Kekristenan proto-ortodoks
Istilah Kristen proto-ortodoks atau proto-ortodoksi diciptakan oleh seorang sarjana Perjanjian Baru Bart D. Ehrman dan menggambarkan gerakan Kristen Perdana yang merupakan pendahulu dari ortodoksi Kristen. Ehrman berpendapat, dari situ kelompok ini mulai menonjol pada akhir abad ketiga, "melumpuhkan lawannya, mengklaim bahwa pandangan ini selalu menjadi posisi mayoritas dan para pesaingnya adalah, dan selalu merupakan, 'bidat', yang sengaja 'memilih' untuk menolak 'kepercayaan yang benar'."[2] Sebaliknya, Larry W. Hurtado berpendapat bahwa Kekristenan proto-ortodoks berakar pada kekristenan abad pertama .
Proto-ortodoksi versus agama Kristen lainnya
[sunting | sunting sumber]Menurut Ehrman, "'Proto-ortodoksi' mengacu pada kumpulan keyakinan [Kristen] yang akan berpengaruh pada abad ke-4, dianut oleh orang-orang sebelum abad ke-4."[3](7:57)
Ehrman mengembangkan tesis seorang ilmuan Perjanjian Baru dari Jerman Walter Bauer (1877–1960), yang dituangkan dalam karya utamanya Orthodoxy and Heresy in the Earlyliest Christianity (1934). Bauer berhipotesis bahwa para Bapa Gereja, terutama Eusebius dalam Ecclesiastical History, "belum memberikan penjelasan objektif tentang hubungan kelompok-kelompok Kristen awal." Sebaliknya, Eusebius dianggap "menulis ulang sejarah konflik Kristen awal, sehingga dapat mengesahkan kemenangan golongan ortodoks yang mana dirinya terwakili." [4] Eusebius mengklaim bahwa ortodoksi berasal langsung dari ajaran Yesus dan dan murid-murid-Nya, serta selalu menjadi pandangan mayoritas; sebaliknya, semua pandangan Kristen lainnya dicap sebagai "bidat", artinya, penyimpangan dari kebenaran yang disengaja, dipegang oleh sejumlah kecil minoritas.[note 1]
Namun, penemuan tulisan-tulisan awal Kristen non-ortodoks di zaman kini secara bertahap menunjukkan penantangan narasi Eusebius tersebut. Bauer pertama kali mengajukan bahwa yang disebut dengan "ortodoksi" pada awalnya hanya salah satu daei sekian sekte Kristen awal (seperti Ebionit, Gnostik dan Marcionis), yang kemudian mampu menyingkirkan semua pertentangan besar yang terjadi pada akhir abad ke-3, dan berhasil memantapkan diri sebagai ajaran resmi dengan diadakannya Konsili Nicea (325) dan konsili ekumenis berikutnya . Menurut Bauer, gereja-gereja di Mesir pada awalnya banyak yang menganut Gnostik, gereja-gereja abad ke-2 di Asia Kecil sebagian besar penganut Marcionis, dan seterusnya. Tetapi karena gereja Roma adalah "proto-ortodoks" (dalam istilah Ehrman), Bauer berpendapat mereka mempunyai keunggulan strategis di atas semua sekte lain karena berdekatan dengan pusat kekuasaan Romawi.[5] Ketika orang-orang elit politik dan budaya Romawi diajak menganut kekristenan tersebut, mereka mulai menggunakan daya dan upaya mereka untuk mempengaruhi teologi komunitas lain di seluruh wilayah Kekaisaran, kadang-kadang secara paksa. Bauer mengutip Surat Pertama Klemens sebagai contoh awal uskup Roma yang ikut campur dalam gereja Korintus untuk memasukkan doktrin suksesi apostolik, dan untuk mendukung beberapa kelompok pemimpin gereja lokal di atas yang lain.(15:48)
Karakteristik
[sunting | sunting sumber]Menurut Ehrman, Kekristenan proto-ortodoks mewariskan kepada generasi berikutnya "empat Injil untuk memberi tahu kita sejatinya segala sesuatu yang kita ketahui tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus" dan "menurunkan kepada kita dalam seluruh Perjanjian Baru, dua puluh tujuh surat".[6] Sejalan dengan pandangan Khalsedon tentang Yesus, kepercayaan proto-ortodoks sejak awal ialah bahwa hakikat Kristus adalah ilahi sekaligus manusia, bukan dua hakikat yang menyatu. Demikian juga keyakinan trinitas bahwa Tuhan adalah Esa dalam tiga pribadi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus.[7]
Kemartiran berperan penting dalam Kekristenan proto-ortodoks, sebagaimana yang terjadi pada Ignatius dari Antiokhia pada awal abad kedua. Pihak kekaisaran menangkapnya "terbukti karena kegiatan Kristen" dan menjatuhkan hukuman sebagai mangsa binatang buas.[8] Ia menyatakan keinginannya untuk mati dan berharap dengan demikian dapat "mencapai Tuhan".[9] Dengan kematian Ignatius, banyak ahli teori proto-ortodoks menilai kematian demi iman adalah suatu keistimewaan. Kemartiran juga menjadi cara untuk membedakan orang-orang beriman yang sejati dibandingkan golongan lain. Jika seseorang tidak rela mati demi keyakinannya, mereka dianggap tidak setia pada gereja. [10]
Sisi lain dari keyakinan tersebut adalah struktur gereja. Gereja yang memiliki pemimpin - seperti saat ini - adalah hal yang umum. Ignatius menulis surat kepada beberapa gereja agar para umat membiarkan pemimpinnya (biasanya uskup) menangani semua masalah di dalam gereja itu. Dia mendesak anggota gereja tersebut untuk mendengarkan para uskup karena mereka adalah pemimpin: "Tunduklah kepada Uskup sesuai perintahnya ... Kita tentu diwajibkan untuk memandang uskup sebagai Tuhan itu sendiri ... Jangan melakukan hal yang berlainan dari perintah uskup." [11] Peran uskup membuka jalan bagi hierarki dalam gereja-gereja seperti yang terlihat sekarang.
Aspek penting lainnya dalam Kekristenan proto-ortodoks adalah pandangan tentang Yahudi dan praktik-praktik mereka. Satu surat yang penting dalam hal ini, Surat Barnabas, menjelaskan bahwa penafsiran Yahudi atas Perjanjian Lama secara literal adalah tidak benar, sementara penafsiran metaforis Kristiani dianggap sebagai kebenaran, seperti pada hukum tentang pola makan, puasa, dan Sabat, terlebih lagi, bahwa Perjanjian Lama secara khusus diturunkan untuk menandai kedatangan Yesus, dan perjanjian Kristus bukan hanya menggantikan perjanjian Musa, tetapi bahwa "orang-orang Yahudi selalu berpegang pada agama palsu". [12]
Pengembangan kanon ortodoks dan Kristologi
[sunting | sunting sumber]Dalam pembentukan kanon Perjanjian Baru tentang karya-karya Kristen yang unik, Kristen proto-ortodoks telah menjalani proses yang lengkap di Barat pada awal abad ke-5.[13] Athanasius, uskup Aleksandria, Mesir, dalam surat Paskahnya tahun 367,[14] mendaftarkan dua puluh tujuh surat Perjanjian Baru yang sama seperti yang ditemukan dalam Kanon Trente. Sinode pertama yang menerima kanon Perjanjian Baru saat ini mungkin adalah Sinode Hippo Regius di Afrika Utara (393); meskipun catatan tentang sinode tersebut telah hilang, namun ringkasannya dibacakan dan diterima oleh dua Konsili Kartago (397 dan 419).[15]
Bagi Ehrman, "Kristen proto-ortodoks berpendapat bahwa Yesus Kristus adalah ilahi sekaligus manusiawi, bahwa ia adalah satu wujud bukannya dua, dan bahwa ia telah mengajarkan murid-muridnya tentang kebenaran." [2] Pandangan bahwa Ia adalah "satu kesatuan ilahi dan manusia" (persatuan hipostatik) bertentangan dengan Adopsionisme (Yesus hanyalah seorang manusia yang "diadopsi" oleh Allah, sebagaimana kepercayaan Ebionit), dan Doketisme (Kristus hanya ilahi yang kelihatan seperti manusia, sebagaimana keyakinan Marcionisme), serta Separasionionisme (bahwa suatu aeon telah memasuki tubuh Yesus, yang terpisah lagi dari-Nya saat kematian di kayu salib, sebagaimana keyakinan sebagian besar kaum Gnostik).[5] ( 0:21 )
Bagi Ehrman pula, dalam Injil kanonik, Yesus dicirikan sebagai penyembuh iman bagi orang Yahudi, yang melayani orang-orang yang paling rendah dalam lingkungannya. Laporan-laporan tentang mukjizat tidaklah jarang saat era "di dunia kuno [yang] banyak orang percaya pada mukjizat, atau setidaknya hal itu mungkin." [16]
Kritik
[sunting | sunting sumber]Pada umumnya Kristen tradisional memandang bahwa ortodoksi muncul sebagai penyusun dan pertahanan tradisi-tradisi yang diwarisi dari para Rasul sendiri. Hurtado berpendapat bahwa konsep Kekristenan "proto-ortodoks" Ehrman berakar pada kekristenan abad pertama :
... sampai taraf tertentu pengabdian protoortodoks awal abad kedua kepada Yesus mewakili perhatian untuk melestarikan, menghormati, mengangkat, dan mengembangkan apa yang pada saat itu menjadi ungkapan tradisional dari kepercayaan dan pengagungan, dan semua itu berpangkal pada tahun-tahun awal dari gerakan kekristenan. Artinya, keyakinan proto-ortodoks cenderung menegaskan dan mengembangkan tradisi devosional dan konfesional [...] Arland Hultgren [17] telah menunjukkan bahwa akar dari pengetahuan tradisi-tradisi iman tersebut sebenarnya telah mendalam dan meluas ke dalam kekristenan sejak abad pertama. [18]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ O'Connor 1913.
- ^ a b Ehrman 2015, hlm. 7.
- ^ Bart D. Ehrman (2002). "2: Christians who would be Jews". Lost Christianities. University of North Carolina at Chapel Hill. Diakses tanggal 13 July 2018.
One other term I need to define for our period, is made necessary by the circumstance that what I'm calling 'orthodoxy' is the point of view that became dominant in early Christianity, when I'm talking about Christianity before that view became dominant. In other words, calling somebody 'orthodox' in the 4th century makes sense, because by that time, Christians had decided what the dominant form of belief would be. But what do you call people who held that point of view, who held that belief, before it became dominant? I'm gonna use a term that scholars have come up with, which is simply 'proto-orthodoxy'. 'Proto-orthodoxy' refers to the set of beliefs that was going to become dominant in the 4th century, held by people before the 4th century.
- ^ Bart D. Ehrman (2002). "19: The Rise Of Early Christian Orthodoxy". Lost Christianities. University of North Carolina at Chapel Hill. Diakses tanggal 5 July 2018.
- ^ a b c Bart D. Ehrman (2002). "19: The Rise Of Early Christian Orthodoxy". Lost Christianities. University of North Carolina at Chapel Hill. Diakses tanggal 5 July 2018.
- ^ Ehrman 2003, hlm. 136.
- ^ Ehrman 2003: "In addition, the proto-orthodox victory conferred to Christian history a set... beliefs [that] include doctrines familiar to anyone conversant with Christianity: Christ as both divine and human, fully God and fully man. And the sacred Trinity, the three-in-one: Father, Son, and Holy Spirit, three persons, but only one God, the mystery at the heart of traditional Christian faith".
- ^ Ehrman 2003, hlm. 137.
- ^ Ehrman 2003: "One of his letters is addressed to the Christians of Rome, in which he urges them not to intervene in the proceedings, because he is eager to be devoured by the wild beasts: By suffering that kind of death he will 'attain to God'.".
- ^ Ehrman 2003, hlm. 138.
- ^ Ehrman 2003, hlm. 141.
- ^ Ehrman 2003, hlm. 145.
- ^ Reid 1913.
- ^ From Letter XXXIX
- ^ McDonald & Sanders 2001.
- ^ Sanders 1996.
- ^ The rise of normative Christianity, Minneapolis: Fortress Press, 1994.
- ^ Hurtado 2005, hlm. 495.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Ehrman, Bart D. (2003), Lost Christianities: The Battle for Scripture and the Faiths We Never Knew, New York: Oxford University Press, ISBN 0-19-514183-0.
- Ehrman, Bart D. (2015), The New Testament: A Historical Introduction, Oxford University Press, ISBN 019020382X.
- Henderson, John B. (1998). The Construction of Orthodoxy and Heresy: Neo-Confucian, Islamic, Jewish, and Early Christian Patterns. Albany, NY: State University of New York Press.
- Hurtado, Larry W. (2005), Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, William B Eerdmans
- McDonald, Lee Martin; Sanders, James A., ed. (2001), The Canon Debate, ISBN 1565635175
- O'Connor, John Bonaventure (1913). "nama artikel dibutuhkan". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- Reid, George J. (1913). "nama artikel dibutuhkan". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- Sanders, E.P. (1996), The Historical Figure of Jesus, Penguin, ISBN 0140144994