Undang-Undang Pornografi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
*drew (bicara | kontrib)
k Suntingan 202.51.230.202 (Bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh *drew
Baris 1: Baris 1:
{{aktualitas}}
{{aktualitas}}
[[Gambar:Ruuapp.jpg|thumb|300px|RUU APP menyulut kontroversi]]

'''Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi''' <BR>
'''Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi''' <BR>
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat '''RUU APP''' adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat]] [[Republik Indonesia]] pada [[14 Februari]] [[2006]]. RUU yang berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur masalah [[pornografi]] dan [[pornoaksi]] di Indonesia. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat '''RUU APP''' adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat]] [[Republik Indonesia]] pada [[14 Februari]] [[2006]]. RUU yang berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur masalah [[pornografi]] dan [[pornoaksi]] di Indonesia. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.

Revisi per 16 Juni 2006 02.37

RUU APP menyulut kontroversi

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. RUU yang berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia. RUU ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.

Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) sehingga secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur"[1]. Pornoaksi adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".

Panitia khusus DPR

Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat.

Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas.

Pada Maret 2006, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung. [1] [2] [3]

8 Juni 2006, Latifah Iskandar dari fraksi PAN, seorang anggota pansus, mengatakan bahwa DPR saat ini belum pernah merevisi draft RUU APP yang lama. RUU tersebut saat ini baru ditangani oleh tim perumus yang tugasnya antara lain memberi perhatian dan melakukan koreksi atas redaksional RUU ini. Setelah Tim Perumus selesai melakukan tugasnya, baru kemudian RUU itu bisa dibahas subtansinya kembali oleh Pansus. Jadi Pansuslah yang berhak memotong, menambah atau mengganti pasal-pasal yang ada dalam RUU itu.

Kontroversi

Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.

Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.

Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.

Penyeragaman budaya

RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.

Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).

Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.

Menyudutkan perempuan

RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual.

Menurut logika patriarkis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.

Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.

Aksi Budaya tolak RUU APP

Peristiwa

Gelar seribu tayub

Pada 15 Maret 2006, ribuan seniman di Kota Solo, menggelar pentas seni kolosal di pelataran Taman Budaya Jawa Tengah bertajuk "Gelar 1.000 Tayub Seniman Solo Menolak RUU APP", sekaligus mendeklarasikan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Aksi ini melibatkan seniman dari berbagai disiplin seperti teaterawan, musisi, penari, koreografer, dalang, pelukis, sastrawan, teater-teater kampus, dan sanggar-sanggar serta penari-penari tradisional. Aksi ini diikuti oleh tokoh seni seperti Garin Nugroho, Didik Nini Thowok, dalang wayang "suket" Slamet Gundono. [5] [6]

Karnaval budaya

Pada 22 April 2006, ribuan masyarakat bergabung dalam karnaval budaya "Bhinneka Tunggal Ika" untuk menolak RUU ini. Peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, seniman, artis, masyarakat adat, budayawan, rohaniwan, mahasiswa, hingga komunitas jamu gendong dan komunitas waria. Peserta berkumpul di Monumen Nasional (Monas) untuk kemudian berpawai sepanjang jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI.

Ribuan peserta aksi melakukan pawai iring-iringan yang dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh.

Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas dari Keraton Yogyakarta, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertarejasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Dyah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dll. [7] [8]

Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika

Pada 13 Mei 2006 di Komunitas Utan Kayu dilakukan deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Deklarasi ditandatangani oleh tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Lily Chadidjah Wahid, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Shahnaz Haque, Jajang C Noer, Hariman Siregar, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, Rahman Tolleng, Muslim Abdurachman, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Garin Nugroho, Butet Kartaredjasa, Franky Sahilatua, Dian Sastro, Sujiwo Tedjo, Ade Rostina, BJD Gayatri, La Ode Ronald Firman, dan lain-lain. Acara dibuka dengan pembacaan puisi Setelah Rambutmu Tergerai oleh Rendra.

Pernyataan ini dibuat berdasarkan keprihatinan pada RUU APP, sejumlah rancangan undang-undang dan peraturan daerah yang memaksakan spirit moralitas, nilai-nilai dan norma-norma agama tertentu. Kesewenangan ini disebutkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. [9]

Aksi sejuta umat

Berkas:Dukunganruuapp.jpg
Aksi yang mendukung RUU APP.

Pada tanggal 21 Mei 2006, umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografi-pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI.

Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama'. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari Moekti, Inneke Kosherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab (FPI), H. Muhammad Ismail Yusanto (HTI), H. Mashhadi (FUI), KH Zainuddin MZ (PBR), H. Rhoma Irama (PAMMI), Hj. Nurdiati Akma (Aisyiyah), Habib Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori (DIN) dan lain-lain. Dari jajaran pimpinan DPR RI, Agung Laksono (Ketua DPR), Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR) dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU-APP).

Fatwa MUI

MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.

Fadholy El Muhir diadukan ke polisi

Pada 1 Juni 2006, Ny Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid didampingi Tim Pembela Perempuan Bhinneka Tunggal Ika mengadukan Ketua Forum Betawi Rempug Fadholy El Muhir ke Polda Metro Jaya. Ny Shinta mengadukan pernyataan Fadholy dalam acara dialog di Metro TV pada 21 Mei pukul 22.30 telah melecehkan dan menghina pribadi dan integritasnya sebagai peserta pawai Bhinneka Tunggal Ika untuk menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi. Dalam dialog itu, Fadholy menyatakan, "Peserta pawai budaya adalah perempuan-perempuan bejat berwatak iblis yang merusak moral bangsa Indonesia." Pernyataan-pernyataan Fadholy diikuti penyerangan-penyerangan dan ancaman-ancaman untuk menutup tempat usaha para peserta pawai budaya lainnya. Ny Shinta sebelumnya juga sudah melayangkan somasi. Setelah karnaval budaya, FBR sempat mengancam terbuka di TV bahwa akan melakukan sweeping terhadap peserta pawai, bahkan Inul diancam akan diusir dari Jakarta dan bisnis karaokenya akan dirusak.[10] [11] [12]

Pancasila Rumah Kita

Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (BTI) kembali menggelar karnaval budaya pada 3 Juni yang mengetengahkan berbagai pentas seni di Bundaran HI dan karnaval sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Selain melakukan pawai budaya, Aliansi BTI bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dirjen Kesbangpol Depdagri juga mengadakan acara "Curhat Budaya" pada 1 dan 2 Juni di Hotel Nikko. Karnaval dan curhat budaya ini diberi judul: Pancasila Rumah Kita. Beberapa tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut antara lain Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Dr. Syafii Maarif, A. Mustofa Bisri, Prof. Edy Sedyawati, Ratna Sarumpaet, Siswono Yudhohusodo, I Gde Ardika, Franky Sahilatua, Prof. Melani Budianta, Moeslim Abdurahman, Mohammad Sobary, Mudji Sutrisno, Kamala Chandra Kirana, Prof. Dr. Toety Heraty, Jamal D. Rahman, Nurul Arifin, Mirta Kartohadiprodjo, Gugun Gondrong. Organisasi yang terlibat diantaranya Banteng Muda Indonesia, Arus Pelangi, Garda Bangsa, Repdem, GMKI. [13]

Rujukan

  1. ^ :en:Pornography, Wikipedia berbahasa Inggris, versi 07:32, 12 Maret 2006

Pranala luar