Perbatasan bahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peta wilayah dan perbatasan bahasa Bali, Jawa, Madura, Melayu (Betawi), dan Sunda di pulau Jawa dan sekitarnya.
Garis perbatasan dan pengaruh bahasa Yunani dan Latin di Balkan.

Perbatasan bahasa adalah garis semu yang memisahkan dua wilayah bahasa. Istilah ini umumnya dimaksudkan untuk menyiratkan kurangnya kesalingpahaman antara kedua bahasa. Jika dua bahasa atau dialek yang berdekatan dapat dimengerti satu sama lain, tidak ada batas tegas yang berkembang, karena kedua bahasa dapat terus bertukar perkembangan fitur linguistik, yang dikenal sebagai kesinambungan dialek. Sebuah "pulau bahasa" adalah wilayah bahasa yang sepenuhnya dikelilingi oleh perbatasan bahasa.[1]

Gagasan[sunting | sunting sumber]

Gagasan kejelasan kesalingpahaman tidak jelas. Lebih penting lagi, mungkin sulit bagi penutur asing untuk membedakan satu bahasa dari bahasa lain yang serupa. Selain itu, tidak ada pengistilahan yang jelas tentang hal yang dimaksud dengan bahasa: misalnya beberapa bahasa memiliki aksara yang sama tetapi dilafalkan secara berbeda, sementara yang lain identik ketika diucapkan tetapi ditulis menggunakan aksara yang berbeda. Sebagai contoh, "dialek-dialek" Tionghoa yang berbeda menggunakan karakter yang sama dengan arti yang sama, tetapi dilafalkan dengan sangat berbeda dalam "dialek-dialek" yang berbeda. Bahasa Jepang juga menggunakan sejumlah besar karakter Kanji (berasal dari Tiongkok) yang artinya sama seperti dalam bahasa Tionghoa, tetapi sering memiliki "bacaan" (yomi) yang berbeda, beberapa di antaranya mungkin diucapkan seperti dalam bahasa Tionghoa sementara yang lain sama sekali berbeda.

Sering juga ada istilah bersama antara dua bahasa bahkan antara bahasa yang tidak ada hubungannya satu sama lain.[2]

Sebagai contoh, bahasa Spanyol dituturkan di sebagian besar negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta di Spanyol. Ada perbedaan yang halus namun dapat dikenali antara dialek, tetapi ada dialek yang berbeda bahkan di dalam Spanyol. (Dalam banyak budaya juga ada sedikit perbedaan antara versi bahasa, baik lisan maupun tulisan ("laras bahasa") yang digunakan dalam konteks yang berbeda: misalnya saat berbicara dengan pemimpin dan berbicara dengan teman).[3]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Woolard, Kathryn A. and Bambi B. Schieffelin. "Language Ideology." Annual Review of Anthropology, Vol. 23, (1994), pp. 55–82. This article explores the role of language in ideological and political identity. It researches the ways in which dialects and grammar can affect perceptions in society. It investigates the implications of using a particular type of communication in a certain setting.
  2. ^ Urciuoli, Bonnie. "Language and Borders." Annual Review of Anthropology, Vol. 24, (1995), pp. 525–546. This article discusses the role of language and nationalistic identity and its role near the border. It explores whether or not people tend to make a connection between nationalism and language.
  3. ^ Eastman, Carol M. Codeswitching. Multilingual Matters Ltd., 1992. Discusses the implications of codeswitching and its acceptability based upon where the utterance occurs. Indicates the mixture of languages and borrowing of words throughout any area. Explores the differences between codeswitching and borrowing, and the views that speakers have on these two phenomena.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Christian Bromberger, Alain Morel, Limites floues, frontières vives
  • Ursula Reutner (2018), Les frontières linguistiques franco-anglaises en Amérique du Nord, in: Christina Ossenkop/Otto Winkelmann (eds.), Les frontières linguistiques dans la Romania. Berlin: de Gruyter (Manuals of Romance Linguistics 11), p. 440–475, ISBN 9783110313390.