Teknologi nuklir di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Teknologi nuklir di Indonesia telah sampai pada tahap eksplorasi bahan galian nuklir, khususnya uranium. Indonesia juga telah memiliki teknologi pengolahan pemisahaan uranium dan torium. Penelitian dan pengembangan teknologi nuklir di Indonesia dilakukan melalui fasilitas reaktor nuklir untuk penelitian. Jumlah reaktor nuklir penelitian ini ada 3 yang semuanya dibangun pada paruh kedua abad ke-20 Masehi. Pembangunannya atas bantuan dari negara Amerika Serikat, Rusia dan Jerman Barat.

Penelitian dan pengembangan teknologi nuklir di Indonesia dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sementara pengawasannya dilakukan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Teknologi nuklir di Indonesia dibatasi hingga tidak dapat menciptakan senjata nuklir. Ini berdasarkan kepada Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir.

Teknologi bahan[sunting | sunting sumber]

Beberapa wilayah di Indonesia telah memiliki pertambangan bahan nuklir berjenis uranium.[1] Berdasarkan hasil pemetaan Pusat Pengembangan Geologi Nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (PPGN-BATAN), di seluruh wilayah Indonesia tersedia cadanngan uranium sebanyak 70 ribu ton.[2] Cadangan ini adalah uranium berjenis Triuranium oktoksida (U3O8). Indonesia juga memiliki potensi ketersediaan torium sebanyak 125 ton. Jumlah tersebut merupakan hasil perkiraan setelah eksplorasi mineral radioaktif dimulai oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional pada tahun 1972. Kegiatan eksplorasi ini bekerja sama dengan tiga lembaga atom asing. Masing-masing yaitu Commissariat à l'Énergie Atomique dari Prancis, Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation dari Jepang dan Bundesanstalt für Geowissenschaften und Rohstoffe dari Jerman. Pada tahun 2016, kemampuan penguasaan teknologi eksplorasi uranium di Indonesia telah mencapai 2 ton per hari.[1]

Selain penguasaan atas teknologi ekplorasi uranium, Indonesia juga telah memiliki teknologi pengolahan pemisahaan uranium dan torium. Teknologi ini telah berlangsung di pertambangan timah yang menghasilkan monasit di Pulau Bangka. Daerah yang telah menjadi lokasi penggalian bahan galian nuklir di Indonesia, yaitu di Kalan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Eksplorasi bahan galian nuklir yang bervariasi ditemukan di daerah Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat, Kota Sibolga di Sumatera Utara, dan Kabupaten Biak Numfor di Papua. Ada pula satu provinsi yang seluruh wilayah menjadi daerah eksplorasi, yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.[3]

Penelitian dan pengembangan[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1954, Indonesia mulai mengadakan penelitian dan pengembangan teknologi nuklir.[4] Kedua kegiatan tersebut bersamaan dengan dibentuknya Lembaga Tenaga Atom. Pada awal pembentukan Lembaga Tenaga Atom hanya tersedia laboratorium dengan peralatan yang sederhana. Karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan dibatasi hanya di bidang pertanian, lingkungan dan hidrologi. Kegiatan ini dipimpin oleh Gerrit Augustinus Siwabessy yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Tenaga Atom yang pertama.[5] Lembaga Tenaga Atom kemudian berganti nama menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tahun 1964.[5]

Indonesia memiliki tiga reaktor nuklir yang khusus digunakan untuk penelitian.[4] Ketiga reaktor ini merupakan reaktor non-daya yang menggunakan moderator air ringan sebagai pendingin.[6] Reaktor nuklir penelitian pertama berhasil dibangun dan dioperasikan di Kota Bandung pada tahun 1965. Daya kerjanya sebesar 250 kilowatt dan diberi nama Reaktor Triga Mark II.[6] Pembangunan reaktor ini memperoleh bantuan dari Amerika Serikat.[7] Reaktor nuklir ini dijadikan sebagai fasilitas penelitian sekaligus alat produksi zat radioaktif.[5] Pada tahun 2000, daya kerjanya ditungkatkan menjadi 2 megawatt.[6]

Reaktor nuklir kedua untuk penelitian selesai dibangun di Kota Yogyakarta pada tahun 1979. Reaktor ini dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan diberi nama Reaktor Nuklir Kartini.[8] Pembangunan reaktor nuklir ini dibantu oleh Rusia.[7] Daya kerjanya sebesar 100 kilowatt. Reaktor Kartini digunakan untuk dua kepentingan. Pertama, dimanfaatkan sebagai fasilitas penelitian. Kedua, digunakan sebagai fasilitas pelatihan bagi calon operator reaktor nuklir.[9] Daya kerjanya ditingkatkan menjadi 250 kilowatt.[8]

Reaktor Nuklir Serba Guna G. A. Siwabessy, merupakan reaktor nuklir ketiga di Indonesia yang digunakan khusus untuk penelitian.

Pemerintah Indonesia kemudian mulai merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Rencana ini diawali dengan pembangunan Reaktor Nuklir Serba Guna G. A. Siwabessy. Reaktror nuklir ini dibangun di Serpong, Tangerang Selatan.[9] Reaktor nuklir serba guna G. A. Siwabessy diresmikan pada tahun 1987 dan menjadi reaktor nuklir penelitian ketiga di Indonesia. Daya kerjanya sebesar 30 megawatt. Pembangunan reaktor nuklir ini dilakukan oleh Interatom Internationale yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan asal Jerman Barat, Kraftwerk Union.[8] Reaktor Nuklir Serba Guna G. A. Siwabessy merupakan reaktor nuklir yang terbesar di Asia Tenggara.[7]

Bersamaan dengan pembangunan reaktor nuklir untuk penelitian, dibangun pula fasilitas-fasilitas pendukung pengembangan teknologi nuklir. Fasilitas-fasilitas ini antara lain fasilitas produksi bahan bakar reaktor penelitian dan reaktor daya, fasilitas pengolahan limbah radioaktif, serta fasilitas pengujian bahan dan keselamatan reaktor daya. Ada pula fasilitas untuk rekayasa instrumentasi nuklir dan fasilitas eksplorasi mineral radioaktif. Keseluruhan fasilitas ini dibangun di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) dan Kawasan Nuklir Pasar Jumat. Kawasan Puspiptek terletak di Serpong.[9]

Sumber daya manusia[sunting | sunting sumber]

Penelitian mengenai reaktor nuklir di Indonesia hanya boleh dilaksanakan oleh BATAN. Namun perguruan tinggi negeri di Indonesia diperbolehkan bekerja sama dengan BATAN untuk melakukan penelitian reaktor nuklir.[10] Pengelolaan teknologi nuklir di Indonesia telah mampu dilakukan melalui penyediaan sumber daya manusia. Dukungan sumber daya manusia untuk hal ini dilakukan dengan dibentuknya Jurusan Teknik Nuklir di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia. Perguruan tinggi yang telah mengadakan kerja sama meliputi Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Sementara itu, kualifikasi kelayakan sumber daya manusia tersebut dilakukan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Kualifikasi ini berkaitan dengan kemampuan pengoperasian reaktor nuklir, keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja, serta penanganan bahan bakar nuklir dan keselamatan dari radiasi.[11]

Di sisi lain, pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia hanya dilakukan oleh sumber daya manusia yang telah memenuhi kualifikasi dan uji kompetensi dari BAPETEN. Aturan ini diterapkan karena reaktor penelitan hanya merupakan reaktor non daya, sedangkan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan reaktor daya.[12]

Batasan teknologi[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 2 Maret 1970, Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir. Karena perjanjian ini, Indonesia tidak boleh membuat senjata nuklir sama sekali. Penandatanganan ini melalui perwakilan Indonesia yang dikirim ke London, Moskow, dan Washington, D.C. Kemudian, perjanjian ini dipertegas melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Koesrianti 2016, hlm. 10.
  2. ^ Isnaeni, E., dkk., ed. (2019). "Menjaga Ketahanan Energi Indonesia melalui Potensi Energi Baru-Terbarukan" (PDF). Positron. 20: 6. 
  3. ^ Koesrianti 2016, hlm. 11.
  4. ^ a b Putro, Ledis Heru Saryono (2020). Perkembangan dan Program Energi Nuklir: Alternatif Energi Baru yang Aman dan Bersih? (PDF). Palembang: Rafah Press dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. hlm. iii. ISBN 978-623-250-275-8. 
  5. ^ a b c Peryoga, dkk. 2007, hlm. 48.
  6. ^ a b c Pandi, dkk. 2019, hlm. 6.
  7. ^ a b c Koesrianti 2016, hlm. 15.
  8. ^ a b c Pandi, dkk. 2019, hlm. 7.
  9. ^ a b c Peryoga, dkk. 2007, hlm. 49.
  10. ^ a b Pandi, dkk. 2019, hlm. 9.
  11. ^ Pandi, dkk. 2019, hlm. 9-10.
  12. ^ Pandi, dkk. 2019, hlm. 10.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]