Lompat ke isi

Galungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemasangan penjor atau bambu berisi hiasan untuk merayakan Galungan.

Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan).[1][2] Perayaan Galungan adalah perayaan hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).[1]

Hari raya Galungan juga dirayakan oleh masyarakat Tengger dengan makna dan cara yang berbeda dengan masyarakat Bali, setidaknya hingga pengenalan agama Hindu Dharma ke kawasan Tengger tahun 1980-an.[3] Masyarakat Tengger merayakan Galungan setiap 210 hari sekali di wuku galungan sebagai hari untuk memberkati desa, air, dan masyarakat. Tata cara perayaannya identik dengan barikan, satu upacara lain yang biasanya dilakukan tiap 35 hari sekali atau setelah bencana seperti gunung meletus, gempa, atau gerhana. Berbeda dengan barikan, hari raya galungan Tengger sudah tidak dilaksanakan dengan cara Tengger namun telah disatukan dengan perayaan galungan sesuai tata cara Hindu Bali.

Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi. Perayaan Galungan sempat terhenti dan dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu. Galungan dirayakan untuk memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa atau kebaikan melawan kejahatan.[1] Masyarakat Bali percaya roh para leluhur akan pulang ke rumah di hari itu sehingga wajib menyambutnya dengan doa dan persembahan. Inti dari Galungan adalah manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bisa mengganggu ketenteraman batin dan kehidupan.

Cerita Belief

[sunting | sunting sumber]

Dalam cerita Belief Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali terdapat raksasa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Raksasa itu bernama Mayadenawa. Mayadenawa melarang semua masyarakat hindu bali untuk melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja dewa-dewa, karena Mayadenawa ingin semua masyarakat menyembahnya. Karena merasa sangat geram terhadap tingkah laku Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Ida Bhatara Indra untuk turun ke mercepade (dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut.

Diceritakan bahwa Ida Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil menjumpai Mayadenawa. Ida Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan. Namun Mayadenawa sangat angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara Indra pun bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia berlari berusaha menjauhi Ida Bhatara Indra.

Rangkaian Hari Raya Galungan

[sunting | sunting sumber]

Tumpek Wariga

[sunting | sunting sumber]

Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia.[4] Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna seperti:

  1. Bubuh putih untuk umbi-umbian
  2. Bubuh bang untuk padang-padangan
  3. Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembang biak secara generatif
  4. Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembang biak secara vegetatif

Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuh pada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubur disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai, kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):

“Dadong-Dadong I Pekak anak kija

I Pekak ye gelem

I Pekak gelem apa dong?

I Pekak gelem nged

Nged, nged, nged”

Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.

Sugihan Jawa

[sunting | sunting sumber]

Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang

Sugihan Bali

[sunting | sunting sumber]

Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang

Hari Penyekeban

[sunting | sunting sumber]

Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.

Hari Penyajaan

[sunting | sunting sumber]

Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.

Hari Penampahan

[sunting | sunting sumber]
Pembuatan Penjor untuk Galungan.

Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya masing-masing.

Hari Raya Galungan

[sunting | sunting sumber]
Persembahyangan pada hari Raya Galungan

Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Mudik”, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.[1]

Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra , banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).

Hari Umanis Galungan

[sunting | sunting sumber]

Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.

Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan

Hari Pemaridan Guru

[sunting | sunting sumber]

Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.

Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan

Hari Pemacekan Agung

[sunting | sunting sumber]

Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (dalam bahasa Bali) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.

Hari Raya Kuningan

[sunting | sunting sumber]
Persembahyangan pada Hari Raya Kuningan.

Hari Raya Kuningan dirayakan umat hindu setiap 210 hari sekali[1] dengan cara memasang tamiang, kolem, dan endong. Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang dan kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran.

Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum.

Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahteraan.

Hari Pegat Wakan

[sunting | sunting sumber]

Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e "Galungan". Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka. 1988. ISBN 9798265300. 
  2. ^ Shadily, Hassan, ed. (1980). "Galungan". Ensiklopedi Indonesia. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. 
  3. ^ "Google books". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2019-08-27. 
  4. ^ "Tumpek Wariga : Sang Hyang Sangkara Sebagai Dewa Tumbuhan". InfoDewata. 2018-11-29. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-18. Diakses tanggal 2018-12-18. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]