Nak Nusé

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nusa Penida
Nak Nusé
ᬳᬦᬓ᭄‌ᬦᬸᬲ
ᬳᬦᬓ᭄‌ᬦᬸᬲᬧᭂᬦᬶᬤ
Tari baris jangkang, tarian khas suku Bali Nusa Penida.
Jumlah populasi
59.900 (2022)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Nusa Penida
Bahasa
Bali (dialek Nusa Penida) dan Indonesia
Agama
Hinduisme Bali (mayoritas) dan Islam (minoritas)[2]
Kelompok etnik terkait
Bali (Bali Aga • Bali Majapahit) • Jawa • Sasak

Orang Nusa Penida (Bali: ᬳᬦᬓ᭄‌ᬦᬸᬲᬧᭂᬦᬶᬤ, translit. Bali Nusa Penida; dikenal juga dengan sebutan Nak Nusé) adalah sub-suku Bali yang mendiami pulau Nusa Penida. Nama Nak Nusé berasal dari bahasa Bali nak 'anak' atau 'orang' dan nusé 'pulau'. Secara harfiah, Nak Nusé berarti "orang yang mendiami pulau".

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Ukiran patung khas Bali di Nusa Penida.

Tidak diketahui dengan pasti mengenai asal muasal terbentuknya masyarakat Nusa Penida. Namun ada yang meyakini bahwa penghuni pertama pulau ini adalah masyarakat Bali Aga. Mereka merupakan kelompok etnis yang mendiami pulau Bali dan diduga pernah tinggal di pulau Nusa Penida. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, banyak orang dari pulau Jawa yang berimigrasi ke Bali dan Nusa Penida sehingga terjadi asimilasi dan percampuran budaya dengan masyarakat Bali Aga. Hal ini menciptakan sebuah kebudayaan baru di pulau Nusa Penida dengan pengaruh orang Jawa Hindu dan bahasa Jawa masuk ke pulau tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kosa kata dalam dialek Nusa Penida yang mirip dengan bahasa Jawa. Meski dipengaruhi oleh budaya dan bahasa Jawa, sebagian besar budaya dan bahasa di Nusa Penida tetap dipengaruhi oleh masyarakat Bali daratan, khususnya dari Bali Aga.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Peta kerajaan-kerajaan di Bali, sekitar tahun 1900an.

Masyarakat Nusa Penida telah sejak lama menentang raja-raja Bali yang banyak melakukan ekspedisi militer ke Nusa Penida. Namun pada abad ke-17, Nusa Penida berhasil ditaklukkan oleh ekspedisi Kerajaan Gelgel di Bali. Raja terakhir Nusa Penida, Dalem Bungkut tewas dalam pertempuran.

Kemudian Kerajaan Klungkung yang merupakan penerus Kerajaan Gelgel menguasai pulau tersebut dan menjadikannya sebagai wilayah bawahan. Masyarakat Nusa Penida diharuskan membayar upeti dan bekerja untuk kerajaan Klungkung dan mengirimkan hasil panennya ke ibu kota Klungkung sebagai tanda penghormatan dan pengakuan atas kekuasaan Kerajaan Klungkung. Masyarakat Nusa Penida juga banyak berperan dalam peperangan untuk Kerajaan Klungkung. Karena kondisi geografis Nusa Penida yang tandus dan musim kemarau yang relatif panjang, kemudian dengan stereotip bahwa Nusa Penida pada saat itu adalah pusat ilmu hitam sehingga cocok dijadikan sebagai koloni tahanan. Peta Belanda yang dibuat pada tahun 1900an menyebut Nusa Penida sebagai Bandieten eiland 'pulau bandit'. Nama tersebut diberikan karena pulau ini dipandang sebagai daerah pengasingan yang potensial, yakni tempat pembuangan orang-orang yang dianggap bermasalah dari Klungkung, Gianyar, dan Bangli (Sedimen, 1984). Nusa Penida juga dinilai punya kelebihan lainnya, karena letaknya yang jauh dari daratan Bali, arus lautnya kencang dan ombaknya tinggi sehingga membuat para tahanan sulit untuk melarikan diri.[3]

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Pura Goa Giri Putri di Nusa Penida.

Masyarakat Nusa Penida kebanyakan menganut Hinduisme Bali. Meskipun begitu, masyarakat Nusa Penida dikenal sangat toleran terhadap penganut agama lain di pulau itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkampungan Muslim di Nusa Penida, yakni Kampung Toyapakeh.[2]

Persebaran[sunting | sunting sumber]

Populasi Nak Nusé berjumlah 59.900 jiwa pada pertengahan tahun 2022. Suku ini sebagian besar terkonsentrasi di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Namun, karena kecilnya wilayah pulau tersebut ditambah lagi pernah terjadinya letusan Gunung Agung pada tahun 1963, sebagian dari mereka kemudian mengikuti program transmigrasi dan tersebar ke seluruh Indonesia khususnya Lampung dan Sumatera Selatan.

Budaya[sunting | sunting sumber]

Pelaksanaan tradisi ngaben di Nusa Penida.

Karena Nusa Penida telah lama menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan di Bali khususnya Kerajaan Klungkung selama ribuan tahun, maka budaya dan agama di dataran utama Bali juga dianut oleh masyarakat Nusa Penida. masyarakat Nusa Penida mengadopsi agama, budaya, dan tradisi yang sama dengan orang Bali daratan pada umunya, seperti pada tradisi melasti, ngaben, galungan, kuningan, dan nyepi.[3]

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Nusa Penida pada umumnya mengunakan bahasa Bali dialek Nusa Penida (basa Nosa). Selain itu, sama seperti kelompok etnis lainnya di Indonesia, masyarakat Nusa Penida juga mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung antar etnis. Diantara mereka juga banyak yang bisa bertutur menggunakan bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan Nusa Penida merupakan salah satu tujuan wisata di Provinsi Bali.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Kecamatan Nusa Penida Dalam Angka 2020" (PDF). Badan Pusat Statistik. 2020. Diakses tanggal 4 Juli 2022. 
  2. ^ a b "Sejarah Islam di Pulau Nusa Penida". Badan Pusat Statistik. 2020. hlm. 1379. Diakses tanggal 4 Juli 2022. 
  3. ^ a b "Budaya dan Sejarah Nusa Penida dan Bali". nusapenida.org. Diakses tanggal 27 Maret 2024.