Pengguna:Crisco 1492/Ruma Maida

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mohon jangan gunakan templat "{{Infobox film}}" di ruang nama pengguna Anda. Gunakan {{Infobox pengguna}}.

Ruma Maida (dirilis secara internasional dengan judul Maida's House) adalah film drama Indonesia yang ditulis oleh Ayu Utami, disutradarai Teddy Soeriaatmadja, dan dibintangi Atiqah Hasiholan, Yama Carlos, Nino Fernandez, dan Frans Tumbuan. Film ini, yang dirilis pada tahun 2009, menceritakan perjuangan seorang perempuan untuk menyelamatkan sebuah rumah bersejarah dari seorang pembangun; film Ruma Maida juga mengikuti kehidupan pemilik rumah yang pertama.

Kerja untuk karya yang diberi nama Ruma Maida ini mulai pada tahun 2008, ketika Ayu dihampiri oleh Lamp Pictures dan diminta agar menulis sebuah skenario bertema nasionalisme; tugas itu diselesaikannya dalam waktu enam bulan, dengan bantuan dari Teddy. Setelah tiga bulan pra-produksi, gambar mulai diambil di Semarang, Jawa Tengah, dan Kota Tua Jakarta. Penyuntingan memerlukan waktu tiga bulan, lalu film ini – dengan musik yang disugihkan oleh grup Naif dan lagu yang ditulis Ayu – ditayangkan pada tanggal 28 Oktober 2009, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda; Ruma Maida juga sempat ditayangkan di festival film di Singapura, Australia, dan Italia.

Ruma Maida, yang menggunakan gaya pengefilman yang berbeda untuk adegan di masa lalu dan masa modern, membahas pentingnya pendidikan, sejarah, dan pluralisme. Film ini diterima agak hangat oleh para kritikus film; mereka cenderung suka gambar dalam Ruma Maida tetapi meremehkan dialog yang dianggap terlalu berat. Film ini dinominasi untuk dua belas Piala Citra di Festival Film Indonesia pada tahun 2009.

Alur[sunting | sunting sumber]

Seorang mahasiswi jurusan sejarah yang beragama Nasrani, Maida (Atiqah Hasiholan), mengurus sekolah gratis untuk anak jalanan di Jakarta. Bangunan sekolah itu dulu rumah seorang pencipta lagu sekaligus pilot beragama Nasrani, Ishak Pahin (Nino Fernandez), yang merupakan orang Indo, serta istrinya yang beragama Islam Nani Kuddus (Imelda Soraya); Pahing menciptakan lagu "Pulau Tenggara", yang mengilhami Presiden Soekarno untuk membentuk Gerakan Non-Blok, saat tinggal di rumah itu. Setelah Maida mengetahui soal Pahing, dia mulai menulis skripsinya tentang pencipta lagu itu.

Suatu hari, kelasnya diganggu oleh seorang arsitek Muslim muda bernama Sakera (Yama Carlos), yang ditugaskan untuk mengusir Maida oleh atasannya, seorang pembangun bernama Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan). Saat Maida dan Sakera berdebat di jalanan, mendadak terjadi kerusuhan besar di sekeliling mereka. Sakera melindungi Maida, yang ada keturunan Tionghoa, lalu memberitahukannya bahwa dia hendak membantu Maida agar sekolah itu tetap dapat dijalankan. Namun, bangunan sekolah itu dijadwalkan agar diruntuhkan dalam waktu satu minggu.

Setelah mereka gagal dalam usaha untuk membujuk Muchlisin untuk tetap melestarikan rumah itu, Sakera dengar bahwa rumah itu berada di tanah sengketa. Maida menggunakan informasi itu, serta bantuan dari kelompok musik keroncong yang ada hubungan darah dengan Ishak, untuk menemukan ruang bawah tanah. Di sana, Maida dan Sakera – yang sudah mulai jatuh cinta – menemukan dokumentasi sejarah rumah itu. Dengan bantuan mantan pacar ibunya, seorang sejarawan Tionghoa bernama Kuan (Henky Solaiman), dia bisa mengetahui pemilik rumah yang sebenarnya.

Ternyata Ishak, yang dibesarkan di dalam gerakan kemerdekaan dan kenal dengan banyak tokoh sejarah yang penting, ditangkap karena blasteran Indonesian-Belanda oleh mata-mata Jepang bernama Maruyama (Verdi Solaiman) – seorang pria yang menginginkan Nani. Setelah disiksa, Ishak dibebaskan dan, ketika pulang, melihat bahwa istrinya telah diperkosa dan dibunuh; anak mereka yang baru lahir, Fajar, diculik. Beberapa bulan kemudian Ishak gugur dalam saat pesawat Dakota VT-CLA, yang membawa keperluan medis, ditembak Belanda di Yogyakarta. Sementara, Fajar dibesarkan Maruyama – si penculik – dan namanya diganti menjadi Dasaad Muchlisin.

Dengan informasi ini, Maida, Sakera, dan Kuan mendekati Muchlisin dan menceritakan begitu pentingnya rumah itu dalam kehidupan Muchlisin. Setelah tidak bicara sejenak, Muchlisin menyuruh mereka pergi. Beberapa bulan kemudian, pada hari pernikahan Maida dan Sakera – saat mereka menikah di masjid dan juga gereja – Muchlisin datang dan menyatakan bahwa dia sudah tidak ingin meruntuhkan rumah itu. Dia justru memperbaikinya dan menjadikannya sebagai sekolah untuk anak jalanan, dengan nama Ruma Maida.

Produksi[sunting | sunting sumber]

Seorang wanita Indonesia, yang melihat ke depan dan tersenyum. Dia mengenakan sebuah baju ungu bermodel v-neck.
Ayu Utami menulis skenario dalam waktu enam bulan. Ruma Maida merupakan skenarionya yang pertama.

Skenario Ruma Maida ditulis Ayu Utami; ini merupakan skenarionya yang pertama.[1] Seorang wanita yang lebih dikenal karena menulis novel, dia cenderung tidak mau menulis skenario karena beranggapan bahwa skenario itu terlalu mengutamakan kepentingan komersial.[2][3] Dia menulis skenario ini dalam waktu enam bulan, mulai pada tahun 2008, saat dia dihampiri Lamp Pictures  – yang mendanai film ini bersama dengan Karuna Pictures[4] – yang minta agar dia menulis sebuah cerita bertema nasionalisme.[1][2] Menurut sutradara Teddy Soeriaatmadja, yang dilibatkan dari awal,[5] dia dan Ayu membuat tujuh versi cerita sebelum akhirnya bisa menyepakati cerita yang akan digunakan.[6] Karena dia berpendapat bahwa skenario itu dapat digunakan sebagai cara belajar sejarah Indonesia, yang menurut dia menarik,[4] Ayu mengutamakan pendidikan, keragaman, serta sejarah.[2]

Pra-produksi untuk Ruma Maida memerlukan waktu tiga bulan.[2] Tokohnya ditulis tanpa bayangan siapa akan memainnya. Atiqah Hasiholan, yang pernah membintangi film Jamila dan Sang Presiden (2009), dipilih sebagai Maida.[7][8] Yama Carlos, yang berperan sebagai Sakera, awalnya dipilih untuk peran lain; dia dipilih untuk memainkan tokoh utama secara mendadak.[9] Pemain yang dipilih untuk berperan sebagai Muchlisin, Frans Tumbuan, merupakan satu-satunya yang diaudisi karena Teddy beranggapan bahwa memang Frans yang paling cocok.[10] Dalam sebuah wawancara, Teddy menyatakan bahwa Ruma Maida mempunyai jumlah pemain yang paling besar dari semua filmnya.[11]

Pengambilan gambar dilakukan di Kota Tua Jakarta serta Semarang, Jawa Tengah,[12][13] dalam periode satu minggu. Teddy berpendapat bahwa adegan yang paling susah difilmkan ialah adegan yang terjadi di masa modern, terutama saat terjadi kerusuhan;[2] akan tetapi, penata artistik Indra Tamoron Musu beranggapan bahwa adegan yang terjadi di masa lampau justru yang paling sukar, karena perlu telaah yang banyak.[14] Adegan yang terjadi di rumah Ishak diambil secara terpisah. Yang terjadi pada tahun 1998 diambil dulu, lalu kru artistik merenovasi rumah tersebut untuk adegan yang terjadi di masa lampau.[15] Atiqah beranggapan bahwa Teddy merupakan sutradara yang sangat tegas, yang menyatakan apa yang diinginkannya secara jelas kepada setiap pemain.[16] Akan tetapi, sinematografer Ical Tanjung menyatakan bahwa Teddy masih mau menerima pemasukan dari pemain dan kru.[17] Penyuntingan, yang dikerjakan Waluyo Ichwandiardono, memerlukan tiga bulan lagi.[2][18]

Grup musik Indonesia Naif mendaur ulang beberapa lagu untuk Ruma Maida, termasuk lagu dari tahun 1940-an seperti "Juwita Malam" (karya Ismail Marzuki[19]), "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" (karya R. Maladi[20]), dan "Ibu Pertiwi".[4] Lagu daur ulang ini direkam dalam waktu lima hari.[21] Ayu menulis "Pulau Tenggara", yang dinyanyikan Imelda Soraya.[4]

Tema[sunting | sunting sumber]

Benny Benke, yang menulis dalam koran Suara Merdeka, menyatakan bahwa Ruma Maida merupakan "hasil interpretasi bebas atas sejarah resmi yang terlalu angkuh, mendominasi, sekaligus dogmatis."[12] Dia menulis bahwa kadang-kadang film ini tidak jelas membedakan peristiwa yang benar-benar terjadi dan yang dibuat-buatkan.[12] Ayu menyatakan bahwa orang-orang dari zaman Revolusi Nasional "percaya pada mimpi mereka"[a] dan mempunyai "semangat heroisme dan patriotisme yang kuat",[b] hal yang menurutnya diperlukan untuk Indonesia.[1] Teddy juga menyatakan bahwa film ini dimaksud agar membahas problema Indonesia modern, melalui sejarah rumah Ishak.[22] Wakil sutradara Azhar Lubis menyatakan bahwa rumah itu mewakili Indonesia sebagai keseluruhan; menurut penjelasannya, bilamana negara tidak dirawat, bisa saja roboh dan runtuh.[23]

Dalam harian Media Indonesia, Yulia Permata Sari menulis bahwa Teddy tampaknya menekankan bahwa orang Indonesia harus ingat dan menghargai sejarah melalui alur dan penokohan film Ruma Maida.[24] Film ini memperlihatkan pencipta lagu "Indonesia Raya", W. R. Supratman, serta Laksmana Muda Maeda Tadashi, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Presiden Soekarno, dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.[25][26] Atiqah beranggapan bahwa film ini merupakan suatu peringatan, agar kesalahan di masa lampau tidak terulang.[27]

Triwik Kurnasari, yang menulis dalam The Jakarta Post, berpendapat bahwa adanya adegan Kerusuhan Mei 1998 serta kejatuhan Soeharto menyinggung soal pluralisme.[4] Ayu, dalam sebuah wawancara dengan harian Jakarta Globe, menyatakan bahwa dia bermaksud untuk menunjukkan diversitas dengan memberi setiap tokoh latar belakang etnis, agama, dan sosio-ekonomi yang berbeda.[2] Dalam wawancara lain, Ayu menyatakan bahwa film ini dimaksud untuk menunjukkan bagaimana moto nasional Bhinneka Tunggal Ika dapat diterapkan di Indonesia.[28] Dalam sebuah resensi lain, Dewi Anggraeni menulis bahwa Ruma Maida "melukis gambar yang lebih nyata mengenai masyarakat Indonesia, di mana tidak semua orang dapat dimasukkan dalam kategori sosial, rasial, atau ekonomi",[c] sehingga tokohnya tidak masuk dalam stereotipe yang berlaku pada umumnya.[29]

Gaya penceritaan[sunting | sunting sumber]

Ruma Maida menggunakan warna dan cara pengambilan gambar untuk menunjukkan periode waktu yang berbeda. Adegan yang terjadi di masa lampau diberi warna sepia dan diambil dengan kamera statis, sementara yang terjadi pada tahun 1998 mempunyai warna yang lebih alami dan diambil dari kamera handheld.[25] Penggunaan kamera handheld ini dimaksud agar masa modern dapat digambarkan dengan "sekasar mungkin dan tidak steril", sementara masa lampau dimaksud agar kelihatan manis, indah dan bersih; ini berkaitan dengan tema mengindahkan masa lalu.[30] Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Ishak digambarkan dengan napak tilas yang dimasukkan antara adegan yang menceritakan Maida.[25][31] Tempo film ini cukup pelan, dan gambarnya diambil dari sudut yang "unik".[32]

Dalam majalah Tempo, Kurie Suditmo menulis bahwa Ruma Maida memasukkan beberapa cerita kecil, misalkan Kongres Pemuda pada tahun 1928, pendidikan anak jalanan, serta adegan di mana Sakera membahas soal ilmu arsitek dengan Muchlisin; menurut Kurie, hal ini membuat film ini lebih susah dipahami.[26] Armando Siahaan, yang menulis resensi film di Jakarta Globe, mencatat bahwa ada beberapa adegan yang mirip, misalkan kerusuhan setelah menyerahnya Jepang pada tahun 1945 dan yang terjadi pada bulan Mei 1998.[32]

Rilis dan penerimaan[sunting | sunting sumber]

Ruma Maida dirilis pada tanggal 28 Oktober 2009, pada Hari Sumpah Pemuda[4] – tanggal ini sudah lama dipilih, karena dianggap tanggal yang mempunyai kekuatan historis.[33] It received a wide release on the following day.[25] Ruma Maida ditayangkan di Singapore International Film Festival pada bulan April 2010.[34] Pada bulan Agustus, Ruma Maida ditayangkan tiga kali pada Indonesian Film Festival di Melbourne, Australia.[29][35] Pada bulan November film ini ditayangkan di Asiatica Film Mediale di Roma, Italia, dengan judul La Casa Di Maida.[36]

Ruma Maida mendapatkan sambutan yang campur. Triwik menyebut film ini sebagai "cara yang menarik untuk lebih memahami sejarah [Indonesia] yang panjang."[4] Benny menulis bahwa gambar yang ada dalam film ini cukup menarik, tetapi dialognya ada yang "berlarat-larat",[12] Yulia menyatakan bahwa sinematografinya dikerjakan dengan baik, tetapi berpendapat bahwa alur film ini ada yang membingungkan.[24] Kurie berpendapat bahwa film ini diberi gambar yang menarik tetapi kurang kuat karena alurnya yang berbelit-belit.[26]

Dewi, yang menulis laporan dari Indonesian Film Festival di Australia, beranggapan bahwa Ruma Maida dapat memasukkan alurnya ke dalam sejarah perjuangan Indonesia, biarpun dia merasa bahwa ada unsur plot yang tidak mudah dipercaya.[29] Armando menulis bahwa film ini "mungkin terbatas dalam penciptaan dan penampilannya, tetapi patut dihargai karena mampu membahas masalah sosial sekaligus menunjukkan sejarah nasional."[d][32] Sebuah resensi dalam surat kabar Republika berisi pendapat bahwa film ini mungkin terlalu membosankan untuk penonton pada umumnya karena alurnya yang lambat-laun.[25]

Ruma Maida dirilis dalam bentuk DVD di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 oleh EZY Home Entertainment, setelah lulus dari Lembaga Sensor Film pada bulan Februari. DVD ini berisikan subtitle dalam bahasa Inggris serta sebuah film dokumenter yang menceritakan produksi Ruma Maida.[37]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Ruma Maida dinominasi untuk dua belas piala citra pada Festival Film Indonesia pada tahun 2009. Film ini menang satu di antaranya.[38]

Penghargaan Tahun Untuk Penerima Hasil
Festival Film Indonesia 2009 Film Terbaik Nominasi
Sutradara Terbaik Teddy Soeriaatmadja Nominasi
Skenario Asli Terbaik Ayu Utami Nominasi
Pemain Utama Pria Terbaik Yama Carlos Nominasi
Pemain Utama Wanita Terbaik Atiqah Hasiholan Nominasi
Pemeran Pendukung Pria Terbaik Frans Tumbuan Nominasi
Pemeran Pendukung Pria Terbaik Verdi Solaiman Nominasi
Tata Sinematografi Terbaik Ical Tanjung Nominasi
Tata Artistik Terbaik Indra Tamoron Musu Nominasi
Penyuntingan Terbaik Waluyo Ichwandiardono Nominasi
Tata Musik Terbaik Bobby Surjadi, Didit Saad Nominasi
Tata Suara Terbaik Shaft Daultsyah, Khikmawan Santosa Menang

Keterangan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Asli: "believed in dreams"
  2. ^ Asli: "strong sense of heroism and patriotism"
  3. ^ Asli: "paints a more realistic picture of Indonesia’s society, where people do not necessarily fit into neat social, racial or economic categories"
  4. ^ Asli: "may have limitations in its execution and presentation, but is highly commendable for its ability to raise social questions and delve into the nation’s history."

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki
Bibliografi

Pranala luar[sunting | sunting sumber]