Hukuman mati dan hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peta Penyebaran Negara yang Masih Melakukan Hukuman Mati.[1] Menurut penelitian Amnesti Internasional, masih banyak negara-negara yang masih menjalankan hukuman mati di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[2] Sebanyak 136 negara masih menjalankan hukuman mati.[2] Namun, terhitung setelah 10 tahun negara-negara tersebut tidak melakukan eksekusi hukuman mati.[2] Sebanyak 50 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati dari Undang-Undang Pidana yang berlaku.[3]

Hukuman mati dan hak asasi manusia seringkali dianggap tidak lagi berhubungan satu sama lain, terutama dalam bahasan hak untuk hidup. Meskipun timbul pertentangan, masih banyak negara-negara di dunia yang menggunakan hukuman mati sebagai sanksi pidana. Contohnya di Amerika Serikat, di mana 38 dari 50 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati sebagai sanksi pidana.[4]

Pada abad ke-17 pelaksanaan hukuman mati masih dengan cara yang dianggap kurang manusiawi. Contohnya dengan cara pemancungan, hukuman gantung, memukul hingga mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dan lain sebagainya. Kini perkembangannya jauh lebih modern. Di Pakistan dan Malaysia, hukuman mati dilakukan dengan cara digantung. Di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas, atau pemberian suntik mati.[4]

Pertentangan mengenai hukuman mati pertama kali muncul dari Eropa Barat yang didukung oleh tokoh bernama Cesare Beccaria yang tertuang dalam sebuah tulisan yang diberi judul On Crime and Punishment pada tahun 1764. Setelah tulisan itu terbit, di abad ke 20 mulai terjadi reaksi untuk mereformasi beberapa kebijakan tentang pelaksanaan hukuman pidana, termasuk di dalamnya membahas tentang perubahan mengenai hukuman mati.[5]

Di tahun 1863, negara Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kriminalitas. Di tahun 1865, San Marino (di Eropa) juga ikut menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Di benua Asia, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yaitu Kamboja, Timor Leste, Turkmenistan, dan Nepal. Di benua Afrika, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di antaranya, Mozambik, Namibia, Sao Tome dan Principe, dan Tanjung Verde.[5]

Latar Belakang Teori[sunting | sunting sumber]

Teori Absolut (Pembalasan)[sunting | sunting sumber]

Teori absolut memiliki tujuan untuk pembalasan. Satu-satunya syarat untuk pemidanaan yaitu kesalahan moral. Pemberian hukuman harus sesuai dan setara dengan kejahatan moral yang dilakukannya. Teori ini tidak memiliki tujuan untuk memperbaiki kesalahan seperti mendidik atau mensosialisasikan pelaku kejahatan.[6] Mutlak pembalasan dari pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Orang yang melakukan kejahatan harus ada pembalasan yang berupa pidana (hukuman). Teori ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

  • Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dan etika. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Hagel. Ia berpendapat bahwa hukum merupakan wujud dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan tantangan antara keadilan dan hukum.[4]
  • Pembalasan demi keindahan dan kepuasan. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Herbert. Ia berpendapat bahwa rasa tidak puas yang muncul dari masyarakat beserta tuntutannya merupakan akibat dari kejahatan.[4]
  • Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Stahl Gewin dan Thomas Aquno. Mereka berpendapat bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap keadilan. Orang yang melakukan kejahatan harus diberi penderitaan, agat perikeadilan Tuhan terpelihara.[4]
  • Pembalasan sebagai kehendak manusia. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Jean Jacques Rousseau, Hugo de Groot, Grotius, dan Beccaria. Mereka berpendapat bahwa negara merupakan kehendak manusia, begitupun dengan pemidaan merupakan wujud dari kehendak manusia.[4]

Teori Tujuan (Teori Relatif atau Teori Pebaikan)[sunting | sunting sumber]

Hukuman bertujuan untuk menakut-nakuti calon penjahat. Selain itu, penjahat yang mendapat hukuman dapat memperbaiki dan menyingkirkan penjahat.[4] Teori ini memberikan penjelasan bahwa tindak kejahatan bisa bertemu dengan pembenarannya, dengan syarat memberi manfaat bagi hak warga negara. Hukuman yang memberikan efek penderitaan diperbolehkan, sejauh dibutuhkan untuk menghasilkan pencegahan kerugian yang lebih besar. Hukuman juga dimaksudkan untuk memberikan kesadaran bagi pelaku kejahatan agar menyesali perbuatannya.[6] Teori ini dibagi menjadi empat yaitu:

  • Ancaman pidana merupakan suatu cara untuk menakut-nakuti calon penjahat. Tokoh yang mengemukakan teori ini yaitu Paul Anselm van Feberbach.[4]
  • Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat, berupa pidana. Hal itu diharapkan ketika mereka kembali kepada masyarakat, mereka dalam keadaan mental yang baik. Teori ini dikemukakan oleh Grolman van Krause Rader.[4]
  • Penjahat disingkirkan dari lingkungan masyarakat. Hal ini sering disebut perampasan kemerdekaan. Tokoh yang mengemukakan pendapat ini yaitu Ferri dan Garopalo.[4]
  • Membuat norma-norma yang menjadi keterlibatan umum. Teori ini dikemukakan oleh Frans van Litz, Van Hamel, dan Simon.[4]

Perkembangan Hukum Internasional[sunting | sunting sumber]

Di dalam hukum internasional, PBB memiliki tugas untuk mengawasi dan memberikan perlindungan kepada pelaku hukuman mati, hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Bentuk upaya yang dilakukan oleh PBB tertuang dalam Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB di tahun 1984. Isinya berupa penjaminan bagi pelaku yang akan dihukum mati. Resolusi tersebut terus diperbaharui, hingga yang terakhir tertuang dalam Resolusi Komisi HAM tahun 2005.[7]

Hukuman mati pertama kali dibahas dalam forum internasional di Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang. Isinya memuat tentang prosedur dan cara mengenai pemberian hukuman mati kepada tawanan perang. Peraturan yang dibuat, berlaku hingga kini. Selain itu, Konvensi Jenewa juga membahas tentang warga sipil, yang tidak diperbolehkan mendapatkan hukuman mati di wilayah yang ditempatinya.[5]

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia[sunting | sunting sumber]

Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Isi pasal tersebut tidak menyebutkan secara spesifik mengenai hukuman mati.[5]

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik[sunting | sunting sumber]

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan standar pencapaian bersama yang sudah ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hal Asasi Manusia. Isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hukuman mati tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7.[5]

Rangkuman isi dari Pasal 6 berisi tentang:

  • Setiap manusia memiliki hak untuk hidup untuk pribadinya. Tidak ada yang bisa merampas hak tersebut.[5]
  • Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati sebagai sanksi, harus dilaksanakan sesuai kebijakan di mana tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida.[5]
  • Seseorang yang mendapatkan hukuman mati, memiliki hak untuk mendapatkan penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.[5]
  • Hukuman mati tidak dapat diberikan kepada anak yang di bawah delapan belas tahun, dan perempuan yang sedang mengandung.[5]

Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PPB di tahu 1957. Latar belakangnya, karena pada tahun tersebut masih banyak negara-negara yang memberlakukan hukuman mati. Pasal 7 membahas tentang bahwa tidak boleh memberikan hukuman mati kepada setiap orang dengan alasan untuk merendahkan harga dirinya. Selain itu, tidak boleh melakukan eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan.[5]

Kebijakan PBB[sunting | sunting sumber]

Di tahun 1959, pembahasan tentang hukuman mati masuk ke dalam forum PPB, di mana Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi untuk meminta Dewan Ekonomi dan Sosial agar mempelajari hukuman mati kembali. Kajiannya meliputi hukum dan pelaksanaanya di beberapa negara. Setelah dikaji, lalu diuji apakah hukuman mati tersebut mempengaruhi efektivitas pengurangan kriminalitas di suatu negara. Di tahun 1962 kajian tersebut selesai. Hasilnya, penghapusan hukuman mati di suatu negara tidak meningkatkan kriminalitas untuk negaranya. Di tahun 1968, Majelis Umum PBB memberikan persetujuan untuk sebuh resolusi tentang perlindungan bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Resolusi tersebut berisi tentang bahwa seseorang yang sedang menunggu waktu hukuman matinya tiba, seseorang tersebut masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding, hasilnya bisa berupa ampunan atau masih tetap dengan hukuman matinya.[5]

Di tahun 1948. Dewan Ekonomi dan Sosial mebuat sebuah resolusi untuk menjadi perlindungan atas hak-hak orang yang akan menghadapi hukuman mati.[5] Beberapa resolusi itu membahas tentang:

  • Negara yang masih menjalankan hukuman mati, hanya diperbolehkan menjalankannya dengan jaminan bahwa jenis kriminalitas yang dilakukannya termasuk pelanggaran yang sangat berat.[5]
  • Hukuman mati tidak bisa diberikan kepada ibu hamil, orang yang mengalami gangguan jiwa, dan anak yang berusia di bawah 18 tahun.[5]
  • Seseorang yang sudah dijatuhi hukuman mati memiliki hak untuk naik banding dalam pengadilan yang lebih tinggi.[5]
  • Seseorang yang dijatuhi hukuman mati, memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf, pengurangan hukuman.[5]

Sejauh ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional mengenai penghapusan hukuman mati. Suatu negara bisa menjadi bagian dari anggota perjanjian tersebut dengan cara meratifikasinya. Ratifikasi diartikan melakukan tindakan internasional di mana negara tersebut menyatakan ikrar sebagai Negara pihak (State Party) dalam perjanjian internasional tersebut. Keempat perjanjian yang telah disahkan tersebut terdiri dari satu yang sifatnya global, dan tiga lainnya bersifat kawasan.[5] Berikut adalah deskripsi rangkuman dari empat Perjanjian Intersnasional tersebut:

Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati[sunting | sunting sumber]

Hukuman mati dianggap hukuman yang merendahkan martabat serta bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah banyak negara yang menghapuskan hukuman mati dalam pemberian sanksi berat di peradilan. Negara yang tergabung dalam organisasi Uni Eropa dilarang menggunakan hukuman mati dalam sistem pidananya. Hal ini berdasarkan isi dari Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union di tahun 2000.[8] Alasan sebagian masyarakat menentang hukuman mati karena beralasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.[4] Isu mengenai hukuman mati pasti akan selalu dihadapkan dengan hak asasi manusia. Selain itu, masyarakat yang tidak setuju dengan hukuman mati karena bersebrangan dengan konstitusi di Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi dari pasal itu yaitu, setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, ada beberapa simpulan ketika hukuman mati terus dijalankan, sama dengan mengkhianati konstitusi negara Indonesia, ditambah kedudukan konstitusi berada dijajaran tertinggi dalam hukum negara. Hal yang sangat berbahaya dari hukuman mati yaitu, apabila ada kelalaian dari penegak hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi tersangka yang sudah dieksekusi hukuman mati.[9] Di Indonesia, ada beberapa tokoh hukum yang kontra terhadap hukuman mati. Tokoh hukum tersebut di antaranya Bernard Arief Sidharta dan J.E Sahetapy. Alasan mereka menolak tentang hukuman mati, karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.[10] Pada abad ke 18 gerakan organsisasi untuk menghapuskan hukuman mati menguat. Hal ini diperkuat dengan ajaran Beccaria yang tertuang dalam buku yang berjudul “Dei Delitti Delie Perie”. Isi rangkuman dari buku tersebut di antaranya:

  • Seluruh manusia sebaiknya mengikuti konsep utilititarian yang mampu memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.[4]
  • Mencegah kejahatan lebih penting dibandingkan pemberian hukuman atau pidana. Hukuman hanya diperbolehkan jika mampu mencegah terjadinya tindakan kriminal.[4]
  • Tujuan hukuman tidak boleh digunakan untuk balas dendam, tetapi untuk menghalangi orang-orang dari perbuatan kejahatan tersebut.[4]
  • Hukuman mati harus dihapuskan karena tidak mampu menghapuskan kejahatan. Sebagai gantinya hukuman seumur hidup dianggap paling optimal.[4]

Dalam Konvensi Internasional, tentang hukuman mati hanya memberi pembatasan bukan untuk penghapusan. Berdasarkan putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hukuman mati harus memperhitungkan empat aspek, yaitu:

  • Pertama, hukuman mati sifatnya alternatif. Bukan menjadi hukuman pokok.[4]
  • Kedua, hukuman mati memiliki masa percobaan selama 10 tahun. Apabila yang dijatuhi hukuman memiliki sikap terpuji bisa diganti dengan hukuman kurungan penjara seumur hidup atau kurungan penjara selama dua puluh tahun.[4]
  • Ketiga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak-anak yang belum dewasa.[4]
  • Keempat, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada perempuan hamil dan kepada yang memiliki penyakit gangguan jiwa.[4]

Di tahun 1949, Negara Jerman telah menghapuskan hukuman mati. Deklamasi Stockholm ditahun 1977 menghasilkan:

  • Hukuman mati biasanya digunakan untuk penindasan sosial, golongan agama, golongan minoritas, dan anggota oposisi politik.[4]
  • Hukuman mati merupakan tindakan kekerasan dan memacu kekerasan lagi.[4]
  • Hukuman mati tidak membuktikan data sebagai penangkal khusus untuk mengurangi kriminalitas.[4]
  • Hukuman mati memiliki sifat erevokabel.[4]

Bersadarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak dapat menghapuskan kejahatan di masyarakat.

Di bawah ini merupakan negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati,[4] di antaranya:

No. Tahun Negara
1 1976 Portugal, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Kanada, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

2 1978 Denmark, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Spanyol, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

3 1979 Luksemburg, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Nikaragua, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Norwegia, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Brasil, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Fizi, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Peru, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

4 1981 Prancis, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Tanjung Verde, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

5 1982 Belanda, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
6 1983 Siprus, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Al Savador, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

7 1984 Argentina, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
8 1985 Australia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
9 1987 Haiti, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Liechtenstein, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Jerman, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

10 1989 Kamboja, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Selandia Baru, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Rumania, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Slovenia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

11 1990 Nepal, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
12 1992 Angola, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Swiss, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Paraguay, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

13 1993 Greece, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Guinea-Bissau, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Hongkong, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

14 1994 Italia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
15 1995 Mauritius, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Moldova, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Spanyol, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

16 1996 Belgia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Daftar Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tim BBC News, Media (15 Oktober 2018). "Negara mana yang masih menerapkan hukuman mati? Bagaimana dengan Indonesia?". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  2. ^ a b c Amnesty International Indonesia, Media (2020-04-21). "Penghapusan hukuman mati makin mendesak • Amnesty Indonesia". Amnesty Indonesia. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  3. ^ Utomo, Ardi Priyatno, ed. (2021-04-21). "Di Tengah Wabah Covid-19, Hukuman Mati di Negara Ini Meroket". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Asmarawati, Tina (2013). Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia. Yogyakarta: CV. Budi Utama. hlm. 5–14. ISBN 978-602-280-166-5. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Anggara, dkk (2017). Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Institute for Criminal Justic Reform. hlm. 1–123. ISBN 978-602-6909-76-3. 
  6. ^ a b Wardiono Kelik, dkk (2020). Eksekusi Pidana Mati Tindak Pidana Narkotika. Surakarta: Muhammadiyah University Press. hlm. 13–16. ISBN 9786023613342. 
  7. ^ HAG, Media (28 Juni 2016). "8 Panduan PBB untuk Negara yang Mengadopsi Hukuman Mati". Hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2021-06-26. 
  8. ^ Arya Brata, Roby (2015-03-09). "Pro Kontra Hukuman Mati (Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba)". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-07-10. 
  9. ^ Yusuf, Muchammad Fandi; Yusuf, Muchammad Fandi (2020). "Pro Kontra Hukuman Mati - Bahasan.ID". bahasan.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-25. 
  10. ^ Besar, Binus Media Online (28 Januari 2015). "HAM, HUKUMAN MATI, DAN PANDANGAN BISMAR SIREGAR". Business Law. Diakses tanggal 2021-07-10.