Mufti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mufti adalah orang yang diberi wewenang untuk menghasilkan fatwa dengan cara ijtihad.[1] Tugas Mufti adalah mengenalkan dan menerapkan syariat Islam dalam suatu masyarakat.[2] Syarat untuk menjadi mufti adalah menguasai ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki sifat yang mulia dan sehat.[3] Fatwa yang dibuat oleh Mufti harus mengikuti perkembangan zaman.[4]

Persyaratan[sunting | sunting sumber]

Pemilihan mufti harus mempertimbangkan kepercayaan masyarakat terhadapnya, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan tentang hal-hal yang halal dan haram untuk dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.[5] Persyaratan dasar untuk menjadi Mufti adalah memiliki kemampuan melakukan ijtihad. Dalam pelaksanaannya, Mufti harus dipilih dari para mujtahid yang memiliki pemikiran yang adil dan jujur terhadap masyarakat yang diberi fatwa.[6] Mufti juga harus menguasai ilmu ushul fikih, fikih, dan syariat Islam. Sifat pribadi yang harus dimiliki oleh Mufti yaitu tidak melakukan perbuatan haram dan sia-sia, memiliki pendirian yang teguh, tidak bersikap sombong, dan sehat rohani maupun jasmani.[3]

Pemberian fatwa[sunting | sunting sumber]

Mufti menghasilkan fatwa yang bersifat mengikuti keadaan sosial dalam suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Perannya adalah sebagai pemberi nasihat melalui fatwa yang dibuatnya. Tujuannya adalah untuk melaksanakan pemikiran syariat Islam.[7] Fatwa yang dihasilkan oleh mufti dapat merubah kehidupan sosial dalam masyarakat yang diberi fatwa.[8] Fatwa tersebut tidak berasal dari pendapat pribadinya.[9] Mufti akan memberikan fatwa yang berkaitan dengan permasalahan praktis yang sumber hukumnya tidak disampaikan secara jelas dalam Al-Qur'an dan Sunah. Nilai-nilai dalam kedua sumber syariat Islam tersebut kemudian akan dikaji sehingga menghasilkan fatwa yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.[8]

Pemberian fatwa harus dilandasi dengan pengetahuan tentang tradisi yang berlaku dalam masyarakat yang meminta fatwa kepada Mufti.[10] Ideologi yang berkembang dalam suatu masyarakat harus dipertimbangkan, sehingga fatwa yang dihasilkan oleh Mufti dapat diterapkan secara tepat.[9] Selain itu, fatwa yang dihasilkan harus mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak mempersulit masyarakat dalam menerapkannya.[4]

Mufti tidak boleh menolak memberikan fatwa apabila ada permintaan dari masyarakat awam. Namun mufti juga tidak boleh selalu membuat fatwa Jika suatu fatwa sudah tidak sesuai dengan keadaan dalam suatu masyarakat, maka Mufti dapat membatalkan fatwa yang telah dibuat sebelumnya dan menggantinya dengan fatwa baru disertai dengan alasan yang jelas. Fatwa yang dibuat oleh Mufti tidak boleh digunakan untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Selain itu, fatwa yang merujuk pada mazhab tertentu harus berasal dari kitab fikih yang diakui secara umum oleh masyarakat yang meminta fatwa.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ansori 2017, hlm. 138.
  2. ^ Nurasiah 2009, hlm. 191.
  3. ^ a b Mukhlishin, Suhendri, dan Dimyati 2018, hlm. 171.
  4. ^ a b Tahir 2009, hlm. 397.
  5. ^ Tahir 2009, hlm. 393.
  6. ^ Nurasiah 2009, hlm. 195.
  7. ^ Ansori 2017, hlm. 139.
  8. ^ a b Fauzi 2017, hlm. 110.
  9. ^ a b Fauzi 2017, hlm. 111.
  10. ^ Tahir 2009, hlm. 395.
  11. ^ Mukhlishin, Suhendri, dan Dimyati 2018, hlm. 173.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]