Abdullah Bilfaqih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

al Ustadz al Imam al Hafidz al Musnid al Qutb Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih adalah ulama' dalam ilmu hadits. Beliau juga pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Malang.

Biografi[sunting | sunting sumber]

Nasab[sunting | sunting sumber]

al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Faqih bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw.

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]

al-Habib Abdullah lahir di Kota Surabaya pada tanggal 12 Rabiul Awal 1355 H, yang bertepatan dengan 1 Juni 1936 M, ayahnya adalah al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih yang merupakan ulama ilmu hadis dan menjadi rujukan umat. Sedangkan ibunya adalah asy-Syarifah Ummi Hani binti Abdullah bin Agil. al-Habin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih adalah seorang pendiri dan pengasuh PP. Darul Hadits al-Faqihiyyah, kota Malang.

Perjuangan al-Habib Abdul Qadir mendapatkan keturunan[sunting | sunting sumber]

al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bil yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah Li Ahlussunnah wal j M di Kota Malang, Jawa Timur.

Pesantren ini telah melahirkan para ulama yang bertebaran menyebarkan Islam di segenap pelosok nusantara. Sebagian dari mereka mengikuti jejak langkah gurunya dengan membuka pondok pesantren, madrasah ataupun majelis taklim demi menyiarkan dakwah islam dan ilmu agama.

Ayah dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadis, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah al-Habib Abdul Qadir dan al-Habib Abdullah. Begitu besar keinginan sang ayah untuk ‘mencetak’ anaknya menjadi ulama dan ahli hadis untuk mewarisi ilmunya. Akhirnya oleh Allah swt dikabulkanlah keinginan al-Habib Abdul Qadir tersebut.

Sebelum dikaruniai putera, al-Habib Abdul Qadir menunaikan ibadah haji dan berziarah ke Makam Rasulullah saw di Kota Madinah. Di sana beliau memanjatkan do’a khusus kepada Allah swt agar dikaruniai putera yang kelak tumbuh sebagai ‘alim yang mengamalkan ilmunya dan menjadi seorang ahli hadis. Selang beberapa bulan do’a itupun dikabulkan oleh Allah swt.

Lahirlah seorang putera yang dinanti-nantikannya tersebut, kemudian diberi nama Abdullah. Sesuai dengan do’a yang dipanjatkan di hadapan makam Rasulullah saw, maka al-Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik buah hati yang dinanti-nantikannya itu. Pendidikan yang diberikan sang ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih kecil ia sudah menampakkan kecerdasan dan bakat sebagai ahli hadis.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Sejak kecil ia berada dibawah asuhan dan bimbingan ayahandanya. Selain kepada ayahandanya beliau juga belajar kepada al-Habib Ali bin Husein al-Attas di Jakarta, yang dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur, seorang ‘alim dan sebagai tokoh ulama yang menjadi rujukan para ulama di zamannya.

Keuletan dan kegigihan al-Habib Abdullah dalam menimba ilmu amatlah sulit dicari tandingannya. Siang dan malam waktunya hanya dipergunakan untuk belajar. Sang ayah benar-benar melihat semangat anaknya ini dalam belajar.

“Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar.” Hadis inilah yang menjadi motifasi serta pendorong al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih dalam mencari ilmu dan menyebarkan dakwah Islamiyah.

al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih pernah mengatakan: “Aku telah mewariskan kepada puteraku ini empat puluh satu cabang ilmu agama.” Karenanya, tidaklah mengherankan jika pada usia 7 tahun, al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih sudah mampu menghafal al-Qur’an dan pada usia sekitar 20 tahun ia telah mampu menghafal Kitab Hadis Bukhari dan Muslim lengkap dengan matan serta sanadnya yang bersambung hingga Rasulullah saw.

Hal ini bukan terjadi secara kebetulan tanpa adanya suatu usaha. Melainkan adanya usaha yang seimbang antara sang ayah dan puteranya itu. al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, sang ayah yang juga sebagai maha guru tunggal al-Habib Abdullah Bilfaqih, telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memimbing dan mendidik serta mengantarkan sang putera ini menjadi seorang ulama yang ilmunya bermanfaat serta dapat menggantikan peranan dan dakwah sang ayah.

Namun di sisi lain sang putera yang selaku murid ini mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun dan rajin. Maka imbanglah antara upaya sang ayah dalam mendidik dan kemauan serta semangat belajar sang putera.

Kemudian al-Habib Abdullah menempuh pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di Lembaga Pendidikan at-Taraqqi yang berada di Kota Malang. Di madrasah itu pula, al-Habib Abdul Qadir mengajar. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat ibtidaiyah, kemudian ia melanjutkan ke tingkatan madrasah aliyah di Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah di bawah asuhan ayahandanya sendiri.

Kepakaran bidang Ilmu Hadits dan Gelar Doktor Profesor[sunting | sunting sumber]

Teman-teman sebayanya mengenal al-Habib Abdullah sebagai kutu buku. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab. Gara-gara terlalu kuat dalam belajar, ia pernah jatuh sakit. Meskipun begitu, hal itu tidak membuatnya berhenti belajar, walaupun dalam keadaan seperti itu ia tetap saja belajar dan belajar.

Diantaranya kitab-kitab yang dipelajarinya adalah,

  1. Shahih Bukhari,
  2. Shahih Muslim,
  3. Sunan Abu Daud,
  4. Sunan at-Tirmidzi,
  5. Musnad al-Imam asy-Syafi’i,
  6. Musnad Ahmad karya al-Imam Ahmad ibn Hambal,
  7. al-Muwatha’ karya al-Imam Malik,
  8. an-Nawadirul Ushul karya al-Imam Hakim at-Tirmidzi,
  9. al-Mu’jam ats-Tsalats karya Abul Qasim ath-Thabrani. Semua itu telah dihafalkannya dengan baik.


Tidak hanya sekedar menghafal hadis, al-Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadis, yaitu ilmu yang mempelajari hal ihwal hadis berikut para perawinya. Juga ilmu rijalul hadis, yaitu ilmu tentang para perawi hadis. Ia juga menguasai Ilmu jarh wa ta’dil (Kriteria hadis yang dapat diterima sesuai persyaratan ilmu hadis.) dengan mempelajari Kitab at-Taqrib at-Tahzib karya al-Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, al-Mizan at-Ta’dil karya al-Hafidz adz-Dzahabi.

Dari kecerdasan dan keluasan al-Habib Abdullah dalam ilmu hadis, maka ia mendapat gelar Honoris Causa sebagai Doktor dan Profesor. al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hadis dari Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, sedangkan gelar Profesor Honoris Causa dari Jamia Millia Islamia, Lahore, Pakistan, serta dari Darul Ulum Nadwatul Ulama, Lucknow, India pada tahun 1970 M.

Gelar tersebut diberikan, karena memang pantas disandang dengan melihat kepakarannya dalam ilmu hadis. Setiap ia menyampaikan hadis-hadis Rasulullah saw selalu disebutkan pula sanad dan perawinya. Maka tidak berlebihan jikalau ia menyandang sebagai muhaddis di zamannya.

Karya[sunting | sunting sumber]

Berikut karya al-Habib Abdullah:

  1. Siapakah Ahlussunnah wal jama’ah
  2. Mengapa umat Islam menerima Pancasila?
  3. Islam dan Tanda-tandanya, Iman serta bagian-bagiannya.
  4. Majmu’atul Fatawa Wal Buhuhts al-Islamiyyah.
  5. Irghamul Balid Fi Akhkamil Ijtihad Wataqlid.
  6. al-Qaulurrasyiin Fi Adillatittalqin.
  7. al-Mulhah.
  8. Tanwirul Ghayahib.
  9. Fatwa Maulid.
  10. Serangkum Khutbah.
  11. Hijrah adalah Kunci Sukses Bagi Pembangunan Moril dan Materiil. (Merupakan salinan naskah Pidato al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang ditayangkan secara regional di RRI Surabaya pada 15 Februari 1972 M, dalam menyambut Tahun Baru Hijriah 1392 H.)
  12. Puasa Merupakan Mental Training dan Pendidikan. (Tulisan artikel al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang dimuat di Harian Agkatan Baru pada hari Kamis 5 November 1970 M.)
  13. Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw Perlambang Keagungan Ilahi. (Tulisan artikel al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang dimuat di Harian Bhirawa pada Hari Selasa 16 April 1985 M.)[1]

Wafat[sunting | sunting sumber]

al-Habib Abdullah wafat pada usia 56 tahun, hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H atau 30 November 1991. Haulnya tiap tahun tak pernah sepi jamaah, jutaan orang melayat dan mendengarkan putra-putranya beraudiensi di PP. Darul Hadits al-Faqihiyyah, kota Malang.

Referensi[sunting | sunting sumber]

ensi

  1. ^ "Sejarah Dr. al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih | Kantong Bolong". wongbantur.blogspot.com. Diakses tanggal 2024-01-28.