tersebut.[7]

Aliran pemikiran

Ada kontroversi tentang apa mazhab yang diikuti oleh Aḥmad bin ʻIsa. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dia adalah seorang imam Sunni. Beberapa ulama lainnya seperti ʻAbdurraḥman bin ʻUbaidillah as-Saqqāf, Ṣalih al-Ḥamid, dan Sayyid ʻAbdullah bin Ṭāhir al-Ḥaddād (saudara laki-laki Alwi bin Thahir al-Haddad, Mufti dari Johor) dan beberapa lainnya berpendapat bahwa dia adalah seorang pengikut Syiah Zaidiyah.[8][9][10] Namun mayoritas keturunannya menganut Islam Sunni.

Mengenai Mazhab hukum apa yang dianutnya, ʻAbdurraḥman bin ʻUbaidillah as-Saqqāf menyatakan bahwa al-Muhajir tidak menganut paham fikih Syafi'i. As-Saqqāf menegaskan bahwa Aḥmad bin Isa adalah seorang mujtahid, dia tidak perlu mengikuti madzhab apapun.[11]

Keturunan dan posisi

Pada awalnya istilah "Alawi" diberikan kepada seluruh keturunan Ali bin Abi Thalib, baik Hasan dan Husain. Kemudian untuk membedakan keturunan Alawi bin Ubaidillah maka digunakanlah gelar Aal Bani Alawi.

Sayyid dari keluarga Ba 'Alawi sada Yaman menelusuri keturunan mereka hingga Aḥmad al-Muhâjir melalui cucunya, Alawi "Sahib al-Sumal" bin Ubaidillah.[12] Beberapa dari Wali Sanga di Indonesia dalam beberapa tradisi diklaim sebagai keturunannya juga.[13] Ubaidillah, atau dikenal juga dengan sebutan Alawi al-Awwal (Alawi pertama) adalah keturunan pertama yang lahir di Yaman (satu versi mengatakan ia lahir di al-Husaisah, versi lain mengatakan dia lahir di Sumal). Kata dalam Ba 'Alawi sada adalah istilah ketat Hadhrami yang berarti keturunan.[14]

Saat ini keturunan Imam Ahmad melalui Alawi bin Ubaidillah tersebar paling banyak hingga Yaman, Afrika, terutama di Kenya (Lamu, Mombasa, Malindi) Tanzania, Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei, beberapa di Singapura, Filipina Selatan dan beberapa di Thailand), dan Asia Selatan (Pakistan dan India). Beberapa keturunan terkemuka Imam Ahmad adalah Muhammad al-Faqih al-Muqaddam pada abad ke-13, Sayyid Abu Bakar al-Aydarus dari Tarim dan Azmatkhan di India, Sunan Ampel di Indonesia pada abad ke-15, Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad pada abad ke-17, Raden Saleh bin Yahya (seorang bangsawan dan seniman) pada abad ke-19 Haidar Abu Bakr al-Attas (mantan perdana menteri Yaman), Umar bin Hafidz dari Tarim, Ali al-Jifri dari Jeddah di abad ke-21. Beberapa keturunannya di Indonesia antara lain diklaim sebagai Abdullah bin Syeikh al-Aydarus, Habib Ali Kwitang, Ali Alatas, Alwi Shihab, dan Hamid Algadri.

Aḥmad al-Muhâjir dianggap sebagai seorang Imam Mujtahid, yang berarti ia dianggap sebagai salah satu sumber utama keputusan masalah agama.

Referensi

  1. ^ Abdullah bin Muḥammad Bakutsair. Rihlah al-Asywaq al-Qawiyah. hlm. 34. 
  2. ^ Morton, Shafiq. "A History of Wahabi Desecrations in the Holy Land of al-Hijaz". Notebooks from Makkah & Madinah: A modern journey to Islam's two Holy Cities. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 August 2008. Diakses tanggal 2008-09-20. 
  3. ^ Sayyid Ali bin Hasan al-Attas. al-Qirtas fi Manaqib al-Attas. 
  4. ^ "Persecution of the Shia by the Abbasid kings". Diakses tanggal January 12, 2014. 
  5. ^ Abu'l-Faraj Ali ibn al-Husayn al-Isfahani. Maqatil at-Talibiyyin (hardcover). Lebanon: Dar al-Fajr. hlm. 366. 
  6. ^ Amin Buxton (2012). Imams of The Valley. Western Cape, South Africa: Dar al-Turath al-Islami. 
  7. ^ "Ali al". Habeebsab. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  8. ^ Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqof. Nasim Hajir fī Ta'kid Qawli 'an Madhhab al-Imam al-Muhājir. 
  9. ^ Muḥammad bin Aḥmad As Shaṭiri. Adwar Tarikh Hadramaut. 1. hlm. /56. 
  10. ^ Shaleh al-Hamid. Tarikh Hadramaut. 1. hlm. 323–325. 
  11. ^ Shaleh al-Hamid. Op.cit. 1. hlm. 325. 
  12. ^ Ho, Engseng (2006). The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility across the Indian Ocean. University of California Press. ISBN 0-520-24453-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-29. Diakses tanggal 2008-09-21. 
  13. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.
  14. ^ "ALWI-UBAIDILLAH-12". Diakses tanggal July 12, 2014. 

Pranala luar