Rumah Djipang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rumah Djipang atau Landhuis Jipang adalah sebuah bangunan peninggalan Pangeran Arya Djipang yang terletak di Jalan Palmerah Selatan, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bangunan ini telah dimusnahkan pada zaman Orde Baru. Rumah Djipang adalah rumah satu lantai berarsitektur Jawa-Indonesia yang dikenal sebagai rumah Arya Jipang. Arya Jipang alias Pangeran Arya Penangsang bin Raden Kikin bin Raden Fattah... Sultan Demak Pertama.[1] Pangeran Arya Jipang adalah pemilik lahan di Palmerah dari Rawa Belong hingga Jln. Sudirman Jakarta Selatan.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarah Rumah Djipang tak terlepas dari sejarah Kota Batavia yang pada saat itu dianggap tidak sehat. Pada abad ke-18, Banyak penduduk dari Batavia yang membangun sebuah villa di luar bagian tembok kota dengan harapan mereka dapat hidup bebas dari penyakit Malaria yang pada saat itu sedang melanda sekitar Kota Batavia.[2] Andries Hartsinck, seorang pejabat tinggi VOC di Kota Batavia membangun sebuah landhuis di dekat kali Grogol pada tahun 1790-an Vila dengan atap bersudut lebar itu ibarat topi berpinggiran lebar yang menaungi beranda depan dan belakang. Pintu masuknya berukuran besar dan tinggi. Hiasan di atas pintu, berupa kaca dan bilah-bilah lubang angin, menunjukkan pengaruh Belanda yang kuat. Rumah sang tuan tanah itu merupakan penanda zaman, tatkala orang-orang Belanda telah beradaptasi dengan cuaca dan menerima kebudayaan setempat.[3] Landhuis ini didesain memiliki beberapa karakteristik untuk menyesuaikan dengan iklim tropis.[2] Pada saat landhuis ini dibangun, kampung Jipang (sekarang menjadi bagian dari kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat) masih berupa hutan karena berada jauh di pinggir Kota Batavia.[2]

Pada akhir abad ke-17 hingga abad ke-19, tanah-tanah partikelir untuk perkebunan yang dimiliki orang-orang Eropa dan Cina di Batavia mengalami perluasan hingga menjauh dari kota. Perluasan tersebut diikuti perkembangan kawasan permukiman orang Eropa dan Cina. Barangkali, Hartsinck merupakan tuan tanah yang membuat Palmerah berdenyut sejak akhir abad ke-18, hingga berkembang menjadi tempat berdagang, dan juga pecinan di pinggiran Batavia.[2]

Kampung yang berada di dekat Rumah Djipang disebut Kampung Jipang atau Kampung Jepang.

Peta

Keadaan terkini[sunting | sunting sumber]

Dalam perkembangannya hingga pada akhir abad ke-20, vila yang pernah dimiliki Hartsinck itu mengalami keanggunan yang memudar. Tanah perkebunannya menjelma menjadi petak-petak hunian padat. “Selama beberapa dekade rumah itu dilindungi Monumenten Ordonantie dan masuk dalam bangunan yang dilindungi,” ungkap Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta. “Namun pada 1993, rumah itu dicabut dari daftar bangunan yang dilindungi oleh sebuah persekongkolan misterius, kemudian dibongkar pada 1996.”[2]

Kampung Jipang atau Kampung Jepang sekarang telah menjadi kompleks gedung MPR dan DPR Republik Indonesia, Senayan Park (Taman Ria Remaja Senayan), Hotel Mulia Senayan, Sekolah Menembak Perbakin Senayan, Kampung Patal Senayan,dan Kompleks Senayan Residence. Pada masa kini Kampung Jipang masuk ke dalam kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat dan Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kusumo, Rizky. "Kisah Rawa Belong, Kampung Jawara Betawi yang Penuh dengan Bunga". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  2. ^ a b c d e F, Ni Luh Made Pertiwi, ed. (2014-09-26). "Lonceng Penanda Awal Denyut Peradaban Palmerah". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-07-11. 
  3. ^ A. Heuken SJ. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Cipta Loka Caraka, 2015. ISBN 974-602-70395-7-5