Lompat ke isi

Stereotipe

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
4 jenis stereotip yang dihasilkan dari kombinasi antara perasaan hangat dan kompetensi.
Gambaran kuli Jawa di Sumatra pada era penjajahan Belanda. Orang Jawa pada umumnya distereotipekan sebagai seorang kuli pekerja keras.

Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.[1] Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.[1]

Dalam psikologi sosial, stereotipe adalah setiap pemikiran yang diadopsi secara luas tentang tipe individu tertentu atau cara berperilaku tertentu yang dimaksudkan untuk mewakili seluruh kelompok individu atau perilaku tersebut secara keseluruhan.[2] Pikiran atau keyakinan ini mungkin secara akurat mencerminkan kenyataan atau bahkan tidak.[3][4] Di dalam psikologi dan lintas disiplin ilmu lainnya, terdapat berbagai konseptualisasi dan teori stereotipe yang terkadang memiliki kesamaan, serta mengandung unsur-unsur yang kontradiktif. Bahkan dalam ilmu-ilmu sosial dan beberapa subdisiplin psikologi, stereotip kadang-kadang direproduksi dan dapat diidentifikasi dalam teori-teori tertentu, misalnya, dalam asumsi tentang budaya lain.[5]

Stereotipe sesungguhnya dapat berupa stereotipe positif dan negatif. Stereotipe negatif sering diasosiasikan dengan sikap atau perilaku negatif, seperti prasangka dan diskriminasi. Sementara stereotipe positif sering dianggap sebagai stereotipe yang tidak berbahaya dan memusuhi seseorang atau kelompok lain.[6]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Asal kata stereotipe dalam bahasa Indonesia dipinjam dari sebuah kata benda dalam bahasa Inggris, yaitu stereotype. Sebenarnya, kata ini dalam bahasa Inggris juga pinjaman dari sebuah kata sifat dalam bahasa Prancis, yaitu stéréotype yang merupakan kata turunan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu στερεός (stereos), yang berarti "kokoh, padat"[7] dan τύπος (typos), yang artinya kesan, sehingga secara harfiah stereotip berarti "kesan yang kuat terhadap satu objek atau lebih".

Stereotipe dengan makna yang umum pada masa kini pertama kali diperkenalkan oleh seorang jurnalis Amerika yang bernama Walter Lippmann dalam karyanya yang berjudul "Public Opinion".[8] Sebenarnya penggunaan kata stereotipe pertama kali digunakan pada tahun 1798 oleh Firmin Didot dengan makna yang sama sekali berbeda. Kata Stereotipe yang digunakan oleh Firmin merujuk pada konteks industri percetakan. Dalam hal ini, stereotipe yang dimaksud adalah sebuah pelat cetak yang dapat digunakan untuk menggandakan suatu cetakan menjadi banyak.[9][10] Selain itu, kata stereotipe juga digunakan untuk menamai sebuah gambar yang diciptakan untuk tidak berubah atau tetap.[11]

Gambaran Umum

[sunting | sunting sumber]

Stereotipe timbul karena adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi secara berlebihan tanpa diferensiasi sehingga menimbulkan bias dan sikap negatif yang dialamatkan kepada suatu kelompok sosial (ras,suku atau agama) dan anggotanya.[12][13]. Semua stereotipe adalah generalisasi, tetapi tidak semua generalisasi termasuk stereotipe. Stereotipe tersebar lebih luas karena penyederhanaan berlebihan terhadap sekelompok orang, sedangkan generalisasi lebih didasarkan pada pengalaman pribadi.[14]

Sebagai contoh, di Amerika Serikat (AS), kelompok ras tertentu sering dihubungkan dengan stereotipe, seperti pintar matematika, atletik dan menari. Stereotipe ini begitu terkenal di AS sehingga rata-rata masyarakat Amerika tidak akan ragu bila diminta untuk mengidentifikasi kelompok ras mana, misalnya, yang memiliki reputasi baik dalam olahraga basket. Singkatnya, ketika seseorang menciptakan stereotipe, ia hanya mengulangi mitologi budaya yang sudah ada dalam masyarakat.[14]

Di sisi lain, seseorang bisa menciptakan generalisasi tentang suatu kelompok etnis yang belum dilanggengkan oleh masyarakat. Misalnya, seseorang yang bertemu dengan beberapa orang dari negara tertentu dan ia menemukan bahwa orang tersebut pendiam, akan berkata bahwa semua orang dari negara tersebut memang pendiam. Generalisasi semacam ini tidak mencerminkan keragaman dalam kelompok (masyarakat negara tertentu). Namun generalisasi dapat berkembang menjadi stigmatisasi dan diskriminasi kelompok jika stereotipe yang dilekatkan pada mereka sebagian besar negatif.[14]

Stereotipe juga berbeda dengan prasangka dan diskriminasi. Kata prasangka pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Allport, berasal dari kata praejuducium yang artinya adalah pernyataan atau kesimpulan berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Prasangka mengandung tiga aspek, yaitu keyakinan kognitif yang bersifat merendahkan, pengekspresian perasaan negatif (aspek afektif) dan tindakan permusuhan serta diskriminatif (aspek konatif).[13]

Sementara diskriminasi adalah perilaku negatif terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Pada umumnya, perlakuan diskriminatif timbul akibat pengaruh dari prasangka.[13]

Asal usul stereotipe

[sunting | sunting sumber]

Meskipun stereotipe awalnya tidak dibentuk oleh media, tetapi media modern memiliki pengaruh besar dalam membangkitkan dan memelihara stereotipe di masyarakat. Citra stereotipikal yang ditampilkan di media merupakan kejadian sehari-hari. Representasi stereotipikal ini dapat memunculkan prasangka terhadap kelompok lain serta mendorong orang-orang untuk memiliki perasaan dan emosi negatif terhadap anggota dari kelompok tersebut.[15]

Selain media, stereotipe dapat terbentuk melalui pengaruh dari orang-orang terdekat, seperti orang tua, guru dan teman sebaya. Orang tua dan anggota keluarga lainnya menjadi sumber utama yang menanamkan informasi, mengajarkan dan memperkuat keyakinan stereotipe pada anak-anak, yang kelak akan terbawa hingga mereka dewasa.[15]

Berdasarkan teori pembelajaran sosial, seseorang belajar tentang perilaku sosial melalui pengalaman langsung (seperti diberikan hukuman atau hadiah atas perbuatannya) atau melalui observasi (seperti mengamati konsekuensi dari perbuatan orang lain). Dengan mengacu pada teori ini, dapat dikatakan bahwa seseorang belajar memberi stereotipe pada orang lain karena memiliki pengalaman langsung dengan kelompok tertentu atau mendapat pengaruh dari orang lain. Ketika perbuatan seperti ini tidak ditegur, seseorang akan terus terlibat dalam proses menstereotipkan orang lain.[15]

Bentuk stereotipe

[sunting | sunting sumber]

Stereotipe Eksplisit

[sunting | sunting sumber]

Stereotipe eksplisit merupakan sebuah stereotipe yang digunakan secara sadar oleh seseorang untuk menilai orang atau kelompok lain atas dasar stereotipenya tersebut.[16][17] Sebagai contoh, jika ada seseorang yang berdebat dengan orang Batak lalu dia menganggap secara sadar bahwa orang Batak tersebut yang akan menang karena orang Batak kebanyakan berkecimpung menjadi pengacara, maka itu adalah sebuah penilaian sadar seseorang berdasarkan stereotipe yang bisa disebut sebagai stereotipe eksplisit. Terkadang, mereka yang sadar menggunakan stereotipe untuk menilai seseorang atau kelompok tertentu juga secara sadar ingin mengurangi atau bahkan menghilangkan ketergantungan mereka terhadap stereotipe dalam penilaiannya. Namun stereotipe eksplisit itu sendiri sebenarnya hanyalah kesadaran dari stereotipe implisit sehingga dapat membuat seseorang secara tanpa sadar melakukan bias kognitif dan terus menjadi kebiasaan.[18]

Stereotipe Implisit

[sunting | sunting sumber]

Stereotipe implisit merupakan kebalikan dari stereotipe eksplisit. Stereotipe ini merupakan suatu bentuk stereotipe dimana seseorang secara tanpa sadar menilai orang atau kelompok lain menggunakan stereotipe dan seseorang tersebut juga tidak memiliki kontrol atas stereotipe tersebut karena stereotipe jenis ini terletak di alam bawah sadar.[16] Istlah ini pada awalnya digunakan oleh dua orang psikolog yang bernama Mahzarin Banaji dan Anthony Greenwald pada tahun 1995.

Jenis-jenis stereotipe

[sunting | sunting sumber]

Menurut Triandis dan Matsumoto, jenis-jenis stereotipe terbagi menjadi dua, yaitu heterostereotipe dan autostereotipe.[19][20]

Heterostereotipe

[sunting | sunting sumber]

Heterostereotipe merupakan sejenis stereotipe yang diarahkan kepada kelompok atau orang di luar diri si penilai.[20] Stereotipe jenis ini merupakan yang paling banyak dan umum dalam masyarakat. Heterostereotipe sering terbentuk karena kesan pertama terhadap orang atau kelompok tersebut dan minimnya pengetahuan dan interaksi terhadap orang atau kelompok yang dinilai. Stereotipe ini apabila diarahkan kepada suatu kelompok cenderung mendorong seseorang untuk melakukan kesesatan logika dalam hal relevansi antara komposisi dan divisi. Penyebabnya adalah dalam kesesatan tersebut seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif dan juga sebaliknya.[21]

Autostereotipe

[sunting | sunting sumber]

Autostereotipe atau juga dikenal sebagai self-stereotype adalah salah satu tipe stereotipe yang diarahkan pada diri sendiri. Hal ini terjadi apabila seorang individu mengintegrasikan dirinya menggunakan sifat atau karakteristik umum suatu kelompok.[22][23] Autostereotipe pada umumnya dilakukan secara sadar dan terpilah. Seseorang biasanya akan lebih memilih stereotipe positif dari suatu kelompok ke dalam dirinya daripada mengadopsi stereotipe negatif kelompok tersebut. Namun terkadang, stereotipe negatif juga diambil apabila orang tersebut melakukan sebuah kesalahan dan ingin menjelaskan bahwa kesalahan tersebut semata-mata adalah kesalahan kelompok.[24]

Konsep ambivalensi dalam stereotipe

[sunting | sunting sumber]

Dalam pandangan tradisional, stereotipe terdiri atas seperangkat keyakinan negatif tentang kelompok tertentu dan keyakinan negatif tersebut menghasilkan efek negatif berupa prasangka dan diskriminasi. Namun, baru-baru ini para peneliti menyadari bahwa stereotipe memiliki keyakinan negatif dan positif secara bersamaan dan menemukan adanya efek negatif dari stereotipe positif. Mereka menyebutnya sebagai konsep ambivalensi. Konsep ini mendeskripsikan sikap positif dan negatif terhadap anggota atau kelompok tertentu yang secara simultan ada dalam diri individu dan sering menimbulkan konflik antara satu dengan yang lain. Contohnya, sikap seseorang terhadap perempuan atau anggota dari kelompok ras yang berbeda dapat menjadi suatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi mereka.[6]

Dalam beberapa kasus, stereotipe positif dapat memunculkan ekspektasi yang tidak realistis pada orang lain. Akibatnya, mereka yang tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial akan merasa gagal, tertekan dan cemas. Stereotipe yang mengaitkan antara keahlian dalam suatu bidang dengan ras, gender atau kebangsaan tertentu dapat membuat prestasi seseorang dalam bidang tersebut tidak dihargai. Pada perempuan, stereotipe positif dapat mendiskreditkan keunikan mereka sebagai individu. Hal ini juga dapat memicu minimnya keterlibatan perempuan dalam perubahan sosial.[25][26]

Sebagian besar peneliti memfokuskan penelitian mengenai konsep ambivalensi ini pada dua hal, yaitu seksisme dan rasisme ambivalen. Penelitian mengenai rasisme ambivalen lebih terbatas dan sebagian besarnya adalah tentang persepsi orang kulit putih terhadap orang keturunan Afrika dan Asia. Misalnya, stereotipe tentang orang keturunan Afrika-Amerika yang ahli dalam olahraga atletik atau stereotipe tentang orang keturunan Asia-Amerika yang pintar matematika.[6][26]

Seksisme ambivalen memiliki dua varian, yaitu hostile dan benevolent sexism. Hostile sexism adalah jenis seksisme yang paling umum terjadi dan biasa diasosiasikan dengan stereotipe negatif tentang perempuan, seperti perempuan itu lemah atau menganggap bahwa bersih-bersih adalah pekerjaan perempuan.[6] Hostile sexisme juga dapat diartikan sebagai sikap antipati terhadap perempuan yang dipandang sebagai perampas kekuasaan laki-laki.[27]

Sementara benevolent sexism adalah jenis seksisme atau disebut juga sebagai ideologi kesatria yang menawarkan perlindungan dan kasih sayang kepada perempuan yang menganut peran gender konvensional. Hal ini temasuk seksisme dalam bentuk yang lebih halus dan biasa dikaitkan dengan stereotipe positif tentang perempuan. Para peneliti membagi benevolent sexism menjadi tiga sub kategori, yaitu paternalisme protektif, diferensiasi gender pelengkap dan keintiman heteroseksual.[6][27]

Paternalisme protektif

[sunting | sunting sumber]

Paternalisme protektif adalah salah satu bentuk benevolent sexism yang mengharuskan laki-laki untuk melindungi perempuan dan membuat keputusan atas nama mereka. Meskipun pandangan ini tampak positif, sebenarnya ide ini dijadikan pembenaran bahwa laki-laki itu kuat dan perempuan itu lemah.[6][28]

Akibatnya perempuan tidak dianggap sebagai individu yang punya otonomi dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Hal ini membuat pergerakan perempuan sering dibatasi bahkan dilarang untuk melakukan aktivitas-aktivitas dasar, seperti menyetir, bekerja atau (dalam kasus yang ekstrem) bepergian seorang diri.[28]

Diferensiasi gender pelengkap

[sunting | sunting sumber]

Diferensiasi gender pelengkap menggunakan perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan untuk membenarkan peran gender tradisional. Secara umum, laki-laki distereotipkan sebagai individu yang kompeten, asertif, mandiri dan berorientasi pada pencapaian. Sementara perempuan biasa distereotipkan sebagai individu yang hangat, ramah, saling ketergantungan dan berorientasi pada hubungan. Stereotipe maskulinitas dan feminitas inilah yang kemudian menekankan pada peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Sub kategori ini juga membagi perempuan menjadi tipe "baik" dan "buruk" (menurut para penganut seksisme), di mana perempuan yang memenuhi peran gender tradisional akan lebih dihargai dan diperlakukan dengan baik. Sementara perempuan yang menolak peran gender tradisional atau mencoba untuk merebut kekuasaan laki-laki akan mendapat penolakan dan hukuman berupa hostile sexism.[6][27]

Keintiman heteroseksual

[sunting | sunting sumber]

Keintiman heteroseksial adalah pandangan yang menekankan bahwa laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan. Pandangan tersebut kerap dianggap positif karena seperti ajakan untuk mengapresiasi perempuan. Namun pandangan tersebut dapat menjadi mekanisme terselubung untuk melanggengkan ketidaksetaraan gender. Perempuan lebih didorong untuk memprioritaskan pernikahan, membahagiakan pasangan atau menjaga hubungan (keluarga, anak-anak dan sebagainya) dibandingkan mengejar pendidikan dan karier.[6][29]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b (Inggris) Robbins, Stephen P., Timothy A. Judge (2010). Organizational Behavior. Prentice Hall. ISBN 978-0132163842. 
  2. ^ McGarty, Craig; Yzerbyt, Vincent Y.; Spears, Russel (2002). "Social, cultural and cognitive factors in stereotype formation" (PDF). Stereotypes as explanations: The formation of meaningful beliefs about social groups. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1–15. ISBN 978-0-521-80047-1. 
  3. ^ Judd, Charles M.; Park, Bernadette (1993). "Definition and assessment of accuracy in social stereotypes". Psychological Review. 100 (1): 109–128. doi:10.1037/0033-295X.100.1.109. PMID 8426877. 
  4. ^ Cox, William T. L.; Abramson, Lyn Y.; Devine, Patricia G.; Hollon, Steven D. (2012). "Stereotypes, Prejudice, and Depression: The Integrated Perspective" (PDF). Perspectives on Psychological Science. 7 (5): 427–449. doi:10.1177/1745691612455204. PMID 26168502. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 Desember 2013. 
  5. ^ Chakkarath, Pradeep (2010). "Stereotypes in social psychology: The 'West-East' differentiation as a reflection of Western traditions of thought". Psychological Studies. 55 (1): 18–25. doi:10.1007/s12646-010-0002-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Lovitt, Aileen (1 Mei 2020). "The Relation between Positive Stereotypes, Negative Stereotypes, and Discriminatory Behavior toward Hispanic and White Populations". UNLV Theses, Dissertations, Professional Papers, and Capstones. doi:10.34917/19412117. 
  7. ^ στερεός, dan τύπος Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, di Perseus Digital Library
  8. ^ Kleg, Milton (1993). Hate Prejudice and RacismPerlu mendaftar (gratis). Albany: State University of New York Press. hlm. 135–137. ISBN 978-0-585-05491-9. 
  9. ^ "The Physical History of 'Stereotype'". www.merriam-webster.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-02. 
  10. ^ "stereotype | printing | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03. 
  11. ^ "stereotype – Origin and meaning of stereotype by Online Etymology Dictionary". etymonline.com. Diakses tanggal 04 Desember 2021. 
  12. ^ Murdianto (Desember 2018). "Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia)". Qalamuna. 10 (2): 139. 
  13. ^ a b c Aditya, Rifan (2021-04-08). "Apa Itu Prasangka? Ini Bedanya dengan Stereotip, Faktor dan Ciri-cirinya". Suara.com. Diakses tanggal 2021-12-01. 
  14. ^ a b c Nittle, Nadra Kareem. "What Is a Stereotype?". ThoughtCo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01. 
  15. ^ a b c Brink, Lizelle; Nel, Jan Alewyn (2015-02-05). "Exploring the meaning and origin of stereotypes amongst South African employees". SA Journal of Industrial Psychology. 41 (1): 13 pages. doi:10.4102/sajip.v41i1.1234. ISSN 2071-0763. 
  16. ^ a b "Frequently Asked Questions". implicit.harvard.edu. Diakses tanggal 14 April 2018. 
  17. ^ Gaertner, Brown, Sam, Rupert (2008-04-15). Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes. hlm. 186. ISBN 9780470692707. Diakses tanggal 2013-08-11. 
  18. ^ Ruhl, Charlotte (4 Mei 2021). "What Is Cognitive Bias?". Simply Psychology. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  19. ^ Matsumoto, David (2003). Handbook of Culture and Psychology. Oxford: Oxford Univerity. hlm. 69. 
  20. ^ a b Triandis, Harry C (1994). Cultural and Social Behavior. New York: Mc Graw Hill, Inc. hlm. 107. 
  21. ^ Hidayat, Ainur Rahman (2018). Filsafat Berpikir: Teknik-teknik Berpikir Logis Kontra Kesesatan Berpikir. Pamekasan: Duta Media Publishing. hlm. 144. 
  22. ^ Forsyth, Donelson (2009). Group dynamics. New York: Wadsworth. hlm. 77–78. 
  23. ^ Latrofa, M.; Vaes, J.; Cadinu, M.; Carnaghi, A. (2010). "The cognitive representation of self-stereotyping". Personality and Social Psychology Bulletin. 36 (7): 911–922. doi:10.1177/0146167210373907. PMID 20519574. 
  24. ^ Biernat, Monica; Vescio, Theresa K.; Green, Michelle L. (1996). "Selective Self-Stereotyping". Journal of Personality and Social Psychology. 71: 1194–1209.
  25. ^ Lombrozo, Tania (2015-07-20). "The Negative In Positive Stereotypes". NPR (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03. 
  26. ^ a b Talboot, Nadeen (2020-07-29). "'What Would You Do?' addresses the negative impact of 'positive' stereotyping". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03. 
  27. ^ a b c Glick, Peter; Fiske, Susan T. (2001). "An ambivalent alliance: Hostile and benevolent sexism as complementary justifications for gender inequality". American Psychologist (dalam bahasa Inggris). 56 (2): 109–118. doi:10.1037/0003-066X.56.2.109. ISSN 1935-990X. 
  28. ^ a b Center, Blackburn (2017-06-14). "How Protective Paternalism Hurts Women". blackburncenter (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03. 
  29. ^ Mastari, Laora; Spruyt, Bram; Siongers, Jessy (2019). "Benevolent and Hostile Sexism in Social Spheres: The Impact of Parents, School and Romance on Belgian Adolescents' Sexist Attitudes". Frontiers in Sociology. 4: 47. doi:10.3389/fsoc.2019.00047. ISSN 2297-7775.