Sabelianisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Sabellianisme)

Di ranah teologi Kristen, Sabelianisme adalah keyakinan bahwa hanya ada satu Oknum (hipostasis, istilah Yunani yang dipakai dalam kontroversi ajaran Arius pada abad ke-4) di dalam Ke-Allah-an. Sebagai contoh, teolog Richard Patrick Crosland Hanson mendefinisikan Sabelianisme sebagai "keingkaran untuk mengamini kewujudan tedas Oknum-Oknum."[1]:844 Ia mengemukakan pula bahwa "Eustatius dikutuk lantaran dianggap menganut Sabelianisme; keteguhannya dalam berpendirian bahwa hanya ada satu kenyataan tedas (hipostasis) di dalam Ke-Allah-an, dan kerancuannya dalam membedakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, menjadikannya rentan dituding seperti itu."[1]:216 Lantaran dibidatkan, Sabelianisme ditolak oleh umat Kristen pada umumnya.

Monarkianisme[sunting | sunting sumber]

Sabelianisme pertama kali muncul pada abad ke-2 dalam wujud Monarkianisme. Meskipun para “pengusung ajaran ini menyebut dirinya kaum 'Monarkian', bapa-bapa Yunani menyebut mereka 'kaum Sabelian', sebab Sabeliuslah orang pertama yang mengemukakan ajaran ini dalam bentuk filsafatinya.”

Monarkianisme bertentangan dengan teologi-Logos. Lantaran sejak akhir abad ke-2, Kekristenan non-Yahudi didominasi oleh teologi-Logos yang mengajarkan dua-tahap kewujudan Logos, yaitu Logos senantiasa wujud di dalam diri Allah tetapi menjadi suatu wujud terpisah - suatu Kenyataan tedas - tatka Allah memutuskan untuk mencipta, kaum Monarkian pun menyatakan “bahwa teologi para Apolog menyiratkan adanya keterbelahan dalam kewujudan dan kemahaesaan Allah sehingga tidak dapat dibenarkan”, dan bahwa teologi-Logos mengajarkan kewujudan dua khalik dan dua Allah (biteisme) sehingga “tidak sejalan dengan monoteisme”.

Menurut Monarkianisme, “Bapa dan Putra adalah pengungkapan yang berlainan dari satu kewujudan yang sama, tanpa pembedaan pribadi di antara keduanya. Dengan kata lain, Bapa jualah Putra itu, dan oleh karena itu mengalami kelemahan-kelemahan insani Putra.” “Jika mengutip kata-kata Noetus, … Bapa … sendiri menjadi Putra-Nya.” “Itulah sebabnya Allah terlahir dari rahim seorang perawan dan mendaku diri kepada umat manusia sebagai Putra Allah. Di atas kayu salib, Allah menyerahkan roh-Nya kepada diri-Nya sendiri, tatkala Ia berlaku seakan-akan mati, tetapi sesungguhnya Ia tidak mati, kendati Ia bangkitkan diri-Nya sendiri pada hari yang ketiga.”

Tertulianus adalah salah seorang teolog Logos yang menentang keras Monarkianisme. “Risalah Melawan Prakseas diakui di mana-mana karya sastra terbesar mengenai Tritunggal yang dihasilkan Tertulianus. Pandangan yang diduga diajarkan oleh Prakseas pada akhirnya disebut ‘modalisme’, mengikuti istilah yang digunakan oleh Adolf von Harnack di dalam bukunya, History of Dogma (terbit tahun 1897). Tertulianus hanya menyebut lawannya itu sebagai seorang ‘monarkian’.”

“Adolph Von Harnack memunculkan istilah 'Modalisme' sebagai nama bagi ajaran abad ke-2 ini, yang mengatakan bahwa Tritunggal terdiri atas 'tiga moda atau tiga aspek dari satu kewujudan ilahi'.”

Mengikuti jejak Tertulianus, “bapa-bapa Latin … menyebut mereka 'kaum patripasian' lantaran mereka sudah menyama-nyamakan Bapa dan Putra sedemikian rupa sampai-sampai mengimani bahwa Bapalah yang menderita sengsara dan wafat di atas kayu salib.”


Tidak ada kekhasan[sunting | sunting sumber]

Sabelianisme mengajarkan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus bukanlah tiga realitas khas, melainkan satu realitas belaka. Sebagai contoh, R.P.C. Hanson mengemukakan sebagai berikut:

  • “Tidak heran … Eustasius dikutuk karena dituding menganut Sabelianisme. Ia berpendirian bahwa hanya ada satu realitas khas (hipostasis) di dalam ke-Allah-an, dan kebingungannya membedakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus membuatnya rentan mendapatkan tudingan semacam itu.” (RH, 216)
  • Mengacu kepada syahadat Peresmian, “Bête noire-nya yang terutama adalah Sabelianisme, yakni penyangkalan terhadap kekhasan yang menjadi pembeda tiga oknum di dalam ke-Allah-an.” (RH, 287)
  • “Konsili [Aleksandria tahun 362] menanyai orang-orang yang didakwa mengatakan satu hipostasis', apakah mereka bertutur seperti itu dalam arti Sabelian dengan maksud untuk menghancurkan kewujudan-kewujudan nyata yang khas dari oknum-oknum.” (RH, 641)
  • Dan mengacu kepada Basilius dari Kaisarea, “ia selanjutnya mengajukan argumen lain yang mendukung homoousios: 'ungkapan ini (homoousios) juga meluruskan kekeliruan Sabelius karena meniadakan identitas oknum (hipostasis) … sebab tidak ada yang sehakikat dengan dirinya sendiri. (RH, 694-5)

Sejarah dan perkembangan[sunting | sunting sumber]

Modalisme sudah lumrah dikait-kaitkan dengan Sabelius, presbiter yang mengajarkan salah satu ragam dari bidat tersebut di Roma pada abad ke-3. Sabelius terjangkit bidat ini melalui ajaran-ajaran Noetus dan Prakseas.[2] Noetus diekskomunikasi dari Gereja sesudah diperiksa di hadapan sidang uskup,[3] sementara Prakseas dikabarkan menarik kembali pandangan-pandangan modalistisnya lewat pernyataan tertulis, dan kembali mengajarkan akidahnya yang lama.[4] Sabelius juga diekskomunikasi oleh sidang uskup di Aleksandria. Lantaran mengajukan banding ke Roma, sekali lagi digelar sidang uskup di Roma, yang pada akhirnya tidak saja membidatkan Sabelianisme, melainkan juga Arianisme dan Triteisme, serta mengukuhkan Tiga Serangkai Ilahi sebagai pemahaman yang katolik akan Monarki Ilahi.[5][6] Hipolitus dari Roma, yangmengenal Sabelius secara pribadi, mengemukakan di dalam karya tulisnya, Bantahan Terhadap Segala Bidat, mengemukakan bahwa ia dan orang-orang lain sudah berusaha menasihati Sabelius. Ia tahu Sabelius menentang teologi Tritunggal, tetapi ia menyebut Monarkianisme Modalistis sebagai bidat Noetus, bukan bidat Sabelius. Sabelianisme menjangkiti umat Kristen di daerah Kirenaike, sampai-sampai Dionisius, Batrik Aleksandria yang besar andilnya dalam pengekskomunikasian Sabelius di Aleksandria, merasa perlu menginsafkan mereka dari kesesatan lewat surat. Hipolitus sendiri memandang Modalisme sebagai suatu gagasan baru dan tidak biasa yang diam-diam menarik pengikut:

Beberapa orang lain diam-diam menyiarkan ajaran baru, yakni orang-orang yang berguru kepada si Noetus, orang kelahiran Smirna yang sudah tutup usia. Orang ini sungguh besar kepala, lagi sarat dengan kecongkakan, lantaran teperdaya oleh wangsit dari roh yang garib.[3]

Sudah muncul seseorang, Noetus namanya, asli kelahiran Smirna. Orang ini menyiarkan suatu bidat yang bersumber dari pokok-pokok pikiran Heraklitus. Lalu ada orang bernama Epigonus yang menjadi kaki tangan sekaligus muridnya. Orang ini menyiarkan gagasan yang menghujat Allah itu sewaktu mampir di Roma, tetapi Kleomenes, muridnya, orang yang tidak tahu apa-apa tentang adab hidup dan adat-istiadat Gereja, dialah yang tunak menyiarkan ajaran (buah pemikiran Noetus) itu.[7]

Demikian pula, Noetus, orang kelahiran Smirna, pecandu ceracau tidak keruan, yang juga pandai menceracau tidak keruan, memperkenalkan (kepada kami) bidat ini, yakni bidat yang bersumber dari si Epigonus. Bidat ini berjangkit sampai ke Roma lalu dianut Kleomenes sehingga bercokol sampai sekarang, dipelihara para penerus Kleomenes.[8]

Tertulianus juga menganggap Modalisme sebagai gagasan baru dari luar yang menyusup ke dalam Gereja, dan gagasan baru tersebut mendustakan doktrin pusaka turun-temurun. Sesudah menjabarkan pemahamannya tentang seluk-beluk akidah yang diwarisi Gereja, Tertulianus mengemukakan betapa "orang-orang lugu", yang selalu menjadi golongan mayoritas dari segenap umat beriman, kerap terusik batinnya oleh gagasan bahwa Allah Yang Mahaesa itu wujud di dalam tiga pribadi dan menentang pemahamannya tentang "kaidah iman." Pada pendukungnya menandaskan bahwa Tertulianus menyifatkan "orang-orang lugu" sebagai golongan mayoritas, alih-alih menyebut pihak-pihak yang berseberangan dengannya sebagai golongan mayoritas. Penandasan ini disimpulkan dari penjelasan Tertulianus bahwa orang-orang lugu tersebut mengajukan gagasan-gagasan pribadi yang belum pernah diajarkan para sesepuh mereka:

Akan tetapi kami, sebagaimana senantiasa kami amalkan, apatah lagi kami sudah baik-baik dididik Paraklitus, sang penuntun manusia kepada kebenaran yang seutuhnya, mengimani bahwa hanya ada satu Allah saja, tetapi dengan penatalaksanaan, atau yang disebut orang οἰκονομία, yaitu bahwasanya Allah yang hanya satu ini juga memiliki satu Putra, yakni Sabda-Nya, yang keluar dari Diri-Nya sendiri, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan, dan yang tanpa-Nya tidak ada apa-apa yang dijadikan. Kami percaya bahwa Dia sudah diutus Bapa ke dalam diri Sang Perawan, supaya dilahirkan Sang Perawan, menjadi Manusia sekaligus Allah, Putra Manusia sekaligus Putra Allah, supaya disebut dengan nama Yesus Kristus. Kami percaya bahwa Dia sudah menderita sengsara, wafat, dan dimakamkan, sesuai dengan Kitab Suci, kemudian Dia dibangkitkan Bapa dan diangkat kembali ke surga, supaya bertakhta di sisi kanan Bapa, dan bahwasanya Dia akan datang untuk mengadili orang-orang yang hidup maupun yang mati. Dia juga yang mengutus dari surga, yakni dari Bapa, sesuai dengan janji-Nya sendiri, Roh Kudus, Sang Parakletus, pengudus iman orang-orang yang percaya akan Bapa, dan akan Putra, dan akan Roh Kudus. Bahwasanya kaidah iman ini sudah kami terima sedari permulaan injil, malah sebelum ada satu pun ahli bidat terdahulu, jauh mendahului Prakseas, anak kemarin sore itu, yang akan jelas tampak dari keterkemudianan waktu yang menjadi ciri khas segala macam bidat, juga dari kemutakhiran mutlak anak bawang kita yang mendadak lain sendiri itu, si Prakseas. Jadi mulai sekarang kita harus berpraduga sama rata terhadap segala macam bidat dengan pendirian ini, yaitu bahwasanya apa-apa yang pertama adalah yang benar, sedangkan yang patut dicurigai adalah apa-apa yang baru muncul belakangan.[9]

Memang orang-orang lugu, yang tidak akan saya sebut di sini sebagai orang-orang yang tidak bijak dan tidak terpelajar, yang senantiasa merupakan golongan mayoritas umat beriman, dibuat terperangah oleh penatalaksanaan (akan Tiga di dalam Satu), lantaran kaidah iman mereka sendiri menuntun mereka untuk berpindah dari keberagaman ilah dunia ini kepada satu-satunya Allah yang benar. Mereka tidak paham bahwa, sekalipun Ia adalah satu-satunya Allah, Ia harus diimani di dalam οἰκονομία-Nya sendiri. Nomor urut dan kemajemukan Tritunggal mereka sangka sebagai pemecah-belahan Kemahaesaan; padahal Kemahaesaan yang mengejawantahkan Tritunggal dari diri sendiri itu sungguh jauh dari terpecah-belah, malah sesungguhnya ditopang olehnya. Mereka terus-menerus mencela kami sebagai orang-orang yang mendakwahkan keimanan kepada dua ilah dan tiga ilah, sementara mereka sendiri mendaku sebagai para penyembah Allah Yang Mahaesa; seakan-akan Kemahaesaan itu sendiri jika disarikan maknanya tanpa penalaran yang benar tidak bakal melahirkan bidat, sementara Tritunggal jika disarikan maknanya dengan penalaran yang benar barulah merupakan kebenaran.[10]

Menurut Modalisme dan Sabelianisme, Allah adalah satu-satunya oknum yang menyingkapkan diri dengan berbagai macam cara yang disebut modus, rupa, segi, peran, atau kedok (Yunani: πρόσωπα, prosopa; bahasa Latin: personae) dari Allah Yang Mahaesa, sebagaimana anggapan umat beriman, alih-alih tiga oknum yang sama-sama kekal di dalam hakikat kewujudan Allah, atau "Tritunggal yang sederajat".[11] Para penganut Modalisme mencermati bahwa satu-satunya bilangan yang nyata-nyata dan berulang kali dipakai untuk menyifatkan Allah di dalam Perjanjian Lama adalah Satu. Mereka tidak terima bilangan tersebut ditafsir menyiratkan suatu kemanunggalan (misalnya nas Kejadian 2:24) apabila diterapkan kepada Allah, dan mempermasalahkan makna atau kesahihan ayat-ayat Perjanjian Baru terkait yang dikutip para penganut Tritunggalisme.[12] Nas Comma Johanneum, yang pada umumnya diragukan sebagai ayat-ayat sahih Surat Yohanes yang Pertama (1 Yohanes 5:7), yang diketahui keberadaannya terutama dari Alkitab Versi Raja James dan beberapa versi Textus Receptus, tetapi tidak termaktub di dalam teks-teks kritis modern, adalah salah satu contoh (satu-satunya penegasan yang terang-benderang) pemakaian kata Tiga untuk menyifatkan Allah.[13] Banyak penganut Modalisme mengungkit-ungkit ketiadaan kata "Tritunggal" di dalam Kitab Suci kanonis mana pun.[14]

Ayat-ayat seperti Ulangan 6:4–5; Ulangan 32:12; 2 Raja–Raja 19:15–19; Ayub 6:10; Ayub 31:13–15; Mazmur 71:22; Mazmur 83:16, Mazmur 83:18 18; Yesaya 42:8; Yesaya 45:5–7; Yesaya 48:2, Yesaya 48:9 9, Yesaya 48:11–13; Maleakhi 2:8, Maleakhi 2:10 10; Matius 19:17; Roma 3:30; 2 Korintus 11:2–3; Galatia 3:20; dan Yudas 1:25 dirujuk para penganut Modalisme sebagai nas-nas yang meneguhkan pemahaman bahwa kewujudan Allah Yang Mahaesa itu sama sekali tunggal, dan sekalipun dikenal dalam beberapa modus, memustahilkan segala macam konsep tentang kewujudan ilahi yang berdampingan satu sama lain. Hipolitus memaparkan alur pemikiran serupa dari Noetus dan para pengikutnya sebagai berikut:

Sekarang mereka berusaha membuktikan kepada orang-orang bahwa dogma mereka memiliki landasan yang kukuh dengan mengutip kalimat di dalam hukum Musa yang berbunyi, “Akulah Allah nenek moyangmu, jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku;” juga kalimat di dalam ayat lain yang berbunyi, “Akulah Yang Awal,” demikian Firman-Nya, “dan Yang Akhir; dan selain Aku tidak ada Allah.” Jadi mereka katakan kalau mereka membuktikan bahwa Allah itu mahaesa.... Dan katanya, justru kitalah yang tidak mampu mengungkapkan pandangan kita; karena para rasul juga mengamini satu Allah, ketika ia berkata, “mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.”[3]

Golongan Pentakosta Keesaan, sebutan yang dipakai sejumlah penganut Modalisme modern,[15][16] mengklaim bahwa nas Kolose 1:12–20 merujuk kepada hubungan Kristus dengan Bapa dalam arti perbedaan peran-peran Allah:

dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang. Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa. Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.[17]

Golongan Pentakosta Keesaan juga mengutip jawaban Kristus atas pertanyaan Filipus tentang Bapa di dalam nas Yohanes 14:9 untuk mendukung pandangan mereka:

Kata Yesus kepadanya: "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?"

Umat Kristen penganut doktrin Tritunggal berpendirian bahwa nas-nas semacam Kolose 1:12–20 mengenyahkan segala keraguan dari akal sehat kalau Kitab Suci mengajarkan bahwa Putra, yang adalah Sabda Allah (misalnya Yohanes 1:1–3), "hidup" secara harfiah, dan secara harfiah pula adalah Khalik semesta alam bersama-sama dengan Allah Bapa dan Roh Allah. Bagi para penganut Tritunggalisme, pemahaman golongan Pentakosta Keesaan di atas tidak hanya mencerabut nas Yohanes 14:9 dari konteks langsungnya, tetapi juga sungguh-sungguh bertentangan dengan keselarasan Injil Yohanes secara keseluruhan, dan kemungkinan besar penafsirannya mengandung sesat pikir petitio principii. Para penganut Tritunggalisme memahami nas Yohanes 14:9 dalam keselarasan dengan nas-nas yang paralel dengannya, seperti nas Yohanes 1:14 dan nas Yohanes 1:18, serta memahaminya sebagai penandasan akan kebersatuan kekal Sang Putra dengan Bapa-Nya:

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran... Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.

Banyak pengikut aliran Pentakosta Keesaan juga sudah secara tegas membedakan kodrat kemanusiaan dari kodrat keilahian Yesus sebagaimana yang dilakukan kaum Nestorian[18] seperti pada contoh yang diperbandingkan dengan pernyataan Tertulianus di atas.

Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Yunani, dan golongan-golongan Kristen arus utama lainnya menganggap golongan Pentakosta Keesaan dan golongan-golongan modalis lainnya sebagai ahli-ahli bidat karena nyata-nyata menyangkal kewujudan Putra Terkasih Bapa dari Surga, termasuk Wujud-Nya yang kekal dan persekutuan-Nya yang intim dengan Bapa selaku Imam Besar, Pengantara, Syafi', dan Pembela; menafikan pewarisan langsung karunia-karunia dan wewenang rasuli melalui penahbisan uskup-uskup; mendustakan jati diri umat Kristen arus utama sebagai Badan yang terlahir dari Allah dan Gereja yang didirikan Kristus; serta menolak maklumat-maklumat keluaran konsili-konsili oikumene semisal Konsili Nikea dan Konsili Konstantinopel, termasuk maklumat tentang Tritunggal Mahakudus. Di mata khalayak Kristen arus utama, penolakan-penolakan semacam itu sama saja dengan Unitarianisme, buah dari bidat Kristologis. Sekalipun banyak di antara penganut Unitarianisme berpaham Arianisme, penganut Modalisme tampil beda dari penganut Unitarianisme yang berhaluan Arianisme maupun Semiarianisme karena mengimani Ke-Allah-an paripurna Kristus, manakala paham Arianisme maupun Semiarianisme menegaskan bahwa Kristus tidak sehakikat (Yunani: οὐσία, ousia) dengan Allah Bapa, dan oleh karena itu tidak setara dengan Allah Bapa. Dionisius, Uskup Roma, menjabarkan pemahaman tradisional Kristen mengenai Arianisme dan Sabelianisme di dalam risalahnya, Melawan Golongan Sabelius, sekitar tahun 262. Senada dengan Hipolitus, ia memaparkan bahwa kedua paham menyimpang itu adalah dua ekstrem yang saling berlawanan di dalam usaha untuk memahami Putra Allah. Arianisme di ekstrem yang satu menyimpangkan ihwal perbedaan Putra dari Bapa, sementara Sabelianisme di ekstren lainnya menyimpangkan ihwal kesamaan Putra dengan Bapa. Di dalam risalah yang sama, gagasan tentang tiga Allah juga ia bantah sebagai paham menyimpang.[6] Meskipun Arianisme tampaknya mutlak berseberangan dengan Sabelianisme, lantaran Arianisme menandaskan bahwa Kristus adalah ciptaan Allah sementara Sabelianisme menandaskan bahwa Kristus adalah Allah, kedua paham tersebut sama-sama mendustakan keimanan golongan berakidah Tritunggal bahwa Kristus adalah Allah Yang Mahakekal di dalam Kemanusiaan-Nya, dan bahwa keimanan tersebut adalah dasar bagi pengharapan umat manusia akan keselamatan. "Satu jua adanya, bukan oleh perubahan Ke-Allah-an menjadi daging, melainkan oleh pengentasan kemanusiaan menjadi Allah."[19]

Hipolitus meriwayatkan ekskomunikasi Noetus sebagai berikut:

Tatkala siar dakwahnya sampai ke telinga para presbiter nan mubarak, mereka pun memanggilnya menghadap Gereja, lantas mengujinya. Mula-mula dia menyangkal berpandangan demikian, tetapi kemudian, sesudah berlindung di antara beberapa orang, dan sesudah mengumpulkan di sekelilingnya beberapa orang lain yang sudah menganut kekeliruan yang sama, ia hendak mempertahankan dogmanya secara terang-terangan sebagai sesuatu yang benar. Hatta para presbiter nan mubarak sekali lagi memanggilnya menghadap, lantas mengujinya. Akan tetapi dia bangkit menentang mereka, begini katanya, “jadi, apatah jahatnya aku memuliakan Kristus?” Dan para presbiter menjawabnya, “kami pun tahu kebenaran akan satu Allah; kami tahu Kristus; kami tahu bahwa Putra menderita sebagaimana Ia menderita, dan wafat sebagaimana Ia wafat, dan bangkit kembali pada hari ketiga, dan kini duduk di sebelah kanan Bapa, dan akan datang untuk menghakimi orang hidup maupun orang mati. Dan perkara-perkara yang sudah kami pelajari ini kami permaklumkan.” Lalu, sesudah mengujinya, mereka mengusirnya dari Gereja. Dan dia menjadi sedemikian sombongnya, sehingga mendirikan sebuah perguruan.[3]

Organisasi-organisasi Pentakosta Keesaan dewasa ini menyempal dari organisasi induknya ketika muktamar para pemimpin umat Kristen Pentakosta secara resmi mengadopsi doktrin Tritunggal,[20] dan sejak saat itu telah mendirikan sekolah-sekolah teologi.

Sekitar tahun 375, Epifanius mencatat (di dalam Melawan Bidat-Bidat 62) bahwa para pengikut Sabelius masih banyak jumlahnya, baik di Mesopotamia maupun di Roma.[21] Baptisan Sabelius dinyatakan tidak sah oleh Konsili Konstantinopel I tahun 381 di dalam kanon VII, dan oleh Konsili Konstantinopel III tahun 680 di dalam kanon XCV. Penafian keabsahan baptisan Sabelius tersebut mengindikasikan bahwa Sabelianisme masih tersebar luas pada masa itu.[21]

Patripasianisme[sunting | sunting sumber]

Pengecam utama Sabelianisme adalah Tertulianus dan Hipolitus. Di dalam risalahnya, Adversus Praxeas, Bab I, Tertulianus mengemukakan bahwa "Dengan demikian Prakseas sudah dua kali lipat melayani iblis di Roma. Dia menyingkirkan nubuat sekaligus memasukkan bidat; dia menghalau Paraklitus sekaligus menyalibkan Bapa."[4] Dengan nada yang sama, Hipolitus mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikutː

Tampakkah olehmu, demikian ujarnya, betapa Kitab Suci mempermaklumkan satu Allah? Dan lantaran perkara ini terpampang dengan jelas, dan ayat-ayat ini bersaksi membenarkannya, maka wajiblah saya, demikian ujarnya, lantaran satu yang diketahui, untuk menjadikan yang Satu ini pihak yang menderita. Sebab Kristus adalah Allah, dan menderita demi kita, Ia jua Bapa itu, supaya Ia dapat menyelamatkan kita.... Lihatlah Saudara sekalian, betapa gegabah dan lancangnya ajaran yang mereka dakwahkan itu, manakala tanpa malu-malu mereka berkata, Bapa jua Kristus itu, Ia jua Putra itu, Ia jua yang lahir, Ia jua yang menderita, Ia jua yang membangkitkan diri-Nya sendiri, padahal bukan demikian adanya.[3]

Dari pernyataan-pernyataan semacam inilah muncul istilah ejekan "Patripasianisme" yang dilekatkan kepada bidat tersebut, dari kata Latin pater yang berarti "bapa" dan passus yang berarti "menderita", lantaran menyiratkan bahwa Bapa menderita di atas kayu salib.

Perlu diingat bahwa sumber-sumber pustaka yang masih dapat ditelaah sekarang ini demi memahami Sabelianisme hanyalah sumber-sumber pustaka peninggalan pihak-pihak yang menentangnya. Para sarjana dewasa ini tidak sependapat mengenai apa yang sebenarnya diajarkan Sabelius maupun Prakseas. Tidak sulit untuk berprasangka bahwa Tertulianus dan Hipolitus, setidaknya sesekali, bisa saja keliru menafsirkan pendapat lawan-lawan mereka.[22]

Pandangan Ortodoks Timur[sunting | sunting sumber]

Kristen Ortodoks Yunani mengajarkan bahwa hakikat Allah tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun sebab Allah Bapa tidak berasal-usul, kekal, dan ananta. Oleh karena itu keliru jika wujud-wujud disifatkan "fisis" atau "metafisis", tetapi benar jika disifatkan "tercipta" atau "tak-tercipta." Allah Bapa adalah asal dan sumber Tritunggal, yang dari pada-Nya Putra diperanakkan dan Roh Kudus keluar, ketiga-tiganya Tak-tercipta.[23] Oleh sebab itu, kesadaran Allah tidak dapat diperoleh makhluk ciptaan baik semasa hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat (lih. apofatisme). Melalui kerjasama dengan Roh Kudus (disebut teosis), umat manusia dapat menjadi baik (seperti Allah), bukan menjadi tak-tercipta, tetapi mengambil bagian di dalam kuasa ilahi-Nya (2 Petrus 1:4). Lewat jalan inilah umat manusia dapat dimaafkan memiliki Pengetahuan Tentang Yang Baik dan Yang Jahat yang ia peroleh di Taman Eden (lih. Kejatuhan manusia), dengan demikian hakikat tercipta manusia mengambil bagian di dalam hakikat tak-tercipta Allah melalui persemayaman kehadiran Putra Allah yang menjelma secara kekal dan Bapa-Nya (Filipi 3:21) melalui perantaraan Roh Kudus (Yohanes 17:22–24, Roma 8:11, Roma 8:16-17 16-17).

Penganut dewasa ini[sunting | sunting sumber]

Saat berlangsungnya Rapat Perkemahan Sedunia II di Arroyo Seco pada tahun 1913, pendeta Injili asal Kanada, R.E. McAlister, dalam suatu kebaktian pembaptisan, berkhotbah bahwa para rasul hanya membaptis dalam nama Yesus saja, bukan dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Malam itu juga, John G. Schaeppe, seorang imigran asal Jerman, mengaku menyaksikan penampakan diri Yesus, lantas membangunkan seisi perkemahan dengan teriakan lantang, bahwasanya nama Yesus harus dimuliakan. Mulai dari saat itu, Frank J. Ewart mulai mewajibkan orang-orang yang sudah pernah dibaptis dengan rumusan Tritunggal untuk dibaptis ulang dalam nama Yesus “saja.” Dukungan terhadap pendirian semacam ini mulai merebak, bersamaan dengan keyakinan akan satu Oknum di dalam Ke-Allah-an, yang bertindak dalam modus atau kedudukan yang berbeda-beda.[24]

Pada bulan Oktober 1916, Sidang Raya Sidang Jemaat Allah diselenggarakan di St. Louis, Missouri, untuk mengukuhkan keimanan mereka kepada ortodoksi Tritunggal. Kubu Keesaan harus menghadapi kubu mayoritas yang mewajibkan penerimaan rumusan baptis Tritunggal dan doktrin ortodoks Tritunggal kalau tidak mau dianggap sudah sukarela keluar dari denominasi Sidang Jemaat Allah. Pada akhirnya sekitar seperempat dari pendeta Sidang Jemaat Allah meutuskan mengundurkan diri.[25]

Pentakosta Keesaan mengajarkan bahwa Allah adalah satu oknum, dan Bapa (roh) manunggal dengan Yesus (daging) menjadi Putra Allah. Meskipun demikian, Pentakosta Keesaan sedikit tampil beda dengan menolak Modalisme Sekuensial, dan dengan sepenuhnya mengamini kelahiran insani Putra, yang tidak khadim sifatnya, yakni insan Yesus yang dilahirkan, wafat di salib, lalu bangkit, dan bukan ilah. Kepercayaan semacam ini secara langsung bertentangan dengan keprawujudan Putra selaku salah satu modus prawujud, yang secara umum tidak ditentang Sabelianisme.

Golongan Pentakosta Keesaan percaya bahwa Yesus adalah "Putra" hanya selama menjadi manusia di muka bumi, tetapi adalah "Bapa" sebelum menjadi manusia. Mereka menyebut Bapa sebagai "Roh" dan menyebut Putra sebagai "Daging", tetapi mereka percaya bahwa Yesus dan Bapa pada hakikatnya adalah satu Oknum, kendati berkiprah dalam beragam "perwujudan" atau "modus". Golongan Pentakosta Keesaan mendustakan doktrin Tritunggal, karena menganggapnya bersifat pagan dan tidak Alkitabiah, serta menganut doktrin Nama Yesus terkait pembaptisan. Mereka sering dijuluki golongan "Modalis" atau golongan "Yesus Saja". Pentakosta Keesaan dapat diperbandingkan dengan Sabelianisme, dan dapat pula disifatkan sebagai keimanan kepada salah satu ragam dari Sabelianisme, karena sama-sama Awatritunggal dan sama-sama mengimani Yesus sebagai "Allah Yang Mahaperkasa dalam Wujud Manusia", meskipun kedua-duanya tidak persis sama.

Tidak dapat dipastikan apakah Sabelius memang mengajarkan Modalisme seperti yang diajarkan dewasa ini dengan nama doktrin Keesaan, karena hanya segelintir fragmen karya tulisnya yang masih ada, dan oleh karena itu segala sesuatu yang diketahui tentang ajaran-ajarannya bersumber dari karya-karya tulis para penentangnya.[26]

Kutipan-kutipan yang memperlihatkan beberapa ciri khas Sabelianisme purba di bawah ini dapat dicermati untuk dibandingkan dengan doktrin-doktrin gerakan Keesaan pada zaman modern:

  • Siprianus mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "...bagaimana caranya, apabila Allah Bapa tidak dikenal, bukan lagi, malah dihujat, dapatkah orang-orang di kalangan ahli bidat yang konon dibaptis dalam nama Kristus, diabsahkan sudah beroleh pengampunan dosa?[27]
  • Hipolitus (170–236) menulis tentang mereka sebagai berikutː "dan beberapa di antara mereka mengamini kaum bidat pengikut Noetus, dan bersikukuh bahwa Bapa jualah Sang Putra itu..."[28]
  • Paus Dionisius, Uskup Roma dari tahun 259 sampai 269, mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "Sabelius...menghujat Allah dengan mengatakan bahwa Putra itu sendiri adalah Bapa, demikian pula sebaliknya."[29]
  • Tertulianus menegaskan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "ia mengamanatkan kepada mereka agar membaptis orang dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, bukan dalam nama Allah yang berpribadi tunggal. Dan memang bukan hanya sekali, melainkan tiga kali, kita dibenamkan ke dalam tiga pribadi, tiap-tiap kali nama mereka dilisankan.”[30]

Penentangan dewasa ini[sunting | sunting sumber]

Meskipun golongan Pentakosta Keesaan berusaha membedakan akidahnya dari Sabelianisme purba, teolog-teolog modern semisal James R. White dan Robert Morey tidak mendapati perbedaan yang cukup berarti di antara bidat purba Sabelianisme dan akidah mutakhir Pentakosta Keesaan. Penilaian mereka didasarkan atas penyangkalan golongan Pentakosta Keesaan akan Tritunggal, lantaran percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[31] Bagi mereka, baik Sabelianisme, Patripasianisme, Monarkianisme Modalistis, Fungsionalisme, Yesus Saja, Bapa Saja, maupun Pentakosta Keesaan berakar pada doktrin filsafat Platon yang mengatakan bahwa Allah adalah Monas (tunggal) yang tak terbagi dan mustahil dipilah-pilah menjadi beberapa oknum berlainan.[32]

Baca juga[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Hanson, Richard Patrick Crosland (1988). The Search for the Christian Doctrine of God: The Arian Controversy, 318-381. T. & T. Clark. ISBN 978-0-567-09485-8. 
  2. ^ A History of Christianity: Jilid I: Beginnings to 1500 oleh Kenneth S. Latourette, Edisi Revisi hlmn. 144-146, diterbitkan oleh HarperCollins, 1975: ISBN 0-06-064952-6, ISBN 978-0-06-064952-4 [1]
  3. ^ a b c d e Hippolytus, of Rome. "Against the Heresy of Noetus". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  4. ^ a b Tertullian, of Carthage. "Against Praxeas, Bab 1". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  5. ^ Schaff, Phillip. "History of the Christian Church, Jilid II". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  6. ^ a b Dionysius, bishop of Rome. "Against Sabellians". Early Christian Writings. Diakses tanggal 28 Mei 2017. 
  7. ^ Hippolytus, of Rome. "The Refutation of All Heresies, Book 9". EarlyChristianWritings. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  8. ^ Hippolytus, of Rome. "The Refutation of All Heresies, Book 10". EarlyChristianWritings. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  9. ^ Tertullian, of Carthage. "Against Praxeas, Chapter 2". ChristianClassicsEtherealLibrary. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  10. ^ Tertulianus, of Carthage. "Melawan Prakseas, Bab 3". ChristianClassicsEtherealLibrary. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  11. ^ hlmn. 51-55 Vladimir Lossky The Mystical Theology of the Eastern Church, SVS Press, 1997. (ISBN 0-913836-31-1) James Clarke & Co Ltd, 1991. (ISBN 0-227-67919-9)[2]
  12. ^ "Moss, C. B., The Christian Faith: An Introduction to Dogmatic Theology, The Chaucer Press, London, 1943". 
  13. ^ Sebagai contoh, lih. Metzger, Bruce M., A Textual Commentary on the Greek New Testament [TCGNT] (Edisi ke-2), Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1994, halaman 647-649.
  14. ^ Anthony Buzzard (July 2003). "Trinity, or not?". Elohim and Other Terms. focusonthekingdom.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-29. Diakses tanggal 2 Maret 2011. 
  15. ^ "The Oneness of God" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-12-22. Diakses tanggal 2022-07-08. 
  16. ^ "A rebuttal to Bernard". 
  17. ^ "Colossians 1:12-20 (ESV)". 
  18. ^ Dulle, Jason. "Avoiding the Achilles Heels..." OnenessPentecostal.com. Diakses tanggal 28 May 2017. 
  19. ^ "Athanasian Creed". Reformed.org. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  20. ^ Gill, Kenneth. "Dividing Over Oness". ChristianityToday. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  21. ^ a b "Views of Sabellius, The Biblical Repository and Classical Review, American Biblical Repository". 1835. 
  22. ^ "Monarchians, New Advent, Catholic Encyclopedia". 
  23. ^ Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the Eastern Church, SVS Press, 1997, hlmn.50-59.(ISBN 0-913836-31-1) James Clarke & Co Ltd, 1991. (ISBN 0-227-67919-9)
  24. ^ "The Arroyo Seco Camp Meeting - 1913". Apostolic Archives International. The M. E. Golder Library and Research Center. Diakses tanggal 7 November 2020. 
  25. ^ Kerry D. McRoberts, “The Holy Trinity,” in Systematic Theology: Revised Edition, penyuntingː Stanley M. Horton (Springfield, MO: Logion Press, 2007), hlmn. 171–172.
  26. ^ Louis Berkhof, The History of Christian Doctrines (Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1949), 83.
  27. ^ Siprianus dari Kartago, “The Epistles of Cyprian,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː Robert Ernest Wallis, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.383.
  28. ^ Hipolitus dari Roma, “Bantahan Segala Bidat,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː John Henry MacMahon, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlmn. 123–124.
  29. ^ Dionisius dari Roma, “Melawan Golongan Sabelius,” dalam Fathers of the Third and Fourth Centuries: Lactantius, Venantius, Asterius, Victorinus, Dionysius, Apostolic Teaching and Constitutions, Homily, and Liturgies, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, jld. 7, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.365.
  30. ^ Samuel Macauley Jackson (penyunting), The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: Embracing Biblical, Historical, Doctrinal, and Practical Theology and Biblical, Theological, and Ecclesiastical Biography from the Earliest Times to the Present Day (New York; London: Funk & Wagnalls, 1908–1914), hlm.16.
  31. ^ James R. White, The Forgotten Trinity (Minneapolis, MN: Bethany House Publishers, 1998), 153.
  32. ^ Robert A. Morey, The Trinity: Evidence and Issues (Iowa Falls, IA: World Pub., 1996), 502–507.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]