Aji Raden Padmo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aji Raden Padmo
Bupati Kutai
Masa jabatan
1960 – 1964
Sebelum
Pendahulu
Jabatan baru
Pengganti
Roesdibiyono
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Aji Hasan Basri

(1912-11-26)26 November 1912
Tenggarong, Hindia Belanda
Meninggal7 November 1995(1995-11-07) (umur 82)
Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Partai politikPIR
Golkar
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Aji Raden Padmo Negoro atau biasa disingkat A.R. Padmo (26 November 1912 – 7 November 1995) adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II (KDH) Kutai yang pertama setelah pembubaran Daerah Istimewa Kutai yang dilantik oleh Gubernur Kalimantan Timur A.P.T. Pranoto pada tanggal 20 Agustus 1960.

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Padmo lahir pada tanggal 26 November 1912 di Tenggarong dengan nama Aji Hasan Basri. Ayahnya adalah Aji Raden Ario Amiseno.[1] Padmo mengawali pendidikannya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Tenggarong. Setelah lulus dari HIS pada tahun 1926, dia melanjutkan studi di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar. Saat masih studi di OSVIA, Padmo bergabung dengan organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Padmo kemudian lulus dari OSVIA pada tahun 1931.[2][3]

Karir politik[sunting | sunting sumber]

Karir awal[sunting | sunting sumber]

Padmo mengawali karirnya sebagai Jaksa Muda (Adjunct Djaksa) di Pengadilan (Landraad) Kuala Kapuas sejak pengangkatannya pada tanggal 12 September 1931.[4] Dia kemudian memangku berbagai jabatan administratif sebelum Perang Dunia II, seperti Wedana Panitera (Griffier) di Tenggarong dan Samarinda, Wakil Kepala Subdistrik di Samboja, Kepala Penjawat di Muara Ancalong, dan terakhir sebagai Kepala Subdistrik di Muara Pahu merangkap Kepala Penjawat di Melak.[2][3]

Masa Perang Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Setelah perang berakhir, Padmo menjabat sebagai Kepala Penjawat di Samarinda Seberang dan Patih di Balikpapan hingga tahun 1948.[2][3][5] Selain itu, dia juga menjabat sebagai Wedana di Samarinda hingga tahun 1956.[3] Padmo menjadi anggota delegasi dari Negara Kalimantan Timur yang pergi ke Bandung untuk mengikuti Konferensi Federal yang akhirnya diadakan pada tanggal 25 Agustus 1948.[6][a] Dia terlibat dalam struktur pemerintahan federal dengan menjadi Kepala Jawatan Urusan Sosial dan anggota Komisi Kecelakaan Perang Daerah Kutai Timur.[2]

Pasca pengakuan kedaulatan[sunting | sunting sumber]

Setelah pengakuan kedaulatan, Padmo sempat menjadi Wedana di Tenggarong, sebelum menjadi Patih yang diperbantukan pada Kantor Kepala Daerah Istimewa Kutai di Samarinda. Selain itu, dia juga menjadi Wakil Ketua Panitia Pemilihan di Kalimantan Timur pada tahun 1955.[2][7] Pada tahun 1957, Padmo ditunjuk menjadi sekretaris oleh Gubernur Kalimantan Timur saat itu, A.P.T. Pranoto, selain menjadi Bupati yang diperbantukan pada Gubernur.[2][3] Pada masa ini, Padmo bergabung dengan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) dan pada Pemilu 1955 menjadi calon utama untuk kursi DPR dan Konstituante dari partai tersebut. Pada tahun 1952, dia juga menjadi ketua cabang PIR di Daerah Istimewa Kutai.[8][9][10]

Tak seperti sebagian besar bangsawan Kutai yang tersingkirkan dari dunia politik akibat pendidikan yang kurang mumpuni dan kesetiaan pada Belanda selama perang, Padmo termasuk dalam golongan kecil dari bangsawan Kutai yang mampu bertahan berkat karirnya sebagai seorang birokrat dan pendidikan kepamongprajaan yang ia peroleh dari OSVIA.[11]

Menjadi Bupati Kutai[sunting | sunting sumber]

A.R. Padmo (tengah) sedang memberikan penyuluhan mengenai Manipol/USDEK kepada masyarakat Dayak di pedalaman Kutai.

Pada tanggal 20 Agustus 1960, Daerah Istimewa Kutai dihapuskan dan dipecah menjadi tiga Daerah Tingkat II, yakni Kotapraja Balikpapan, Kabupaten Kutai, dan Kotapraja Samarinda. Adapun Padmo diangkat oleh Pranoto sebagai Bupati Kutai.[12] Pengangkatan Padmo tidak terlepas dari kebijakan Pranoto untuk memperkuat kedudukan bangsawan di perpolitikan Kalimantan Timur, hal yang tidak disenangi oleh kelompok pejuang yang terpusat di Samarinda dan Balikpapan. Selain itu, keanggotaan Padmo di dalam PIR juga berpengaruh pada pengangkatannya, sebab Pranoto juga merupakan anggota partai tersebut.[13]

Padmo (tanda X) dan Wedana Kutai Timur, E.A. Samad (XX), diabadikan bersama dengan rakyat di Bontang.

Menguatnya kedudukan bangsawan juga tidak disenangi oleh Pangdam IX/Mulawarman saat itu, Brigjen Soehario Padmodiwirio, yang antifeodal dan merupakan sekutu kelompok pejuang. Untuk melemahkan kedudukan para bangsawan, Soehario mengirimkan pasukannya ke Tenggarong pada bulan Agustus 1964 untuk menangkap beberapa tokoh, seperti mantan Sultan Aji Muhammad Parikesit dan Padmo sendiri. Mereka ditangkap atas tuduhan hendak mendirikan kembali daerah swapraja dan ditahan di Balikpapan. Soehario lalu menunjuk Roesdibiyono, seorang pamong praja beretnis Jawa, sebagai pengganti Padmo[14] Padmo ditahan selama enam bulan, sebelum akhirnya dibebaskan pada awal tahun 1965 atas intervensi Menteri Dalam Negeri Soemarno Sosroatmodjo.[3]

Karir pasca Bupati[sunting | sunting sumber]

Guna melemahkan kedudukan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tingkat provinsi yang menguat pada masa Abdoel Moeis Hassan, Gubernur Abdul Wahab Sjahranie menggantikan para birokrat PNI dengan birokrat mantan kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan golongan bangsawan. Pada tahun 1966, Padmo ditunjuk kembali sebagai Residen di Samarinda dan pada tahun berikutnya, menjadi Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Kalimantan Timur, menggantikan Drs. Djakfar Achmad yang berasal dari PNI.[15][3]

Pada tahun 1972, Padmo menjabat sebagai Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Provinsi Kalimantan Timur sebelum akhirnya berhenti pada tahun 1973. Dia juga terpilih menjadi anggota MPR dari Fraksi Golkar mewakili Kalimantan Timur pada tahun yang sama.[10][16] Padmo kemudian menjabat sebagai direktur Hotel Lamin Indah di Samarinda yang dikelola oleh pemerintah daerah.[3]

Kematian dan kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Padmo meninggal di Samarinda pada tanggal 7 November 1995 karena sakit. Adapun istrinya, Hj. Adji Haton, telah mendahuluinya pada tanggal 16 Juli 1994 karena penyebab yang sama. Pernikahan Padmo dengan Adji Haton menghasilkan empat orang anak, antara lain Adji Masdulhak Padmo, Hj. Adji Farida, Hj. Adji Maspulena, dan H. Adji Maspul.[17]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Konferensi awalnya hendak diselenggarakan pada tanggal 20 September, tetapi kemudian dimajukan ke bulan Agustus. Setelah melalui dua kali penundaan, akhirnya konferensi diadakan pada tanggal 25 Agustus.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Mahkamah Agung (2018-03-08). "Putusan PA SAMARINDA Nomor 180/Pdt.G/2018/PA.Smd". Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 Februari 2024. 
  2. ^ a b c d e f Lembaga Pemilihan Umum 1972, hlm. 762.
  3. ^ a b c d e f g h Magenda 2010, hlm. 148.
  4. ^ Regeeringsalmanak 1933, hlm. 149.
  5. ^ "De Oranjefeesten in Oost-Borneo". Het Nieuwsblad voor Sumatra. 1948-07-16. Diakses tanggal 24 Februari 2024. 
  6. ^ "Delegatie Oost-Borneo naar Bandoeng". De Nieuwsgier. 1948-08-13. Diakses tanggal 24 Februari 2024. 
  7. ^ Panitia Pemilihan Indonesia 1958, hlm. 516.
  8. ^ Kementerian Penerangan 1955, hlm. 166.
  9. ^ Kementerian Penerangan 1956, hlm. 269.
  10. ^ a b Lembaga Pemilihan Umum 1972, hlm. 763.
  11. ^ Magenda 2010, hlm. 72.
  12. ^ Soetoen 1979, hlm. 259.
  13. ^ Magenda 2010, hlm. 77.
  14. ^ Magenda 2010, hlm. 93-94.
  15. ^ Magenda 2010, hlm. 109.
  16. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1972, hlm. 82.
  17. ^ Mahkamah Agung (2017-04-25). "Putusan PA SAMARINDA Nomor 0379/Pdt.G/2017/PA.Smd". Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 Februari 2024. 

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

Jabatan politik
Didahului oleh:
Aji Muhammad Parikesit
sebagai Kepala Daerah Istimewa Kutai
Bupati Kutai
1960–1964
Diteruskan oleh:
Roesdibiyono